2: Bertemu

"Wah Neng Rindu, menang banyak ya. Laki yang mana lagi ntuh?" sindir abang cilok yang menjadi langganan Rindu. Penjual rokok keliling disebelahnya pun terkikik geli sambil memperhatikan pria tinggi disebelah Rindu yang sibuk memperhatikan gawai.

Keduanya berhasil keluar stasiun setelah pihak lelaki akhirya mengalah atas ide gila Rindu yang terdengar gegabah. Bagaimana tidak, pria itu dituduh copet tanpa bukti yang jelas bagaikan menggali kuburan sendiri kan. Malah kenyataannya Rindu yang memalak jaket miliknya. Belum lagi, tadi pakai acara dipaksa menunggu di depan toilet. Benar-benar menguji kesabaran. Anggap saja presensi pria itu bersedia berdiri panas-panasan sekarang adalah bentuk rasa kasihan terhadap Rindu.

Sambil melempar lirikan mematikan, Rindu mengeratkan jaket yang melilit tubuh rampingnya. "Bawel. Namanya Lanang, dia temen gue Bang Ariii," belanya dengan ekspresi wajah masam. "Ciloknya satu ya Bang. Kecapnya dikit aja."

"Eh Neng," abang penjual rokok berperawakan kurus mendekatkan tubuhnya sambil berbisik, "angka dong, angka. Dua nomor aja dah."

"Empat puluh sembilan," jawab Rindu asal.

Raut wajah pedagang asongan itu berubah sumringah diikuti kekehan puas. Ia bertepuk tangan sekali, merasa senang bukan main karena setelah ini bisa makan-makan enak.

Rindu menggelengkan kepala tidak habis pikir. "Lo kok nggak kapok sih Bang? Gue tuh cuma asal ngomong. Udah tau judi cuma nguras dompet doang dan nggak bakal bikin kaya, tapi masih aja nekat." Bahkan ia tidak tahu bagaimana cara kerja permainan tersebut.

"Ya tapi nggak ada salahnya masang lagi, omongan lu yang asal itu malah suka bener sih Rin. Kan gua jadi penasaran mainnya. Kali aja menang!"

Memang eksistensi Rindu di kalangan para pedagang itu cukup diakui lewat celetukan, lebih tepat lagi, ramalannya. Beberapa ada yang mempercayai, ada pula yang hanya menganggap lalu. Bagi Rindu sendiri, seharusnya hal itu hanyalah sebuah kebetulan yang tidak perlu dianggap serius. Namun, tanpa disadari beberapa orang tetap percaya sebab telah mencoba membuktikan.

"Salah lah! Harusnya lo contoh Bang Ari nih yang udah tobat ke jalan yang benar. Cari duit halal dari dagang cilok, keren, iya nggak Bang?" ujar Rindu sambil mengacungkan satu ibu jarinya. "Semoga nanti cepet kekumpul uangnya buat naik haji."

"Ya kan gua juga udah berusaha jualan rokok, Neng. Cuma kaga sabaran aje, lama ngumpulnya," bela abang penjual rokok diikuti senyuman lebar. "Asik dah, entar jadi judul pilem sinetron. Tukang Cilok Naik Haji."

Lanang sempat melirik sekilas. Sebenarnya tidak ingin mendengar percakapan yang Rindu dan kawan-kawannya bicarakan, tapi apa daya ia terlanjur terjebak di sana. Lantas, pria itu memilih menggulir layar gawai kembali pada laman artikel berita. Seketika, keningnya sedikit berkerut.

Jakarta, ANBC Indonesia – Saham emiten Grup Lakeswara yang terpantau ambles hari ini adalah PT Lakespangan Jaya Abadi Tbk (LKJA) dan PT Indobumi Development Tbk (IDEN).

Sedangkan yang menguat yakni ...

Lanang mengembuskan napas pelan seraya memijat pangkal hidung dengan telunjuk dan ibu jari. Kedua mata yang terpejam pun terbuka kembali saat merasakan tarikan pada ujung jaketnya. Ia menunduk, pandangnya bersirobok dengan manik hitam Rindu. Raut wajah judes tanpa ekspresi berlebih milik gadis itu terkesan cukup lucu, ditambah tinggi yang tidak seberapa, alias pendek. Terlihat seperti berang-berang.

"Nih, ciloknya. Anggap aja ucapan semangat dari saya." Rindu meraih tangan Lanang agar menerima makanan olahan dari tepung kanji tersebut.

Cukup bingung bagaimana Lanang harus merespon ucapan itu. Ingin menolak tapi Rindu terlihat memaksa, jadinya ia terima saja tanpa lontarkan kalimat terima kasih. Di waktu yang sama manik legam miliknya menangkap cairan merah segar yang mengalir bebas dari hidung Rindu, tubuh Lanang pun merendah untuk memastikan.

Kedua mata Rindu mengerjap bingung seraya menjauhkan kepala. Ia cukup kaget karena wajah Lanang tiba-tiba mendekat, jadi hanya berjarak sejengkal darinya.

"Kamu mimisan." Lanang menegakkan tubuhnya kembali seraya mengedarkan pandangan, warung penjual mi instan yang tidak jauh dari mereka pun menjadi pilihannya untuk membawa Rindu duduk di dalam. Sekalian memesan dua mi rebus dan es jeruk.

Demi apa pun kenapa harus mimisan sekarang? Rindu menurut sambil mengeluarkan tisu dari dalam tas. Sungguh malu rasanya 'berdarah-darah' di depan orang yang baru dikenal. Kenapa hari ini ia terkesan sangat mengesalkan ya?

Ibu jari dan telunjuk Lanang mengapit hidung Rindu setelah menyekanya dengan tisu. "Jangan kayak gitu kepalanya, nunduk sedikit. Nah, pegang sendiri hidungmu."

Titah Lanang barusan terdengar lucu, siapa juga yang inisiatif memegang hidungnya Rindu? Gadis itu pun lanjut menekan dengan tisu agar darah bisa segera berhenti. "Makasih," ujarnya kemudian.

"Kamu tau dari mana?" Lanang melepas masker dan topi yang ia pakai. Jemarinya menyugar rambut bergaya mullet modern miliknya sembari menatap Rindu lekat-lekat. "Stalker? atau suruhan orang?"

Rindu tidak langsung merespon karena terkesiap dengan suguhan pemandangan di hadapan. Dua matanya tahu mana pria biasa, tampan, dan di atas rata-rata. Lanang termasuk kategori ketiga. Alis tebal, hidung mancung dan bibir tipisnya adalah perpaduan yang sempurna. Namun, dengan cepat Rindu menggelangkan kepala untuk memfokuskan diri. Tidak boleh, tipu daya setan memang sungguh keterlaluan!

"Apa? Soal niatan jelek Masnya?" tebak Rindu. "Saya bukan suruhan orang apa lagi stalker! Kurang kerjaan amat. Intinya, kamu muncul di mimpi saya."

Kedua alis Lanang menukik ke bawah sebagai respon kurang puas. "Menurutmu, saya bakal percaya sama alasan aneh kayak gitu?"

Gelengan santai dilaku oleh Rindu. "Saya susah jelasinnya gimana. Kalau dibilang peramal juga bukan, tapi kadang saya bisa lihat masa malu dan masa depan orang. Kurang lebih kayak gitu."

Lanang mengulas senyum miring diikuti kekehan pelan. "Bilang saja kamu mau mencari muka kan?"

Gantian Rindu yang mengkerutkan kening. "Maksudnya apa ya? Saya udah punya muka sendiri nih, di sini," ia menunjuk wajahnya sendiri dengan emosi tertahan. "Saya jujur hanya berniat menolong. Lagian nih ya Mas, sebentar lagi saya juga mau menikah, nggak ada waktu buat nyari muka sama orang nggak dikenal."

"Maaf nih ganggu, ini pesanannya ya." Ibu-ibu dengan baju daster dan koyo di pelipis datang menyuguhkan pesanan mereka. "Silakan dilanjut, eh maksudnya dinikmati."

"Terima kasih, Bu," tanggap Lanang dengan tenang. "Tapi bukannya itu terlalu mencampuri urusan orang?"

"Tau, tapi nggak semua orang bisa saya tolong dan seberuntung kamu." Rindu mengembuskan napas berat sambil menaruh tisu, mimisannya sudah berhenti. "Jujur sebetulnya saya nggak peduli orang-orang mau mengakhiri hidup dengan cara apa, tapi karena saya dilihatkan pertanda seseorang mau melakukan hal menyedihkan kayak gitu, masa iya saya diem aja? Kayak Masnya sekarang, setelah ini keputusan tetap ada ditangan Mas sendiri."

Rindu yang hendak berdiri ditahan tangannya oleh Lanang. Alhasil pria itu pun mendapatkan tatapan sinis.

"Duduk dulu, ini di makan mi-nya." Lanang memilih untuk tidak membahas hal itu lagi.

"Siapa yang mau bayar? Uang jajan gue udah habis buat beliin lo cilok tadi." Perubahan gaya bicara Rindu berubah ketus, tapi itu betulan, ia sudah menyisihkan uang khusus anggaran jajan. Hidup serba terbatas mengharuskannya hemat, tidak boleh mengeluarkan uang lebih dari batasan kecuali saat situasi genting.

Mendengar penuturan Rindu, ibu penjual yang duduk di belakang Lanang dengan cepat menoleh sembari mendelik. Jangan karena imbas pertengakaran mereka, ia jadi tidak mendapatkan bayarannnya. Enak saja.

"Saya yang bayar," imbuh Lanang berusaha menenangkan.

Agak tidak percaya, tapi akhirnya Rindu mau duduk lagi. Jujur saja aroma mi rebus sangat menggugah selera makannya. "Tapi gue nggak bakal terima kasih buat traktiran ini loh ya."

"Fine. Mau tambah sampai seratus mangkuk pun ngga perlu terima kasih." Lanang menyilangkan kedua tangannya di depan dada seraya menegapkan tubuh.

Rindu memutar matanya jengah, seratus mangkuk sih bisa meledakkan perutnya. "Kayak mampu aja."

Tarikan tipis terpatri pada sudut bibir Lanang seraya mengeluarkan kartu nama khusus dari dalam dompet. "Spesial untuk kamu ada nomor saya di situ," tuturnya dengan tenang. Kuasa Lanang pun meraih masker, cilok, dan memakai topinya kembali. "Anggap hari ini saya berutang satu nyawa, jadi kalau perlu sesuatu kapan pun bisa hubungi saja."

Dengan tampang bingung Rindu mengambil kartu nama itu, kedua matanya menyipit memperhatikan nama yang terukir, lalu sedetik kemudian terbelalak lebar. Jantungnya mulai berdegup cepat, oksigen disekitar pun seakan tersedot hilang bersamaan dengan perginya Lanang setelah membayar pesanan.

Dia Lanang ... Lakeswara? Baik, kali ini Rindu merasa menyesal sudah menolong pria itu. Sangat. Amat. Menyesal. Sampai bumi jadi datar gue nggak akan pernah minta bantuannya!

***

Pojok Author 🍯:

Halo honey!  

Untuk visualnya aku pinjam wajah Jennie dan Taehyung hehehe. Tapi silakan kalau manteman bayanginnya bukan wajah mereka :D

Terima kasih yaaa udah mampir membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top