19: Bumerang

Makan bersama berlangsung di sebuah resto hotel Li Feng. Bangunan interior bergaya mewah terinspirasi dari sejarah perdagangan antara China dan Jakarta masa tempo dulu. Mereka menyajikan hidangan khas china yang berkelas, ada beragam menu dengan range harga masih cukup terjangkau. Selain itu, Ira memilih tempat ini karena menyukai masakan yang di kepalai oleh executive chinese chef yang merupakan kawan dekatnya. Padahal masih pagi, tapi sudah banyak diisi oleh pengunjung. Hal itu pun tidak lantas mengurangi kenyamanannya.

Di meja melingkar berisikan lima orang pada tengah ruangan hanya diramaikan oleh Ira dan Frisanti yang saling berbincang menimpali. Sisanya tampak sibuk menyantap makanan yang dihidangkan sekaligus menyimak. Yasa berhalangan hadir sebab harus menyelesaikan pekerjaannya yang sempat ketunda karena kepergiannya keluar negeri kemarin. Dira pun izin tidak bisa datang karena kakinya terkilir saat berolah raga, sebagai gantinya Arsa—sang suami—yang mewakilkan seorang diri.

"Jadi gitu loh, nak Arsa. Sekitar lima bulan lagi akhirnya Tante bakal punya mantu juga, tolong sampaikan ya ke orang tuamu terutama Nisa." Ira tersenyum sopan dan ramah. Hari ini ia tetap memakai baju batik kesukaannya berwarna pastel.

"Pasti nanti Arsa sampaikan ke mama." Arsa pun mengulum senyum simpul seraya mengangguk pelan kemudian membetulkan letak kacamata. Sekadar berbasa-basi. Kalau bukan karena sang ayah yang memaksanya datang, ia juga enggan menghadiri acara makan bersama yang terkesan memojokkannya seperti ini.

"Terima kasih," sahut Ira dengan manis. Raut wajah bahagia tak luput terbingkai di sana.

"Kebetulan saya dan Rindu sudah kenal sejak lama, Tante. Sekitar dua tahun yang lalu." Pria itu menoleh ke arah Lanang dengan senyum yang ditarik semakin tinggi. "Dulu nyawa saya diselamatkan oleh Rindu dan nggak nyangka kami bisa bertemu lagi sekarang. Oh iya, beberapa waktu yang lalu kami juga sempat ketemu di kafe dan berbincang sebentar. Iya kan, Rin?" Setelahnya pandang itu terlempar ke Rindu.

Lanang menaikkan sebelah alis seraya melirik Rindu yang duduk tepat di sebelahnya. Frisanti pun mulai mencium aroma orang terbakar cemburu, kuasanya lantas memilih untuk menyumpit cucumber pickles, berusaha tidak peduli. Ira diam-diam memperhatikan. Senyum sumringah perlahan surut. Bola matanya bergerak menelusuri wajah anak laki-lakinya, Rindu kemudian Arsa secara bergantian. Tampaknya situasi menjurus sedikit gawat.

Dumpling yang menggantung di mulut Rindu seakan sulit sekali untuk digigit. Mendapati beberapa pasang mata memperhatikannya begitu, membuatnya menaruh sisa makanan ke piring. "Um, iya. Tapi cuma sebatas kenal secara nggak sengaja kok dan nggak sedekat itu juga." Ia mengulum senyum simpul, membalas tatapan Arsa dengan santun.

"Saya senang kita bisa jadi keluarga, Rin." Arsa menambahkan. Entah terdengar jujur atau ada maksud lain di baliknya.

Sepertinya hobi Rindu menyelamatkan orang memang benar adanya. Dari sekian ratus juta jiwa manusia kenapa harus Arsa juga yang mendapat pertolongan? Poin itu rasanya sedikit disayangkan oleh Lanang. "Saya permisi ke toilet dulu ya."

Rindu memperhatikan kepergian Lanang dengan setitik rasa berat di hati. Kenapa sih Arsa pakai ungkit hal itu segala disaat seperti ini? Seakan mengumandangkan perang.

Berselang sepuluh menit situasi di sana masih terasa canggung. Dehaman Ira menjadi pusat fokus sekarang. "Aduh maaf, setelah ini Mama harus datang ke acara pernikahan kolega. Mungkin sekian dulu ya nak Arsa. Kamu bisa langsung pulang."

Arsa tersenyum tipis penuh kemenangan meskipun diperlakukan seperti itu, terang-terangan di usir. "Kalau begitu saya pamit dulu ya Tante, Frisanti." Ia menepuk punggung belakang Rindu dengan lembut. "Sampai jumpa lagi, Rindu."

Selepas kepergian Arsa, Frisanti langsung menyenggol Ira beberapa kali. "Ma, acara ini kayaknya malah jadi bumerang deh," bisiknya.

Menurut Ira, makan bersama barusan berakhir kurang mulus. Siapa yang menduga jika Arsa ternyata sudah sempat mengenal Rindu sebelumnya dan melihat respon Lanang, anak itu pun baru mengetahui fakta yang ada.

"Hush. Sudah terlanjur juga. Tapi sikap Arsa tadi kok janggal ya? Pakai pegang-pegang begitu." Ira menatap kepergian Arsa dengan kesal. "Pokoknya kita harus pantau terus, sayang."

Pikiran Rindu mendadak penuh. Ingin rasanya tenang dan tidak memedulikan kejadian barusan, tetapi rasa bersalah yang tumbuh sangatlah mengganggu. Sisa dumpling di piring sudah tidak menggugah seleranya. Tendas tertoleh. Setelah beberapa menit Lanang belum juga kembali dari toilet, kenapa lama sekali?

"Oh iya, Rindu. Senin malam kamu bisa nggak ke rumah buat makan bareng? Nanti bertiga saja tanpa Lanang. Jadi hanya Mama, kamu, dan papa. Itu saja kok syaratnya, biar papa juga merasa dihargai," tutur Ira dengan lembut.

***

"Ada perlu apa lagi?" Suara rendah Lanang terdengar tidak ramah.

Di dalam toilet laki-laki, Arsa sangat niat menghadang Lanang. Senyuman yang dibuat-buat terkesan meremehkan. "Akhirnya waktu gue untuk bersombong ria sudah tiba. Selama ini gue cuma bisa diam karena belum dapat target yang cocok."

"Oke. Lalu?" Lanang hanya pura-pura bodoh mendengarkan celotehan Arsa. Ia tahu betul siapa target yang dimaksud.

"Sekarang to the point aja. Mau tukeran istri nggak? Lo ambil aja Dira, dan Rindu buat gue." Ucapan Arsa barusan terdengar tanpa beban. Kata istri bila diucapkan dari bibirnya terdengar seperti barang yang dapat ditukar tambah. Sangat tidak bermoral.

Bagusnya Lanang memiliki pengendalian emosi yang sangat baik bila bertemu dengan situasi seperti ini. Arsa sedang memancing amarahnya. Bisa saja sekarang tinjunya melayang hingga mengoyak rahang Arsa tanpa ampun, tapi itu bukanlah tindakan yang benar. Lanang tidak ingin menambah murka sang ayah jika namanya muncul di artikel berita karena sudah menghajar sepupunya sendiri.

"Coba pikir aja pakai otak kecil lo yang tumbuh di dengkul," Lanang menyunggingkan senyum tipis, "gue sama Rindu akan menikah, dan dia bukan Dira yang bisa semudah itu lo rebut hatinya."

Arsa memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung celana sambil terkekeh pelan. Kedua kakinya bergerak perlahan mengitari Lanang. Merasa besar kepala. "Ya ... coba lihat saja nanti? Dulu juga nggak semudah itu merebut hati Dira. Yang dibutuhkan adalah celah, Bro. Soal cewek, keberuntungan selalu berpihak ke gue."

"Arsa, Arsa," Lanang tertawa pelan, "seperti kata lo tadi, kita lihat saja nanti." Setelah itu ia langsung beranjak dengan tegas keluar dari toilet.

Status pernikahan Lanang kelak dengan Rindu pasti tidak akan mempengaruhi niatan Arsa untuk berhenti sampai benar-benar mendapatkan gadis itu. Seperti yang selama ini Lanang lakukan dengan Dira. Sangat masuk akal jika Arsa ingin membalas perbuatannya. Memang sudah seharusnya Lanang menghentikan rencana lama itu dan berganti dengan yang baru yaitu memenangkan hati Rindu.

Langkah Lanang terhenti kala gawainya bergetar. "Gimana, Ga?"

[Nang, lo ngga akan percaya sama informasi yang gue dapat.]

"Sepertinya ada kabar baik?" Fokus Lanang sambil memperhatikan sosok Rindu dari jauh.

[Correct. Gue kirim file-nya ya.]

Panggilan itu selesai setelah Lanang berterima kasih. Tidak lama ada pesan masuk dari Auriga. Dengan sigap ibu jarinya menekan file untuk diunduh. Ketika membaca isinya, kedua mata Lanang terbuka semakin lebar, seperti tidak percaya dengan informasi yang baru saja ia dapatkan. Pandangnya pun beralih pada Rindu yang sedang memperhatikan sekeliling hingga tanpa sengaja fokus mereka saling bersinggungan; enggan terputus. Lanang pun menaruh gawainya kembali ke dalam jas hitamnya seraya berjalan menghampiri.

"Mama ke mana?" Dengan tenang Lanang kembali duduk di sebelah Rindu. Ia bertanya kepada Frisanti.

"Mama ada acara ke pernikahan kolega, jadi udah pergi duluan," jawab Frisanti seraya meraih tas kecil miliknya. "Ya udah gue juga ada janji sama temen. Mas Lanang, gue titip Rindu. Jangan sampai lecet loh ya. Byeee." Sebelum pergi gadis itu mengerling pada Rindu.

Lanang menoleh ke arah Rindu, rupanya gadis itu masih menatapnya tanpa bersuara. "Mau langsung pulang atau lanjut makan?"

"Lanjut makan," tanggap Rindu dengan cepat lalu menyahut piring kecil dan sumpit. Ia bergeming sejenak kemudian menoleh lagi. "Makanannya masih banyak, terus ini enak banget. Boleh kan?"

Lanang tidak ingin mengulum senyum kecil, tetapi bibirnya mengkhianati. "Iya boleh. Silakan."

"Kamu nggak lanjut makan?" tanya Rindu dengan hati-hati sembari menyumpit steamed rice rolls lalu menggigitnya.

"Sudah kenyang lihat kamu makan." Sekarang Lanang lebih memilih memperhatikan Rindu seraya menambahkan dumpling ke piring gadis itu. "Rin. Maaf kalau kesannya memaksa, tapi mulai sekarang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan Arsa, kamu harus cerita ke saya."

Rindu sekilas menatap Lanang kemudian mengangguk paham. "Aku tuh udah mau cerita tentang Arsa kemarin, tapi kamu malah ... cium aku," belanya dengan sedikit terbata. "Tapi, kamu sendiri bisa nggak ngelakuin hal serupa soal Dira? Aku tau kamu belum bisa move on tapi seenggaknyaー"

"Saya sudah sepenuhnya move on dari Dira," jujur Lanang dengan yakin.

Tentu saja Rindu tidak percaya dengan penuturan Lanang barusan. Ia memandang pria itu dengan tatapan 'secepat itu? dia kerasukan apa?' terpancar dari dua mata bulatnya.

"Jadi, kamu mau dengar dari mana? Saya akan ceritakan semuanya." Lanang duduk miring menghadap Rindu seraya menyunggingkan senyum kecil penuh arti.

***

Pojok Author 🍯:

Jangan lupa tinggalkan jejak, honey. Semoga hari bahagia selaluuu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top