16: Kita

"Kamu keluar duluan saja," bisik Lanang dengan pandang tertuju lurus pada Gala. Ekspresi tidak kalah dingin terukir pula di wajahnya.

Muncul rasa gelisah, jantung Rindu berdebar terasa tidak enak. Fokusnya terlempar ke Ira yang berusaha menahan tubuh Gala. Memeluk dari samping. Kuasa wanita paruh baya itu mengelus lengan atas sang suami berniat menenangkan.

Sejujurnya Rindu ingin menemani Lanang di sana. Bukan karena perlu tahu permasalahan keluarga mereka, melainkan jadi saksi emosi Gala kalau saja melakukan tindakan yang tidak diinginkan. Tempramennya sangat buruk dan itu cukup berbahaya. Namun sayangnya, Rindu tidak punya hak atau pun kepentingan untuk berada di sana.

"Aku tunggu di luar ya." Rindu terpaksa melangkahkan kaki dengan cepat menuju pintu rumah tanpa berpamitan.

"Kamu masih berani menginjakkan kaki di sini? Kalau ada yang perlu dibicarakan, ya di kantor saja!" Suara Gala semakin meninggi. "Atau kamu ke sini mau bunuh saya, Lanang? Iya?" Kalimatnya terdengar seperti racauan hingga Rindu berhasil keluar dan tidak mendengar kelanjutan percakapan mereka.

Cara Gala memandang tadi penuh dengan kebencian. Hubungan harmonis ayah dan anak seolah sirna, pria paruh baya itu seperti sedang memandang seorang tersangka pelaku pembunuhan. Rindu menarik napas dalam-dalam, memenuhi rongga dada dengan udara menyesakkan. Ia duduk di tangga luar rumah, keadaan disekitar sangat sunyi. Kegelisahannya terjawab ketika Gala muncul tadi. Akhirnya Rindu bertemu hambatan juga.

Tidak berselang lama Lanang muncul dari balik pintu utama, benda itu tertutup hingga berbunyi sangat keras. Hening tersentak kaget seraya menoleh ke belakang. Bersamaan dengan itu Boni datang dan berbicara sebentar dengan Lanang.

"Rindu, ayo," titah Lanang sembari menghampiri Rindu. "Biar Pak Boni yang nyupirin sampai apartemen. Biar nanti beliau pulang naik ojek daring."

Rindu menurut. Keduanya memasuki mobil kala benda roda empat itu menghampiri, lalu mulai melaju perlahan. Di kursi penumpang Rindu memperhatikan Lanang yang duduk tepat di sebelahnya. Entah apa yang terjadi di dalam rumah tadi. Walaupun ekspresi pria itu tampak tenang, gurat kesedihan tetap saja terlihat jelas. Fokus yang tadinya tertuju pada luar jendela, kini memilih untuk memejamkan mata. Memujit pangkal hidung dengan kuasa kanannya. Punggung tangan pria itu berubah kebiruan, ruam yang semulanya tidak ada menyedot atensi Rindu. Seketika banyak pertanyaan yang muncul pada benak.

"Maaf Pak Boni, boleh tolong ambilkan salep di dashboard?" Rindu mencondongkan tubuh sambil menunjuk sopan tempat penyimpanan yang dimaksud.

"Oh iya, ini Non." Dengan sopan Boni memberikan salep itu kepada Rindu.

"Terima kasih Pak Boni." Rindu mengulum senyum kecil. Tanpa persetujuan Lanang, ia meraih tangan pria itu lalu mengoleskan salep dengan perlahan.

Lanang membuka kedua matanya. Memperhatikan Rindu yang dengan telaten mengobati tangannya yang lebam. "Papa pulang lebih cepat. Saya ngga memprediksi itu."

"Memangnya cukup minta restu ke mama aja?" tanya Rindu masih menunduk. Seharunya saat bertandang ke rumah tadi yang cemas setengah mati itu Lanang sendiri. Anehnya, sejak awal pria itu masih bisa terlihat tenang. Pikirannya sungguh positif. Siapa sangka yang tidak diingankan justru hadir lebih awal?

"Ngga perlu diskusi sama papa. Lagian hubungan kami sekarang hanya formalitas, sebatas atasan dan pegawai." Punggung tangannya terasa sejuk sekarang. "Urusan dia setuju atau ngga, ada mama yang membujuk."

Tangan Rindu selesai dengan kegiatannya. Entah kenapa kalimat Lanang membangkitkan semangatnya untuk menaklukan big boss agar mendapatkan restu. Justru hal itu menjadi tantangan baginya. Di sisi lain, penuturan Lanang soal sang ayah terdengar sangat kaku. Apakah hubungan dingin itu sudah terjalin cukup lama?

"Aku nggak nyangka mama langsung nerima hubungan kita begitu aja. Kamu bicara apa aja ke beliau? Nggak direkayasa aneh-aneh kan, kayak lulusan luar negeri atau anak dari orang kaya juga?" selidik Rindu dilandaskan rasa penasaran.

"Mama punya pandangan yang lebih terbuka, beliau ngga melihat dari status sosial atau latar belakangmu. Kepribadianmu itu yang bakal jadi pertimbangan terbesar dia. Gimana kamu menyikapi sesuatu, seberapa besar kamu sayang sama saya dan keluarga, hal-hal semacam itu. Tapi beda lagi kalau kamu tanya soal papa, kamu bisa menilai sendiri nanti walaupun sebenarnya itu ngga penting."

"Kenapa Mas Lanang masih bertahan di perusahaan ayah?" tanya Rindu dengan hati-hati sambil menatap Lanang. "Maksudku, dengan kemampuanmu kayaknya sangat bisa kalau mau membangun perusahaan sendiri atau udah terlalu telat ya untuk memulai dari awal lagi?"

Prestasi yang Lanang sumbangkan selama menjabat di PT. Lakespangan Jaya Abadi sudah tersebar luas di internet. Mulai dari kerja sama bisnis yang selalu berjalan lancar hingga pernah menyelamatkan perusahaan dari masa kritis hampir bangkrut. Ialah otak di belakangnya. Meski nama yang bersinar tetaplah Yasa Lakeswarakakak pertamanya—yang tanpa disadari menjadi wajah dari perusahaan.

"Ngga ada kata telat buat mencoba atau memulai sesuatu." Lanang sejenak bergeming. Bibirnya seakan berat untuk sekadar bergerak, ada banyak alasan yang membebaninya. "Simpel, semuanya karena keberadaan mama. Sebetulnya ngga masalah saya tidak diakui keluarga lagi sama papa atau terkesan kekanakan dicoret dari KK, tapi saya pikir dengan mengasingkan diri justru bisa memperburuk hubungan ke anggota keluarga yang lain. Saya punya ibu yang selalu mendukung, kakak yang bijak dan adik angkat yang baik. Jangan sampai mereka kena imbasnya karena di sini saya cuma berselisih dengan satu orang."

Rindu mengerjap pelan, mata bulatnya terlihat menggemaskan saat sedang serius menyimak dengan menelengkan kepala. Sekarang hatinya terasa berat. Tanpa sadar ia mengelus tangan Lanang untuk menenangkan, tendasnya pun bergerak mengecup pipi pria itu.

Kuluman tipis yang hadir pada bibir Lanang nyaris tidak terlihat. "Rin, Pak Boni iri tuh ngeliat kita." Ia menunjuk ke depan dengan menggerakan dagu sekilas.

Boni tertawa lepas. Dari kaca kecil di tengah mobil ia tersenyum sumringah. "Non Rindu kelihatan sayang banget ya sama Pak Lanang."

Dengan panik Rindu menutup bibirnya dengan tangan sambil menahan malu. Telinganya tampak kemerahan sekarang, sedikit salah tingkah. "Ng-nggak kok, Pak."

Daya tarik magnet pipi Lanang kenapa tiba-tiba jadi kuat banget sih!

***

"Jam segini Mbak Frisanti masih di studio ya Mas?" tanya Hening ketika memasuki apartemen. Mengingat pekerjaan Frisanti sebegai desainer baju pengantin membuatnya sibuk berkutat membuatkan pesanan di sana. Frisanti sendiri sudah berjanji untuk mengajaknya ke studio, tetapi belum sempat. Sampai saat ini, Rindu hanya bisa melihatnya lewat media sosial. Bagaimana kegiatan di sana dan lain sebagainya yang terlihat cukup menegangkan sekaligus menyenangkan.

"Sudah pulang mungkin," tanggap Lanang singkat. Fokusnya masih pada gawai lalu bergeming pada ambang pintu. "Rindu. Saya tinggal dulu ya, ada urusan sebentar. Ngga lama."

Pintu kembali tertutup pelan bersamaan dengan hilangnya presensi Lanang. Rindu bahkan tidak sempat melayangkan pertanyaan. Padahal tadi katanya pusing, sekarang malah pergi keluar begitu saja. Gadis itu mengdengkus. Masa bodoh juga membiarkan Lanang yang terlihat tergesa-gesa meninggalkan Rindu entah bertemu siapa.

***

Ini adalah kesempatan emas yang tidak akan Lanang lewatkan. Seharusnya begitu niatan awalnya untuk bersedia datang ke apartemen Dira secara terang-terangan. Maksud buruk untuk tampil sebagai pemenang hati Dira di hadapan suami gadis itu adalah momen yang selalu ia tunggu. Namun, ternyata semua tidak berjalan sesuai ekspektasinya. Pesan singkat Dira ternyata hanya pancingan saja.

Di dalam apartemen, Dira menyambut Lanang seperti biasa. Mencoba menarik perhatian dengan mengenakan bra hitam yang menampung dua gunung kembar penuhnya, bersanding dengan g-strings berwarna senada sangat elok menempel pada tubuh langsingnya. Hanya luaran transaparan berwarna hitam yang menjadi penghalang pemandangan itu. Sungguh menggoda.

"Kamu bilang suamimu lagi ada di sini?" Ekspresi Lanang terlihat tenang. Tubuhnya bersandar pada dinding dekat pintu apartemen, kedua lengan pun terlipat ke depan.

"Arsa belum pulang. Cowok gila kerja kayak dia mengingatkan aku sama seseorang deh." Dira menyentuh lengan kekar Lanang dengan lembut, dari kiri ke kanan mengagumi tonjolan otot yang terlihat karena lengan kemejanya terlipat hingga ke siku. "I've been thinking of you."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top