15: Permata Berharga

Kamar mandi minimalis menjadi saksi penyatuan mulut mereka. Rindu menyambut Lanang dengan perasaan ragu, perlahan meremas kemeja pria itu kala bibir mulai dipagut lembut. Satu kesalahan fatal tengah dilakukannya. Sedikit membuka jalan memberikan kemudahan bagi lidah Lanang untuk bergerilya di dalam. Cukup lama ia melumat, sesekali menggigit bagian bawah. Tangannya menekan tengkuk Rindu agar lebih menengadah, pun deru napas saling bersahutan menaikkan hasrat pada diri.

Cukup. Lanang memilih menghentikan aksinya. Memberi jarak sembari mengatur gejolak yang timbul. Pikirnya, tidak sekarang untuk melakukan hal itu lebih jauh.

Rindu mencengkeram kemeja Lanang semakin kuat. Dadanya bergerak naik-turun untuk meraup lebih banyak oksigen. "Kamu bilang apa ke bu Erna sampai beliau nggak keliatan curiga?"

"Curiga untuk apa? Saya bilang apa adanya kalau kita saling suka, terutama kamu yang confess duluan."

Rindu mengdengkus. "Bagus. Aku jadi keliatan gampangan di mata bu Erna dan kamu terlalu percaya diri banget."

"Bu Erna ngga mungkin berpikiran seperti itu, apa lagi soal kamu. Beliau orang yang bijak." Tangan Lanang bergerak naik, ibu jarinya mengusap bibir bawah Rindu yang membengkak.

Tatapan Lanang saat ini sulit Rindu artikan dengan jelas. Ekspresi minim yang diagihkan cukup membuatnya bingung untuk menerka apa yang sedang pria itu rencanakan.

"Poin terpentingnya, setelah kita menikah nanti derajatmu bakal terangkat lebih tinggi. Duniamu pasti berubah seratus delapan puluh derajat dan kamu harus siap. Saya akan ubah kamu jadi permata berharga, Rindu."

***

Manik hitam Rindu memindai bangunan di hadapannya dengan takjub meski wajahnya saat ini tidak ekspresif. Sekuat tenaga mengatupkan bibir rapat-rapat mencoba menutupi kegugupan. Rumah bak istana negeri dongeng yang dulu setiap malam sering ia dengar dari mendiang sang ayah rupanya betulan ada. Bukan. Ia memang sering melihatnya di internet, tapi siapa sangka akan betulan menjejakkan kaki di sana.

Rumah mewah tingkat satu di daerah Pantai Indak Kapuk ini terlihat sangat megah dengan arsitektur seperti di kerajaan. Desain eksteriornya dihiasi pahatan klasik yang rumit dan dibalut dengan warna cat dinding perpaduan putih dan emas terlihat seperti masih baru. Perawatan hunian sangat terjaga juga terasa dari bersihnya halaman luas serba hijau yang terpampang indah. Rindu berani bertaruh tidak ada daun kering yang berjatuhan.

Rindu layaknya debu kecil yang tidak sengaja singgah di sana. Perbedaan status sosial tampak sangat kontras bila disandingkan dengan kehidupannya. Jika cerita mendiang sang ayah benar, seharusnya ia juga berhak atas kekayaan ini bukan? Sayangnya sampai saat ini hanya terdengar seperti bualan belaka.

"Permisi Non, Bapak boleh minta kunci mobilnya?"

Suara pria paruh baya mengalihkan fokus Rindu untuk menoleh. "Oh, maaf. Ini tolong ya Pak, terima kasih." Ia memberikan kunci mobil Lanang kepada satpam yang kini sedang mengulum senyum hangat.

Satpam yang terlihat rapi mengenakan seragam bertugas lantas mengangguk sopan. "Sama-sama Non."

"Terima kasih ya Pak Boni." Lanang berdiri di samping Rindu setelah turun dari mobil. Wajah pucatnya terpaksa menyunggingkan senyum, lalu beralih ke gadis di sebelahnya sembari menyusutkan ekspresi ramah. "Lain kali mendingan kamu ngga usah nyupir."

"Loh, katanya kecapekan? Ya mendingan aku lah yang nyupir, dari pada kenapa-napa di jalan hayo?" bela Rindu sembari menyilangkan kedua tangan.

"Iya, tapi ... sudahlah, saya lagi ngga mau ribut. Ayo masuk dulu." Lengan Lanang ditahan oleh Rindu, membuat pria itu menoleh sembari menunduk. Alisnya terangkat sebelah butuh penjelasan.

Rindu mendekatkan tubuh, pikirannya kini sibuk memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi nanti di dalam sana. "Aku kira kamu bakal ngajak ke salon atau butik. Minimal mandi dulu kek! Malah langsung ke sini."

"Kamu itu mau ketemu Mama, bukan mau rapat. Ngapain rapi-rapi amat?"

Rindu memukul lengan atas Lanang cukup kencang. "Justru itu! Beneran nggakpapa aku kucel kayak gini?" Ia mengendus tubuhnya sendiri. "Udah aku semprotin parfum tapi kan tetep aja bau asem. Nanti gimana kalau dikira nggak niat?"

Tendas Lanang menunduk rendah, menghirup aroma leher Rindu. "Wangi kok, aku suka." Lengannya pun melingkar pada pinggang Rindu dengan kasual. "Ngga perlu gugup, yang penting kamu ingat semua penjelasan tadi di mobil soal keluarga saya. Sisanya mengalir saja."

"Siapa juga yang gugup." Rindu menekan rasa gelisah yang muncul, bersyukur pelukan Lanang sedikit meringankan hatinya. Sepertinya mereka sudah gila untuk benar-benar menikah kelak.

Pintu kayu jati besar cat putih di hadapannya perlahan dibuka oleh Boni yang baru saja kembali. Ia mempersilakan keduanya untuk masuk. Lanang dengan tenang melangkahkan kakinya, diikuti Rindu yang sibuk menyisir barang-barang apik nan berkelas yang menyambut. Gadis itu tertegun, isi di sana adalah penjabaran dari bentuk luar rumah yang sedemikian rupa. Benar-benar tidak diragukan lagi.

Mulai dari guci keramik china yang menghiasi setiap sudut ruangan. Ada pula wayang kulit terpajang pada dinding dekat sofa cokelat leter L. Beberapa batasan ruangan terbuat dari kayu Jepara dengan motif daun trubusan dan jumabai, sangat elegan. Sayangnya, baru secuil Rindu dapat mengagumi kemegahan yang tersaji, sosok Ira langsung menutupi pandangnya dengan sebuah pelukan erat.

"Rindu! Aduh akhirnya ketemu kamu juga!" seru wanita paruh baya yang menggelung rambutnya rapi ke belakang. Ia memakai atasan batik putih rapi lalu terusan rok hitam panjang. Ira pun memberi jarak kemudian menatap Rindu dengan tarikan bibir lebar. Tampak sangat riang.

Sedikit syok sambil salim, Rindu tidak menyangka akan disambut sangat baik oleh Ira yang ia yakini adalah ibunya Lanang. Gadis itu sontak mengulum senyum canggung, lalu perlahan segera diperbaiki menjadi ramah; terkesan manis. "Um, terima kasih, Tante. Saya Rindu"

"Loh, ini lebam kenapa sayang?" Nada suara Ira terdengar cemas.

"Ini tadi nggak sengaja kena lempar mainan di Panti, Bu. Tapi sudah diobati pakai salepnya Mas Lanang."

"Aduh, lain kali hati-hati loh. Oh iya, panggil Mama aja, oke?" Ira dengan semangat menuntun Rindu untuk duduk di sofa. "Lanang dan Frisanti sudah cerita banyak tentang kamu, Rindu Sediakala kan? Namanya cantik banget seperti orangnya." Ira menoleh ke Lanang yang menyusul duduk di sebelah Rindu. "Buat yang sekarang, Mama langsung merasa cocok loh sama Rindu, Nang."

"Syukurlah." Lanang melirik Rindu. Meski gadis itu berusaha tenang, tapi tetap saja terlihat kaku. "Mama tuh jangan heboh banget, kasihan itu Rindu nervous."

"Ah, nggak perlu nervous Rin. Mama ya kayak gini orangnya dan nggak perlu alim atau basa-basi gitu. Cukup calon suamimu saja yang kaku kalau bicara, kamu jangan," sindir Ira yang tertuju pada Lanang. "Mama mau lihat kamu tuh orangnya kayak gimana, pokoknya jangan ditahan, oke?" jelasnya ditutup dengan tawa ringan.

"Iya, Bu. Eh, Ma." Rindu mengulum senyum malu-malu. Aura positif yang terpancar dari diri Ira sungguh buat nyaman. Sifat keibuan serta sangat mengayominya berhasil menyentuh hati. Bahkan tidak ada celetukan pedas dari bibir Ira mengenai pakaian kantor sederhana yang sedang Rindu kenakan atau pun protes soal bau keringat.

Ekspresi Ira berubah khawatir saat memperhatikan Lanang. "Kamu juga kenapa nak? Kok pucat gitu wajahnya?"

"Kecapekan habis main sama adik-adiknya Rindu di panti, tapi paling parah ya karena supirannya dia." Lanang menoleh ke Rindu. Gadis itu sontak menatap Lanang penuh peringatan, tapi jadi terlihat lucu.

Ira terkejut mendengar penuturan Lanang. "Kamu bisa ngendarain mobilnya Lanang, Rin? Sangar betul. Belajar di mana?"

"Dulu belajar pakai mobilnya ibu panti, Ma. Terus sedikit-sedikit cari tahu ke Mbak Frisanti juga, sisanya ngandelin feeling, hehe."

"Ngga Lanang izinin lagi sih Ma. Aku kapok, setirannya halus banget, bikin pusing," celetuk Lanang bermaksud menyindir. Mengingat sepanjang perjalanan tadi yang harusnya bisa istirahat, malah mengarahkan Rindu arah jalannya. Gadis itu tidak bisa membaca map, belum lagi sulit membedakan kiri dan kanan. Ditambah setiran yang tidak halus sampai membuat Lanang terus memperingati Rindu. Alhasil pria itu jadi bekerja ekstra hingga kepalanya berdenyut sakit.

Tawa Ira menggema. "Eh, jangan gitu. Kamu ajari Rindu dong sampai bisa. Keren loh perempuan mau belajar mobil." Dua tangan Rindu kemudian digenggam lembut oleh Ira. "Kamu ke sini buat minta restu kan? Tenang saja, sudah Mama restuin dari kemarin."

Pintu utama seketika terbuka. Menyembul masuk sosok pria paruh baya seumuran Ira lengkap dengan atasan baju batik abu dan celana kain hitam. Bunyi langkah tegas terbalut sepatu kulit itu menjadi perhatian Rindu, Lanang, dan juga Ira. Mereka menoleh berbarengan.

"Kamu sudah pulang, sayang?" Ira segera beranjak menghampiri suaminya-Gala Lakeswara. Pria paruh baya itu perlahan menghentikan langkah tanpa membalas kalimat Ira, fokusnya menatap tajam Rindu dan Lanang secara bergantian.

Berbanding kebalik dengan sang istri, Gala terkesan dingin dan angkuh. Tidak ada senyuman yang terukir pada wajah. Iris hitamnya terlihat persis seperti Lanang, wajah mereka pun hampir serupa, bagai pinang dibelah dua. Hanya berbeda di bagian rambut yang tersisir rapi ke belakang, helainya hampir keseluruhan putih, juga keriput yang tampak jelas.

Rindu pun sontak berdiri untuk beri sambutan, menghadirkan senyum sopan pada rupa. "Selamat malam, Om. Saya-"

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Gala menghujam Lanang dengan kalimat tegas nan menusuk. Jauh dari balasan hangat, tidak ada basa-basi. Bahkan kalimat Rindu hanya dianggap seperti kicauan burung yang lewat.

Lanang baru saja ikut berdiri seraya memegang tangan Rindu. Hangat genggaman itu memberikan sinyal agar tidak melanjutkan kalimat. "Ma, Lanang pulang dulu ya."

"Saya lagi bicara sama kamu, Lanang!" Bentakan keras Gala memenuhi ruang tengah yang mulanya tenang. Amarah terlukis jelas pada rupa, wajahnya langsung merah padam sebab merasa terabaikan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top