12: Wanita Itu

Mereka pun tiba di apartemen Lanang dengan selamat meski sebelumnya sempat terjadi perdebatan. Hal kecil seperti siapa yang menyupir memakan waktu hampir lima belas menit lebih hingga pada akhirnya Lanang memenangkan argumen.

"Mas. Ngapain jongkok di situ? Ada sofa nganggur buat di dudukin." Rindu menutup pintu apartemen dan menguncinya kemudian membungkuk untuk mengecek keadaan Lanang.

"Pusing. Tolong ambilkan minum."

"Tuh kan dibilangin ngeyel, mending tadi aku aja yang nyupir." Dengan sigap Rindu berlari kecil ke pantry. "Gelasnya kok nggak ada? Pada pindah ke mana?"

"Laci sebelah kananmu." Perlahan Lanang pun berdiri seraya mengernyit mempehatikan Rindu yang masih bingung mencari keberadaan gelas. "Itu laci kiri. Saya bilang kan laci kanan."

"Oh, kanan yang ini."

Lanang menyilangkan kedua tangannya ke depan dengan ekspresi penuh tanya hingga Rindu datang menyodorkan segelas air mineral. "Kamu ngga tahu kiri dan kanan?"

Rindu menggeleng ringan. Tangannya semakin terulur agar Lanang segera menerima gelas itu. "Cepet diminum, tanganku pegel nih."

Kekehan terdengar samar seraya menerima gelas. Lanang tidak percaya Rindu yang tak tahu kiri dan kanan dengan percaya diri mengajukan ide untuk jadi supir. "Nyawa saya selamat." Ia pun melenggang menuju ruang tengah.

"Sama-sama," sindir Rindu seraya mengekor. "Tapi aku betulan bisa nyupir ya! Cuma kiri kanan kan bisa pakai feeling. Lagian nggak penting amat kok."

"Ya penting. Kamu bisa aja nyasar kalau tiba-tiba ada rekayasa lalu lintas. Misal, kamu diarahin—"

Rindu mengecup pipi Lanang sambil menarik kuasa sang pria yang sedang menggenggam gelas. "Katanya pusing, tapi masih aja bawel. Jadi keinget mendiang ayahku," bisiknya dengan pelan kemudian mengulum senyum manis. "Minum dulu habis itu kita tidur, ya?"

Rasanya Lanang enggan merespon penolakan jika kalimat itu terucap dari bibir mungil Rindu ditambah suara rendahnya membangkitkan sesuatu pada diri Lanang. Pandangnya fokus pada titik itu sembari meneguk air lalu diletakkan ke meja.

"Kantung matamu keliatan lagi." Rindu menyentuh bagian bawah mata Lanang dengan jemari lentiknya sambil mengikis jarak. Kuasanya lalu menyentuh kerah baju pria itu.

Begitu pun Lanang yang mendekatkan tendas ke telinga Rindu. "Kalau kamu begini yang ada malam ini saya ngga bisa tidur." Detik setelahnya badan Rindu mengudara, berakhir di pundak Lanang. Sang gadis pun memekik kaget sampai ke kamar kemudian Lanang merebahkan tubuh ringan itu di ranjang.

"Bisa nggak sih kasih prolog dulu? Mentang-mentang aku enteng ha?" Bibir Rindu merengut, jantungnya hampir saja copot sebab tiba-tiba diangkat bak karung beras.

Lanang yang menindih tubuh Rindu hanya terkekeh sebagai respon. "Siapa bilang kamu enteng?" Ia merendahkan tendas kemudian mendaratkan kecupan pada ujung mata Rindu. "Setiap dekat kamu rasanya ngantuk terus."

"Bagus dong. Memang disuruh tidur." Rindu mengalungkan kedua lengan pada leher Lanang setelah memberikan sebuah cubitan di pundak. Ia mengubah posisi mereka menjadi tidur menyamping saling berhadapan. "Tapi aneh, hari ini kenapa ya perasaanku nggak enak."

"Lapar? Mau makan dulu?" Lanang memejamkan kedua mata letihnya seraya memeluk Rindu.

Rindu menggeleng. "Aku mau liat kamu tidur."

"Nanti jangan dimatikan lampunya ya."

"Aku nggak bisa tidur kalau lampunya masih nyala," tanggap Rindu.

Perlahan Lanang kembali membuka mata. "Selama ini bisa tidur sampai ngiler, itu yang kamu bilang ngga bisa tidur?"

Rindu memutar matanya kesal. "Pertama aku pingsan, kedua pingsan juga karena pengaruh alkohol. Kalau sekarang kan beda!"

"Kalau lampu dimatikan, saya ngga bisa napas." Dua manik hitam beserta ekspresi lelah Lanang tidak terlihat sedang bercanda. Sedangkan tatapan Rindu tampak tidak percaya. "I'm serious. Bukan karena takut hantu, tapi gelap bikin badan saya lemas terus sesak. Kamu tau? Kayak orang bengek."

"Kalau mati lampu gimana?" Rindu tanpa sadar merasa tertarik juga sedikit kasihan. Bertambah lagi fakta baru tentang Lanang.

"Setiap spot penting di apartemen ini pasti ada emergency lamp." Lanang mengeratkan pelukannya, menyembunyikan kepala pada ceruk leher Rindu sembari memejamkan mata.

Gawai Lanang berbunyi, ada panggilan masuk. Rindu pun menunduk ke sumber suara di dalam kantung celana pria itu. "Nggak diangkat?"

Lanang mengeluarkan gawainya tanpa minat mengecek kemudian diletakkan sedikit jauh pada atas ranjang. "Ngga penting." Ia pun kembali pada pelukan hangat Rindu. "Suaramu bagus kan? Coba nyanyi, Rin."

Entah sudah berapa kali ia mendapat pujian hari ini. "Suaraku mahal," kuasa Rindu mengelus rahang Lanang dengan lembut, "mau bayar berapa?"

Tidak ada jawaban. Rindu menunduk, jemarinya menusuk pelan pipi Lanang tanpa mendapatkan respon. Gadis itu pun bergeming, menangkap dengkuran halus yang menenangkan. "Makasih udah bicara ke ayahmu soal kelanjutan donatur." Tanpa disadari hembusan napas Lanang mulai menjadi candu. Memungkinkan dirinya jatuh ke belenggu yang ia buat sendiri.

Gelengan pelan dilaku Rindu hingga memilih beranjak dari ranjang menuju kursi di sofa. Tidak lupa ia mengikat rambutnya dan meraih gawai. Tirai di kamar ia buka seperempat, menampilkan pemandangan indah gedung-gedung Jakarta di malam hari beserta sinar dari lampu-lampu yang jadi pelengkap.

Kedua kaki Rindu terangkat, menekuk ke atas sofa dengan tubuh bersandar menyerong. Ia menghelas napas berat sembari mengunggah video yang sempat Frisanti rekam saat di kafe tadi. Lumayan, hari ini dapat konten. Namun, views-nya sempat menurun karena beberapa hari tidak aktif, ada pula beberapa todongan komentar yang meminta Rindu untuk kembali rajin aktif. Apa daya, manajemen waktunya tidak bagus.

User23245345: Kk klo ikut ajang pencarian bakat menyanyi psti menang. Nggk coba aj Ka?
User23245345: Lg dibuka loh pendaftaranny Ka

Begitulah isi salah satu komentar di sana, tetapi hanya Rindu respon dengan sebuah emoji senyum merona. "Gue nggak mau jadi penyanyi, tapi buka usaha katering," lirihnya.

Bel apartemen berbunyi beberapa kali, membuat Rindu melirik Lanang yang tidak kunjung membuka mata. Pria itu malah semakin pulas. Lantas Rindu terpaksa berjalan ke luar kamar, tanpa ada rasa curiga ia langsung membukakan pintu.

Rindu agak menengadah, menatap sosok wanita berambut hitam sebahu. Iris cokelatnya seakan menusuk manik Rindu dengan ekspresi tidak ramah. Dapat terlihat bila pakaian wanita itu sangat berkelas, dress mini merah muda memperlihatkan buah dada yang penuh tidak lupa lekuk tubuh indahnya terpampang jelas.

"Lo?" Wanita itu berkacak pinggang disertai sebuah kernyitan.

Rindu mengerjap bingung kemudian terbelalak ketika mengingat ciri-ciri wajah wanita itu. "Lo ... Mbak Dira kanaduh!"

Dira dengan kasar melepas ikat rambut Rindu. Ekspresinya tersenyum menahan amarah seraya mengangkat benda itu sebatas wajah. "Ini ikat rambut gue." Suara rendahnya terdengar gemetar.

Sinar manik Rindu meredup sambil membenarkan helaian rambutnya yang berantakan. Ini yang ia maksud dengan perasaan tidak enak tadi. Seketika lengannya ditarik paksa ke luar apartemen, belum lagi sebuah tamparan mendarat pada pipinya dengan sangat keras. Rasanya perbuatan itu berhasil membuat darah Rindu mendidih, pipinya pun menjadi kemerahan dan terasa panas.

"Emang nggak bisa ngomong baik-baik ya? Main nampar orang aja!" serang Rindu dengan suara nada tinggi.

Dira menepuk-nepukkan telapak tangannya terlihat jijik kemudian tersenyum simpul sembari berujar, "Cewek bayaran kayak lo sangat berhak buat ditampar." Ia berbalik lalu masuk ke dalam apartemen begitu saja.

Belum sempat Rindu membalas, pintu apartemen itu sudah tertutup rapat. Dengan gemuruh pada dada, Rindu menekan bel apartemen dengan gencar hingga pintu itu berhasil terbuka kembali. Namun, sebuah lemparan gawai tepat mengenai sudut mata Rindu hingga mengaduh. Tasnya pun dilempar sembarang arah oleh Dira.

"Cepet pergi dari sini atau dua orang gue yang bakal nyeret lo keluar?" Dira terlihat sedang menghubungi seseorang sambil mengatur ekspresi wajah agar tetap terlihat tenang. Tatapan angkuh pun diberikan.

Rindu seraya mengatur napas dengan cepat menyahut tasnya yang jatuh di lantai. Tatapan tajam tak lupa ia layangkan sebelum pergi sepenuhnya dari sana. Harga dirinya seperti diinjak-injak. Ia tidak akan menangis meski kepalanya kini terasa pening akibat benturan terhadap gawai. Kepala juga hati terasa berdenyut nyeri. Gadis itu pun mengambil langkah besar meninggalkan apartemen.

Sabar, Rindu. Akhirnya lo ketemu juga sama dia.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top