10: Sama Tapi Berbeda
Wangi aroma makanan menggoda indra penciuman Lanang ketika memasuki dapur. Sosok mungil yang tampak sibuk mencicipi masakan, membuat sang pria penasaran hingga datang mendekat. Sudah lama sekali ia tidak melihat seseorang meramaikan dapurnya di pagi hari.
"Kamu masak?"
Rindu menoleh diikuti anggukan ringan. "Makanya tadi aku nanya cara pakai kompor listrik." Ia menyendok sedikit kuah sup, meniupnya, lalu meminta Lanang mencicipi. "Coba deh kurang apa?"
Lanang meraih tangan kanan Rindu kemudian menuangkan kuahnya sedikit ke telapak tangan itu. Lidah sang pria menyapu pelan, membuat Rindu sekilas bergidik lalu menarik kuasanya.
"J-jorok! Kenapa harus pakai tanganku sih?" Tatapan galak diagihkan Rindu.
"Ingin saja," Lanang mengedikkan bahu sambil menengok sup buatan Rindu. "Your food is flavorful. You cook with strong spices. Sup telur?"
"Nggak ngerti kamu ngomong apa, tapi iya ini sup telur." Rindu mematikan kompor kemudian beralih mengambil mangkuk. "Awalnya mau aku pakein wortel, tapi nggak ada."
"Enak. That's good, saya ngga suka wortel." Lanang memperhatikan Rindu. Gadis itu harum, tadi sudah mandi duluan. Pakaian rapi kantor telah dikenan, rambut ikat satu ke belakang dan poni tipis menghiasi wajahnya yang bulat. "Kamu nemu semua bahan dan bumbunya, yang punya dapur aja nggak pernah nyentuh mereka."
"Telur, daun bawang, dan daun seledri ada di kulkasmu karena aku nggak mungkin minta ke tetangga. Gula, merica, penyedap rasa juga ada di rak bumbu." Rindu memberikan mangkuk sup itu pada Lanang. "Aku kira kamu bisa masak. Dapurmu lengkap banget, sayang kalau setiap pagi cuma makan roti bakar."
"Thanks. Saya cuma bisa bikin kue, roti, selain itu jangan harap bisa layak buat dimakan." Lanang berlalu ke kursi pantry seraya meraih sendok.
"Kebalikannya, aku gagal terus kalau bikin kue atau roti." Rindu akui brownies buatan Lanang memang sangat enak, manis cokelatnya pas dan terasa lembut saat digigit. Jujur saja ia sedikit iri dengan kemampuan itu. "Kapan-kapan bagi ilmunya dong."
"Di dunia ini ngga ada yang gratis. Barter sama ilmu yang kamu punya juga." Lanang tersenyum tipis seraya menyantap sup.
Dengkusan pelan dilaku Rindu seraya membawa semangkuk sup kemudian duduk disebelah Lanang. "Karena kamu udah terima sup buatanku, sekarang lanjutin penjelasanmu yang sebelumnya."
Tawa ringan suara bariton Lanang terdengar menggelitik telinga Rindu. Gadis itu langsung memberikan ultimatum. "Kita sama, tapi juga berbeda. Lebih tepatnya saya bisa mengingat detail di masa lalu dengan sangat jelas. Suasana di stasiun, kegiatan yang orang-orang lakukan, kucing hitam putih di dekat tong sampah waktu itu, sampai ekspresi ibu-ibu yang ambil dompet kamu. Semuanya."
Rindu menyimak sambil meniup pelan sup buatannya sebelum disantap. Menurutnya fakta tersebut terdengar keren, sekaligus menyedihkan. Neraka mental. Mereka yang mengidap sindrom seperti itu terpaksa harus menerima semua memori yang terekam. Bahagia hingga yang menyakitkan.
"Untuk kasusmu, studi sistematis dan ilmiahnya adalah parapsikologi. Seharusnya kamu pernah browsing tentang itu."
Rindu mengangguk sebagai respon setuju. "Clairvoyance. Secara teorinya dugaanku ke situ. Kalau kamu ...."
"Sindrom hyperthymesia." Lanang meraih botol air mineral lalu meneguknya.
"Eh tapi jahat banget pas itu kenapa nggak ngasih tau? Dompetku dicolong dan kamu diem aja, Mas Lanang? Wah, parah."
"Untuk apa? Kamu nodong jaketku, penebusannya ya dompetmu itu," sanggah Lanang tampak tenang.
"Jaketmu kan udah aku kembaliin lagi!"
"Iya, jaketnya sudah balik lengkap sama maha karya adik-adikmu." Ucapan Lanang membuat Rindu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Omong-omong, kamu jadi konsisten pakai aku-kamu. Saya penasaran bertahan sampai kapan."
"Aku berubah pikiran. Mas Lanang lebih tua, nggak sopan pakai lo-gue." Kedua tangan rindu tertekuk ke atas, menumpu pada meja pantry untuk menopang kepala kemudian memperhatikan Lanang. "Terus, bakal bertahan sampai aku bisa milikin hati kamu, lalu kita nikah, bonus hartamu bakal aku kuras sampai nol."
"Baguslah kamu sudah sadar." Kenapa ya perkataan Rindu barusan terdengar déjà vu? Lanang sedikit mencondongkan tubuhnya, membalas sorot mata serius yang diagihkan sang gadis. "Gimana kalau urutannya diubah? Nikah, kuras hartaku kalau kamu bisa, baru poin yang pertama."
Rindu mengerjap pelan, tidak percaya akan direspon dengan sungguhan. "Kenapa gitu? Kamu mau menikah tanpa ada rasa? Udah kebelet banget nikah tapi nggak ada yang mau ya om?" Meski ejekan itu sangatlah mustahil terjadi.
Pandangan Lanang melunak, meski tidak terpatri pada ekspresi wajah, dua mata miliknya mana bisa berbohong. Namun bukan soal tidak laku, tetapi hal lain. "Masih ada seseorang di hati saya."
Kening Rindu berkerut, wajahnya berubah judes. "Berengsek dong namanya?"
Lagi-lagi tawa Lanang terdengar lepas seraya membuang muka. Ia merasa sangat terhibur dengan kalimat terang-terangan yang dari tadi terlontar oleh Rindu disertai tampang serius. Hal itulah yang Lanang suka darinya.
"Justru itu. Semua butuh proses sampai saya benar-benar bisa melupakan mantan, melalui kamu. Nikah untuk mengikat dan mengukur tekadmu sebesar apa buat nguras harta saya, bonus karena sudah halal bisa leluasa melanjutkan sesi yang tertunda semalam every single day. Kita impas karena sama-sama 'berengsek' kan?" Lanang membetulkan helai rambut Rindu yang mencuat. "Besides, kamu kelihatan 'kebelet' banget menikah. Padahal perempuan seumuranmu lagi asyiknya meniti karir atau bersenang-senang."
Selalu saja mendapatkan jawaban dari Lanang. Menurut Rindu, berbicara dengan orang tua seperti Lanang sungguh menguras energi. "Teman SMA-ku udah pada menikah dan punya anak. Apa salahnya nikah di umur segini? Toh udah sama-sama ada pekerjaan. Kalau nunggu mapan, sampai kapan? Aku tau batas kemampuanku dan itu caraku bahagia, punya keluarga kecil terus melahirkan keturunan. Sayangnya karena keadaan, nggak ada waktu buat bersenang-senang."
"That's so sweet. Saya iri, pemikiranmu sangat sederhana."
"Lah, ngapain dibuat ribet? Tapi nggak sederhana ya buat mewujudkannya karena banting tulang itu capek banget. Mungkin kamu nggak bakal paham posisiku karena udah punya segalanya." Rindu menggerakkan dagunya sekali; menantang. "Tapi boleh juga tawaranmu soal pernikahan tanpa rasa. Lagian orang yang katanya cinta sama aku juga nggak bikin kami akhirnya menikah, malah si kampret itu kabur."
Lanang melukis senyum tipis sembari berkata, "I'll make your wish come true." Sungguh menarik. "Punya segalanya tapi ngga bahagia, itu yang lagi saya rasakan. Mungkin kamu juga ngga bakal paham keadaan saya gimana."
"Itu namanya kurang bersyukur." Rindu mengernyit lalu mendorong tubuh Lanang kemudian beranjak membawa mangkuk sup ke wastafel. "Oh ya, Arsa itu siapa?"
Sendok yang mengudara seketika berhenti. Sudut pada dua ujung bibir Lanang merendah tidak senang mendengar nama yang disebut Rindu. "Saya ngga menyarankan kamu buat berteman sama Arsa. Kalau bisa jauhi penjahat kelamin kayak dia."
***
Lampu sorot berwarna jingga mengarah pada Rindu yang sedang melantunkan salah satu lagu hits berjudul Tak Ingin Usai karya Mario Gerardus Klau. Organ tunggal setia di belakangnya dengan apik mengiringi lagu. Pengunjung salah satu kafe di Jakarta Selatan pada malam itu tampak menikmati suara merdu Rindu. Ada yang terkesima, ada pula yang mengulum senyum bahagia sambil menyantap hidangan. Suasana di sana cukup ramai dengan pencahayaan minim, jadi fokusnya pada live music yang sedang berlangsung.
Rindu membawakan tiga lagu karena hanya menjadi pengganti sementara penyanyi aslinya yang datang terlambat. Ardikawannya—tadi siang dadakan menawari pekerjaan itu yang tentu saja langsung Rindu setujui dengan senang hati.
"Seperti yang kau ucapkan ... sebelum kau tinggalkan aku."
Usai bernyanyi, tepuk tangan menggema di dalam kafe membuat wajah berseri Rindu terpancar menambah manis dirinya. Celana jeans biru dongker dengan baju putih lengan panjang ketat yang menjiplak lekuk tubuh sungguh indah dipandang. Polesan natural pada rupa juga rambut panjang bergelombang yang terurai sepinggang memberi kesan anggun.
"Rin, Mbak Dhea udah dateng," ujar Ardi yang membawakan keyboard. Ia mengenakan outer kemeja hitam dan kaus putih.
Rindu sekilas menoleh ke belakang sambil mengangguk paham. "Setelah ini akan dilanjutkan oleh kawanku, terima kasih sudah mendengarkan. Selamat malam." Ia mengulas senyum lebar hingga kedua matanya menyipit kemudian beranjak setelah menepuk pundak Ardi sekilas.
"Thanks ya Rin!" seru Ardi. Setelahnya langsung berdiskusi dengan Dhea.
Ketika hendak berbalik usai menanggapi ucapan Ardi, tubuh Rindu tidak sengaja menubruk seseorang. "Eh—ya Allah maaf ya mas, saya nggak liat. Minumannya tumpah nggak?"
"Ngga tumpah kok, it's okay." Pria berkacamata dengan bibir bawah lebih tebal itu mengulum senyum ramah. "Kamu ngga apa-apa kan, Rindu?"
Merasa namanya disebut, Rindu memperhatikan dengan saksama wajah pria yang jauh lebih tinggi itu. Seketika keningnya mengernyit, suasana hati pun langsung terasa berat dan tidak nyaman.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top