❄ 15 | END
Jeno terduduk lemas bersandar pada daun pintu coklat kamarnya, berapa kalipun ia memejam mata erat dan membukanya, tidak membuatnya terbangun dari mimpi luka ini. Kenyataan pahit harus ditelannya setelah bertandang di depan rumah Reina tadi sore.
Ini semua nyata.
Jeno yang memulai bibit luka ini untuk ketiganya.
Jeno tidak sanggup lagi untuk berandai tentang keputusan yang dia buat di masa lampau. Semuanya karena keegoisan besar dalam dirinya.
“Ren tidak ada di Seoul, Jeno.”
Bayangan bekas tadi sore menghantui dirinya seorang. Bagaimana ibu dari perempuan yang menemaninya sejak kecil bersuara dengan tenang untuk mengungkapkan fakta mengejutkan bagi Jeno, membuat Jeno tidak bisa berpikir jernih.
“Jangan datangi dia di sana, Jeno. Dia mengambil keputusan besar dalam hidupnya selama ini. Dia sedang belajar untuk mencintai dirinya terlebih dahulu sebelum mencintai orang lain. Biarkan dia mendapatkan yang seharusnya dia dapatkan selama ini, Jeno.”
“Tante bukan melarangmu untuk tidak bertemu dengan Ren selamanya. Hanya saja, biarkan Ren ambil waktunya sendiri, hanya satu semester. Dia akan kembali ke Seoul setelah waktunya habis mengikuti pertukaran siswa.”
Jeno menenggelamkan wajahnya di tekukkan lutut, pundaknya bergetar menahan tangis. Kalimat terakhir membuat hatinya tersayat pilu.
“Biarkan dia menentukan pilihannya saat dia pulang nanti, Jeno. Tante yakin kamu paham dengan maksud Tante.”
Jeno jelas mengerti dengan maksud Barbara. Sebagai seorang ibu, tentu tidak mau anaknya terluka apalagi tersakiti. Barbara sudah cukup bermurah hati mengizinkannya mengetahui lokasi Reina sekarang. Barbara mengakui, bukan sekali dua kali dia berusaha membantu Reina untuk move on. Oleh karena itu, Barbara menyetujui keputusan anak sulungnya untuk ikut pertukaran mahasiswa.
Di dalam kamarnya yang gelap, tanpa disinari lampu, Jeno memikirkan semuanya.
Tidak ada yang bisa Jeno lakukan selain menangkup kedua tangannya; memohon kepada Sang Pencipta untuk memberikannya satu kesempatan untuk memperbaiki semuanya selepas Reina pulang kembali ke Seoul.
Seberapa besarpun keinginan Jeno untuk terbang menemui Reina, dia tidak akan bisa melakukannya.
Bayangan dimana Reina dengan tulusnya menyayangi pria sebrengsek dirinya; selalu ada di samping pemuda itu walaupun dalam senyum bahagianya, gadis itu menangis sampai tidak sanggup untuk mengurai air mata lagi, menghantuinya.
Seolah meminta Jeno untuk memberikan waktu kebahagiaan yang seharusnya dimiliki Reina.
Kalau ini memang harga yang harus dibayar untuk cinta, Jeno akan melakukannya.
Jeno bersedia untuk berjalan di dalam lembah luka setiap hari demi Reina bahagia.
▪︎▪︎▪︎
Satu semester kemudian,
Sebuah koper ditarik santai oleh tangan kiri, sebelah tangannya memegang beberapa kertas plastik yang penuh untuk oleh-oleh keluarga. Tungkai kakinya berjalan dengan senyum mengulas di wajahnya, surai rambut yang berubah menjadi wave blue ash benar-benar mengubah penampilan Reina seutuhnya.
“Mama, Papa.” Reina semakin menarik lengkungan senyum. Kopernya langsung didirikan sebelum berhambur ke pelukan sang Ibunda.
Barbara tersenyum, memeluk anak sulungnya dengan erat sebelum melihat anaknya dengan teliti.
“Ren sudah makan siang?” Tanya Barbara dengan senyum anggunnya.
Reina menggeleng, “Belum sempat untuk makan. Ren ketiduran di atas pesawat.”
“Kita makan di Restoran Korea setelah dari sini, sudah lama tidak ke sana. Ada yang ingin bertemu denganmu, sayang. Kamu bersedia?”
Reina memiringkan kepalanya, senyumnya perlahan luntur digantikan dengan raut bertanya. Barbara hanya tetap tersenyum sebagai jawaban.
“Kamu akan tahu, sayang. Mama pikir sudah waktunya untuk menyelesaikan semuanya.”
▪︎▪︎▪︎
Reina meremas kedua tangannya sendiri yang bertumpu di atas pahanya, matanya terus menunduk melihat kedua tangannya, mengabaikan pemuda di depannya yang menatapnya dengan penuh arti.
Barbara menepati perkataannya, dia membawa keluarga kecilnya untuk makan di salah satu restoran yang menyajikan makanan khas Korea yang terkenal. Tetapi, Reina tidak tahu kalau dia akan pisah dengan orang tuanya dan adiknya, untuk duduk bersama pemuda di depannya ini.
Pemuda yang dari dulu mengambil hatinya, dengan egois menyimpannya dan tidak mau mengembalikkan pada Reina.
Lee Jeno.
Pemuda itu ada di depannya.
“Hai, lama tidak berjumpa.”
Reina mengangkat kepalanya, suara yang dahulu terdengar yakin, pasti, nan kuat sekarang nyaris melemah dan terdengar pasrah. Hatinya terasa dicubit dengan kuat, pipinya seolah ditampar keras ketika melihat penampilan Jeno di depannya.
Tubuh pemuda itu menjadi lebih kurus dari terakhir dia melihatnya, kantung matanya yang berubah menjadi hitam tampak dengan jelas, kumisnya yang mulai muncul tak terawat oleh Jeno. Model rambut yang biasanya tertata rapi menjadi berantakan. Bahkan, anak rambut yang tumbuh tidak lagi ia pedulikan.
Reina tidak menginginkan ini terjadi dalam satu semester. Dia menginginkan Jeno bahagia.
“Hai, lama tidak berjumpa, Lee Jeno.”
Jeno hanya tersenyum tipis ketika mendengar pernyataan kikuk dari Reina. Matanya yang sekarang mengitam melihat Reina yang dengan ragu meminum juice yang dia pesan. Hatinya merasa lega ketika gadis kesayangannya terlihat bahagia, sehat dan terlihat mencintai dirinya sendiri.
Matanya yang memakai softlens coklat muda dengan rambut yang diwarnai sesuai impiannya dulu, Jeno terikut merasakan kesenangan yang Reina lakukan selama di sana.
“Pasti sangat menyenangkan berada di sana, Ren. Syukurlah kamu baik-baik saja.”
“Iya. Aku bertemu banyak teman di sana, mereka semua baik-baik. Tetapi, aku tidak bisa menyingkirkanmu seperti yang seharusnya terjadi.” Ucap Reina yang hanya bisa mengatakan kalimat terakhir dalam hatinya.
Satu semester berjauhan dengan Jeno tidak menyurutkan perasaaannya.
“Aku putus dengan Yena.”
Satu kalimat yang menghantam relung hati Reina kuat.
“Ceritanya sudah lama, lama sekali, hanya berselang beberapa hari kamu pergi tanpa kabar, aku langsung memutuskannya.” Ucap Jeno dengan mata yang bersirat teduh menghadap Reina, teh hangat yang mengepul tidak menjadi pusat objek, “Aku tidak menyesal melepaskannya, Ren. Lihat di sana, dia bahagia dengan orang yang seharusnya. Mark berubah dan yang paling penting, orang tuanya selalu merestui mereka sejak awal.”
Reina membalikkan badannya sesuai petunjuk Jeno, ada Yena dan Mark yang sedang menyantap daging panggang dengan tawa menyertai mereka. Gadis itu bisa melihat Mark menyayangi Yena, bagaimana Mark menatap Yena seolah dia adalah pusat dunianya.
Sama seperti Jeno menatapnya.
“Bagaimana denganmu, Ren?”
Reina membisu.
“Aku menahan diri untuk tidak menemuimu di sana. Karena Tante yang memintaku, aku sendiri juga menginginkan kebahagiaanmu dari apapun yang kumau. Aku mencintaimu, Reina. Satu semester aku tidak bisa melupakanmu.”
Reina berdeham sebagai jawaban.
“Reina, apa masih ada kesempatan untukku?”
Mata gadis itu bertabrakan dengan mata Jeno yang menatapnya penuh harap. Reina mengangguk kecil membuat Jeno tersenyum lega.
Senyum yang akhirnya terbingkai di wajahnya.
Reina terikut senyum.
Karena, sejak awal Reina selalu memberikan kesempatan sebanyak yang Jeno mau; menunggu hubungan Jeno dengan Yena berakhir. Reina hanya ingin Jeno hanyalah miliknya. Alasan dia pergi sejauh itu, dia berharap perasaannya bisa berubah atau Jeno yang akan mengejarnya ke sana.
Tetapi, saat melihat Jeno tak berdaya seperti ini selepas dia pulang.
Dia sadar, dunia Jeno ada berada padanya.
Sama sepertinya, dunia Reina ada berada Jeno.
▪︎▪︎▪︎
Sweetest Problem
Chapter 15 | Done
▪︎▪︎▪︎
Hai, apa kabar?
Kamu baik-baik saja, kan? Minum air yang banyak agar tetap sehat, ya. Aku tidak mau kalian sakit.
Aku dengan membawa chapter 15 ini menyatakan kalau Sweetest Problem telah tamat dengan baik. Walaupun, aku agak telat update. Tetapi, aku juga tidak pernah melepaskan naskah satu ini.
Selamat membaca ^^
Ayo bertemu lagi di naskah yang lain.
See ya ^^
︎▪︎▪︎▪︎
The END
▪︎▪︎▪︎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top