❄ 11
Reina diam didepan laptop yang menyala dan memberikan banyak referensi tempat kencan. Besok pagi, Jeno akan mengajak Yena keluar.
Sesuai dengan perintahnya.
Bukan satu ataupun dua kali Jeno mengajak Yena keluar atas perintah Reina. Tidak mungkin didalam hubungan ini hanya Yena yang mengajak Jeno keluar terus menerus.
Skenario yang bagus.
Reina sebagai sutradara dan mereka berdua adalah pemerannya. Reina akui ia sakit setiap ia meminta Jeno untuk mengajak Yena keluar. Terkesan bodoh. Tapi, begitulah Reina, ia tak mau orang lain sedih.
Reina bisa mengobati luka tersebut. Biasanya, Reina akan menonton drama lagi.
"Ya. Aku akan menonton drama besok dengan sekaleng kripik kentang. Tanpa gangguan Jeno." Kata Reina yang memotivasi dirinya sendiri.
"No, darling. Besok ikut mama, kita juga perlu kekinian. Mommy-daughter goals." Kata Barbara secara tiba-tiba, Reina tersenyum dan mengangguk.
"Sudah berapa lama mama berdiri disana? Kenapa tidak langsung masuk?"
Barbara tersenyum dan duduk disamping Reina. "Heum ... sebelum Ren berbicara sendiri didepan laptop. Ini tempat yang bagus. Jeno akan kencan lagi dengan Yena?" Tanya Barbara sambil menunjuk gambar cafe.
"Yah ... begitulah. Aku yakin, Yena pasti memikirkan kata-kataku. Maka dari itu, aku meminta Jeno untuk membahagiakan Yena." Kata Reina sambil memeluk Barbara dari samping.
Mode manja Reina di depan ibunya.
"Apakah Jeno bahagia saat ia mengajak Yena kencan?" Tanya Barbara sambil melihat lagi beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi besok dengan putri sulungnya.
Reina menggeleng, "Ren tak tahu, ma. Pulang dari kencan, Jeno akan mampir dan merebahkan tubuhnya dikasur, sambil mengatakan, tugasku selesai."
"Ren tak pernah bertanya tentang kebahagiaan Jeno?"
Reina mengangguk, "Ren pernah bertanya, sekitar saat menginjak sekolah dasar. Jeno bilang dengan berada disamping Ren, Jeno sudah bahagia." Kata Reina yang membuat Barbara tersenyum.
"Apa Ren juga bahagia?"
Reina mengangguk antusias, "Kalau tidak. Ren tidak akan berteman dengan Jeno."
Barbara mengangguk, "Ya sudah. Bilang ke Jeno untuk ketempat ini dengan Yena. Besok lupakan mereka berdua, kita akan bersenang-senang, sayang." Putus wanita tersebut.
Reina tersenyum.
Mama Barbara adalah yang terbaik.
"Mama keluar ya. Mama mau ke kamar sebelah. Mana tahu adikmu masih bermain dengan playstation."
Sesudah, wanita beranak dua itu keluar, Reina mengirim pesan ke Jeno lalu segera tidur.
"Jen, sorry tentang tadi. Well... mungkin cafe dengan perpustakaan kota bisa kamu kunjungi dengan Yena.
Good night."
- Ren
▪︎▪︎▪︎
Mark bodoh.
Mark akui itu.
Kalau saja, dulu ia tak melewatkan beribu pesan darinya. Mengajaknya keluar jalan-jalan. Ataupun, tak terus mementingkan teman sepergaulannya...
Ia tak mungkin pergi.
Mark ingat, saat itu ia baru kehilangan sosok yang ia jaga, lindungi dengan sepenuh hatinya.
Lima tahun yang lalu, saat ia menginjak menengah atas tingkat dua, teman perempuan yang ia sukai, pergi menghadap Sang Pencipta.
Mark terluka. Papa Mamanya juga ikut berduka, keduanya tahu perasaan Mark terhadap teman perempuannya tersebut.
Bersama-sama sejak sekolah dasar, bukan tidak menanamkan sebuah perasaan yang saat itu Mark tidak mengerti.
"Mommy, ini salah Mark. Mark seharusnya tidak ikut bermain basket tadi siang. Jika Mark pulang dengan Lyn, Lyn tak mungkin kecelakaan."
Mark merasa bersalah disaat itu. Dunianya terasa berhenti. Lyn yang ceria menghilang begitu saja disekitar Mark.
"Enggak, sayang. Lyn pergi bukan karna Markeu pergi bermain basket. Mommy juga sayang Lyn, tapi, Tuhan lebih menyayangi Lyn daripada mommy. Lyn sudah tidak menderita lagi, Markeu."
Mark tersenyum sedih. Perkataan ibunda Lyn yang mana Mark panggil mommy sampai sekarang, terngiang diotak pria tersebut. Mark tahu Lyn bertubuh lemah. Mark akan tetap mengantar jemput perempuan itu dengan selamat setiap harinya.
Lyn biasa akan menunggu Mark selesai dengan kegiatannya. Tapi, hari itu, Lyn meminta ijin untuk pulang lebih awal, dan Mark mengijinkannya. Mark keasikan bermain sampai lupa dengan tubuh lemah Lyn.
Berhari-hari, Mark yang biasanya ceria dan selalu bergaul dengan teman-temannya, berubah menjadi Mark yang diam seribu bahasa, menjadi sosok penyendiri.
"Markie, lihat mommy membelikanku puppy. Kuberi nama choco. Dia menggemaskan, bukan?"
"Markieeee, orang-orang mengejekku karna tidak ikut olahraga."
"Markie sudah selesai dengan tugas matematika? Pinjam lihat ya. Lyn janji akan bertanya kalau tak mengerti."
Mark selalu terbayang-bayang dengan semua yang dilakukan Lyn. Setiap ia melakukan satu hal, ia akan teringat dengan reaksi Lyn.
Satu hari, Mark tidak percaya tentang satu hal sepulang sekolah.
Apa mungkin Lyn ada memiliki kembaran?
Lantas, kenapa Lyn tak pernah bercerita?
Mark tengah duduk didekat jendela kelas yang langsung menghadap ke lapangan. Materi tentang sejarah tak dipedulikannya, matanya asyik melihat sosok perempuan yang tersengal-sengal ditengah lapangan.
"Ya! Berikan aku bolanya, Cat." Kata perempuan itu dengan mencebikkan bibirnya. Mirip dengan apa yang dilakukan Lyn jika Mark tidak mengabulkan keinginannya. Mark tersenyum tipis.
Ia merindukan perempuan itu.
"Tidak mau. Fisikmu lemah, bagaimana jika kamu terluka? Bisa habis sekelas oleh papamu." Seru salah satu teman gadis tersebut setelah menembak bola kedalam ring.
"Yena tidak lemah! Fisikku juga sudah jauh lebih baik. Ayolah ... oper bolanya." Kata gadis yang Mark ketahui bernama Yena.
Mark terus menonton apa yang diributkan dilapangan tersebut sampai jam pelajaran tersebut berakhir.
Mark tidak tahu, bahwa gadis itu mampu membawanya kembali ceria seperti biasa.
▪︎▪︎▪︎
Sweetest Problem
Chapter 11 | Done
︎▪︎▪︎▪︎
Haiii, maaf telat update 3 hari.
Lunas, ya, utangnya. Sekarang, jaga kesehatan kalian baik-baik.
See ya ^^
▪︎▪︎▪︎
To Be Continue
︎▪︎▪︎▪︎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top