❄ 03. Decision
Setelah dari kantin, Reina benar-benar masuk kelas dan memilih duduk dibarisan paling belakang. Gadis itu memejamkan matanya sembari mendengarkan lagu lewat kabel kecil yang dipasang ke lubang ponselnya. Gadis itu berusaha mengabaikan ucapan para mahasiswa lain tentang dirinya.
Sosok perusak hubungan orang.
Reina tidak berencana menjadi gadis yang seperti itu. Ia dari keluarga yang baik-baik. Papa dan mamanya selalu bersikap harmonis dan menghormati satu sama lain. Selalu ada canda tawa hangat di setiap makan malam keluarga Reina. Ditambah dengan kehadiran Jeno sejak ia kecil, hidupnya semakin sempurna.
Iya, hidupnya sempurna. Apalagi, Jeno benar-benar ada di sampingnya.
Ada Jeno yang siap melindunginya.
Ada Jeno yang siap mendengar keluh kesahnya.
Ada Jeno yang tak segan babak belur jika Reina tersakiti.
"Apa aku terlambat?"
Reina tersenyum tipis, ia mengenal suara ini, satu-satunya suara yang ia dengar disamping lagu yang tengah mengalun merdu ditelinganya.
"Belum. Tiga menit lagi Profesor Jung akan datang. Gimana Yena?" Tanya Reina basa-basi.
"Merepotkan." Jawab Jeno yang membuat Reina tertawa pelan. Pacar mana yang menistakan pacarnya sendiri, ya, hanya Jeno yang berani begitu di depan Reina.
"Aku berkata jujur, Na. Dia merajuk. Namun, dengan perkataan manis dariku, dia luluh." Kata Jeno yang membuat Reina tersenyum miring.
"Begitulah perempuan." Tutur Reina dan tersenyum saat mahasiswa lain mendelik kesal kearahnya.
"Kecuali dirimu, sayang." Sanggah Jeno yang tidak peka dengan keadaan sekitar, begitulah Jeno, jika bersama Reina. Hanya Reina yang menjadi pusat perhatiannya.
Reina menggeleng pelan, ia mencabut benda yang menyumpal telinganya, "Aku juga perempuan, Jen. Suatu saat aku juga bisa merajuk kesal seperti Yena." Kata Reina dengan pelan. Ia harus berkata jujur meskipun akan sakit.
"Kalau begitu, lakukanlah." Kata Jeno dengan mantap, ia menatap manik Reina dengan sorot mata memuja.
"Aku tidak masalah jika itu kamu yang merajuk padaku."
Reina mematung, bukan karena wajah Jeno telah di depannya. Tapi, cara Jeno mengatakan kalimat itu ... seolah-olah, Reina adalah miliknya. Begitu tegas, namun lembut disatu sisi.
Reina menjauhkan wajahnya, "Oh ya? Apa yang kamu lakukan jika aku merajuk?" Tantang Reina yang membuat Jeno tersenyum.
"Membawamu keliling kota satu harian. Ke cafe dekat komplek perumahan kita. Ke danau buatan yang kamu pengen pergi itu. Jika kamu mau, kita bisa makan malam di restoran yang hanya ada kita." Kata Jeno dengan sabar. Reina tersenyum, ada rasa hangat yang menjalar dalam diri Reina. Ia mengaku dalam hati, ia menyukai sisi Jeno darimanapun.
"Kalau begitu, aku akan semakin merajuk padamu." Celetuk Reina tiba-tiba, Jeno bingung ...
Bukankah cara itu sangat ampuh?
Reina tersenyum. Ia mengambil telapak tangan Jeno, mengusap telapak tangan itu dengan lembut, tanpa mengurangi kelembutan itu, Reina menatap Jeno. "Aku hanya ingin di rumah saja denganmu, Jen. Tidak perlu meluluhkanku dengan mengajakku keliling kota. Itu pemborosan. Aku hanya ingin melakukan hal-hal kecil denganmu," kata Reina yang membuat Jeno tersadarkan.
Bahwa Reina berbeda dengan Yena.
"Dan, aku mau kamu bertanya mengapa saat aku mulai melunak. Ucapkan permintaan maaf, walaupun, kamu tidak salah. Itu saja." Kata Reina dengan pelan.
Jeno tersenyum. Ia merangkul bahu Reina dan meletakkan kepalanya diatas kepala gadis itu. Kenapa ia merindukan melakukan hal ini padahal, ia baru saja melakukan hal ini dikantin?
Apa karena, parfum yang digunakan oleh Reina?
Jeno tidak mengambil pusing hal tersebut. Jeno mengecup pucuk kepala Reina sayang.
"Akan aku lakukan. Merajuklah sepuasmu. Bagiku tidak mengapa, Na." Bisik Jeno yang membuat Reina semakin nyaman pada Jeno.
"Jauhkan tubuhmu. Aku tidak mau digunjing oleh satu universitas. Karena, menjadi pelakor antara mahasiswi dari donatur terbesar disini dengan pacarnya." Kata Reina yang membuat Jeno patuh.
Ia bisa memuaskan kemauannya, memeluk Reina jika sudah di rumah Reina nanti.
Jeno tersenyum. Ia menyelipkan rambut rambut kecil Reina ke belakang dengan lembut. Seolah, setiap sisi dari Reina sangat rapuh, hingga ia harus berhati-hati.
"Terimakasih ...." kata Reina dengan tulus.
Walaupun, Reina tahu bahwa ia akan tersakiti lagi setelah ini. Tapi, ia perlu mengucapkan hal tersebut.
Ia telah membulatkan tekadnya.
Ia akan berhenti menyukai Jeno.
Walaupun, ia tahu itu akan sulit. Karena, sebagian besar waktunya, ia habiskan bersama Jeno.
Tapi, ia akan mencoba.
Sebelum ia jatuh lebih dalam lagi di pesona Jeno.
Sebelum ia kembali menyakiti semua orang lebih jauh lagi.
"Jangan melamun, sayang. Dosen manggil tuh." Kata Jeno sembari mencubit pipi Reina dengan pelan, hingga menyadarkan gadis itu kembali ke alam nyata.
"Huh?"
"Itu ... dosen manggil." Kata Jeno sambil menunjuk ke depan. Reina langsung mengarahkan kepalanya kedepan.
Kapan dosen ini masuk?
"Bagaimana Jung Reina? Bisa kan kamu ikut serta dalam tim ini?" Tanya Profesor Jung dengan wajah serius.
Reina yang bingung, hanya bisa mengangguk kaku, membuat Profesor Jung tersenyum puas.
"Baik. Isi absen dan kalian akan aku berikan tugas, akan saya kirimkan kepada ketua." Kata Pak. Jung dengan singkat, lalu keluar dari kelas.
"Ayo, kita jalan-jalan, Reina!" Ajak Jeno dengan riang.
Reina membisu seketika.
Biasanya ia akan menjawab 'ya' dalam sedetik. Tapi, situasi telah berbeda. Ia tidak bisa lagi menjawab seperti itu.
"Aku perlu waktu sendiri. Aku duluan, Jeno." Kata Reina dengan terburu-buru dan menjauhi Jeno tanpa mengucapkan salam perpisahan.
▪︎▪︎▪︎
Sweetest Problem
Chapter 03. Decision | Done
▪︎▪︎▪︎
Haiii, chapternya sudah aku update.
Selamat menikmati bulan baru, kawan.
Krisar diterima dengan tangan terbuka.
Stay healthy, ya, ^^
See ya ^^
▪︎▪︎▪︎
To Be Continue
▪︎▪︎▪︎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top