❄ 02. Yena and Jeno

Jeno berjalan cepat sesekali berlari kecil di lapangan basket dekat departemen literasi. Satu-satunya jalan tikus untuk mencapai departemen ekonomi. Jeno jarang memakai jalan ini, ia lebih menyukai berjalan di koridor yang akan membawanya sampai ke fakultas ekonomi, hanya saja koridor itu akan membawanya lebih lambat lima belas menit kesana.

'Ya. Harus. Banget. Sana! Pacarmu ngambek.'

Perkataan Reina terngiang di otaknya. Ia berlari seperti ini karena utusan Reina. Jika sahabatnya dari kecil itu tidak mengatakan hal tersebut juga, Jeno lebih baik masuk kelas saja.

"Tunggu! Yena!"

Karena, jujur saja Yena bisa dibujuk nanti setelah mata kuliah profesor ini.

Jeno berteriak saat maniknya melihat siluet gadis yang telah menjadi pacarnya selama dua tahun. Gadis itu tidak memandang ke belakang sama sekali, dan semakin mempercepat dirinya untuk menjauhi Jeno.

"Yena, berhenti!" Teriak Jeno yang sedikit mendengus. Ia merutuki kenapa semua wanita selalu membantah perkataan pasangannya?

Jeno menarik lengan Yena saat Jeno berhasil mengejar langkah gadis fakultas ekonomi tersebut. Yena menatap nyalang wajah pria dihadapannya.  "Yena, kita perlu bicara." Kata Jeno dengan tegas.

"Tentang apa? Hubunganmu dengan si gadis benalu itu?" Tanya Yena sarkas. Gigi Jeno mengeras, sedikit banyaknya perasaan marah saat Reina dikatakan benalu. Dia tidak menerima perkataan Yena.

"Reina ... bukan benalu." Jeno menggeram marah. Nyali Yena hampir menciut saat melihat mata Jeno yang biasanya tersenyum itu berubah menjadi marah. Yena harus menjelaskan posisinya di sini.

"Terus apa? Sahabatmu sejak kecil?" Tanya Yena yang menunjuk-nunjuk dada kanan Jeno. Jeno tak bergerak, hampir saat ia mengatakan 'ya', Yena kembali menyelanya.

"Alasan klasik. Aku sudah bosan mendengarnya. Siapapun juga akan salah paham, saat kamu bersandar di pundak gadis itu. Jika otakmu bertanya apa aku cemburu, jawabannya adalah ya. Sangat. Bagaimana bisa aku pacarmu tidak tahu makanan favoritmu, tidak tahu alergimu, ataupun kesukaan musikmu? Kamu lebih banyak menemaninya dengannya dibandingkan denganku. Dan, aku tidak suka hal itu." Kata Yena panjang lebar. Dadanya naik turun, ia tidak emosi, hanya saja, penjelasan tadi membutuhkan banyak tenaga.

'Aku akan berdebat lagi dengannya hari ini, ya?' Batin Jeno yang tertawa kecil, ia menertawakan kehidupan romansanya.

"Ayolah, sayang. Bukan waktunya kita berdebat. Aku ada matkul Profesor Jung hari ini. Bukankah kamu mengatakan bahwa semakin giat aku belajar, semakin cepat aku lulus, dan akan semakin luluh orangtuamu menyetujui hubungan kita?" Balas Jeno yang setidaknya ada poin benar didalamnya.

Yena melangkah satu langkah lebih maju, mendekati pria yang mengisi hatinya selama ini, tatapan memuja dilayangkan ke Jeno.

Yena mengecup pipi kanan Jeno singkat, "Segera sukses. Aku menantikan persetujuan ayah." Kata Yena dengan senyum tulus.

Semakin membuat Jeno merasa bersalah.

"Iya, sayang. Aku balik kelas dulu ya. Jika sempat aku akan mengantarmu pulang." Kata Jeno yang mengecup pucuk kepala Yena, berusaha menyalurkan rasa bersalah dari kecupan tersebut.

"Jangan dekat dekat gadis benalu lagi ... I hate it so bad." Kata Yena yang membuat Jeno tersenyum miring namun, tipis.

Jeno mana bisa tidak dekat dekatan dengan Reina.

"Iya, sayang. Aku pergi dulu."

Tapi, jawaban Jeno kepada Yena berbeda dengan hatinya.

▪︎▪︎▪︎

Yena tersenyum sedih saat Jeno menghilang di balik koridor departemennya sendiri. Ia tidak bodoh, ia juga belum buta. Tapi, ia harus egois.

Reina menyukai Jeno, sahabatnya.
Itu ancaman bagi Yena yang dua puluh empat jam tak bisa di sekitar Jeno.

"Kapan kamu akan berkata jujur, Jeno? Sampai aku mendapatkan bukti konkret kah?" Monolog Yena yang telah berkaca-kaca. Manik matanya tergenang air mata, sebuah bendungan yang ia tumpuk dan tak sanggup untuk menjatuhkannya.

Tangan besar seseorang menepuk pundak Yena. Yena tidak memalingkan wajahnya, seolah ia tahu siapa yang menepuknya.

"Tumpahkan saja, Yena. Jangan malu ...." kata sosok tersebut. Suaranya cukup berat untuk didengar.

Yena terjongkok, ia menangis di benaman lengannya. Ia boleh terlihat biasa saja di depan Jeno. Berkali-kali, ia ingin menghampiri mereka saat saling bercanda tawa. Namun, ia takut ... Bagaimana jika pada saat itu juga Jeno memintanya menjauh? Memintanya mengakhiri hubungan ini?

"Kamu itu terlalu istimewa untuknya, Yena. Harusnya kamu mendengarkan aku saat itu. Sudah cukup aku yang menyakitimu dulu." Kata sosok tersebut yang mendekap Yena diposisi jongkok.

"Hiks ... hiks ... aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah. Bukan karena dia, Mark." Kata Yena kepada sosok tersebut.

"Kamu yakin?" Tanya Mark -sosok bertangan besar- dengan ragu. Pasalnya, sepasang mata itu terlihat sembab, wajahnya menunjukkan raut kesedihan yang mendalam.

Yena mengangguk. "Aku mau pulang." Kata Yena seraya berdiri dan memperbaiki penampilannya.

Mark menggeleng, "Bagaimana jika sekarang, waktunya kamu berbahagia?" Tanya Mark yang membuat Yena kebingungan.

"Kita ke toko kue kesukaanmu yang terletak didekat perpustakaan kota. Kita juga akan mengunjungi taman beruang yang kamu impikan itu. Heum... bagaimana setelah itu kita menonton film? Kamu masih suka yang romansa komedi kan?" Tanya Mark mengebu-ngebu.

Yena menggeleng, "Tidak, Mark. Aku harus pulang. Tugas dari Bu. Kim belum selesai kukerjakan." Tolak Yena dengan halus.

"Pinjam saja punyaku. Tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan. Semua biaya adalah tanggunganku. Jadi, kamu mau ikut kan?" Tanya Mark yang sedikit bantu merapikan penampilan Yena.

"Eung..." Yena berdengung, sebuah kebiasaan gadis itu jika berpikir.

"Ayolah ... dulu, aku jarang bersamamu kan? Mungkin, sekarang adalah waktu yang tepat." Mark berusaha membujuk gadis tersebut.

"Call! Tapi, jangan kemalaman ya."

"Siap, tuan putri."

▪︎▪︎▪︎

Sweetest Problem
Chapter 02. Yena and Jeno | Done

▪︎▪︎▪︎

Haiii, bagaimana kabarnya? Baik-baik saja kan?

Jangan sakit, jangan paksakan dirimu untuk melampaui batas yang terlalu jauh.

Minum air banyak-banyak, ya.

See ya ^^

︎▪︎▪︎▪︎

To Be Continue

▪︎▪︎▪︎

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top