6. Merekat
The Sweetest Daddy
Merekat
[]
Ada rasa cemas ketika Barata menyadari bahwa gerakannya yang terlalu bersemangat malah menjebaknya sendiri dalam situasi baru. Jadi, dengan seluruh kesadaran yang dia miliki, Barata segera bangun dari tubuh Agni dan membersihkan tubuh gadis itu. Tentu saja semua gerakan Barata itu membuat Agniya mengernyit kebingungan. Apa yang dilakukan pria itu?
"Om?" panggil Agni saat pria itu sibuk membersihkan bagian kewanitaannya sangat serius. "Om ngapain?"
Barata hanya menggelengkan kepalanya. Terlalu sibuk berpikir mengenai apa yang dilakukannya harus berguna untuk mengantisipasi kemungkinan Agni mengandung bayinya. Bukan karena dia ingin bersikap brengsek, tapi Barata tidak bisa menjalani kemungkinan lain yang menghimpit hidupnya.
"Kamu bangun, Agni. Bersihkan lagi dengan jet spray."
Agniya tidak mengerti. "Jet spray untuk apa, Om?" Dia tidak merasa perlu buru-buru membersihkan diri. Kenapa Barata bernafsu untuk Agni ke kamar mandi dan membersihkan kewanitaannya dengan alat penyemprot yang mengeluarkan air dengan kencang itu?
Barata tidak mengambil serius pertanyaan Agni. Dia menyuruh perempuan itu segera melakukan apa yang dikatakan.
"Pokoknya kamu lakukan dulu, nanti waktu luang saya jelaskan kenapa kamu harus melakukannya."
Agni berniat untuk memprotes. Dia tidak bisa menerima jawaban yang ditunda, rasa penasaran di usia muda adalah memang hal yang sulit untuk dipisahkan. Namun, baru membuka mulut saja Barata memberikan peringatan.
"Tidak ada bantahan, Agni."
Bisa apa Agniya jika sudah begitu? Dia menuruti ucapan Barata dan menahan rasa ingin tahunya.
*
Dalam duduknya, Barata menyusun banyak rencana. Karena sudah ada Agni yang berada di sana, maka dia perlu mengurus segala hal kecil khususnya untuk kesejahteraan Agni selama bersamanya.
Semalam mereka sudah istirahat dengan baik, maka pagi ini Barata memulai kegiatannya. Bukan bekerja, karena Barata selalu mengambil waktu untuk cuti bekerja dan bersembunyi di vila tersebut ditemani perempuan yang dia sewa. Tapi biasanya para perempuan itu hanya datang di malam hari dan pergi paginya. Tak seperti Agni yang kini menatap bersama Barata.
Dengan kacamata yang bertengger di batang hidungnya, Barata mendengar pintu kerjanya dibuka pelan. Sosok Agni muncul dengan wajah lega.
"Om ada di sini. Aku kira Om pergi lagi."
Barata menggeleng pelan. "Saya sudah bilang, saya lelakimu mulai malam tadi. Tidak ada kabur-kaburan lagi."
Pria itu sepertinya tak sadar jika sudah mengatakan kelakuannya sendiri kepada korban yang dia tinggalkan hingga putus asa mencari pria lain.
"Oh, jadi Om memang kabur, ya." Agni berkata sembari menganggukkan kepala.
Sontak saja Barata mematung dari kegiatannya semula yang sibuk mengetikkan sesuatu di personal computer nya.
"Maksud saya bukan begitu." Pria itu menggaruk pelipisnya yang tiba-tiba menjadi gatal. "Maksudnya, saya nggak kabur dari kamu—"
"Yaudah, Om. Nggak usah bahas lagi. Aku tahu maksudnya, kok. Yang penting sekarang aku udah Om terima jadi sugar baby. Makasih, Om."
Barata menggeleng tak percaya. Dalam satu waktu dia meragukan kemampuan Agni memahami apa yang dia katakan tadi, meski intinya Barata memang ingin membuang Agni setelah melalui malam bertukar peluh. Disisi lain, Barata juga aneh dengan ucapan Agni yang polos.
"Berapa umur kamu sekarang, Agni?" tanya Barata ingin tahu.
"Dua puluh," jawab gadis itu.
Sekali lagi Barata tertegun sendiri mendengar jawaban Agni. Dua puluh tahun. Itu artinya rentang usia mereka sangat jauh.
Baru kali ini Barata dibuat bingung. Dia tidak pernah melibatkan diri dalam masalah sebelumnya, apalagi untuk urusan wanita. Hidupnya terlalu penuh dengan pencapaian kerja dan beberapa urusan pribadi. Jika ditambah dengan gadis berusia dua puluh tahun itu ... apa yang akan terjadi?
"Oh, iya! Aku belum tahu nama Om siapa. Semalam aku tanya, tapi nggak Om jawab."
Bagaimana mau menjawabnya jika pertanyaan mengenai nama itu diberikan ketika mereka sedang sama-sama enak dan fokus Barata terpecah karena kelalaiannya tidak mencabut diri hingga menyebabkannya menyemburkan diri di dalam Agni.
"Barata." Lalu, pria itu mengangsurkan amplop seperti kemarin pada Agni. "Ambil ini."
Agniya tidak langsung menurutinya. Dia merasa tak nyaman dengan amplop itu, semacam trauma karena dengan adanya amplop berisi uang, maka Barata juga bisa saja mengusirnya. Jika memang pria itu ingin mengusirnya, untuk apa Barata membelikannya pakaian baru yang mahal? Untuk apa memenuhi kebutuhan rumah dan menanyakan apa yang Agni butuhkan?
"Om mau usir aku?" tanya Agni dengan nada lirih.
Barata menyadari reaksi negatif dari tindakannya ini. Jadi, segera dia jelaskan pada Agni. "Bukan. Ini bentuk apresiasi saya karena kamu mau untuk ... eum, bersama saya. Bukan untuk mengusir kamu, Agni. Ini murni saya menghargai kamu."
Memang Agni sudah dihargai sejak awal. Perempuan sepertinya memang memiliki harga, bukan?
"Aku nggak mau uang. Sekarang aku udah punya Om, aku udah nggak pusing mikirin tempat tinggal, Om juga kasih aku kebutuhan yang cukup di sini. Aku nggak butuh uang itu, Om. Aku cuma minta tinggal dan difasilitasi aja."
"Tidak mau uang?" Barata mengulangnya.
"Iya. Aku nggak mau uang."
"Tapi setahu saya, kalau istilah sugar baby itu pasti membutuhkan uang, Agni. Mereka yang mengaku sugar baby memang mencari uang dengan cara ... yang kita lakukan semalam."
Agni tidak langsung menjawab, tampak berpikir mana pilihan paling benar yang harus dia ambil.
"Tapi aku memang nggak butuh uang selama Om mau membiayai hidup aku. Lagian aku juga nggak akan kemana-mana, Om. Aku lebih suka di dalam rumah. Aku nggak tahu harus nabung uang dari Om itu dimana. Aku nggak punya rekening. Jadi, lebih baik Om biayai aku nggak usah kasih aku uang lagi."
Barata tidak menyangka dengan jawaban gadis itu. Dia tidak keberatan jika Agniya menggunakannya untuk meminta uang ini dan itu. Apalagi Agni memberikan keperawanannya untuk Barata, dan sejauh mereka bersama tidak akan ada pria lain yang menyentuh Agniya. Uang tidak masalah bagi Barata sama sekali. Membelikan kebutuhan dasar untuk Agni tidak semahal uang yang dia keluarkan untuk Warta dan anak buahnya.
"Bagaimana kalau nantinya kamu menginginkan sesuatu? Kamu butuh uang untuk membelinya, Agni."
Agniya menggeleng cepat. "Aku tinggal bilang, Om. Nanti biar Om yang beliin apa yang aku mau."
Agniya tidak sebodoh itu. Dia menjadikan Barata Sumner hidupnya, maka dia harus selalu melibatkan diri dengan pria itu. Agni tak ingin sekadar dipakai, dibayar, dan dilupakan. Dia ingin terus terhubung dengan Barata bagaimana pun caranya.
"Oke. Gini aja, saya kasih kamu ATM—"
"Nggak mau! Pokoknya aku maunya Om yang tahu berapa kebutuhanku dan pengeluaranku. Jadi, aku cuma butuh HP untuk menghubungi Om saat penting."
Memang menjadi perempuan harus banyak akal dan siasat. Agniya menekankan kata saat penting untuk menyembunyikan makna bahwa dia akan menghubungi pria itu semaunya kapan pun itu.
"Terus uang ini bagaimana?" tanya Barata.
"Beliin HP aku. Boleh, kan?" Senyuman Agni memaku Barata. Jika begini, mereka akan semakin merekat karena Agni sangat mengandalkannya.
"Oke. Saya akan suruh orang untuk membelikan ponsel baru kamu."
Namun, gagasan itu ditolak lagi oleh Agniya. "Kita beli bareng, ya, Om? Aku belum pernah ke mall yang di alun-alun. Boleh, ya, Om? Aku cuma penasaran, sekalian beli hapenya di sana."
Tolak Barata! Tolak!
Kata hati seperti itu, nyatanya ... "Oke, kita pergi ke sana." kenyataannya Barata tak bisa menolak Agniya.
[Kalian kepo nggak, sih, sama kehidupan pribadi Om Barata?
Btw, makasih, ya yang mengoleksi special chapter 5 Hot Hot Pop💜]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top