34. Pisah
The Sweetest Daddy
Pisah
[]
Bicara baik-baik dengan Trisha tampaknya tidak akan bisa terjadi. Karena sebenarnya wanita semacam Trisha selalu histeris dalam menghadapi apa pun. Jika Agniya sudah membingungkan dan memilih kabur tanpa menyelesaikan pembicaraan apa-apa, maka Trisha adalah wanita koma. Hobinya bicara tanpa ada titik akhirnya. Berputar disitu-situ saja dan tidak bisa membawa mereka ke manapun.
Trisha selalu suka menjadi pihak yang hobinya menyela. Memutus ucapan orang lain hingga lawan bicaranya akan diam dan mendengarkan kicauannya apa saja. Dan tentu saja kicauan itu membawa Trisha menjadi pihak yang disudutkan dan seolah semua orang bersalah padanya untuk hal apa pun.
Seperti ini juga yang Barata rasakan. Mendapati reaksi tak biasa Trisha ketika pria itu mencoba menyampaikan niat perpisahan.
"Apa? Bar ... kamu nggak lagi bercanda, kan? Apa masalahnya sampai kamu mau bercerai? Kita selama ini nggak kenapa-napa dengan jalan yang kita pilih bersama. Ada apa dengan kamu, sih? Pasti ada pihak yang bikin kamu jadi begini. Iya, kan? Sekarang bilang siapa yang mempengaruhi kamu untuk bercerai?"
Barata menghela napasnya keras. Dia sampai bingung sendiri dengan sikap Trisha yang malah menanyakan siapa pelaku yang mempengaruhinya. Karena memang tidak ada pihak yang membuat Barata mau berpisah, yang ada Barata ingin pisah karena sudah tersadarkan untuk tidak melanjutkan hubungan toxic yang sulit dipertahankan dan hanya menyakiti Agniya serta calon anaknya nanti.
"Trisha, aku nggak dipengaruhi siapapun. Justru ini adalah jalan yang seharusnya sudah aku ambil sejak kamu menyatakan kejujuran, bahwa kamu nggak mencintaiku meskipun kita punya Khrisnan."
Trisha terlihat tak menerima alasan yang keluar dari mulut Barata. Wanita itu memainkan ponselnya, mengabaikan Barata yang ingin pembicaraan ini segera selesai dengan hasil keputusan yang diinginkan.
"Trisha," panggil Barata sedikit menghentak. "Kalau kamu nggak mau berpisah, aku akan tetap mengajukan cerai."
"Aku akan mempersulit segalanya, Bar. Kamu tahu bahwa status pernikahan ini sudah berjalan 24 tahun lamanya. Keluarga kamu dan aku nggak akan mendukung perpisahan kita, apalagi demi nama baik keluarga. Perceraian nggak akan terjadi begitu saja, Bar."
"Ini bukan soal keluarga maupun orangtuaku. Ini soal ambisi kamu untuk menghidupi kekasihmu, iya, kan?"
Trisha mendecih pelan. Dia tak percaya bahwa Barata akan langsung menodongnya dengan komentar soal harta.
"Iya. Aku memang keberatan melepas kamu dan pernikahan palsu ini karena uang. Kamu tahu persis Mickola nggak bekerja, aku yang harus mengurusnya karena aku selalu yang menjadi pihak minta dia melakukan ini dan itu. Jadi wajar, dong, kalo aku mau status menjadi istri Barata tetap punyaku."
Belum sempat Barata membalas, Trisha menyipitkan matanya dengan curiga.
"Aku baru ingat kalo belakangan kamu memang punya simpanan. Apa simpanan kamu kali ini maunya dikasih status jelas? Itu yang bikin kamu nggak menghargai kesepakatan kita menikah dengan hubungan terbuka. Begitu, kan?"
Saling membalas dengan argumen masing-masing, pembicaraan ini menjadi seperti sebuah arena debat. Padahal, keduanya sudah sangat dewasa dari segi usia untuk menuntaskan segalanya.
"Aku ingin bahagia, Trisha. Aku ingin punya keluarga kecil yang nggak pura-pura. Apa kamu nggak merasa tersiksa dengan hubungan macam ini? Terus berakting seolah semuanya baik-baik saja. Padahal kamu tahu, kita berdua sudah seperti orang gila bersikap di dalam dan di luar rumah."
"Aku bahagia dengan semua ini, Bar! Kamu jangan begitu, dong. Pas kamu belum menemukan perempuan yang kamu mau, nggak ada kata cerai diantara kita. Kamu santai aja dengan semua keputusan bersama sebagai status aja. Sekarang, kamu berniat membuang aku dan mau bahagia sendirian dengan perempuan pilihanmu dan uang yang kamu punya??? Egois kamu!"
Barata tidak menimpalinya dengan amarah. Trisha hanya sedang mengincar uangnya saja untuk bertahan hidup, sebab keberadaan Khris yang sudah mampu bekerja dan menghasilkan uang sendiri tidak akan mampu membantu ekonomi Trisha dan kekasihnya yang pengangguran.
"Kita buat kesepakatan baru saja, Trisha. Aku akan memberikan nominal yang kamu mau dan kamu harus menuruti perceraian ini."
Berharap-harap cemas, Barata menatap Trisha dengan wajah penuh harapan.
"Nggak. Aku nggak mau uang yang kamu berikan satu kali, aku lebih memilih selamanya berada diikatan pernikahan ini. Kamu pikir aku bodoh, Bar? Dengan statusku sebagai nyonya, segalanya lebih mudah buatku."
Barata ditinggalkan Trisha begitu saja. Wanita itu tetap tak mau mengubah keputusannya untuk berpisah dari Barata.
*
Agniya melihat pria yang membuatnya bimbang memasuki apartemen dengan wajah kusut dan lelah. Meski berusaha mengabaikannya, tetap saja keberadaan Barata adalah pusat perhatian yang tidak bisa Agni biarkan.
Pertanyaan ada masalah apa yang terjadi pada Barata. Kenapa pria itu terlihat sangat kelelahan. Semuanya terbesit di dalam pikiran Agniya. Namun, dia tidak berani untuk mengutarakannya langsung pada Barata.
Tak bisa bertanya langsung karena berusaha menghindari pembicaraan dengan Barata, perempuan itu memilih untuk membuatkan makanan dan nantinya akan langsung pergi ke kamar tanpa bicara apa-apa.
Sop iga yang dia buat karena tertarik melihat tutorialnya di aplikasi video menjadi hidangan yang pasti tidak akan bisa Barata tolak. Bukannya Agniya terlalu percaya diri, tapi memang pria itu tidak akan menang menghindari masakan Agni sama seperti Khrisnan yang belakangan malah semakin sering meminta dimasakkan sesuatu.
Ah, bicara Khrisnan. Ke mana putra Barata itu pergi? Agni sudah seperti seorang ibu yang mencemaskan anaknya karena belum datang makan siang.
Begitu hangatnya sop iga siap dihidangkan, Agni menempatkannya di mangkuk dan menaruhnya di meja dekat sofa bed yang Barata tempati sembari menutup matanya dengan lengan.
Tanpa bicara apa-apa, Agniya menaruhnya perlahan di sana. Dia sudah merasa sangat hati-hati bergerak agar tak menimbulkan bunyi apa pun. Namun, Barata tetap merasakan pergerakan Agniya hingga menyentuh pergelangan tangan perempuan itu.
"Temani aku di sini. Aku mohon, Agniya."
Mendapati ekspresi lemas Barata, membuat Agni tak sampai hati menolaknya. Ya ampun, Bibi! Kenapa kamu paksa mama untuk nurutin kemauan papamu???
Agniya ingin menyeletuk 'anak nakal' pada bayi yang belum lahir itu, tapi Barata pasti akan memarahi Agni jika berani melakukan itu kepada anak mereka yang sudah kompak dipanggil Bibi.
"Kalau kamu nggak bersedia—"
"Minggir sedikit. Kamu terlalu besar, sofanya nggak muat untuk aku duduk."
Senyuman tipis Barata muncul. Dia senang karena Agniya mau untuk menemaninya ditengah pusingnya kepala Barata menghadapi Trisha.
Begitu Agni duduk, perempuan itu langsung terkejut karena Barata menempatkan kepalanya di paha Agni. Tubuh si ibu hamil itu menegang. Sedangkan Barata dengan santai menarik napas lega dan tanpa canggung menciumi permukaan perut Agniya.
"Papa kangen sama Bibi," kata pria itu seraya menggerakan telunjuknya di pusar Agni yang semakin menonjol. "Sudah berapa lama kita nggak ngobrol, Sayang? Papa sampe lemas nggak ketemu Bibi. Papa pengen ketemu Bibi sekarang, tapi kayaknya nggak boleh sama mama."
Wajah Agni memerah. Dia masuk dalam perangkap bahasa mulut Barata yang mudah sekali merayu dan mempengaruhi kebimbangan Agni.
"Papa—"
"Jangan ngomong lagi atau aku nggak mau temenin kamu di sini!"
Barata terdiam, tapi tatapannya menjadi begitu dalam dan tajam pada Agniya yang semakin gugup.
"Oke. Aku nggak akan berisikan, aku bisikkin aja ke Bibi."
Semakin salah! Dengan pria itu yang berbisik dengan deru napas hangat terasa hingga ke balik kaus yang Agni kenakan, semakin naik hormon genit Agniya.
Dasar tukang rayu!
[Memang bisyaaaaaa aja om Barata ini.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top