3. Thought

The Sweetest Daddy

Thought

[]

Tidak baik.

Barata tidak baik-baik saja dengan semua yang terjadi dalam semalam. Harusnya Barata tidak terusik dengan bayangan Agniya yang sudah dia renggut kegadisannya. Karena perempuan itu sendiri yang menyerahkan diri. Harusnya memang begitu. Agniya bukan urusannya. Lepas tangan setelah memberikan uang pada gadis itu sudah cukup.

"Gimana, nih, bos? Perempuannya marah-marah sama saya. Bos maunya gimana? Kalo bos nggak suka perempuan dari saya lagi, harusnya bos bilang, dong!"

Sejujurnya Barata pusing mendengar apa pun yang keluar dari mulut Warta. Pria itu terlalu berisik, membicarakan perempuan yang dia kirimkan dan berakhir menunggu berjam-jam di depan rumah tanpa ada yang membukakan pintu.

Salah Barata juga tidak membiarkan pembantu menginap di vila. Jadi, tidak ada yang mengurus tamu. Namun, orang yang paling harus disalahkan adalah Agniya. Iya, gadis yang mengacaukan pikiran Barata sejak semalam.

"Saya tetap bayar, tenang saja. Perempuan itu tetap dapat tips besar, dan kamu juga tidak akan ketinggalan."

Barata adalah pria dewasa dan kaya yang tidak ingkar janji. Ya, tidak semua janji mampu dia penuhi. Salah satunya adalah memenuhi keinginan Agni yang gamblang menginginkan bersamanya. Tapi jika bersamanya, gadis itu akan menjadi apa?

"Nah! Kalo gitu masalah beres, bos!"

Barata mendengus keras. "Apa pun yang berhubungan dengan uang, pasti beres untukmu, Warta."

Pria itu tertawa riang. Mendapatkan Barata yang rutin dan selalu datang sesuai jadwal tidak menyulitkan Warta mendapatkan pundi-pundi dari pria itu. Warta selalu sigap menunggu uang yang digelontorkan Barata tanpa tanggung-tanggung.

"Kalo boleh saya tahu, kenapa kemarin malam anak saya nggak bisa bos terima?" tanya Warta tanpa segan.

Barata melenggang pergi. "Kamu urus saja pekerjaanmu. Tidak usah menggali apa pun mengenai hidup saya."

Warta menunduk menuruti Barata, sekaligus menjilat Barata supaya tetap merasa dihargai. Hal itu disukai kebanyakan orang kaya. Jadi Warta akan selalu melakukannya agar Barata kembali meminta perempuan darinya.

"Hati-hati, Bos!" kata Warta sembari menepuk dua kali bagian mobil mewah Barata.

Orang seperti Warta selalu paham bagaimana cara menjadi sopan sekaligus culas dalam satu waktu.

*

Dalam perjalanan kembali ke vila, Barata sedang harap-harap cemas. Apa yang akan dia dapati di sana? Apakah Agniya masih keras kepala menunggu Barata? Atau dia sudah diantar sopirnya pulang tadi pagi? Karena hari sudah menjelang senja, Barata tak yakin Agniya masih berada di sana setelah mendapatkan uang dalam amplop yang dia berikan. Jika uang itu tidak diambil, memangnya Agniya akan mendapatkannya dimana lagi?

Ah, sifat sombong Barata meninggi. Memikirkan Agniya yang sama saja mudah disumpal dengan uang. Sama seperti perempuan lain yang hanya tertarik dengan kekayaan yang Barata miliki.

"Tuan," sopir yang biasanya mengantar jemput dirinya berdiri dengan gestur serba salah. Sudah pasti takut kena marah oleh Barata.

"Jadi, dia tinggal di desa mana?" tanya Barata yang menyadari tidak ada jejak keberadaan Agni di sana.

Diam. Tidak ada jawaban Dari sopir Barata itu.

"Pak Tarmin?" panggil Barata dengan nada menuntut. Pria itu menuntut jawaban dari Tarmin.

"Nona yang tadi pagi tidak mau saya antar pulang, Tuan. Dia berjalan kaki."

Tarmin melihat gurat kemarahan dari otot wajah Barata. Buru-buru dia menambahkan penjelasan. "Tapi kata nona itu, dia akan naik angkutan umum."

Barata tetap merasa tidak tenang. Berjalan kaki dari vila itu menuju jalan besar bukan jarak yang dekat. Dengan tubuh yang baru digagahi oleh Barata, momen pertama kesuciannya diambil, itu semua membuat pikiran Barata kalang kabut.

"Kenapa, Pak Tarmin biarkan? Saya sudah memberi instruksi jelas, bukan? Pak Tarmin harus mengantarnya sampai rumah perempuan itu!"

Dibentak oleh Barata seperti itu membuat Tarmin mencicit bagai tikus. Bagaimana tidak? Postur tubuh Barata membuat Tarmin sangat kecil dan terintimidasi saat Barata berdiri. Belum lagi status sosial mereka yang berbeda, menambah kadar ketakutan Tarmin semakin naik.

"Saya minta maaf, Tuan. Sungguh saya sudah memaksa nona itu, tapi dia tetap pergi."

Tidak mengerti kenapa, Barata malah bersikap aneh begini. Padahal bukan salah Tarmin jika Agniya ingin pulang berjalan kaki. Seharusnya itu bukan urusan Barata lagi.

Mendesah lelah, Barata menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Dia menyadari kebodohannya sendiri.

"Maaf, Pak Tarmin. Saya yang terlalu kacau. Itu pilihannya sendiri. Pak Tarmin nggak salah."

Tarmin malah semakin bingung melihat majikannya yang bukannya lebih segar, malah makin layu. Padahal Tarmin sudah tahu semalam majikannya itu pasti melepaskan gairah setelah berbulan-bulan stres di kota. Namun, sekarang malah kacau.

"Saya bisa mencari tahu dari warga sini mengenai nona tadi pagi, Tuan. Itu jika diizinkan."

Sekelibat Barata tercerahkan semangat untuk mencari tahu, tapi ada ego yang melarangnya.

"Nggak perlu, Pak. Silakan pulang dan istirahat."

Tarmin tidak ingin mendapati perubahan sikap majikannya lagi. Dia pulang dan membiarkan Barata sendiri. Sibuk sendiri bersama bayangan Agni yang tiba-tiba saja menyusup dalam kepalanya.

"Ada apanya, sih, dengan diri gadis itu?!" Barata berteriak pada angin yang berhembus masuk ke dalam rumahnya.

Tidak ada yang menjawab. Sepi. Dia kembali dirajai sepi, dan saat seperti ini hanya rokoklah penyelamatnya agar tidak terlarut dengan pikiran buruk dan kacaunya.

*

Yani menatap miris pada tampilan temannya yang belum berganti pakaian sejak datang siang tadi. Agniya tampak seperti orang depresi dengan wajah yang pucat tapi tetap cantik. Memang tidak diragukan lagi anak dari mantan juragan kasur dan kebun jagung itu dilahirkan dari dua bibit orangtua menawan. Ya, bukan tipikal bule. Namun, kecantikan alami seorang perempuan Jawa yang hidungnya bahkan tidak melebar ke pipi sama sekali.

Jika dimasukkan dalam kategori Putri Indonesia, atau bahkan Miss Universe, kecantikan alami Agniya tidak diragukan kualitasnya. Namun, cantik saja tidak menjamin segalanya. Kadar percaya diri Agni turun drastis dengan seringnya sang bibi menyuruhnya mengurus pekerjaan rumah membabi buta. Membuat Agni tidak lagi bersolek hingga menambah auranya.

"Beneran kamu dicampakkan, ya?" Yani kembali bertanya dengan pelan.

"Kalau dia nggak beginiin aku, memang aneh. Aku pikir lagi, memang aku pantas begini, Yan."

"Huss! Kamu ini malah merendahkan diri. Siapa bilang kamu pantes dicampakkan? Siwer aja itu matanya bos kaya!"

Agniya tidak mau tahu lagi. Dia merintih dengan airmata menggenang di bantal milik Yani. Bingung juga mengusir Agni dari kontrakan Yani sekarang. Miris melihat saran yang Yani berikan malah berakhir seperti ini.

"Tapi, Ni." Agni menatap Yani seolah berkata apa. "Kamu, kan, dapat uang. Gimana Kalo kita belikan pakaian dan perias untuk kamu? Sudah kepalang tanggung untuk menyerah, Ni. Kamu harus cari om-om lain yang bisa menghargai kamu!"

Oh, betul juga! Agni bisa menggunakan uang itu lebih dulu dari pada nanti bibinya yang mencuri uang hasil menjual keperawanannya itu.

"Apa harus begitu, Yan?" tanya Agni.

"Harus! Siapa tahu nanti waktu kamu tambah cantik, bos kaya itu nggak bisa nutup matanya saat lihat kamu!"

"Nggak bisa nutup mata, memangnya mati nggak wajar, Yan!"

Yani tidak peduli. Pokoknya, mereka akan menghamburkan uang dari Barata untuk memoles Agni hingga mendapat om baru.

[Baiknya aku, update jam segini. Wkwk.]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top