18. Kabar

The Sweetest Daddy

Kabar

[]

Agniya merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya sendiri. Sadar bahwa semakin lama ditahan, semakin dirinya tak bisa menutupi apa-apa. Tampaknya dia harus memastikan sendiri apa yang terjadi dengan dirinya belakangan ini. Bahkan jadwal menstruasinya juga kacau, itu menandakan bahwa Agni tidak bisa bersantai-santai lagi di sana hanya untuk menunggu Barata datang untuknya.

"Nona mau ke mana?" tanya Wati yang baru saja menyiram tanaman di kebun.

"Eh, mau keluar sebentar, Bude."

Wati menatap Agni dengan bingung. "Kok, baru bilang sekarang, Non? Saya belum menghubungi pak Tarmin untuk ke sini."

Agniya menggelengkan kepala. "Saya berangkat sendiri saja, Bude."

Wati sudah mendapat mandat agar Agniya tidak pergi kemanapun tanpa diantar oleh sopir. Barata juga sudah berpesan sebelum berangkat ke Jakarta kemarin, bahwa jangan sampai Agni kelelahan dengan kondisi tubuhnya yang belakangan mudah lemas.

"Jangan, Non. Tuan Barata sudah mengatakan ke saya supaya kemanapun, Non pergi harus menggunakan sopir. Saya bisa kena masalah kalau pesan tuan tidak saya lakukan."

Barata memang sangat rumit. Mengapa semua hal harus dilakukan sesuai aturannya? Karena ini adalah hal yang sepele, Agni bisa melakukannya sendiri. Jika menggunakan sopir yang disediakan, maka besar kemungkinan rencana Agni untuk mengetahui kondisi tubuhnya akan diketahui oleh sopir yang Barata bayar itu.

"Saya beneran bisa berangkat sendiri, Bude. Nggak perlu pakai diantar sopir."

Tatapan Wati terlihat begitu ragu. Sungguh sulit membiarkan Agni untuk keluar sendiri bagi mereka yang sudah diberikan kepercayaan oleh Barata. Agni juga sepertinya tidak bisa kabur kemana-mana jika nanti hasil tes nya sudah dirinya ketahui.

"Yaudah kalo gitu, Bude. Hubungi Pak Tarmin dulu. Saya tunggu di kamar, ya."

Sudah terlanjur. Kabar Agni tetap akan dilaporkan kepada Barata. Jika nanti Tarmin tahu, maka Agni akan menyuruh sopir itu diam saja. Biarkan Agni yang memberitahu kabar mengenai apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. Meski Agni sudah sadar bahwa ada nyawa lain yang sedang berbagi raga dengannya.

*

Sudah benar. Ketakutan Agni menjadi nyata. Dia tidak pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan, gadis itu langsung mengunjungi rumah sakit dengan dokter kandungan terkenal. Untungnya ada uang yang dia miliki sebagai simpanan karena terkadang Barata suka memberikannya saat bersama dengan dalih Agni bisa menggunakan uang tersebut untuk sesuatu yang tidak bisa diminta langsung dari Barata.

Biaya memeriksa kandungan tak sedikit. Setelah tes urin dan melakukan USG, terkonfirmasi bahwa Agniya sedang mengandung. Usianya masih delapan minggu, tapi sudah terasa. Ucapan Barata saat mereka bercinta di mobil beberapa hari lalu, itu pertanda secara fisik bahwa Agni mengandung bayi mereka.

Kini, Agni tidak bisa berkata apa-apa. Dia terlalu terkejut dengan benarnya kehamilan yang dia sangka sebelumnya. Meski sudah memperkirakan seperti itu, tapi mendapati hal itu benar ... masih membuat Agni tak siap.

Memejamkan mata sesaat setelah memasuki kursi penumpang, Agni menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya dalam sekali hentak.

"Non, sakit apa?" tanya Tarmin dengan pelan.

Agni menggeleng. "Nggak apa-apa, Pak." Tak mau menjawab hal yang sebenarnya.

"Tolong jangan bilang apa-apa ke tuan Barata, ya, Pak? Saya akan membicarakannya langsung. Jadi, Pak Tarmin nggak perlu ditanya-tanya sama tuan Barata."

Tarmin mengangguk patuh. "Baik, Non."

Mereka pulang dan tidak ada pembicaraan apa pun yang terjadi. Agniya juga seperti tidak ada daya ketika keluar dari mobil.

Wati memberikan kode pada Tarmin, apa yang terjadi pada nona mereka. Hanya kedua bahu yang terangkat yang bisa Tarmin jadikan jawaban. Mereka tidak mengerti apa yang terjadi pada nona dari tuan mereka.

"Non, mau saya buatkan teh hangat?" Wati tetap banyak bicara supaya Agni tidak melamun terus menerus.

"Nanti saja, Bude. Saya mau tidur dulu."

Memasuki kamar dan menguncinya, Agni menangis. Dia bingung harus bagaimana. Agaknya bimbang, mempertahankan bayinya atau menggugurkannya. Keputusan yang tidak mudah baginya yang hanya seorang simpanan.

*

Barata tak bisa tenang menjalani rapat sejak tadi. Cahaya ponselnya menandakan bahwa ada notifikasi yang masuk. Meski sengaja membuat ponselnya berada dalam mode tak ingin diganggu. Pikirannya kacau karena melihat nama pemanggil yaitu Agniya.

Rapat mungkin akan berakhir dalam satu jam ke depan. Dia menahan diri untuk bertindak profesional hanya untuk mengangkat panggilan. Terlebih lagi ada banyak pasang mata yang menunggunya untuk bersikap profesional.

"Jadi, menurut Anda bagaimana Pak Barata?"

Mengurut pangkal hidungnya pelan. Barata merasa dia perlu menyelesaikan ini lebih cepat.

"Sebenarnya semua ini sudah bagus. Saya mau seluruhnya ditangani tim 3. Setelah itu desain siap diluncurkan."

Mereka mendapatkan keputusan. Begitu rapat ditutup, Barata tidak memiliki waktu untuk berbasa basi lagi. Karta mendatanginya dan menanyakan apa yang Barata butuhkan.

"Kamu ambilkan kopi saya di ruang rapat tadi. Saya lupa membawanya, Karta."

"Baik, Pak."

Setelah bisa duduk tenang di kursinya, Barata menghubungi balik nomor Agni tanpa menunda.

"Om."

Suara sengau yang Barata dengar membuat pria itu menjadi sangat cemas. "Kamu kenapa? Menangis?"

Barata tidak mendengar apa-apa untuk sejenak. Jadi dia memanggil nama Agni. "Agniya jawab saya."

"Om, apa bisa ... ke sini?"

"Kenapa? Ada apa di sana sampai kamu menangis?"

Tidak ada yang bisa melarang  Barata untuk sangat panik pada Agni. Bahkan Karta yang memasuki ruangannya saja, Barata tidak memedulikan.

"Aku ... mau bilang sesuatu. Aku butuh, Om. Apa besok bisa Om ke sini?"

"Iya, iya. Saya akan ke sana besok. Kita akan bicara sesuai yang kamu inginkan. Jangan menangis lagi, saya panik kamu menangis begini, Agni."

Bukannya berhenti, suara tangis Agni malah semakin mengiris pilu Barata.

"Agni ... bicara saja sekarang kalau kamu nggak bisa menahannya sendiri. Ada apa?"

Sambungan telepon itu diputus. Barata memanggil-manggil nama Agni dan memaki setelah mencoba menghubungi perempuannya dan tidak bisa tersambung.

"Besok kita berangkat ke vila, Karta."

Karta mencoba untuk membaca apa yang sebenarnya terjadi, dari kepanikan yang Barata bawa, sepertinya memang ada masalah yang sangat penting menyangkut dengan Agni.

"Ada masalah, Tuan?"

Barata menggeleng tak jelas. "Sudah pasti. Agni belum pernah seperti ini sebelumnya, saya nggak tenang."

"Mungkin ini hanya caranya untuk mencari perhatian Anda, Tuan. Perempuan seperti itu biasanya—"

"Diam kamu, Karta! Kamu tidak mengerti apa-apa mengenai Agniya! Jangan sembarangan bicara kamu."

Disinggung seperti itu saja sudah tidak bisa. Karta yakin langkah tuan mudanya akan sangat tepat dilakukan malam ini.

"Baik, Tuan. Tapi jika ucapan saya ini benar, semoga Anda tidak kehilangan ketenangan hanya karena perempuan itu."

Barata justru semakin tidak tenang. Dia takut sesuatu menimpa Agniya tanpa dia ketahui. Ucapan Karta tidak dia ambil pusing, karena dia yakin Agni sedang sangat membutuhkannya.

[ Bab 19, tumpah ruah.]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top