💛7. Really Into My Life
Chapter 7.
"Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain panik melihatmu tidak bergerak setelah jatuh. Kukira kau pingsan tadi dan sekarang kau bertanya apa aku tidak malu? Kau pikir itu yang penting sekarang?!" seru Jayson marah dan akhirnya membalas tatapan Sierra dengan tegas. Memperlihatkan sebuah kepanikan dan kecemasan di balik eskpresi yang menahan marah itu.
Sierra terdiam. Ini pertama kalinya ia melihat Jayson. Dan pria itu marah karena Sierra melukai dirinya sendiri. Jika saja Sierra tidak ingat Jayson dalam pengaruh ramuan cinta, dia mungkin akan terharu. Ini pertama kalinya ada orang lain yang mengkhawatirnya hingga semarah itu.
"Tidak perlu khawatir... Lukaku kecil. Aku hanya... malu tadi, makanya aku tidak bergerak sebentar," jawab Sierra menurunkan nada suaranya sedikit karena dia sadar Jayson sebenarnya berniat baik. Walau sedikit memalukan, Jayson hanya ingin menolongnya tadi. Dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Jayson.
Akhirnya mereka sama-sama terdiam setelah saling memarahi. Sierra melihat tangannya yang mulai disiram alkohol oleh Jayson membuat Sierra sedikit kaget dengan sengatan perihnya.
"Perih?" tanya Jayson lembut.
Sierra mengangguk jujur.
"Maaf, aku benci membuatmu merasa sakit tapi tahan ini sebentar."
Jayson kembali melanjutkan membersihkan luka kecil Sierra sebelum akhirnya memplesternya—walau itu sebenarnya hanya goresan-goresan. Bukan luka serius yang perlu diplester. Namun, Sierra biarkan saja, dia sedang tidak berniat melawan Jayson.
Melihat Jayson yang merawat luka tidak seberapanya, Sierra menjadi merasa bersalah. Dia telah membuat Jayson yang tidak seharusnya bersinggungan dengan dirinya, menjadi seperti sekarang. Mengkhawatirnya seolah Sierra adalah hal terpenting dalam hidupnya. Sungguh, ramuan cinta Eros ternyata sangat kuat.
"Jayson."
"Hm?" Jayson kembali menatap Sierra. Pria itu tampaknya sudah lebih santai dan lega setelah mengobati telapak tangan Sierra.
"Lain kali kau tidak perlu melakukan hal seperti tadi."
Jayson terdiam kembali. Dia terlihat merasa bersalah pada Sierra. "Aku membuatmu malu, ya? Maaf."
Sierra menggeleng. Memang benar dia malu, tetapi sebenarnya Sierra juga mengkhawatirkan image Jayson. Bagaimana pun selama ini Jayson adalah pribadi yang dianggap mempesona dengan karakternya yang misterius dan tenang. Karena menurut Hayden, karakter Jayson seperti itulah karismanya. Bukan seperti tadi, seorang Jayson yang melakukan hal-hal tanpa pikir panjang dan melakukan hal-hal yang membuatnya seperti orang aneh. Seorang budak cinta.
"Yang kau lakukan tadi, bukanlah hal yang akan dilakukan oleh seorang Jayson Nicholas... terutama padaku," ucap Sierra pelan bahkan hampir terdengar berbisik. Agak miris dengan dirinya sendiri.
Jayson hanya hening menatap lekat wajah Sierra dengan lembut. Ekspresinya tampak bingung dengan ucapan Sierra. Sebelum akhirnya ekspresinya menjadi serius, walau tatapan lembutnya masih terpancar kepada Sierra.
"Lalu orang seperti apa aku menurutmu?"
Sierra kali ini yang terdiam tertegun. Dia tidak tahu harus menjawab apa karena hingga dua hari yang lalu, Sierra benar-benar tidak mengenal dekat Jayson. Walau Hayden mengenal baik Jayson, tetap saja Sierra tidak bisa menjawab melalui perspektifnya sendiri. Karena sejak awal, Jayson orang asing di kehidupannya. Tidak lebih dari seorang teman sekolah di antara ratusan teman sekolah yang lain yang akan ia lupakan setelah lulus nanti.
Akhirnya Sierra menjawab dengan pelan tetapi yakin. Karena setidaknya dia yakin akan yang satu ini.
"Orang yang keren."
Sudut bibir Jayson perlahan terangkat mendengar jawaban itu. Mendengar pujian keluar dari mulut Sierra untuknya benar-benar membuat Jayson rasanya ingin berteriak senang, tetapi ia tahan.
Sungguh, di antara semua keindahan di wajah pria itu. Sierra bisa menyimpulkan bahwa senyuman Jayson adalah hal yang paling menarik. Sebagai seorang pria, Jayson memiliki senyuman yang manis dan indah dengan bentuk bibir tipis yang bagus pula. Membuat wajah tampannya tidak hanya sekedar tampan saja.
Jayson mengusap plester yang sudah menempel di telapak tangan Sierra dengan perlahan serta lembut. Sebelum akhirnya kembali mengangkat kepalanya untuk membalas tatapan Sierra dengan lekat.
"Tapi menurutku, aku jauh lebih keren sekarang," ujarnya masih tersenyum sembari menatap dalam mata Sierra.
***
"Kau tidak bisa menemukan kafe itu?"
Sierra spontan menggeleng padahal dia sedang berbicara melalui telepon dengan Hayden. "Tidak."
"Sudah kubilang 'kan Kafe Amour itu tidak ada di sekitar situ. Kalau pun ada, aku akan menjadi orang pertama yang mengetahuinya dibanding kau...Kurasa kafe itu benar-benar kafe milik penyihir. Kafenya bahkan hilang begitu saja."
Dulu setiap Hayden berbicara tentang alien, vampir, dan makhluk-makhluk fantasi yang selalu dia percayai, Sierra akan menganggap Hayden mungkin tidak waras. Namun, sekarang berbeda. Dia sudah melihat semua fantasi itu secara langsung. Sehingga sekarang hanya Hayden yang bisa dia ajak mengobrol tentang masalahnya.
Sierra hanya bisa menjatuhkan kepalanya dengan putus asa di atas meja kafe Destin, kafe langganan Sierra. Sebuah kafe dengan dekorasi dan nuansa prancis. Banyak gambar dan miniatur menara Eiffel. Pemilik kafe-nya memang sangat menyukai Paris sehingga dia mendekornya sesuai selera pribadinya.
"Oh iya, aku kemarin membaca salah satu buku online tantang ramuan cinta semacam itu dan di sana bilang kalau efek ramuan cinta bisa pudar dan hilang sendiri jika kau menolak perasaan cinta si korban itu," ucap Hayden lagi.
Hanya hembusan napas berat yang dikeluarkan Sierra. "Aku juga pernah membaca artikel seperti itu tapi katanya untuk ramuan yang kuat tidak berpengaruh."
"Tidak ada salahnya 'kan mencoba. Aku membaca lebih dalam katanya efek sihir cinta bisa menghilang jika si korban merasa sangat patah hati."
Sierra terdiam sebentar. Benar kata Hayden, tidak ada salahnya mencoba. Dia kemudian melihat jam tangannya dan menyadari sudah hampir jam lima sore. "Akan kupikirkan. Kalau begitu sudah ya, aku mau pulang."
Panggilan telepon itu akhirnya berakhir. Sierra merapikan buku komik yang tadi dia sempat baca dan memasukkannya ke dalam tasnya. Dia lalu mengingat kata-kata Hayden tadi lalu matanya melirik plester yang dipasang Jayson kemarin padanya.
Mengingat bagaimana lembutnya, Jayson padanya Sierra saat mengobatinya membuat Sierra menghela napas berat sekali lagi. Batinnya mulai berbisik padanya, apa aku bisa membuat Jayson patah hati dan menyakiti pria lembut itu?
Tanpa berpikir lebih lama, Sierra segera keluar dan berjalan ke arah rumah di atas trotoar saat tiba-tiba sebuah tepukan kecil terasa di salah satu sisi bahunya. Membuat Sierra spontan berbalik dan bertemu dengan senyuman riang seseorang.
"Wah, tumben kita bertemu di luar sekolah."
"Gino..." ucap Sierra pelan, terkejut tidak menyangka akan bertemu Gino di akhir pekan seperti ini.
"Kau membeli buku?" tanya Sierra melihat Gino menjijing sebuah plastik berisi sebuah buku pelajaran tebal.
Gino mengangguk. "Aku beli di toko buku dekat sini. Katanya di situ murah-murah dan cukup lengkap jadi aku membelinya di daerah sini untuk ujian nanti. Kalau kau?"
"Aku tinggal dekat sini," jawab Sierra sedikit malu-malu. Gino selalu terlihat bahagia saat bertemu orang lain karena senyumannya. Sehingga tidak aneh jika Sierra merasa sedikit salah tingkah.
"Ah.." ucap Gino berucap lama sembari mengangguk-angguk.
"Kau sudah mau pulang?" tanya Sierra lagi berharap obrolan mereka terus berlanjut karena mengobrol dengan Gino seperti ini adalah momen yang sangat langka sekaligus mendebarkan.
"Aku masih mau membeli Pizza. Jayson mau menginap di rumahku untuk bermain game dan dia menitip Pizza. Katanya sekitar sini ada tempat Pizza yang terkenal enak dan lebih murah."
Jawaban Gino membuat senyuman Sierra sedikit pudar. Dia tidak menyangka bahwa dia lagi-lagi mendengar nama Jayson, bahkan di saat dia sedang berdua dengan Gino di luar sekolah. Seolah Jayson sudah benar-benar memasuki hidupnya sekarang.
"Tapi aku sebenarnya tidak tahu di mana toko Pizza di sini. Apa kau tahu?" tanya Gino bingung karena dia pertama kali dia ke daerah ini sendirian.
"Ya, di sebelah sana." Tunjuk Sierra. "Mau kuantar? Aku sebenarnya akan lewat ke sana juga."
Sierra memang akan pulang melewati toko Pizza itu. Namun karena toko Pizza tersebut memang sedikit tersembunyi letaknya, Sierra pun menawarkan dirinya. Berjaga-jaga jika Gino tidak bisa menemukannya sendiri.
"Tentu! Terima kasih, sebenarnya aku cukup buruk dalam arah," ucap Gino jujur. "Biasanya aku pergi dengan Jayson ke mana saja tapi karena hari ini aku mencoba jalan-jalan sendiri, jadi aku sedikit bingung."
Sierra terkekeh kecil. Dia baru sadar bahwa Gino dan Jayson malah terdengar seperti anak kembar atau bahkan sepasang kekasih. Mereka selalu bersama-sama setiap pergi. Dan mendengar Gino membahas Jayson membuat Sierra tahu bahwa mereka sangat dekat. Seperti dirinya dan Hayden. Hanya saja dia dan Hayden sudah tidak bisa saling menginap di rumah masing-masing karena akan terlalu aneh mengingat umur mereka semakin dewasa.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Gino bingung dengan wajahnya yang memandang polos.
"Ah, tidak. Kau tampak sangat dekat dengan Jayson hingga seperti sepasang kekasih," jawab Sierra jujur yang kembali terkekeh.
"Ya, aku mengenalnya sejak sekolah dasar. Dan dia sudah seperti keluargaku dibandingkan sahabat," jawab Gino.
Sierra mengangguk mengerti. "Mirip seperti aku dan Hayden. Bahkan orang tua Hayden sudah seperti orang tuaku."
"Ah, iya. Kau bersahabat dengan Hayden, ya. Kami sering main game dengan Hayden dan dia juga sangat hebat." Gino terlihat antusias membahas game persis seperti Hayden sehari-hari. Membuat Sierra sadar mereka memang sahabat game yang pas.
Gino adalah orang yang benar-benar ramah. Walau dulunya dia kira Gino adalah orang pemalu, pria itu ternyata jauh lebih supel. Mereka terus mengobrol layaknya teman baik.
Keduanya berjalan di trotoar yang sedikit sempit dengan seru. Bahkan Sierra yang berjalan di sebelah kanan trotoar yang berada dekat dengan jalur kendaraan, tidak sadar sebuah motor pengatar makanan sedang mengebut terburu-buru di belakang.
Untungnya Gino menyadari itu dan langsung menangkap kedua sisi bahu Sierra dan menariknya mendekat padanya agar tidak terserempet. Membuat Sierra terkejut bukan main saat sisi tubuh sebelah kirinya menabrak dada Gino. Dia jauh lebih terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Gino dibandingkan motor itu.
"Maaf, aku tidak bermaksud," kata Gino segera melepas tangannya.
Sierra hanya mengangguk dengan wajah yang masih sedikit syok. Namun, kedua pipi Sierra semakin merona saat Gino menukar posisi jalan mereka. Sehingga sekarang Gino yang berdiri di sisi trotoar yang dekat dengan jalanan kendaraan. Mereka kembali berjalan dengan Sierra yang tidak bisa berkata-kata dengan sikap Gino yang membuat kedua pipinya kembali merona.
***
Hari senin selalu menjadi hari yang tidak disukai para siswa. Begitu pun Sierra. Di hari senin, semua pelajaran yang dia benci berkumpul. Sungguh, hari senin adalah cobaan agar kau tidak tertidur begitu membuka buku.
Walau Sierra bangun tepat waktu, Sierra memutuskan untuk memakai sepatu rodanya. Dia sedang malas berjalan lambat. Dia tidak terlambat sama sekali tetapi Sierra melaju dengan cepat ke sekolah. Dia hanya ingin segera sampai dan duduk dengan nyaman di tempatnya. Dia juga belum mengerjakan tugas sejarah, jadi dia harus sampai lebih awal untuk mengerjakannya di sekolah.
Roda di kedua sepatu Sierra pun berputar sangat cepat seiring Sierra mempercepat lajunya. Hingga akhirnya gerbang mulai terlihat. Udara pagi yang juga terasa nyaman membuat Sierra menguap cukup lebar dan sangat lama. Dia menguap hampir lima belas detik lama sembari melaju cepat memasuki gerbang di antara semua siswa-siswa yang juga mulai berdatangan ke gerbang.
Sejenak Sierra lupa bahwa jalanan setelah gerbang cukup menurun sehingga Sierra cukup sulit memberhentikannya. Saat menguap tadi pun Sierra sampai menutup kedua matanya rapatnya karena menikmati rasa kantuknya. Dan betapa terkejutnya dia saat membuka matanya dan jalanannya sudah menurun. Lebih sialnya lagi, tepat di depannya tampak ada seorang siswa siswi yang tengah berjalan bersama sambil mendiskusikan buku pelajaran yang dipegang si siswi.
"Awas!!!"
Sierra melaju tepat ke sang siswa yang tidak lain adalah Jayson yang sedang bersama teman kelasnya, sembari memberi peringatan agar Jayson menjauh. Walau si siswi dapat segera menjauh, Jayson malah terdiam mengetahui Sierra tidak dapat berhenti. Membuat Sierra langsung menabrak Jayson hingga keduanya jatuh ke tanah dengan Sierra yang jatuh tepat ke atas tubuh Jayson.
Kedua tangan Jayson sendiri sudah merengkuh punggung Sierra karena spontan menangkap tubuh Sierra yang menabraknya. Untung saja mereka jatuh di tanah yang berumput tebal sehingga tidak ada kerikil yang akan menyakiti punggung Jayson.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Sierra sedikit panik karena dia menabrak Jayson dengan sedikit keras tadi. Posisi mereka sendiri tidak berubah.
Jayson tampak terkejut persis seperti Sierra. Namun, menyadari bahwa gadis yang sekarang berada di pelukannya, di atas tanah berumput ini adalah Sierra, Jayson langsung tersenyum. Pria itu tersenyum menggoda pada Sierra.
"Selamat pagi, Sierra," bisik Jayson lembut. Suaranya terdengar rendah. "Aku suka cara menyapamu ini. Skinship di pagi hari darimu benar-benar membuatku seperti dicas penuh"
Sierra merona malu. Segera dia bangkit dari tubuh Jayson dengan kesal. Dari godaan yang dilontar pria itu, Jayson tampaknya baik-baik saja sepertinya. Membuat Sierra merasa sia-sia mengkhawatirnya sejenak tadi. Akhirnya dengan pipi yang masih merona malu, Sierra berlalu pergi. Dia bahkan sempat mendengar Jayson—yang masih terbaring di tanah—terkekeh puas.
Sudah dia duga. Senin benar-benar hari yang menakutkan.
To be continue...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top