Chapter 5 🍃


Fiona dan Carol sedang berada di tengah-tengah kantin sekarang. Mereka bingung harus duduk di mana. Semua meja kantin sudah terisi oleh murid-murid.

"Eh, Na, gimana kalo di sana aja?" usul Carol seraya menunjuk seorang gadis yang sedang memakan semangkuk mie ayam, "pas banget nggak, sih? Kita kan juga lagi mau deketin dia."

"Astaga, Car, kok lo pinter sih?" Fiona menatap Carol heran. "Tiap hari dong kek gini, biar gue bangga punya temen kayak lo," lanjutnya.

"Jadi sekarang, lo nggak bangga punya temen kek gue? Yang selalu ada pas lo susah, selalu dengerin bacotan gak penting lo, selalu ngasih saran buat keluhan lo," sinis Carol.

"Woah, santai Car, santai. Gue bangga kok punya temen kayak lo, bangga banget, beneran. Lo mah the best. Ai lop yu so much,"

"Najis!"

"Udah, ah, ayo."

Mereka berdua lantas melangkah dan langsung duduk saat sampai di meja yang dituju. Penghuni meja tersebut, Melody, yang sedang mengunyah mie ayam dan hendak memasukam sesuap lagi, langsung menaruh kembali sendoknya dan menyeruput minumannya. Seakan, kehadiran kedua gadis yang sekarang sedang duduk tanpa dosa di hadapannya, membuat ia jadi tak berselera untuk melanjutkan acara makannya.

"Hai, Melody," sapa Fiona juga diikiti Carol yang hanya melambaikan tangannya, lantas mengambil ponsel dari saku seragamnya dan memutuskan untuk bermain game daripada harus ikut dalam percakapan konyol antara Fiona dan Melody.

"Ngapain lo di sini?" tanya Melody dengan tidak santai.

"Makanlah. Mie ayam lo biar gue aja yang bayar, gue ikhlas lahir batin," tawar Fiona.

"Nggak perlu," jawab Melody singkat, padat, dan jelas.

"Yaudah, kalau gitu kita bayar sendiri-sendiri berarti."

"Mas! Mie ayam sama es tehnya dua!" teriak Fiona dengan suara cemprengnya dan hanya diangguki Mas penjual Mie Ayam.

"Sebenarnya, lo mau ngomong apa, sih?" tanya Melody dengan wajah ditekuk.

"Sebenarnya, gue nggak mau ngomong apa-apa. Tapi berhubung lo nanya, yaudah deh."

Fiona terdiam sebentar, kemudian menopang dagu dengan kedua tangannya sambil tersenyum ke arah Melody. "Gue sama Carol mau makan bareng lo."

"Gue nggak mau."

"Lho, gue nggak nanya lo kok, mau apa nggak. Itu pernyataan bukan pertanyaan."

Kemudian, Fiona menatap binar ke arah Mas penjual mie ayam tadi yang sekarang tengah membawa nampan berisi makananya dan Carol. Ia menatap Mas itu terus, hingg Mas itu sampai ke mejanya.

"Makasih Mas," ucapnya. Ia hendak menyuapkan suapan pertama, namun terhenti ketika Melody beranjak dari duduknya.

"Eh, eh, bentar, mau kemana lo?" Fiona bertanya, setelah lengan Melody ia tahan.

Melody menepis pegangan Fiona di tangannya dan hendak berjalan pergi. Sedangkan gadis itu kembali menarik tangannya untuk duduk.

"Apaan sih!" kesal Melody, menepuk-nepus betisnya yang kepentok kaki meja akibat tarikan Fiona.

"Makan itu makanan lo," tunjuk Fiona pada makanan Melody. "Entar, mie ayamnya nangis gegara lo tinggalin gitu aja. Kan, lo baru makan sedikit, emang lo gak laper?"

Carol, yang dari tadi sibuk dengan ponselnya, menoleh dan menatap Fiona dengan aneh. Lalu, ia mulai menyantap mie ayamnya juga.

Fiona menaruh sedikit sambal pada mie ayam lantas menyuapkan pada mulutnya, "ini enak banget, anjir! Ah, apalagi udah ditambahin sambel," ucapnya dibuat-buat lantas memakan mie ayam tersebut.

Sedangkan Melody di depannya hanya meneguk ludah saat melihat Fiona yang dengan lahap menyuapkan suapan demi suapan ke dalam mulutnya.

Fiona mengangkat wajahnya, "kenapa?" ucapnya pada Melody.

"Udahlah, makan aja. Buang itu gensi, daripada mati. Kan gak lucu kalo ada berita 'seorang siswa dari SMA Bhakti Harapan tewas karna menahan gengsi'. Mau lo?"

Melody menarik nafas kasar kemudian mulai memakan mie ayamnya, mengabaikan Fiona yang tersenyum bangga, karena berhasil membuatnya mengikuti apa kata gadis itu.

Carol? Jangan tanyakan. Dia masih terus memakan makanannya dengan lahap tanpa memedulikan Melody dan Fiona.

🍃🍃🍃

Fiona berjalan sepuluh langkah di belakang Melody, dengan tampang pura-pura polosnya. Hari ini, ia berencana mengikuti Melody. Entahlah, ia hanya ingin mengikuti gadis sok kecantikan itu. Ya, walaupun dia memang cantik tanpa segala riasan wajahnya.

Ketika Melody sampai di halte bus, ia memberhentikan taksi dan menaikinya. Pun, Fiona juga melakukan hal yang sama.

'Kira-kira, rumahnya dimana, ya?' Fiona membatin.

Selama ini, ia tak pernah tahu rumah Melody, tak pernah sekelompok belajar dengan gadis itu, dan tak pernah dekat dengannya. Semua itu dikarenakan, sejak awal melihat kelakuannya yang sombong, Fiona dan Carol sudah sepakat untuk tidak berurusan dengannya.

"Pak, berhenti di sini aja," ucap Fiona ketika taksi yang ditumpangi Melody berhenti agak jauh di depannya, lantas ia menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan pada supir taksi.

Fiona menaikkan alisnya saat turun dari taksi. Untung, Melody sudah lebih dulu masuk ke dalam sebuah gedung kecil yang ia sendiri tak tahu apa itu. Studio, mungkin?

Fiona lalu berjalan masuk ke dalam dan menatap kagum isi gedung tersebut. Ternyata, ini merupakan sebuah cafe, walaupun dari luar tak tampak seperti itu.

Melody berbalik. Dan Fiona langsung bersembunyi di balik pilar besar di tengah ruangan. Setelah beberapa saat, gadis itu kembali mengintip dan mendapati Melody yang sedang membaca kertas selebaran, berpikir beberapa saat, kemudian kembali berbalik dan menulis sesuatu di meja kecil di depannya.

Fiona semakin bingung. Sedangkan Melody langsung berjalan keluar setelah selesai dengan urusannya dengan Mbak yang duduk di meja tadi. Ia melangkah menuju menuju Mbak itu dan meminta selebaran yang masih banyak bertumpuk di meja.

"Mbak, boleh minta satu, nggak?"

"Oh iya, boleh. Silahkan," jawab Mbak itu sopan sembari menyodorkan kertas tersebut.

'Kok?' batinnya.

Selebaran itu merupakan formulir pendaftaran kompetisi Fashion Show yang diadakan oleh cafe tersebut dengan tema Gothic. Dan itu akan dilaksanakn dua hari lagi.

"Wtf! Kapan dia nyiapin semuanya?" guman Fiona.
"Eh, Mbak, makasih. Tadi mau ngisi sih, tapi lupa belum ngasih tau orang rumah, " lanjut Fiona pada Mbak tadi dengan cengirannya dan berlari keluar.

"Anjir, itu anak kemana?" Fiona celingak-celinguk mencari keberadaan Melody.
"Ah, sial! Coba kalo tadi gue ngikutin dia aja dan nggak ngecek kertas tadi, pasti gak kayak gini," rutuk Fiona.

Fiona kemudian berjalan keluar dari pagar gedung dan melangkah pelan menyusuri pinggiran jalanan. Ia mengecek saku seragamnya yang ternyata sudah kosong. Wajahnya memelas.

Fiona terus berjalan hingga ia melihat seseorang yang todak asing sedang berdebat dengan pria separuh baya, ayahnya mungkin.

"Tristan?" heran Fiona.

Saat ia sudah lima langkah di belakang Tristan, bertepatan dengan pria itu yang masuk ke dalam mobil, lalu beberapa saat mobil itu mulai berjalan pergi, meninggalkan Tristan yang terdiam.

Gadis itu berjalan melewati Tristan dengan acuh, berhenti sebentar di sampingnya, dan menatap sinis cowok itu, lalu berjalan lagi.

"Lo kenapa liatin gue kek gitu?" Tristan menghadang jalan Fiona.

"Apa? Minggir, gue mau lewat."

Fiona mendorong pelan Tristan dan kembali berjalan. Namun, cowok itu malah menahan kakinya, membuat Fiona hampir saja terjatuh.

Berpikir panjang, gadis itu malah menjatuhkan dirinya

"Aduh!" pekik Fiona saat bokongnya menyentuh tanah dan kakinya sedikit terkena kerikil.

Fiona melihat kakinya, "tanggung jawab lo! Ini, kaki gue merah. Gak mau tau pokoknya lo harus anterin gue pulang!" kata Fiona membut Tristan menatapnya bingung.

Tristan menarik tangan Fiona untuk beridiri.

"Gak berdarah, juga."

"Iya, tapi merah dan perih," Fiona tak sepenuhnya berbohong karena kakinya mulai memerah walaupun cuma sedikit.

"Cuma sedi-"

"Gak mau tau, pokoknya lo harus anterin gue pulang!" sela Fiona.

"Bacot, elah." Tristan menaiki motornya.

Fiona menggigit bibirnya, memikirkan bagaimana dia pulang nanti mengingat uangnya yang sudah habis, juga rumahnya yang berjarak cukup jauh dari sini. Matanya mulai berkaca-kaca.

Tristan yang melihat Fiona, menarik napasnya. Biasanya, ia tidak akan peduli pada orang-orang di sekitarnya, terserah apa yang mau mereka lakukan, asalkan tidak merugikannya. Ia tak pernah merasa kasihan dan hatinya tak pernah tergerak pada siapapun.

Namun, Fiona berbeda. Bukan rasa kasihan, tapi entahlah, gadis itu seperti punya alasan sendiri untuk Tristan menghilangkan segala sikap acuhnya. Apalagi melihat mata Fiona yang nulai berkaca-kaca.

"Lemah banget, sih, jadi cewek. Udah, cepetan naik." ucap Tristan membuat Fiona langsung cepat-cepat naik di boncengannya. Motornya mulai melaju, membelah jalanan di depannya.

Beberapa menit kemudian, keduanya sampai di depan pagar rumah Fiona. Gadis itupun turun dari motor Tristan.

"Makasih ya, Van. Tumpangnnya." ucap Fiona dengan ceria.

"Van?"

Fiona mengangguk. "Iya, Van. Giovanni, kan?" tanya Fiona.

Hening, hingga akhirnya Tristan yang membuka pembicaraan.

"Kaki lo udah gak perih lagi?" sindirnya.

"Sebenarnya tadi gue nggak jatuh, malah gue yang jatuhin diri, trus kakinya nggak perih kok, cuma merah aja. Sengaja biar lo anterin gue pulang." Jelas Fiona jujur. Dan bisa dipastikan sekarang, wajah Tristan memerah karena kesal.

"Trus yang lo mau nangis itu juga bohong?"

"Nggak, itu nggak bohong. Beneran. Duit gue habis, dan jarak ke sini itu jauh, masa sih gue jalan, udah gitu lo-nya ngeselin lagi." Tristan hanya memutar kedua matanya.

"Gue pulang." ucap Tristan diangguki Fiona.

Fiona menatap motor Tristan hingga hilang di ujung tikungan kemudian masuk ke dalam rumah. Sedikit bersyukur karena cowok itu mau mengantarnya pulang.

🍃🍃🍃


Hola! Lagi dan lagi, sorry for late update 😂
Hutang babnya juga masih banyak 😂

Jangan lupa tekan tombol bintang yang di bawah, ya! :)
Pendapat, saran dan kritik yang membangun sangat diterima.
Makasih❤

~floriscaleo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top