BAB 8. Belajar Membatasi
"Morning, Ramika Sarasvati!"
Tapi Mika tidak menoleh. Gadis itu sibuk dengan gawainya sambil sesekali tertawa. Sepertinya, kencan kemarin berjalan lancar.
Ruangan lengang karena baru diisi mereka berdua. Gadis yang pagi ini mengenakan blus kuning bermotif floral itu mulai membuka-buka cerita milik Athena.
"Astaga!" Mika memekik. "Kapan datang, Sa?"
Trisha memutar bola mata. Mika nyengir lebar. "Jadi gimana? Sukses kenalannya?"
"Gue belum nyoba," jawab Trisha jujur.
"Nggak ada yang match?" Mika mengerutkan kening. "Aneh. Lo oke, kok."
"Oh jelas! Kolaborasi antara Bapak Guntur dan Ibu Juni emang memesona, sih." Trisha menyibakkan rambutnya.
"Terus masalahnya di mana?" tuntut Mika. "Pasti ada satu dua yang nyantol, dong."
Trisha mengangkat bahu. "Gue nggak bisa."
"Hm, apa ada hubungannya sama kemeja yang lo beli tempo hari?"
Trisha tidak menjawab, yang membuat mata Mika membulat. "Jangan-jangan--ada ikan yang udah ketangkep duluan?"
"Ikan?" Trisha terkekeh geli, namun Mika justru menjentikkan jari.
"Sudah gue duga! Siapa? Gue kenal?"
"Apa sih?" Trisha tertawa.
Cengiran Mika melebar. "Baguslah! Biar nggak digosipin sama Barra terus. Kasihan lho, pengagum-pengagum rahasia yang harus minder setiap kali lihat Barra. Spill deh, Sa. Siapa ikannya? Anak Renjana juga?"
"Jangan ganggu gue. Baru menunaikkan titah Mas Vampir, ini."
Mika mencibir, namun seringai lebar terpampang setelahnya. "Terus aja gitu, Sa. Gampang, sih. Kalau nanti di nikahan Verra yang lo ajak bukan Barra, berarti itu dia."
Mika kembali ke sudut ruangan, meninggalkan Trisha yang terpaku oleh omongan gadis itu.
Benar juga. Dia mengajak Barra ke pesta pernikahan Verra padahal saat ini, dia bersama Prima. Sebagai atasan Verra, Prima sudah pasti ada di sana. Perutnya langsung melilit sakit.
Oh, umur panjang. Prima baru saja mengirimkan pesan.
"Bisa ke dapur sebentar?"
"Ada apa, Mas?"
"Wanna see you."
"Itu alasan pertama.
Yang kedua, suka salad buah?"
Prima mengirimkan foto salad buah yang disandingkan dengan secangkir kopi dan sebuah sticky notes yang bertuliskan: morning, Trisha. Tidakkah dia manis? Trisha melirik Mika yang sudah kembali sibuk dengan gawainya, lalu melenggang keluar. Aroma kopi memenuhi pantry ketika ia masuk. Prima mendongak dari gawai, lalu tersenyum.
"Pagi," ucapnya sembari menyimpan gawainya ke dalam saku. "Kopi?"
"Thank you. Mas Prima berangkat pagi banget."
"Saya memang biasa berangkat jam segini, Sa," ucapnya ringan. "Kamu aja yang kurang memperhatikan. Nggak seperti saya yang bahkan hapal jadwal makan siang kamu."
Trisha menyibukkan diri dengan kopi ketika tidak tahu lagi harus berkata apa.
"Gimana progres Athena?" Prima kembali membuka suara.
"Mas Prima jadi kedengaran mirip Mas Dion."
Prima tertawa. "You're beautiful as always, Trisha. Dan sepertinya, Dion nggak berangkat hari ini."
"Iya?"
"Hm. Agra demam."
"Oh..." Tidak ada Dion, itu artinya dia akan rapat berdua saja dengan Prima. Perut Trisha tambah melilit.
"Kamu dapat undangannya Verra?" Prima ikut bersandar di samping Trisha yang mengangguk. "Saya jemput, boleh?"
Trisha berlama-lama menikmati kopinya. "Sure."
Lelaki itu mengulurkan tangan ke kepala Trisha, namun Trisha refleks menjauh hingga Prima berhenti.
"Ah..." Gadis itu menegakkan diri dengan canggung, bingung sendiri bagaimana merespon kekecewaan di wajah Prima. "Kenapa? Ada sesuatu di rambutku, ya?"
"Nggak ada," ujarnya seraya menyimpan tangannya di saku. "Kamu cuma terlalu manis aja. Sampai nanti, kalau begitu."
Lelaki itu tersenyum samar dan menghilang dari ruangan, meninggalkan Trisha yang mulai bingung dengan interaksi mereka berdua.
Tapi selain itu, berhubungan dengan Prima nyatanya memang sangat tenang.
Tidak ada yang berubah dengan intensitas hubungan mereka di kantor. Mungkin hanya percikan-percikan kecil saja seperti sapaan, senyum saat berpapasan, atau bertemu di pantry untuk membuat minum. Saat mereka rapat hari ini pun, Prima lebih sibuk dengan gawainya padahal mereka duduk bersisihan. Kecuali sifatnya, dedikasi Prima terhadap pekerjaan nyaris menyamai Dion. Lihat betapa beruntungnya Trisha yang terjebak di antara dua pria itu.
Tapi saat Barra meletakkan Yuzu Yoghurt di depannya tanpa bicara, perut Trisha kembali bergolak hebat.
Gadis itu melirik punggung Barra yang menjauh bersama pegawai Zigma lainnya, lalu ganti melirik botol di depannya. Padahal Trisha tidak memesannya, tapi tidak baik menolak rezeki, bukan?
Gadis itu menimbang-nimbang sesaat, lalu meraih gawainya.
"Barra. Maaf, tapi besok nggak jadi.
Gue ke pesta nikahan teman
bareng yang lain."
Trisha mengirimkannya, dan meringis saat Barra tampak tercenung sebelum balas mengetik.
"Prima?"
"Iya."
"Gue kosong tanggal itu."
"Iya. Tapi gue nggak mungkin bilang nggak. Dia juga pasti datang karena dia atasan teman gue itu."
"Malam?"
"Iya."
Barra menatapnya datar dari seberang kafe. Di antara orang-orang yang berlalu lalang, tatapannya terasa menusuk hingga Trisha ingin menghilang saja.
"Pulang jam berapa?"
Trisha meniup rambut yang menutupi keningnya dengan sedikit emosi.
"Gue oke, Bar. Thank you yuzunya."
Trisha menenggak minumannya banyak-banyak, lalu mengerang saat rasa bersalah itu tetap saja menderanya. Gadis itu melirik Barra, yang ternyata masih menatapnya seperti tadi. Trisha cepat-cepat beralih pada Sherly yang sedang bercerita seru meskipun pipinya memanas seperti kena tembakan laser.
Sepertinya dia harus membuat brownies hari ini.
==
Trisha buru-buru berlari ke teras ketika hujan turun semakin lebat. Gadis itu memeriksa food container-nya dan lega karena masakannya aman-aman saja. Ia menekan bel dengan tidak sabar, lalu berdecak saat ingat jika bel pintu Barra rusak beberapa hari lalu.
Sudah jam sembilan malam. Apakah beruang kutub itu sedang lembur? Tapi Trisha tidak mungkin bertanya sementara alasannya kemari adalah memberi kejutan. Pulang kerja tadi, gadis itu buru-buru membuat brownies dan memasak. Dia masih merasa bersalah pada Barra karena membatalkan janji padahal dia sendiri yang memintanya.
"Mas Leo?" akhirnya Trisha menelfon Leo.
"Trisha?"
"Stt!" Trisha menempelkan telunjuk di bibirnya dengan panik. "Jangan keras-keras!"
"Hm? Kenapa?"
"Ih, Mas Leo. Nanti Barra dengar," bisik Trisha semakin panik.
"Barra udah pulang dari tadi Sa."
"Oh...rumahnya masih kosong, jadi aku kira lembur."
"Dia tadi bareng Amira. Mungkin mampir di suatu tempat. Mau aku tanyakan?"
"Ng? Nggak perlu, Mas. Makasih, ya. Jangan bilang-bilang sama Barra, oke?"
"Are you really okay? Need a help?"
"Nggak. Santai aja. Selamat malam, Mas."
Gadis itu menatap brownies dan masakan yang sudah ia tata rapi di dalam rantang susun, lalu berdecak kecil.
"Lo kan mau minta maaf dengan tulus, Sa!" ucapnya gusar, lalu mengetuk pintu keras-keras demi mengalahkan suara hujan. "Barra!!"
Pintu tidak kunjung terbuka. Gadis itu mengusap lengannya kala hawa dingin menggigit kulit. Jika ditinggalkan di depan pintu, dia takut akan diacak-acak kucing liar.
"Barra!" teriak Trisha lagi.
"Apa?"
Trisha berbalik sambil menjerit. Barra berdiri tepat di hadapannya. Tudung hoodie terpasang hingga menaungi sepasang mata coklat yang menatapnya datar, satu tangan tersimpan di saku hoodie, sementara tangan yang lain memegang payung.
Lelaki itu membuka pintu dan masuk lebih dulu.
"Dari mana?" Trisha menutup pintu.
"Antar Amira cari taksi," ucapnya sebelum menghilang ke kamar mandi.
"Oh-kenapa nggak pesen ojol aja?" Trisha bertanya pelan, yang tentu saja tidak mungkin didengar Barra.
Barra muncul kembali dengan bertelanjang dada. Ia mengusapkan handuk di kepala seraya menyambangi Trisha. "Udah malam, Sa. Kenapa nggak kasih kabar dulu?"
"Surprise?" Trisha otomatis berjinjit dan membantunya mengeringkan rambut, yang membuat Barra merendahkan tubuh sehingga gadis itu mudah mencapainya.
"Kuncimu hilang?" Barra ikut menata makanan.
"Nggak. Tapi kan, biasanya jam segini lo udah di rumah. Dan ngomong-ngomong tentang kunci, nanti gue kembaliin kunci rumah lo ya."
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Takut ilang kalau di gue."
Lelaki itu meliriknya. "Surprise. Dalam rangka?"
"Minta maaf. Udah, nih!" Trisha mengembalikan handuk Barra dan membawa brownies-nya ke meja makan, lalu menyadari meja makan tidak kosong seperti yang ia kira. Ada semangkuk capcay kuah, udang goreng mentega dan calamari ring di sana.
Dari Amira?
Trisha tersadar ketika merasakan sesuatu yang lembut menindih kepalanya. Gadis itu meraihnya, sebuah handuk kering dan sweater. Ia menatap penampilannya sendiri, baru sadar jika ia memang lumayan basah kuyup. Trisha melirik Barra yang kembali duduk.
"Udah makan?" Trisha menutup tudung saji. "Masak sendiri?"
"Amira yang bawa."
"Oh..." Trisha memandangi hasil masakannya yang pasti akan utuh malam ini, lalu masuk ke kamar tamu untuk ganti baju.
"Bagus, kan?" batinnya. Sepertinya tebakan Trisha benar. Amira menyukai Barra.
"Itu bagus dong," gumam Trisha. "Gue jadi nggak perlu susah-susah masak buat dua orang."
Gadis itu mengeringkan rambutnya sambil bercermin, berdecak kecil saat matanya mulai terasa perih. Dia memang meninggalkan beberapa pakaian di sini, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan Trisha harus menginap di rumah Barra. Sesuatu yang biasa. Dulu, paling tidak. Agaknya sekarang, dia perlu membawa pergi semua benda miliknya dari rumah ini.
"Mas-Pri-Ma! Mas-Pri-Ma!" batinnya menyadarkan diri. Mungkin nanti dia perlu menelfon lelaki itu, sekedar menghabiskan waktu sebelum tidur. Siapa tahu Prima bisa hadir di mimpinya untuk pertama kali.
Gadis itu mengipasi matanya yang makin panas, lalu memutuskan keluar ruangan. Dilihatnya Barra duduk di depan televisi, sedang sibuk dengan sesuatu di tangannya.
"Lo lama nggak pulang," celetuk Trisha saat duduk di sampingnya. "Gimana kabar Om Barata?"
"Baik," jawab Barra tanpa menoleh dari layar televisi. "Mungkin minggu depan."
"Oh, salam buat Om ya."
"Sure."
Trisha melirik Barra. "Masih marah ya?"
"Marah kenapa, Sa?" balik Barra.
"Yang tadi siang," ucap Trisha pelan. "Maaf. Tapi gue nggak mungkin sama lo waktu ada Mas Prima di sana. Itu bakal aneh."
"Berangkat berdua?"
"Hm, kayaknya gitu."
"Siapa aja yang ada di sana?"
"Ya--banyak. Verra teman kantor gue. Jadi pasti di sana banyak anak Renjana," jawab Trisha mulai jengkel saat Barra menatapnya lekat. "Barra, stop it. Lo bakal gini sampai kapan, coba?"
"Sampai gue yakin," gumamnya.
Trisha mendengkus kecil dan memeluk bantal. "Lo jalan sama Amira, Bar?"
Barra meliriknya lagi. Sementara Trisha terlambat menyadari apa yang telah keluar dari mulutnya. Gadis itu berdeham. Kepalang basah, lebih baik dia tenggelam sekalian.
"Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"
"Nebak aja." Trisha mengangkat bahu. "Omongannya waktu itu bukan omongan yang ngawur, Barra. Dia suka sama lo. Don't wanna try?"
"Haruskah?"
"Kenapa nggak?" balik Trisha. "Kandidat tuh, Bar. Satu kerjaan sama lo, paham semua kesibukan lo, perhatian pula."
"Begitu?"
Trisha mengangguk. "Kelihatannya Amira cewek yang baik. Cantik juga."
"Cantik?"
"Lo kelilipan aja masih bisa lihat kalau dia cantik, Bar."
"Hm." Barra mengangguk kecil sambil kembali melihat televisi. "Cocok jadi istri gue?"
"Dia--apa?"
"Menurut penilaianmu, dia baik, cantik, kami satu profesi, dan perhatian sama gue. Jadi, apa dia cocok jadi istri gue?"
Trisha tercenung sejenak sebelum mengangkat bahu. "Kalau dia memang lulus fit and proper test ala lo, kenapa nggak?"
"Dia boleh jadi istri gue?"
"Kenapa nggak?"
"Dia boleh jadi istri gue?"
"Kan udah gue bilang--"
"Boleh, atau nggak?"
Untuk sesaat, gadis itu hanya mengusap rambutnya. "Boleh, dong. Dia perempuan. Memenuhi kriteria dasar calon istrimu, kan?"
Keheningan yang mengikuti membuat gadis itu mencuri pandang. Tapi alih-alih mendapati Barra yang masih melihat televisi, lelaki itu justru menatap Trisha dengan senyum samar di ujung bibir.
"Apa senyum-senyum?" tukas Trisha galak.
Barra bersedekap kali ini. Ia mengamati gadis itu sejenak, lalu mencondongkan tubuh hingga Trisha merayap ke belakang.
"Ap-a? Ada yang aneh di wajah gue, ya?" Trisha meraba-raba pipi, berusaha mengabaikan wajah Barra yang masih mengamatinya dengan lekat.
Tapi bukannya menjawab, senyum samar itu justru semakin lebar. Barra menarik handuk Trisha hingga menutupi wajah.
"Apasih!" Trisha memperbaikinya dengan jengkel.
"Pulang. Gue antar," ucap Barra yang ternyata sudah bangkit.
"Nggak perlu. Gue bawa motor."
"Motor tinggal di sini, Sa. Ini masih hujan."
"Terus besok pagi gue berangkat pakai apa, Barra?"
"Bareng sama gue."
Trisha memutar bola matanya, lalu mengambil kunci rumah dan kunci gerbang Barra dari dalam tas. Kunci duplikat itu sudah ia pegang sejak rumah ini berdiri. Sekarang, sepertinya ia perlu mengembalikannya.
"Kunci rumahnya." Trisha mengulurkannya pada Barra. "Di gue nanti hilang."
"Kasih gantungan yang besar biar nggak hilang."
"Barra, tapi nanti--"
"Jangan merasa bersalah karena udah ganti password apartemenmu. Itu hakmu," ucap Barra hingga Trisha tergugu. "Tapi kunci itu memang punyamu, Sa. Whenever you want to come, just come."
Tapi Trisha tidak bisa. Dia tidak boleh kemari sesuka hati lagi. Kunci ini hanya akan membuatnya tampak kurang ajar. Maka gadis itu meletakkannya di meja dan cepat-cepat mengikuti Barra.
"Nanti sayurnya dipanasin aja. Tapi kalau mau, sih. Lauknya masih bisa dipakai buat besok pagi. Udangnya juga, jangan lupa dipanasin lagi. Sayang kalau basi. Masih banyak, itu." Gadis itu duduk di samping Barra, otomatis meraih tisu dan membersihkan kaca mobil yang berembun. "Dan jangan jadi stalker lagi."
Trisha menunggu, namun Barra tidak juga memberi respon. Lelaki itu hanya menatap jalanan dalam diam.
"Seriously, you need to stop that!"
"And you need to stop doing that, Sa," sahut Barra kalem. "Lo akan jadi orang pertama yang tahu kalau gue punya calon. I promise you so, just stop it."
"Oh, gue merasa terhormat," sahut Trisha pahit. "Apa gue perlu bawa konfeti?"
"Hm. Dia perlu disambut dengan baik."
"Ha ha!" Trisha tertawa garing. Lelaki itu meliriknya, namun Trisha membuang wajah ke luar jendela sebelum menghela napas dalam-dalam.
==
Selamat soreee,
Happy reading. Please be happy, be healthy, be safe.
I luv you
💖💖💖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top