BAB 7. Kencan
Begitulah yaa, begitulaah.
Happy sunday, happy reading
🌸🌸🌸
===
"Like it. Thank you."
Trisha mengangkat alis ketika Prima mengirimkan foto berisi kemeja dan dasi pemberian Trisha.
"But this is too much for a spilled coffe. So let me take you for dinner tomorrow."
Ng--sebentar...ini, nganu--
Trisha menggaruk lehernya dengan canggung dan memutuskan untuk membalas pesan Prima besok saja.
Gadis itu kembali fokus pada pekerjaannya hingga satu jam kemudian, Trisha memutuskan untuk beristirahat. Gadis itu turun tangga sambil memijiti lengannya yang pegal, lalu berhenti saat melihat pintu depan masih terbuka lebar. Trisha iseng mengintip, dan langsung bertemu dengan sepasang mata milik Barra.
Lelaki itu melirik Trisha sebelum menggerakkan bidaknya. "Checkmate."
"Lagi?" Guntur menyipit sebelum menemukan Trisha. "Baru turun?"
"Lembur," jawab Trisha sebelum pergi ke dapur. Gadis itu mengambil minum untuk dirinya sendiri, lalu berdecak pelan.
Trisha memakai cardigan untuk menutupi kamisol tidurnya yang hanya sebatas paha, lalu menyiapkan semangkuk kurma dan kacang pistachio untuk mengisi camilan yang habis.
Bukan hal aneh jika Barra kemari. Dulu, Guntur yang mengajari Barra bermain catur. Lalu setelah kekalahan pertama Guntur, ayah Trisha menganggap Barra sebagai lawan yang menantang. Guntur suka sekali mengajak Barra bermain catur sambil mengobrol banyak hal.
"Jam berapa ke sini?" Trisha bertanya sambil mengisi cangkir keduanya dengan teh. Ia juga menuangkan satu cangkir untuk dirinya sendiri.
"Delapan," jawab Barra.
"Mau bergabung?" Guntur bertanya. "Lihat duel kalian pasti menyenangkan."
"Masih banyak kerjaan. Enjoy your time, gentlemen." Trisha mengecup pipi Guntur.
Hah! Lebih baik suaminya besok bisa mengimbangi ayahnya dalam bermain catur. Jika tidak, ayahnya akan sering meminta Barra ke rumah untuk sekedar membunuh waktu. Itu pasti akan sangat canggung.
Ha. Ha. Suami.
==
"Sudah jadi?"
Trisha mengangguk dan menyerahkan angka tiga puluh yang baru saja ia bentuk dari sterofoam.
"Sempurna." Prima duduk di sampingnya. "Spanduk dan posternya sudah dicetak."
"Iya. Aku udah lihat tadi," gumam Trisha.
"Hm. Kemejanya nyaman. Dasinya juga bagus-bagus," ucap Prima hingga Trisha menoleh. Lelaki itu memang memakai kemeja pemberian Trisha. "Gimana kalau besok-besok, kamu saja yang pilih kemeja saya?"
Trisha nyengir kaku, berusaha keras menganggap kalimat Prima hanyalah ungkapan apresiasi.
"Tentang dinner, itu maksudnya mau ngobrolin HUT?" tanya Trisha pada akhirnya.
Prima tersenyum kaku. "Are you serious, Gemma Naratrisha?"
Trisha mengangkat bahu. "Aku melihat banyak kemungkinan di sana. Apakah aku perlu bawa gunting sama selotip karena Mas Prima ngajak aku makan sambil bikin dekorasi? Ataukah aku perlu bawa laptop karena ternyata Mas Prima ajak Mas Dion, terus kita bertiga mulai diskusi proyek Athena? Atau--"
"Atau kamu bisa pakai gaun malam yang cantik karena saya mau ajak kamu diskusi tentang masa depan."
Trisha tercengang. Lelaki itu tersenyum kaku.
"Jadi, bagaimana kalau kita melanjutkan skenario aplikasi matchmaker itu?" ucapnya. "Saya ingin mengenal kamu lebih dekat, Trisha. Yes, or no, saya mau jawabannya sepuluh menit lagi."
==
"Kita nggak pernah tahu jodoh kita dikirim lewat apa."
Sebab Trisha pernah mendengar tentang hubungan yang diusahakan. Tentang usaha-usaha manusia untuk saling mengenal, seperti Mika dan Januar. Maka untuk alasan itu, Trisha memenuhi undangan Prima.
Trisha menatap wajahnya di cermin.
Matanya hitam pekat, seperti milik Guntur. Namun wajah oval dan bibir itu, adalah milik Juni. Ia membiarkan rambutnya tergerai hingga ke punggung, menghiasinya dengan japit kecil berwarna emas. Gaun satin hitam membalut tubuhnya dengan sempurna. Trisha sudah selesai berdandan sejak lima menit lalu, namun ia belum beranjak dari meja riasnya.
Dua puluh tujuh tahun. Dua puluh tujuh tahun dan dia baru saja menyadari bahwa dia tidak pernah keluar dengan laki-laki selain Barra. Rasanya memang agak aneh.
Trisha keluar saat bel pintu berbunyi. Tapi ternyata, itu bukan Prima.
Barra berdiri di sana, menatap Trisha dalam diam hingga gadis itu canggung sendiri. Barra pasti sadar jika Trisha sudah mengganti password apartemennya sampai-sampai dia perlu menekan bel. Padahal sebelum ini, dia selalu memberitahu Barra password apartemennya agar lelaki itu bisa keluar masuk apartemen Trisha tanpa kendala. Sama seperti rumah Barra yang menjadi rumah kedua untuk Trisha, apartemen Trisha adalah rumah kedua untuk Barra.
Setidaknya, sampai kemarin.
"Ada acara?" Barra langsung menatap gaun satin yang dikenakan Trisha.
Trisha mengangguk. "Kenapa, Bar?"
"Dapat ubi ungu dari klien," gumamnya mengangkat sebuah kardus kecil. "Biasanya suka dibikin brownies."
"Wah, thank you." Trisha menerimanya dengan senang hati.
"Acara kantor?"
Senyum Trisha memudar. Gadis itu mengangkat bahu, sengaja menghindar dari tatapan Barra.
"Bikin kapan?"
"Entah. Malam ini ada acara." Gadis itu meletakkan ubinya di pantry dan mengulurkan segelas air pada lelaki itu. "Pulang kerja? Lancar?"
Lelaki itu mengangguk dan menerima uluran gelas Trisha. Namun alih-alih meminumnya, ia justru menatap Trisha dengan lekat. "Pulang jam berapa?"
"Suka-suka, dong." Trisha meraih tisu dan mengusap pipi Barra. "Tadi nyemil apa deh? Sampai ke pipi-pipi gini."
"Pulang jam berapa, Sasa?"
"Nggak tahu. Gue mau berangkat. Mau istirahat di sini apa pulang?"
Namun Barra justru menatapnya semakin dingin. "Pergi sama siapa?"
Suara bel menyelamatkan Trisha dari suasana angker yang mulai menyeruak. Gadis itu cepat-cepat kabur untuk membuka pintu.
"Sasa," sapa Prima tersenyum. "You're beautiful. Berangkat sekarang?"
"Iya," jawab Trisha gugup, lalu kembali merinding saat aura menyeramkan Barra hadir di sebelahnya.
Prima mengangkat alis. "Baru ada tamu?"
"Mas Prima, ini Barra. Bar, Mas Prima." Trisha buru-buru menengahi aura dingin yang semakin membekukan.
Prima tersenyum kaku dan mengulurkan tangan. "Nice to meet you."
Perut Trisha segera melilit saat Barra tidak kunjung mencairkan mode dinginnya, namun Barra menyambut juga uluran tangan Prima. Barra menatap lelaki itu sedemikian rupa hingga Trisha berpikir bahwa dia harus menyelamatkan Prima kali ini. Tapi belum sempat dia bicara, Barra sudah melepaskannya.
"Jangan pulang malam-malam," ucapnya sebelum beranjak pergi.
"Dia yang kemarin jemput kamu, kan?" tanya Prima saat mereka turun.
Trisha mengangguk. "Teman. Dari dulu."
Prima menatapnya sekilas, namun tidak berkata apa-apa.
"Saya tahu saya sudah mengatakannya, tapi kamu cantik malam ini," ucap Prima saat mereka mulai berjalan. "Maksud saya, kamu selalu cantik, Trisha. Tapi malam ini, lebih cantik lagi."
Prima terlihat canggung hingga Trisha tersenyum kecil.
Bukan awal yang buruk, kan?
Hingga ia melihat mobil Barra mengikuti dari belakang, dan perasaan gadis itu kembali berhamburan.
"Kamu berapa bersaudara?"
"Um?" Gadis itu kembali fokus ke depan. "Aku anak tunggal. Mas Prima?"
"Saya anak kedua dari empat bersaudara."
"Pasti ramai, ya," celetuk Trisha. "Aku dulu pernah iri sama temanku karena mereka punya saudara. Waktu kecil, aku bahkan nangis kalau maghrib tiba. Karena itu artinya aku udah nggak bisa main lagi."
"Curhatan wajib anak tunggal." Prima tertawa. "Sekarang udah nggak lagi, kalau begitu?"
Trisha ikut terkekeh. "Karena ada Barra, jadi nggak terlalu sepi--"
Trisha menghentikan ocehannya, dan menghela napas dalam.
"Barra." Prima tersenyum. "Sepertinya dia lebih dari sekedar teman. Dia bisa membuat kamu nggak kesepian lagi."
Gadis itu melirik spion, memandangi mobil Barra yang hilang timbul di kegelapan.
Teman, saudara, kakak. Seseorang yang dicari saat sedih, seseorang yang dicari saat bahagia, seseorang yang dicari saat Trisha tidak tahu apa-apa. Barra mengisi setiap relung kekosongan yang ia punya.
"Rumah kami berdampingan, jadi keakraban itu terjalin begitu saja," gumam Trisha. "Tell me more about your family, Mas."
"Saya? Hm, nggak ada yang istimewa. Ayah, ibu, kakak dan adik dokter. Adik paling bungsu ambil bidang bisnis, dan saya di DKV. Secara almamater, kamu adik tingkat saya, kan?"
"Begitulah." Trisha tersenyum. "Sepertinya keluarga Mas Prima ini keluarga dokter ya?"
Pria berusia tiga puluh tahun itu tertawa. "Keluarga dokter untuk tiga generasi, sebetulnya. Giliranmu, Sa."
"Ibuku jaksa, dan ayah konsultan perminyakan. Keluarga besarku cukup heterogen, jadi nggak ada yang istimewa."
" 'd love to hear that."
Trisha berusaha tersenyum. Jemarinya saling meremas kala ia merasa tidak nyaman. Apakah begini rasanya pergi dengan lelaki lain selain Barra? Berdua saja? Dengan tujuan yang...cukup istimewa?
Ia kembali bertanya pada Prima hanya demi melunturkan kecanggungan, dan bersyukur Prima menanggapinya dengan baik. Mereka saling bertanya banyak hal hingga Prima berbelok menuju Meraki.
"Nggak masalah di sini, kan?"
Nganu...gimana kalau di restoran lain aja? Yang jauh dari sini. Luar kota, mungkin? Atau luar planet sekalian yang nggak ada bau-bau Barranya!
Trisha melirik spion lagi, namun mobil Barra sudah tidak terlihat. Bahkan ketika ia keluar dari mobil dan mencari-cari, Trisha tidak bisa menemukannya.
Meraki di malam hari, adalah surga yang berbeda. Mereka pergi ke lantai dua, mengambil tempat VIP yang menampakan suasana di luar. Kerlap-kerlip lampu kendaraan nun jauh di bawah bagai hamparan batu warna. Mungkin salah satunya, adalah milik Barra.
Just.get.out.of.my.head!!
Trisha berusaha fokus pada obrolannya dengan Prima. Lelaki itu tampak berbeda dari image Prima yang selama ini Trisha kenal. Meskipun wibawanya masih sama, Prima yang ini lebih banyak bicara dan tertawa. Pantas saja ia bisa mengimbangi Dion yang gampang meledak-ledak. Segera saja, rasa asing yang tadi menguasainya kini sirna, digantikan atmosfer hangat yang sarat obrolan mereka berdua.
"Sa?"
Trisha mengangkat wajah dari dessert-nya.
Lelaki itu tampak ragu sejenak, lalu tersenyum canggung. "Next time, boleh ajak kamu dinner lagi?"
Mengambil istilah Mika, mereka jelas cukup klik sampai tahap ini. Dan Trisha, perlu pergi dari laki-laki itu sebelum makin terlambat.
"Sure," ucap Trisha hingga Prima tersenyum lebar.
==
Tapi saat melihat Barra mengobrol dengan satpam malam itu, Trisha tahu dia terlalu sombong.
"Ada perlu?" Gadis itu mendekat hingga membuat keduanya menoleh. "Kenapa di sini lagi?"
Barra melirik jam dinding. "Jam sebelas itu terlalu malam."
Trisha mengangkat alis. "Dari jam berapa di sini?"
Karena Barra tidak menjawab, gadis itu menatap satpam yang sudah sangat kenal dengan mereka berdua.
"Sembilan," jawab sang satpam ringan. "Pak Barra nunggu Bu Sasa dari tadi."
Alis Trisha semakin terangkat. Gadis itu menunggu penjelasan dari Barra, tapi lelaki di depannya tidak kunjung bersuara.
"Terima kasih, Pak. Sepertinya kami perlu bicara." Gadis itu memasuki lift dengan Barra di belakangnya. "Gue nggak ada rencana bikin brownies-nya malam ini, Bar. Udah makan belum? Gue nggak masak, sih. Tapi punya nasi sama telur."
"Lain kali jangan pergi selarut ini."
Trisha melirik Barra, namun tidak menjawabnya hingga mereka masuk ke apartemen Trisha.
"Gue nggak melihat ada masalah. Mas Prima itu oke lho, Bar. Dia atasan gue, dan menurut gue dia orang yang punya rasa tanggungjawab tinggi," balik Trisha.
Suara jarum jam terdengar keras pada hening yang menjadi jeda percakapan mereka.
"Memutuskan untuk serius kali ini?" Suara dalam itu bertanya, dengan secercah nada dingin yang tidak dipahami Trisha.
"Kenapa nggak?" Trisha mencari-cari ikat rambutnya. "Gue perlu berpikir tentang masa depan gue yang ini."
"Dia bisa dipercaya?"
"Itu alasannya gue butuh kenal dia lebih dalam, Barra," ujar Trisha. "Ngomong-ngomong, lo ngikutin gue tadi?"
"Itu perlu."
"Itu nggak perlu!" Trisha menatap Barra dengan tidak percaya. "Kali ini baik-baik aja, kok. Gue kenal dia dan gue nggak merasa terganggu."
"Seberapa kenal?"
"Sekenal itu sampai gue bisa bilang kalau dia senior yang profesional dan bisa dipercaya," tukas Trisha hingga tatapan Barra menajam. Trisha memutar bola mata. "Bar, coba bayangin waktu lo dating terus gue ngikutin di belakang, gimana rasanya, coba? Belum lagi kalau cewek lo tahu, apa nggak ngerasa risih? Ngerasa nggak dihargai?"
"You'll never be a stalker," ucapnya datar membuat Trisha emosi. "Namanya Prima? Apa posisinya?"
"Creative manager," ucap Trisha. "Gue mau mandi, Bar. Mau telur dadar?"
"Pastikan dia orang yang bertanggung jawab, Sa. Jangan gampang dibawa kemana-mana waktu malam hari sebelum lo kenal dia luar dalam."
"Gue nggak dibawa-bawa dengan gampang!" ucap Trisha agak sakit hati. "Barra, dia rekan kerja gue. Apa maksud lo bilang begitu?"
Tatapan Barra melunak. Mendekat, lelaki itu meraih ikat rambut dari tangan Trisha. Jemarinya meraih helaian rambut Trisha, mengumpulkannya jadi satu dalam bentuk kucir ekor kuda. Dengan tinggi Trisha yang hanya sedagu Barra, lelaki itu bisa melakukannya dengan mudah.
"Ngobrol bisa di mana saja, kapan saja. Tapi jangan di malam hari."
"Alasan?" Trisha bersedekap.
"Setan berkeliaran di malam hari."
"You know? Pada kenyataannya, setan lebih rajin ketimbang manusia. Dia kerja dua puluh empat jam non-st--aduh!"
Trisha mengusap bekas jentikan Barra di dahinya.
"You hear me, Trisha. Gue pulang."
"Udah makan belum?"
"Nanti di rumah."
Punggung tegap itu menghilang, dan hawa angker yang sedari tadi berpusar di udara ikut sirna. Trisha menarik napas panjang, berusaha menepis kemungkinan bahwa lelaki itu belum makan sedari tadi.
Barra masih memakai pakaian kerjanya, berarti dia benar-benar di sini sejak tadi. Wajahnya lelah, dan matanya sedikit merah. Rasa bersalah menyusup di kalbu Trisha, tetapi gadis itu segera menepisnya. Kali ini, Barra harus berhenti menakuti calon potensial Trisha.
"Kebiasaan! Salahnya sendiri nggak pulang dan malah stalking-stalking begitu," gerutu Trisha meraih handuknya. "Memangnya gue masih bayi?! Heii, gue bahkan udah bisa bikin bayi seimut Akala!"
"Memutuskan untuk serius kali ini?"
"Yep!" sahut Trisha pasti. "Serius!"
Gadis itu menghidupkan kipas angin dengan level maksimal, berharap aroma Barra sudah pergi saat dia selesai mandi nanti.
Tapi bukannya segera mandi, gadis itu justru kembali menyambar gawainya dan mengetik dengan jengkel.
"Beneran makan! No skip-skip!"
*TBC*
Selamat soreeee. Please be happy, be healthy, be safe.
Luv yuu 💖💖💖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top