BAB 6. Chilly Chit Chat

"Gue baca dulu. Sa, pastikan kamu dapat feel-nya." Dion memegang dadanya dengan serius. "Soul ceritanya. Paham?"

"Iya, Mas Vam--Dion."

"Bagus. Pokoknya saya mau apa pun konsep yang kamu susun, Prima juga tahu. Seperti biasa, elemen juga penting buat menyelaraskan tema iklannya nanti. Prim, fix pakai motion graphic, ya."

"Oke."

"Good. Sa, saya tunggu draft kasarnya besok pagi."

"What?"

"You hear me, Sa. Off guys," ucap Dion sebelum melangkah keluar.

"Dia cuma ingin yang terbaik," ujar Prima menenangkan. "Ini kesempatan besar. Begitu publik tahu bahwa MediaRenjana akan menerbitkan buku Athena, gelombang euforia itu pasti bakal besar. Tapi saya bisa bantu kamu kalau dibutuhkan. Mari kita saling bantu saja."

"Hm, toh akhirnya kita nanti pasti sering ngobrol," ucap Trisha. "Mas Dion juga pasti kepingin strategi marketingnya lain daripada yang lain."

"Banyak PR, ya." Prima nyengir lebar.

"Begitulah." Trisha terkekeh. "Aku duluan, Mas."

"Sa?"

Trisha yang hendak membuka pintu, menoleh. "Ya?"

Prima tampak menimbang-nimbang. "Cowok yang kemarin itu, pacarmu?"

"Cowok yang kema--oh..." Trisha tersenyum simpul dan menggeleng. "Teman."

Prima manggut-manggut sebelum membiarkan Trisha pergi lebih dulu.

Trisha keluar, dengan sebuah tekad bahwa dia harus mengganti kemeja Prima. Serius, lelaki itu tidak tahu atau memang terlalu santai? Atau Prima memang sengaja menyiksa Trisha dengan mengintimidasinya secara emosional? Bisa-bisanya dia berkeliaran di sekitar Trisha dengan memakai kemeja bekas noda kopi!

"Sasa!"

Mika menyambanginya dengan wajah berbinar. "Sa, nanti temenin gue belanja, yuk?"

"Belanja apa?"

"Gue mau dating malam ini," jawabnya tersipu. "Ya ya? Temenin gue, ya?"

"Iya deh." Toh, dia juga bisa sekalian mencari kemeja untuk Prima. "Tapi jangan malam-malam. Gue harus balik sebelum jam tujuh."

Dan benar saja, Mika mengajaknya pergi mencari kemeja setelah jam pulang kantor.

Mereka memasuki gerai sepatu, dan Mika langsung sibuk menjajal beberapa sepatu. Sementara Trisha melihat-lihat dengan setengah hati.

"Nggak beli, Sa?" tanya Mika yang membawa dua buah kantong belanja.

Trisha menggeleng. "Mau beli semuanya?"

"Yep" sahutnya ceria. "Ini tatap muka pertama kami. Impresi pertama dari gue harus sempurna."

Trisha meninggalkan Mika yang sedang sibuk, lalu pergi mencari kemeja. Dia ingin membelikan satu kemeja berwarna putih, serta satu kemeja lagi sebagai tanda permintaan maaf. Dia sering mencari kemeja untuk Barra hingga hapal ukuran sampai selera kemeja yang disukai lelaki itu. Tapi, selera Prima belum tentu sama.

Gadis itu sedang memilih-milih ketika Mika mencolek bahunya. "Mau beli sekalian buat Barra?"

"Bukan."

"Oh, lalu?" tanyanya. "Papamu?"

"Ra-ha-si-a."

Senyum Mika merekah. "Wow! Wah! Gue jadi penasaran. Udah nemu yang klik?"

Trisha mendengkus tipis.

"Klik," gumam Trisha sambil memilih-milih. "Apa artinya itu?"

Mika mengangkat bahu, ikut memilih-milih juga. "Semacam awal mula dari rasa nyaman, cocok, hal-hal semacam itu. Gue rasa, salah satu alasan orang mau menjajal hubungan karena mereka merasa klik. Di usia kita ini, falling for instant love udah jarang banget. Kenapa, ya? Mungkin karena udah terlalu kenal sama keburikan dunia jadi penginnya yang logis-logis aja gitu?"

Mika mengernyit kala memikirkan kata-katanya sendiri, lalu mengangkat bahu. "Pokoknya begitu. Hm, apa gue beliin satu juga buat Januar, ya?"

Mika memilih-milih kemeja dengan antusias, sementara Trisha mengambil satu kemeja yang menarik perhatiannya. Ini, Barra pasti akan suka. Ditambah dasi biru dongker, lelaki itu pasti terlihat makin gagah.

"Saya calon istrinya."

Trisha mendengkus dan kembali meletakkan kemeja itu.

"Tapi Sa, jawab jujur deh. Lo sama Barra beneran nggak ada apa-apa?" Mika bertanya serius.

"Untuk kesekian kalinya, Ramika. Nggak ada apa-apa di antara kami," gumam Trisha.

"Honestly, waktu lo ngenalin Barra pertama kali sebagai teman, gue agak sangsi." Mika terkekeh. "Like, seriously? Lo mungkin nggak merasa, Sa. Tapi dari kacamata orang luar, interaksi kalian itu beda. Lo pikir kenapa cowok-cowok yang suka lo mundur duluan? Gue aja sempat nge-ship kalian. Tapi setelah dua tahun nggak ada perkembangan, kapal gue terpaksa karam."

"Nge-ship dibilang." Trisha tertawa kecil.

Mika mengangkat bahu. "Mungkin karena prioritas kita berbeda. Tapi bagi gue yang udah sibuk nyari calon suami sejak umur dua tiga, lo tuh santai banget."

Trisha mengernyit. "Itu aneh buat lo?"

"Iya." Mika tertawa. "Usia kita sama, Sa. Tapi life goal kita di usia dua puluhan jelas berbeda. Lo dengan pencapaian karir dan kemandirian finansial, yang akhirnya lo punya. Lo belum pusing masalah jodoh. Sementara gue, udah punya target nikah di umur dua tiga, walaupun nyatanya harus ketunda lima tahun karena mantan gue yang agak berengsek."

Kalimat Mika mendadak mengingatkan Trisha akan Sherly yang berkata bahwa alasan Trisha susah jodoh mungkin saja karena terlalu mementingkan karir, yang membuat Trisha tidak habis pikir. Salahkah dirinya jika ingin membangun pondasi hidupnya lebih dulu? Salahkah dirinya jika dia belum pernah berkencan hingga usia dua puluh tujuh? Salahkah dirinya jika ia mempunyai kriteria-kriteria tertentu untuk pasangannya?

"Menurutmu, prioritas pencapaian gue keliru?" tanya Trisha.

"No, no. Don't get me wrong. Semua orang berhak punya target hidupnya masing-masing. Gue cuma bilang kalau gue kepingin punya anak di bawah umur tiga puluh biar fisik gue masih sehat waktu mereka besar nanti. Jadi waktu tahu lo belum pernah dating dan nolak senior-senior itu tanpa pertimbangan, gue bahkan ngira lo nggak kepingin nikah. Hah, kalau gue jadi pacar Barra, gue pasti cemburu banget sama lo."

"Oh...kenapa?"

"Mmm...lo pasti akan jadi rival yang berat, kecuali Barra bisa memprioritaskan pacarnya. His girlfriend should be his number one priority. Tapi lihat semua perhatian Barra ke lo, gue penasaran gimana dia nge-treat pacarnya nanti. He'll be amazing boyfriend deh kayaknya."

Number one...priority?

"Sa, yuk lihat dasi sekalian!" Suara Mika menyadarkan Trisha. Gadis itu ikut meraih sebuah dasi yang menarik perhatiannya. Hitam dengan motif batik berwarna emas yang terkesan mewah dan elegan. Pasti akan bagus jika Barra mengenakannya.

Trisha membelai dasi itu sejenak, lalu mengembalikannya.

"Cemburu?" batin Trisha mendengkus. "Kenapa harus cemburu? Apa yang perlu dicemburui dari gue sama Barra, coba?"

"Baru di luar. Kenapa, Mas?"

Wajah Mika yang memerah cukup memberitahu Trisha siapa gerangan yang menelfonnya.

"Minggu depan, ya."

Mika menatap gawainya sambil menggigit bibir, lalu tersenyum lebar.

"God, wajah gue pasti norak banget," gumamnya seraya menangkupkan tangan di pipi.

Trisha tertawa. "Gue punya perasaan habis ini lo bakal nyebar undangan."

"Bastian dulu, lah."

"Anak itu udah tunangan tiga tahun lalu, tapi belum nikah-nikah. Kayaknya lo duluan daripada dia."

Mika terkekeh. "Doakan aja. Gue bener-bener suka dia."

Trisha melirik Mika, yang wajahnya memerah lagi. "Gue norak banget pasti."

Trisha menepuk-nepuk bahunya. "Gue nggak pernah menganggap penyaluran ekspresi itu sesuatu yang norak. Udah yakin benar sama yang ini?"

"Dia...beda. Rasanya, kami bertemu dan melalui semuanya di waktu yang tepat. Dia bikin gue menginginkannya lagi dan lagi." Mika melirik Trisha. "Lo beneran nggak mau nyoba MR, Sa? Agak sayang kalau lo melewatkan Pak Prima, sih. Ini Pak Prima lo, Saaaa!"

"Ya kalau gue nggak oke mau gimana, Ramika?"

"Nyoba kek, apa kek...namanya juga usaha! Atau lo berencana nggak nikah?"

Trisha memutar bola mata hingga Mika gemas sendiri.

"Not that bad, you know? Yaudah sih kalau emang ngerasa nggak cocok sama Pak Prima. Lo bisa cari kandidat lain di Madam Rose. Kita nggak pernah tahu jodoh kita dikirim lewat apa."

Trisha mendengkus, yang disambut Mika dengan dengkusan juga.

"Nggak usah sok-sokan ngedengkus gitu, Sa. Tuhan nggak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubahnya. Itu artinya, Tuhan mau kita berusaha. Dan zaman sekarang, aplikasi dating kayak gini termasuk alat buat cari jodoh. Siapa tahu takdir lo kayak gue, kan? Ketemu cowok yang berhasil bikin lo berdebar lewat aplikasi merah jambu unyu ini."

Trisha meraih gawai Mika yang disodorkan dengan penuh semangat. Matanya menyala-nyala penuh gairah ketika melihat Trisha mengamati aplikasi merah jambu itu.

Berusaha, ya?

==

Gadis itu berguling di kasur dan mengamati aplikasi merah jambu yang kembali ia aktifkan. Setelah membaca review-nya, sepertinya dia harus mengakui bahwa dia tidak bisa menganggap remeh aplikasi yang menjadi dewi penolong Mika.

Diluncurkan satu tahun lalu, pengguna Madam Rose telah melesat hingga berjuta-juta. Ulasannya pun positif, dan banyak dari mereka mengucapkan terima kasih karena sudah menemukan belahan jiwa lewat Madam Rose.

Dia sedang membaca saat chat dari Prima menyela aktivitasnya.

"Like it. Thank you."

Trisha mengangkat alis ketika Prima mengirimkan foto berisi kemeja dan dasi pemberian Trisha.

"But this is too much for a spilled coffe. So let me take you for dinner tomorrow, Sasa."


*TBC*

Selamat sore, please be happy, be healthy, be safe yaa. Kita ketemu minggu depan.

Luv yuu

💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top