BAB 5. Kabur dan Tersesat

Trisha menyalakan kipas angin untuk mengeringkan rambutnya.

Gadis berpiyama itu mengusap rambut sambil menatap kosong pada bangunan tidak berpenghuni yang berada tepat di seberang rumah. Meskipun ada tembok yang memisahkan dua rumah yang berjajar, rumah itu terlihat jelas dari kamar Trisha yang terletak di lantai dua.

Kamar Barra berada tepat di samping kamarnya, dulu. Jendela Barra dan balkon kamar Trisha berhadapan sehingga setiap malam, Trisha bisa melihat Barra yang duduk di meja belajar.

Trisha bertemu Barra di sore hari yang konyol, saat ia sedang bermain dengan anak-anak yang lain. Barra berumur sebelas tahun waktu itu, dan Trisha berusia sembilan tahun. Waktu tahu jika dia punya tetangga baru, Trisha bahagia luar biasa.

Meskipun Trisha punya banyak teman, senja menjadi begitu berbeda bagi Trisha si anak tunggal. Tapi keberadaan Barra tepat di samping kamarnya, membuat keadaan berubah. Dia seperti menemukan teman yang bisa diganggu hingga larut malam. Meskipun Barra tampak kesal, tapi lelaki itu tidak pernah menutup jendelanya. Hanya menutup tirai, membiarkan Trisha melemparkan gulungan kertas dengan ketapel hingga Trisha lelah sendiri dan kembali belajar. Di lain waktu, gulungan kertas itu akan berisi soal PR yang tidak Trisha mengerti, kemudian Barra akan membalas lemparan kertasnya dengan gulungan kertas berisi cara dan jawaban.

"Sa, punya hairdryer?" Salah satu sepupunya memasuki kamar.

"Rusak. Sini aja, cari angin."

Desi yang lebih tua tiga tahun darinya itu mendekat. "Rumah itu, statusnya masih disita bank?"

"Katanya udah ada yang beli, tapi si pembeli belum pernah datang," jawab Trisha dengan perut yang tidak nyaman.

"Agak spooky ya," komentarnya. "Si-siapa itu temanmu dulu yang tinggal di situ?"

"Barra."

"Iya. Itu gimana kabarnya sekarang? Arsitek kan?" tanya Desi ingin tahu. "Masih di perusahaan arsitektur?"

"Iya, di ZigmaArchitect."

"Hm, jadi sukses, ya."

"Kenapa harus nggak sukses?" balik Trisha agak jengkel.

Desi mengerutkan kening. "Gue cuma komentar, Sa. No hard feeling about him. What's wrong with you?"

Gadis itu hanya mengusap rambutnya dengan tambah cepat. "Aku mau bantu Mama. Mau pakai hairdryer-nya Mama?"

"Iya deh. Gue buru-buru ini, mumpung Tania masih tidur."

Trisha melirik tiga balita yang tertidur di kasurnya sejak tadi. Kalau sedang kumpul keluarga begini, beberapa bayi akan tergeletak di kamarnya. Terkadang dia tidak tahu mereka siapa, atau anak sepupu yang mana. Tahu-tahu saja kamar Trisha akan beraroma bayi, dan banyak sekali tas-tas bayi di lantai.

Tapi Trisha tidak mengeluh. Buntelan-buntelan itu terlihat sangat menggemaskan. Bulat-bulat imut seperti kacang polong yang berjajar rapi. Trisha melirik Desi yang mengawasinya lekat-lekat, lalu segera kabur. Lebih baik dia tidak menggigit pipi Tania jika tidak ingin Desi mengamuk.

**

"Jadi, tinggal nunggu undangannya Sasa. Kapan ini, Jun?"

Ah, payung mana payung? Budhe Aila beruntung. Ini, adalah pertanyaan kelima yang ia dapatkan di pertengahan hari ini.

"Terserah anaknya. Coba tanya, udah ada calon apa belum," balik Juni sebelum meninggalkan Trisha yang mati kutu.

"Dua puluh tujuh lho, Sa, sebentar lagi udah mau kepala tiga. Udah punya kerjaan juga, jadi nunggu apa lagi?" tanya Aila. "Perempuan punya yang namanya masa subur, dan masa menopause. Risiko melahirkan di atas umur tiga puluh itu banyak."

"Sekarang ilmu kedokteran juga sudah maju, Budhe. Sasa punya banyak teman yang masih melahirkan di usia tiga puluh, dan syukurlah semuanya baik-baik saja."

"Tapi tetap saja risiko itu ada. Khalila bahkan udah punya anak dua, padahal dia empat tahun di bawahmu," tukas Aila menyebut adik sepupu Trisha. "Kasihan Guntur sama Juni, Sa. Makin berumur, nanti nggak sempat ketemu cucu."

"Trisha juga nggak minat lajang seumur hidup kok, Bude," sahut Trisha.

"Terlalu pilih-pilih kamu." Emy, adik Juni mengikuti obrolan dengan duduk di samping Aila. "Jangan kebanyakan kriteria. Manusia nggak ada yang sempurna."

"Bulik, mana bisa Sasa nggak pilih-pilih calon suami? Beli baju aja pilih-pilih, masa teman hidup pilihnya suka-suka dan asal dapat? Nggak bisa dong. Sasa tetap punya kriteria buat calon suami Trisha nanti."

"Memangnya apa kriteria calon suamimu, Sa? Jangan muluk-muluk, nanti susah."

"Yang kayak Papa?"

Alia berdecak. "Papamu itu nemunya di gunung. Susah."

Trisha tertawa geli ketika teringat kisah cinta orangtuanya sendiri.

"Mau sampai kapan, Sa? Kamu nggak kesepian?"

"Budhe, banyak orang yang udah nikah tapi tetap aja merasa kesepian," ucap Trisha sabar. "Sasa rasa, menikah bukan solusi dari rasa kesepian. Dan Sasa nggak merasa sepi. Sasa hepi-hepi lho ini."

"Kamu kalau dinasehati orang tua didengar, Sasa," ucap Emy mulai gemas. "Jangan nunda-nunda. Nggak bagus. Kalau ada yang baik, pertimbangkan."

"Doakan saja cepat dapat, Bulik," balas Trisha yang merasa bahwa perdebatan ini tidak akan pernah selesai.

"Udahlah Ma. Nanti kalau anaknya dapat juga pasti dikenalin ke kita-kita." Romeo, kakak sepupunya mendekat sambil menggendong putranya yang baru berusia satu tahun.

"Maksud Budhe itu, jangan sampai Trisha keasyikan sendiri, tahu-tahu saja usia sudah tua. Kamu nggak mau gendong anak lucu begini, Sa?"

"Ma!" tegur Romeo. "Sa, dipanggil Bulik Juni tadi. Sana pergi!"

Trisha menggigiti pipi Rega sebelum menyerahkannya pada Romeo. "Dadah Regaaa..."

Emy dan Aila menggeleng-gelengkan kepala, namun Trisha hanya nyengir saja. Gadis itu mencari Juni, yang ternyata sedang menata kue di dalam rumah.

"Kenapa, Ma?" tanya Trisha.

"Nggak kenapa-kenapa," jawabnya. "Minta Romeo nyulik kamu tadi."

Trisha memeluk lengan Juni. "Udah kepingin punya cucu, Ma?"

Juni menyentil dahinya. "Ngomong apa, sih? Mama percaya kamu udah dewasa, sudah punya banyak bekal untuk pertimbangan. Omongan Budhe sama Bulikmu tadi didengar aja, jangan dijadikan beban. Ketemu banyak orang, udah risiko dengar banyak pendapat. Yang penting prinsipmu, paham?"

Trisha mengangguk. Nasehat itu bukan pertama kalinya didengar Trisha. Juni adalah sosok ibu yang hangat dan tegas di saat yang sama.

"Mama mau telfon Papamu dulu. Ini pesawatnya delay lagi." Juni melepaskan diri dari pelukan Trisha. Namun Trisha justru mengeratkan pelukan.

"Kenapa Papa lama pulangnya sih?" gumam Trisha.

"Kemarin ada kecelakaan kecil di rig, kan. Tapi untung Papa nggak kenapa-napa," ucap Juni.

Trisha merinding sendiri saat dirinya merasa sangat gelisah beberapa waktu lalu. Ketika Trisha bilang bahwa dia ingin punya suami seperti Papanya, Trisha tidak berbohong. Kata orang, ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Trisha merasa itu benar. Kasih sayang yang ditunjukkan Guntur untuk Juni dan Trisha terasa begitu besar, begitu hangat sampai-sampai Trisha tidak mampu membayangkan orangtuanya terluka sedikit saja.

"Ma, Mama nggak mau spill tips and trick dapetin suami macam Papa?"

"Hm, sering-sering naik gunung?"

Trisha memutar bola mata, yang membuat Juni tertawa.

"Mama mau keluar dulu. Papamu tidur palingan."

Trisha bersandar di lengan sofa dan mengeluarkan gawai yang sedari tadi didiamkan di saku, lalu sedikit menyesal sudah membukanya. Sebab pesan dari Dion langsung menderanya.

"Ini tuh Minggu lho, Minggu! Hak libur umat sejagad raya!" geram Trisha meskipun ia membalasnya satu persatu dengan lapang dada.

"Sa, mau kenalan sama anaknya teman Bulik?" ucap Emy yang mengambil kue. "Guru. Udah mapan. Buagus anaknya."

Trisha hanya meringis.

"Umurnya sama kayak kamu, Sa. Dua puluh tujuh. Anaknya sopan, dari keluarga baik-baik," ucap Emy dengan semangat. "Anak kepseknya Bulik. Nyoba, ya? Nggak ada salahnya..."

Dia tidak mungkin mengajak hang out Nora yang sedang hamil besar. Sherly sedang sibuk menikmati perannya sebagai pengantin baru, dan Mika sudah pasti sibuk dengan gebetan online-nya.

"...sama dia, nggak nyesel, Sa. Bulik pernah ketemu dan..."

Dia bisa meminta bantuan Barra untuk melepaskannya dari serangan-serangan Emy, tapi dia masih emosi pada Barra.

"...jadi jaminan kamu pasti bahagia kalau sama dia. Anaknya nggak pernah aneh-aneh..."

Sambil terus tersenyum pada Emy, pada akhirnya Trisha mengirim pesan.

"Bar, sibuk?"

Pesan dari Barra datang di menit yang sama.

"Sibuk."

Trisha mengerucutkan bibir dan tidak membalas pesannya lagi. Sudahlah. Lagipula, kurang sopan meninggalkan acara keluarga begini. Ia mendengarkan Emy yang mempromosikan putra kepala sekolahnya dengan tabah. Namun lima menit kemudian, Barra kembali mengirim pesan.

"Kenapa?"

"Katanya sibuk?"

"Udah selesai."

Trisha menatap Emy yang masih bersemangat menjodohkannya dengan si anak kepsek, lalu mengambil keputusan.

"Save me."

==

Sambil menyandarkan dahi di kaca, gadis itu mengunyah muffin-nya. Hanya ada suara radio yang memecah keheningan, sementara Barra mengemudi dalam diam.

"Madu yang di dapur itu kayaknya udah nggak bagus," ucap Trisha akhirnya. "Nanti dibuang, Bar. Bahaya."

"Hm."

Trisha mengambil muffin baru dan membelahnya. "Mau?"

Barra membuka mulut.

"Pokoknya jangan lupa dibuang. Ada bakteri apa gitu." Trisha menyuapkan sepotong muffin itu pada Barra. "Lo pernah ditanya-tanya tentang nikah sama Om Barata, belum?"

"Hm."

"Nggak merasa keganggu?"

Barra menggeleng. Trisha mengerucutkan bibir.

"Jujur aja, gue pun nggak akan merasa terganggu kalau pertanyaannya cuma sebatas, 'udah nikah belum, Sa?'. Karena bisa jadi mereka emang cuma tanya, ya kan?" Trisha berkata. "Tapi masalahnya, kadang orang tanya itu ada terusannya. Dan gue, mulai keganggu kalau udah dibanding-bandingin."

"Hm."

"Kayaknya topik itu urgent banget, ya. Apa gue yang nggak normal?" Trisha merobek muffinnya sebelum menyuapkannya lagi pada Barra. "Tapi mungkin, memang nggak ada salahnya nyoba kenalan. Yah, perkara jodoh memang terkadang harus diusahakan--Barra, lo gigit apa?"

Bukannya melepaskan jari telunjuk Trisha, lelaki itu justru menatapnya datar. Sepasang mata itu dekat, terlalu dekat hingga Trisha bisa melihat pantulan wajahnya sendiri di sana.

"Aduh!" Trisha menarik jari ketika Barra sedikit menambah kekuatan gigitan sebelum melepaskannya.

"Jangan terlalu dipikir," ucap Barra. "Nikah ketika lo udah siap secara mental dan fisik, bukan karena standar hidup orang lain."

"Hng--gue setuju," gumam Trisha. "Tapi mungkin nggak ada salahnya mikirin itu dari sekarang."

Barra melirik, yang dijawab Trisha dengan mengangkat alis.

"Aaa--yang lebar! Jangan gigit-gigit lagi...bagus!" tukas Trisha ketika kembali menyuapkan muffin, lalu senyumnya mengembang kala Barra berbelok di salah satu restoran favorit mereka. "Wah...Meraki? Yeay!"

Gadis itu mengikuti langkah Barra dengan antusias. Sejak Barra memperkenalkan Meraki padanya, Trisha langsung menyukainya. Segala hal tentang restoran itu, mulai dari vibe hingga hidangannya, seperti oase di tengah-tengah kesibukan kota.

"Barra."

Seorang lelaki menghentikan mereka di depan, sedang menggendong anak kecil yang sibuk bermain dengan sebuah topi. Anak kecil itu mengedip lucu, membuat Trisha gemas pada mata bundar bermanik pekatnya. Trisha tersenyum tanpa sadar, yang dibalasnya dengan cengiran lebar hingga menampakkan gigi-gigi imut dan sepasang lesung pipi yang membuatnya manis sekali.

"Ya ampun ganteng banget!" Trisha mencubiti lengan Barra. "Barra, mau satu yang kayak gitu."

"Lama nggak kelihatan." Si lelaki tadi tersenyum lebar dan menjabat tangan Barra. "Lunch?"

Barra mengangguk. "Mau pergi? Kami baru saja sampai."

"Acara keluarga, sayangnya," jawab si lelaki bersamaan dengan datangnya seorang wanita yang membawa tas bermotif Thomas and Friends. Wanita itu menyadari kehadiran Barra dan Trisha, kemudian tersenyum menyapa. Trisha tebak, itu pasti sang ibu. Sebab wanita itu juga punya lesung pipi.

"Gue duluan. Enjoy your day." Si lelaki tersenyum ramah pada Trisha, lalu berjalan keluar.

"Capek, ya? Sini, Akala sama Mama."

"Lho, Akala sama Mama? Sama Mama atau Papa? Hm?" Si lelaki tertawa. "Mama digandeng aja ya? Sini tangannya, Ma."

Betapa jahatnya semesta pada Trisha, memamerkan adegan uwu-uwu itu tepat di depan mata. Lihat saja, sekarang si lelaki menggandeng istrinya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menggendong putranya. Ocehan Akala terdengar begitu riang, berbaur dengan obrolan orangtuanya yang terkadang diselingi tawa.

Sementara si lelaki yang ia cubiti tadi, nyatanya sudah meninggalkannya. Trisha mencebik dan mengikuti langkah Barra.

"Mau yang mana?" tanya Barra saat membuka menu.

"As usual," jawab Trisha. "Tadi siapa?"

"Owner Meraki."

"Oh..." gumam Trisha. Barra pernah bercerita tentang owner Meraki, salah satu donatur tetap di Happyhouse. Mereka bertemu pertama kali di proyek rumah susun bagi korban-korban bencana alam. Si owner tadi donatur utamanya. Trisha bertopang dagu sambil memandang ke luar jendela.

"Masih kepikiran yang tadi?" Pertanyaan Barra menghentikan lamunan Trisha.

Gadis itu mengangguk canggung. "Nggak enak sebenarnya, pergi di tengah-tengah acara keluarga sendiri. Tapi, yah...begitulah. Lo...sepertinya udah selangkah lebih serius mikirin tentang pernikahan daripada gue."

Barra menatapnya sekilas sebelum kembali membaca menu. "Nikah memang harus dipikir serius."

Mungkin karena dia melihat satu persatu teman satu angkatannya mulai menikah. Mika bahkan sampai menggunakan aplikasi dating online. Mungkin juga, karena perkataan Juni dan kehadiran Amira. Agaknya, akhir-akhir ini semesta sedang gencar menyadarkan Trisha akan sesuatu yang seharusnya sudah disadari Trisha sejak dulu. Sesuatu yang disebut Sherly dengan pendamping hidup.

Tapi jujur saja, dia tidak pernah memikirkan pacar atau pasangan hidup hingga seserius ini. Setidaknya hingga setahun lalu, gadis itu malah tidak ambil pusing sama sekali. Dia masih sangat puas dengan hidupnya. Dengan pencapaiannya, dengan kehadiran ayah ibunya, dengan lingkar pertemanannya, dengan Barra.

"Lo bilang kayak gitu, jangan-jangan udah punya calon, Bar?" pancing Trisha.

"Kenapa memangnya?"

"Woah--udah ada calon?"

"Maumu?" Trisha mengerutkan kening, yang membuat lelaki itu kembali membaca menu. "Baru mikir-mikir, Sa. Calon belum ada."

"Oh..." Trisha mulai tertarik. "Mau istri yang gimana, Bar? Apa kriteria calon istrimu?"

"Perempuan."

Boleh tidak jika Trisha membalik meja ini?

"Lebih spesifik, Mahesa Barracandra," pancing Trisha dengan sejuta rasa sabar. "Tingginya gimana? Kepribadiannya gimana, gitu lho. Misalnya gini. Kalau gue, gue mau calon suami yang kayak Papa."

"Konsultan perminyakan?"

"Bukan," tukas Trisha gemas setengah mati. "Sayang sama anak, sayang sama keluarga, hangat, sabar, selalu nanya kabar anak istrinya sepulang kerja, dan...begitulah. Gue selalu suka saat Papa nunjukin rasa sayangnya ke Mama tanpa malu. It is so warm, Barra."

Barra mengangkat salah satu ujung bibirnya.

"Gue serius ini!" tukas Trisha. "Pokoknya yang kayak Papa."

"Umurnya setengah abad?"

"Ya nggak gitu juga." Trisha menatap sebal pada Barra yang terkekeh. "Serah ah! Kesel."

Gadis itu bersedekap, meskipun tetap mencuri lirikan pada lelaki di depannya.

"Tell me if you find a guy like him," ucapnya ketika hidangan datang. "Sekarang, makan dulu."

"Hm," gumam Trisha. "Lo juga, Bar. Gue yakin calon istrimu perlu banyak bimbingan dari gue. Mungkin gue perlu bikin satu buku khusus tentang 'kiat-kiat menghadapi Barra', who knows?"

"She doesn't need that hillarious guideline."

"Oh, try her then!" tukas Trisha sengit. "Percaya diri sekali!"

Namun Barra justru meletakkan sepotong daging ke piringnya. "Makan. Sekarang."

Trisha mulai mengiris dagingnya meskipun kini ia bertanya-tanya, sejak kapan mereka jadi sedewasa ini. Tahun-tahun itu begitu cepat berlalu. Tahu-tahu saja, mereka sudah hampir kepala tiga.

Lalu suatu saat nanti, sesuatu di antara mereka pasti akan berubah.

Trisha tidak pernah memikirkan arah hubungan mereka, sungguh. Sebab ia merasa, mereka akan tetap membunuh waktu bersama-sama. Keberadaan Barra di hidupnya sudah begitu biasa sampai-sampai Trisha menganggapnya normal, sesuatu yang seharusnya terjadi. Tanpa harus dicela, tanpa harus dipertanyakan. Dia tidak pernah memikirkannya hingga seserius ini, tidak pula pernah menyadarinya hingga senyata ini. Bahwa suatu hari, Barra akan meninggalkannya demi keluarga baru miliknya sendiri.

Demi perempuan yang ia sebut ist-Trisha berhenti ketika kata itu terdengar sangat asing. Trisha tidak akan lagi menjadi prioritasnya. Trisha, tidak lagi bisa memintanya datang seperti tadi. Dia juga tidak lagi bisa bertandang ke rumah Barra sesuka hati. Menghabiskan waktu di sana, dan ketiduran hingga pagi hari.

Suatu hari nanti, pilinan waktu yang mereka miliki akan terhenti. Tanpa mampu digenggam dengan pasti, semua tentang mereka akan terberai bagai air yang menetes di sela-sela jari.

Trisha mendadak tertegun. Mengapa memikirkannya terasa sangat mengerikan?

==

"Thank you for today. Hati-hati di jalan."

"Hm."

Saat ia hendak turun, gawai Barra yang diletakkan di dashboard menyala. Sebuah panggilan dari Amira. Gadis itu buru-buru turun dan meninggalkan Barra tanpa menoleh lagi. Beberapa detik kemudian, mobil itu berlalu.

"Kelihatannya sedang sedih sekali."

Trisha mengangkat kepala, lalu tersenyum lemah. Pria beruban itu tidak pernah berubah, selalu menatapnya dengan kelembutan yang terlihat di balik sorot matanya yang tegas. Bahkan di usia yang nyaris mencapai kepala lima, ayahnya masih tampak rupawan. Tipe-tipe cowok adventure yang gemar petualangan, sehati dengan hobi mamanya.

Trisha menyambut rentangan tangan itu, dan memeluk Guntur erat-erat. "Welcome home, Papa."

"Tadi yang bikin cake, kamu?" tanyanya mengelus kepala Trisha dengan sayang.

"Iya. Papa beneran nggak apa-apa?" tanya Trisha memutar-mutar tubuh ayahnya. "Aku nggak suka kalau Papa bohong, ya!"

"Beneran, Sa. Kamu kepingin banget lihat Papa luka?"

"Papa!"

Guntur nyengir, yang melunturkan kegundahan Trisha. Gadis itu kembali memeluk Guntur dan menghela napas panjang. Dari dulu, pelukan papanya adalah satu dari tiga tempat paling nyaman di dunia. Tangan besar Guntur membelai kepala Trisha, membuatnya semakin menenggelamkan diri dalam pelukan sarat rasa hangat itu.

"Tadi itu, Barra?"

Trisha mengangguk enggan.

"Udah lama nggak main catur sama dia," tukas Guntur.

Gadis itu hanya tersenyum kecut. Dengan adanya Amira, Barra mungkin akan lebih jarang ke rumah Trisha mulai dari sekarang.


*TBC*

Have a nice day yaa. Ketemu lagi besok sore. Please be happy, be healthy, be safe.

I Luv Yuu

💖💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top