Bab 4. Emosi Konyol

"Saya Amira, calon istrinya Mas Barra."

Sekujur tubuh Trisha mendingin seketika. Telinganya berdengung dan untuk sesaat, gadis itu tidak bisa memikirkan apa-apa.

"Jangan bercanda, Mir. Sana mandi." Suara Barra terdengar sayup-sayup.

Amira terkekeh kecil sebelum bersin keras sekali.

"Mau air hangat?" Trisha tersadar.

"Amira. Panggil Amira saja." Ia berusaha tersenyum meskipun napasnya mulai pendek-pendek. "Kamar mandinya--udah ada air panas, kan? Atau, baru rusak?"

"Nggak rusak. Inhaler-nya di mana?" tanya Barra. Sementara Trisha, lupa jika rumah Barra lebih canggih daripada apartemen studionya. Padahal, ia tadi juga mandi dengan air panas. Tapi otak Trisha sedang berusaha sadar setelah blank sejenak tadi.

Amira menggeleng. "Habis. Tapi ini--nggak apa-apa. Aku numpang mandi."

Amira berjalan ke belakang. Langkahnya gemetar karena kedinginan dan ia bersin berkali-kali.

"Maaf, bisa minta tolong?"

Amira, dengan wajah pucat dan bibir yang membiru, mengintip dari balik dapur. Sebagian besar tubuhnya tertutupi oleh dinding, tapi Trisha jelas melihat paha, bahu dan sedikit belahan payudara terpampang nyata. Perempuan ini hanya menutupi tubuhnya dengan sehelai handuk.

"Maaf, tapi pakaianku basah. Ada kemeja atau apa pun yang bisa aku pakai?" tanyanya, kentara sekali menahan dingin. "Atau jaket atau apa pun?"

"Pakai punyaku saja." Trisha segera beranjak.

"Oh...ada?" Amira mengangkat alis.

"Ha! Lemari di kamar tamu Barra penuh dengan baju gue, ngomong-ngomong!" Dengan dagu yang sedikit terangkat, Trisha mengambil sepasang kaus dan training miliknya. "Mungkin agak kekecilan. Mbak lebih tinggi dibanding aku, soalnya."

"Nggak masalah," ucapnya ramah.

"Sasa. Just call me Sasa." Trisha menggiring perempuan ini sepenuhnya masuk ke dapur. "Kalau kurang nyaman, bilang aja. Aku carikan yang lain."

"Kamu tinggal di sini?"

"Ap--oh, nggak. Cuma sering nginep di sini, jadi punya banyak cadangan pakaian."

"Hm, begitu. Aku rasa ini cukup. Terima kasih, ya," ucapnya sebelum kembali ke kamar mandi.

Trisha mengipasi diri sendiri kala wajahnya mendadak sangat panas.

"Dia pernah ke sini?" tanya Trisha saat bergabung dengan Barra di meja makan.

"Pegawai baru Happyhouse."

"Oh..."

Trisha kembali menyantap makanannya dan membiarkan Barra membawa semua piring kotor ke belakang, sementara dia membersihkan meja.

"Maaf merepotkan malam-malam begini."

Amira berjalan di belakang Barra dan duduk di samping Trisha, sementara Barra sudah kembali ke ruang kerjanya. Suara wanita itu terdengar lebih kuat, namun wajahnya masih pucat dengan bibir yang membiru samar.

"Aku ada asma, dan memaksa diri kedinginan seperti tadi sama sekali nggak bagus," ucapnya sambil mengusapkan handuk di rambutnya yang panjang. "Terima kasih untuk ini. Kapan-kapan, kita jelas perlu makan siang bareng. Ngomong-ngomong, rumahmu di mana?"

"Kompleks Cempaka. Mbak Amira di mana?"

"Aku di belakang rumah sakit pusat."

"Ah...lumayan ya. Mbak Amira, tahu aku?"

"Tentu, Sa. Namamu cukup terkenal di Happyhouse. Aku jadi penasaran siapa Trisha yang sering diceritakan ini," ucapnya. "Kamu juga kerja di sana? Kenapa aku nggak pernah lihat di Happyhouse?"

Trisha menggoyangkan tangannya. "MediaRenjana."

"Oh, nggak aku sangka Mas Barra punya teman di luar circle Happyhouse dan Zigma."

"Barra punya koneksi lebih banyak dari yang Mbak duga, kok." Trisha terkekeh. "Mbak Amira udah makan belum?"

Bibir pucat Amira tersenyum kaku. "Nggak perlu. Sebentar lagi hujan reda, jadi bisa langsung balik. Salahku sendiri ngeremehin cuaca tadi."

"Perut kosong waktu dingin itu nggak baik." Trisha sambil memberikan piring pada Amira.

Amira melirik ke ruang kerja Barra dengan tatapan tidak enak hati. "Janganlah, Sa. Merepotkan terus."

"Nggak, nggak akan dimarahi Barra." Trisha menatap gawainya yang mendadak berbunyi, membaca nama Prima di sana. "Mbak makan dulu aja. Barra nggak akan marah. Kalau dia sampai marah gara-gara ini, artinya dia sedang kerasukan. So, enjoy."

Trisha pamit ke ruang tamu sambil mengangkat panggilan Prima. "Ya, Mas?"

"Sa," sapa Prima. "Sudah makan?"

"Sudah. Siap lembur."

"Sudah dilihat konsepnya? Ada masukan?"

Trisha menyalakan laptopnya, lalu mengamati konsep-konsep yang dikirimkan Prima. "Mau dengar pendapatku?"

"Tentu. Itu tujuannya saya kasih file ini ke kamu."

"Ini terlalu sepi," ucap Trisha. "Sebentar, aku coba benahi."

"Oke. Mau ditambahin apa?"

"Nanti aku kirim. Aku tutup dulu, Mas."

"Jangan. Ganti V call aja, Sa. Biar lebih gampang lihatnya."

"Oke." Trisha mengganti panggilan dalam bentuk video, menampilkan Prima yang memakai kaus biru rumahan. Rambutnya yang basah tampak belum disisir. Cukup asing melihat Prima begini sementara di kantor, penampilannya selalu formal dan lebih rapi.

Lelaki itu tersenyum. "Jam segini udah siap-siap tidur?"

Trisha menatap piyamanya. "Belum, santai aja. Ponselnya aku taruh sini, ya. Biar bisa lihat layarnya."

"Geser sedikit, Sa. Good. Go on, saya mau lihat."

Dan begitulah keduanya larut dalam diskusi. Selesai?

Tentu tidak.

Karena setelah berurusan dengan Prima, Dion mengirimkan email berisi pekerjaan yang mencegahnya mereguk kedamaian.

==

Pukul sepuluh ketika akhirnya ia selesai. Gadis itu menguap sebelum tiba-tiba teringat akan keberadaan Amira. Ia tidak melihat perempuan itu sejak tadi. Maksudnya, Amira tidak terlihat keluar dari rumah Barra.

Trisha masuk dengan buru-buru, namun tidak menemukan siapa-siapa di meja makan. Mungkin saja, Amira memang sudah pulang dan Trisha tidak menyadarinya karena ia begitu berkonsentrasi. Lalu Barra sudah tidur karena Trisha terlalu lama mengurusi pekerjaannya.

Atau...

Trisha membuka pintu ruang kerja Barra dengan tidak sabar, dan menemukan dua orang itu sedang berdiri di depan maket. Keduanya mengangkat wajah bersamaan, tampak berhenti di tengah-tengah percakapan.

"Kenapa, Sa?" tanya Amira ramah.

"Ah, nggak. Hujannya masih deras." Trisha meringis canggung, lalu kembali menutup pintunya.

Kenapa hujannya masih deras, sih? Terus ini, Amira mau sampai kapan di sini?! Dan kenapa harus di dalam sana?! Dan kenapa gue harus emosi?

Trisha mengempaskan diri di sofa dan bersedekap erat, berjanji bahwa dia tidak akan ketiduran sebelum melihat Amira pulang dengan mata kepalanya sendiri.

'Saya calon istri Mas Barra'

Trisha mendengkus keras sebelum menerawang ke luar jendela, pada taman depan rumah Barra. Berhubung Barra mempunyai alergi serbuk sari, Trisha mengisinya dengan tanaman hias yang aman seperti kaktus-kaktusan, begonia, peony dan camelia. Barra merapikannya setiap dua minggu sekali, membuat taman itu selalu cantik dan terawat.

"Barra?" Siang hari bertahun-tahun lalu, Trisha menyenggol Barra dengan sikunya saat gadis itu melihat blue print rancangan rumah Barra.

Barra yang sedang bersila di lantai sembari menyusun lego, melirik Trisha.

"Ini tamannya nggak kurang luas?"

Barra merunduk. Lelaki itu meraih pensil dan memperlebar skalanya.

Trisha nyengir lebar. "Kita harus tetap beramah tamah sama bumi. Tapi ini...titik-titik di tengah taman ini, apa?"

"Sistem biopori."

Maka waktu rumah ini selesai dibangun, Trisha membantu Barra membuat sistem biopori dengan semangat. Hasilnya, bunga-bunga yang ditanam Trisha mempunyai daun lebar, kelopak yang gemuk dan berwarna cerah.

Gadis itu menatap kelopak camelia yang terantuk-antuk terkena air hujan, namun itu tidak berhasil menggusur kegelisahan asing yang tidak bisa ia jelaskan akibat perkataan Amira barusan.

==

"Sa, udah pulang? Barusan Papa bilang telfonnya nggak kamu angkat."

"Tante Juni, Sasa ketiduran," ucap Barra sambil membereskan laptop Trisha. Sementara gadis itu sudah terkulai di lengan sofa, tertidur entah sejak kapan.

"Lho, belum pulang?"

"Belum, dan tidak saya perbolehkan. Hujan deras tadi."

"Hujan...." gumam Juni. "Bisa antar dia, Bar?"

"Sasa kelelahan, Tante. Kasihan kalau dibangunkan."

"Begitu? Ya, sudah. Besok minta Sasa telfon, ya? Dan Barra, Nak?"

"Ya?"

"Tolong jaga Sasa."

Lelaki itu menatap Trisha yang tertidur pulas, lalu menyila rambutnya di balik telinga. "Tentu. Selamat malam."

Barra meletakkan gawai Trisha, lalu membopong gadis itu. Trisha bergumam dalam tidurnya sebelum meraih leher Barra dan memeluknya.

"Bar," igaunya tepat di telinga Barra.

"Hm?"

"Bunganya dimakan penyu," jawabnya hampir menangis. "Dimakan semua."

"Besok ditanam lagi."

Trisha meracau pelan sebelum terkulai di bahu Barra, mengirimkan aroma mawar yang membelai lembut hidung lelaki itu. Embusan napas halusnya menerpa leher Barra, membuatnya mengeratkan gendongan pada tubuh Trisha.

Barra membaringkan Trisha, menghapus jejak basah di ujung matanya sebelum menghamparkan selimut di atas tubuhnya. Lelaki itu membelai kepala Trisha, kemudian beranjak dari kamarnya.

Beranjak pergi dari rumahnya.

==

Trisha menguap lebar dan kembali meringkuk di dalam selimut, memandangi kamar bernuansa abu-abu itu dengan malas. Kamar luas itu berisi ranjang dan almari baju. Ada rak buku kecil di sisi tempat tidur, berisi buku-buku dan majalah tentang arsitektur. Tidak ada nakas, foto atau apa pun yang menjadi pemanis.

Trisha memekik dan berguling turun. Aroma bergamot dan woody itu terserap kuat di paru-parunya, menandakan dengan jelas jika ini memang kamar Barra.

"Kenapa gue di sini?" desis Trisha. Gadis itu merapikan tempat tidur dan bergegas keluar, nyaris menabrak Barra yang muncul dari dapur.

"Sori." Trisha berkata serius.

Lelaki itu meliriknya, lalu meletakkan sesuatu di meja makan. Trisha mencuci wajah dan merapikan rambutnya yang berantakan. Ketika keluar, Barra sudah duduk di meja makan. Lengan trainingnya digulung hingga ke siku, sedikit terkena noda saus. Sepertinya ia menyiapkan sarapan setelah jogging keliling kompleks.

Trisha melihat sekeliling. "Mbak Amira mana?"

"Pulang."

"Barusan pulang?" tanya Trisha sambil mengambil piring.

"Udah tadi malam. Nanti telfon Tante Juni, Sa."

Trisha meringis. "Mama tahu gue nginep, ya?"

Barra mengangguk singkat sebelum menyantap sarapannya. Trisha mengerucutkan bibir, lalu mengamati menu yang terhidang. Tumis kangkung dan sarden yang dimasak dengan irisan bawang merah, bawang putih dan jagung muda.

"Kenapa nggak dibangunin? Kan gue juga mau ikutan jogging."

"Trisha diganggu penyu."

"Tapi peny--" Trisha menyipit. "Kok tahu?"

Barra lanjut sarapan tanpa menjawab Trisha, yang tiba-tiba memeras ingatannya. Apa dia mengigau saat berjalan ke kamar Barra? Apakah dia sudah mempermalukan diri di depan Amira? Dan bukannya ke kamar tamu seperti biasa, dia malah pergi ke kamar lelaki itu? Hmph! Semua kelinglungan ini gara-gara perkataan mama dan Amira tadi malam.

"Bar, serius! Bel pintunya perlu diperbaiki--oh..." Seorang lelaki masuk dengan tergesa sambil membawa sebuah paperbag berlogo makanan cepat saji. Ia terkejut melihat Trisha yang terlihat santai dengan piyama dan rambut yang dikucir sembarang.

Trisha melambai ceria. "Mas Leo."

"Sa," ucapnya tersenyum lebar. "Lama nggak lihat kamu. Gimana kabarnya?"

"As you see. Mau ngobrolin Happyhouse?"

Co-founder Happyhouse itu mengangguk. "Ada proyek yang harus kami bahas."

"Iya? Dimana kali ini?" tanya Trisha bersemangat.

"Luar pulau." Leo menunjukkan sebuah map pada Trisha. "Ini, beberapa wilayah yang sudah diapprove donatur kami. Bisa lihat, kalau di sini--"

"Sarapan." Barra memotong kalimat Leo dengan memberinya piring..

"Kelihatannya enak." Leo akhirnya bergabung, lalu melirik Trisha. "Ini bukan masakanmu."

Trisha menggeleng seraya menunjuk Barra.

Leo mengangguk-angguk. "Tahu mitos tentang masakan yang keasinan, Bar? Katanya orang yang masak keasinan, tandanya--hei!"

Leo menahan piringnya yang ditarik Barra dengan tiba-tiba.

"Mau ngobrol, kan?" ucap Barra datar.

"Gue bukan orang yang menolak rezeki." Leo meneruskan sarapannya, sama sekali tidak terganggu oleh lirikan dingin Barra. Sementara Trisha sudah terkikik sejak tadi.

"Tapi lo udah ngobrol sama Amira tentang proyek ini?"

"Hm."

Dan begitu saja, keceriaan pagi ini menguap di udara. Gadis itu menghabiskan sarapannya dengan cepat dan segera mandi. Ketika ia keluar, dua lelaki itu sudah menghilang dari meja makan. Ia melirik pintu ruang kerja Barra, dan mendengkus pelan. Trisha sedang malas untuk berpamitan.

Ralat. Dia sedang malas melihat wajah Barra.

Maka gadis itu ke luar rumah dan berjalan beberapa menit menuju halte bus. Trisha memejamkan mata seraya menyandarkan dahinya di jendela bus, tapi gawainya meraung keras tak lama kemudian.

Beruang kutub is calling...

"Hm?" gumam Trisha kala mengangkatnya.

"Di mana?"

"Bis," jawab Trisha, lalu jengkel sekali ketika dirinya harus merasa bersalah. "Tadi kayaknya sibuk banget, jadi gue nggak pamit."

"Begitu?"

"Hu um. Udah ya, udah mau sampai."

"Sasa?"

"Apa?" tukas Trisha.

"Jangan diulangi lagi."

Sambungan terputus, dan kegelisahan itu kembali.

Sejujurnya, dia bingung mengapa ia begitu emosi seperti ini. Padahal, Happyhouse juga punya banyak pegawai perempuan. Tapi perkataan Amira kemarin mengusiknya.

Dan sementara berpikir demikian, dia sadar bahwa dia sudah konyol sekali. Tapi tidak peduli seberapa banyak usaha Trisha untuk memaklumi, ketidaksukaan ini benar-benar nyata dan membuatnya merasa tidak aman.

Trisha berdecih dalam hati. Sekali lagi, itu terdengar konyol sekali.

*TBC*

Selamat sore,

Please be happy, be healthy, be safe yaa

Luv yu

❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top