BAB 22. Barra the Ice Cream

"Selamat pagi Kak. Mohon di-take down ebook terbitan MediaRenjana dari online shop Kakak, karena aktivitas penjualan ebook di onlineshop Kakak adalah aktivitas ilegal. Buku-buku tersebut sudah terbit secara resmi di MediaRenjana, mempunyai nomor ISBN, dan dilindungi undang-undang. Penggandaan ilegal dalam bentuk apa pun sangat tidak diperkenankan. Ebook buku-buku MediaRenjana hanya tersedia di platform khusus MediaRenjana. Terima kasih."

"Anda siapa ya?"

"Tidak sopan sekali menegur orang lain seperti itu."

"Lagipula ini ebook asli, kok. Mengapa Anda bilang bajakan?"

Hidung Trisha mengembang.

"Buku Rhaksa Chandradewa belum ada versi digitalnya. Lalu darimana Kakak bisa mendapatkan versi digitalnya?"

"Itu bukan urusan Anda. Anda siapa?"

"Jangan dipikirkan siapa saya. Yang jelas, ebook asli tidak diperdagangkan di luar platform MediaRenjana."

"Sok tahu sekali. Saya juga butuh usaha mendapatkan ini! Lagipula apa salahnya jika saya ikut mencari nafkah? Saya justru membantu menyebarkan kebaikan!"

"Baik katanya?" Trisha berbisik tidak percaya hingga Barra meliriknya. "Kalau tinta, kertas, sama jasa cetak bisa dibayar pakai 'kebaikan', aku nggak keberatan, beneran!"

"Ya sudah kalau untuk kebaikan. Kenapa Kakak nggak menggratiskan saja daripada pasang harga sekian ribu rupiah? Itu untuk siapa, dong?"

"Biaya admin."

"Lho, kenapa adminnya jahat sekali? Harusnya dia memberikan akses gratis ke Kakak karena Kakak menebarkan kebaikan. Saya turut berduka."

"Anda siapa, sih? Datang-datang nggak sopan. Nggak punya etika!"

Trisha terkikik.

"Kakak baik sekali. Tapi Kakak lupa dengan hak orang-orang yang sudah bersusah payah di balik buku itu. Ada penulis, editor, dan profesi lain yang turut membantu prosesnya. Kenapa Kakak lupa berlaku baik kepada mereka?"

"Suka-suka saya! Kenapa Anda mengatur hidup saya?"

"Yang Kakak gunakan untuk mencari nafkah itu, adalah hasil usaha orang lain. Kakak bisa menggunakan buku-buku Renjana sebagai sumber penghasilan jika Kakak adalah reseller rekanan kami, yang pendapatannya tetap sharing dengan penulis, penerbit dan orang-orang yang terlibat. Kalau uangnya hanya sampai di Kakak saja, itu namanya mencuri."

"Lhoh, kok Anda panggil saya pencuri? Saya hanya membela hak saya, kenapa Anda mengancam saya? Anda Rhaksa Candradewa? Wah, tidak saya sangka Anda penulis yang begitu materialistis! Seharusnya Anda bisa menebarkan kebaikan tanpa pandang bulu seperti isi karya-karya anda!"

"Materialistis dan mencari nafkah adalah dua hal yang berbeda, Kak. Penulis-penulis kami mendapatkan uang dengan cara yang benar, bukan mencuri karya orang lain. Silakan take down ebook MediaRenjana dari lapak Kakak. Kakak sadar jika perbuatan kakak melanggar hukum, bukan?"

"Saya tidak merasa melanggar hukum apa-apa."

"Oh baik," geram Tisha. "Gue udah kasih peringatan. Lo nggak bisa kasih argumen kalau lo orang polos yang nggak tahu apa-apa."

"Aktivitas menjual ebook bajakan adalah kegiatan penggandaan ilegal yang sangat menyalahi hak ekonomi pencipta. Kakak bisa cari informasi itu di banyak website yang membahas tentang pembajakan karya. Saya sudah screenshoot lapak Kakak, beserta bukti-bukti bahwa ebook MediaRenjana dijual secara ilegal di lapak ini. Dengan bukti itu, saya bisa membawa Kakak ke jalur hukum maupun melaporkan lapak Kakak kepada penanggungjawab marketplace. Saya beri waktu satu jam dari sekarang untuk menghapus ebook MediaRenjana dari online shop Kakak. Mohon kerjasamanya, terima kasih."

"Ada masalah?" tanya Barra yang sedang mengemudi.

"Biasa, pembajakan. Yang salah siapa, yang galak siapa." Trisha berdecak. "Pakai bawa-bawa kebaikan dan kata-kata materialistis, pula. See? Fenomena manipulatif itu nggak cuma ada di relationship lho. Aku sering banget ketemu sama penjual-penjual ebook bajakan yang playing victim dan berhasil bikin aku bersalah banget udah negur mereka."

"Jangan merasa bersalah karena sudah membela hak diri sendiri, Sa," ucap Barra.

"Iya. Itu dulu. Sekarang aku udah belajar," ucap Trisha. "Tapi kadang yang jualan itu adik-adik yang masih muda, Barra. Mereka nggak ngerti kalau aktivitas jualan kayak gini sebenarnya melanggar hukum. Tapi tipe-tipe yang kayak gitu, biasanya langsung take down kalau ditegur. Berarti bisa dikasih tahu, kan? Lagipula kasihan kalau harus keseret ke jalur hukum karena ketidaktahuan mereka. Jualan ebook nggak seberapa, tapi nanti bayar dendanya banyak banget. Ya hukum mana peduli kamu anak polos apa nggak, ya kan? Nah, kalau yang barusan aku tegur ini, bukan adik-adik polos lagi. Mereka tahu, dan mereka sengaja!"

"Cukup susah," komentar Barra.

"Banget," gumam Trisha.

Sejak bekerja di MediaRenjana, Trisha jadi tahu jika kesadaran masyarakat tentang hak cipta masihlah sangat awam. Banyak orang yang tidak mengerti bahwa menjual karya orang lain tanpa izin adalah pelanggaran hukum, sama seperti menulis ulang karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya miliknya. Dengan berkembangnya dunia literasi digital saat ini, pembajakan dan plagiasi jadi dua masalah yang sangat serius. Para pembajak itu, akan dengan senang hati menjual kembali karya seorang penulis dengan harga yang sangat murah, lalu keuntungannya masuk ke kantong pribadi. Pembaca yang tidak tahu, akan membelinya dengan senang hati.

Trisha selalu memperingatkan mereka lebih dulu, kalau-kalau mereka tidak tahu jika perbuatan mereka adalah ilegal. Namun jika Trisha sudah memperingatkan dan mereka tetap ngeyel, itu artinya mereka sengaja melanggar hukum.

"Apa langkah nyata penerbitmu, kalau begitu?"

"Oh, sama seperti yang dilakukan industri perfilman demi mengurangi pembajakan," jawab Trisha. "Dulu kan, orang susah banget kalau mau nonton film. Harus ke bioskop, beli dvd atau nunggu sekian lama sampai diputer di tv. Tapi sekarang kan, kita bisa nonton film di banyak aplikasi berbayar. Yah, walaupun tetep ada kegiatan pembajakan, tapi itu jauh lebih berkurang daripada dulu. Lewat aplikasi-aplikasi ini, konsumen bakal lebih mudah mengapresiasi film yang mereka sukai kan?"

"Hm."

"Intinya, kami berusaha mempermudah akses buyer sama seller. Salah satunya lewat website resmi Renjana yang menjual ebook-ebook Renjana. Pembaca nanti bisa beli full ebook, atau sewa dalam jangka waktu tertentu. Tim IT juga udah mendesainnya sedemikian rupa buat memperkecil kemungkinan dibajak. Sama berperan aktif membasmi aktivitas pembajakan. Salah satunya begini, memperingatkan para penjual ebook bajakan. Kalau masih ngeyel juga, kami lapor ke tim bagian pembajakan. Mereka nanti yang tracking link para pembajak itu dan take down mandiri. Kalau mereka bisa pegang identitasnya, kami perkarakan ke jalur hukum, kerjasama dengan pihak berwenang. Udah ada hasilnya, sih. Kemarin ada yang bayar denda puluhan juta."

"Kamu memperingatkan mereka dulu?"

"Itu pasti," Jawab Trisha. "Itu PR Renjana sekarang, Barra. Kami perlu banyak berbenah setelah Renjana berdarah-darah karena kasus korupsi pemiliknya yang lalu. Gara-gara itu, dana pengembangan Renjana jadi terhambat. Ck! Nggak habis pikir sama mereka-mereka yang mau memakan rezeki orang lain--" Trisha berhenti dan melirik Barra. "Maaf."

"Mau sampai kapan kamu bilang begitu? Just talk everything you want to talk, Sa. Korupsi memang bukan hal yang baik."

Gadis itu memainkan buket bunga forget-me-not yang sudah dibungkus rapat-rapat dengan plastik bening, lalu iseng memeriksa online shop yang baru saja ditegurnya.

Sudah tidak ada. Apakah itu artinya Trisha berhasil? Belum tentu. Gadis itu mencoba mengakses online shop tadi dengan second account, dan ternyata olshop tadi masih saja menjual buku-buku Renjana. Trisha tertawa tidak percaya.

"Ya ampun! Aku diblokir, dong!"

"Olshop yang tadi?"

"Hu um." Trisha terkekeh garing sebelum mengirimkan semua bukti ke tim pembajakan MediaRenjana. "Sesuatu selalu punya sisi negatif dan positif, iya kan? Di satu sisi, teknologi buku digital atau ebook benar-benar memudahkan pembaca. Di sisi lain, selalu rawan pencurian."

"Bukan berarti memaklumi sesuatu yang salah. Kalian hanya harus berjuang."

"Oh, tentu," ucap Trisha yang sibuk bertukar pesan dengan orang Renjana.

Barra melirik gadis yang mengenakan shortdress bermotif floral sore ini. Separo rambutnya diikat dengan pita kuning, separonya lagi tergerai hingga ke punggung. Lelaki itu tersenyum samar, lalu berbelok ke arah pemakaman umum yang menjadi tujuan mereka sore ini.

"Kayaknya udah mau hujan. Mending payungnya dibawa, deh." Trisha memandangi langit yang mendung. Gadis itu meraih lengan Barra dan berjalan menuju salah satu nisan yang mereka sambangi hampir setiap tahun.

"Halo Tante Dilara." Trisha meletakkan buket itu di atas pusara dan berdoa. Dibiarkannya Barra berdoa, sementara Trisha menatap nisan di hadapannya.

Hari ini adalah tanggal kematian ibu kandung Barra. Setiap tahun selama mereka bersama, Trisha selalu menemani Barra kemari. Tidak banyak yang dilakukan Barra jika di sini. Seringnya, lelaki itu akan duduk diam di sana sambil mencengkram buket bunga, entah berpikir tentang apa.

Barata menitipkan Barra pada adik Dilara, karena keluarga dari Barata tidak begitu ideal. Almarhum kakek Barra dari pihak Barata dipenjara karena kasus pemerkosaan, membuat anak-anaknya tercerai berai. Barata menikah lagi saat Barra berusia satu tahun. Tapi alih-alih membawa Barra di keluarga barunya, Barata justru makin jarang menjenguk Barra. Hubungan Barra dengan ibu tiri dan saudara tirinya nyaris nol. Lalu mereka bercerai, dan Barata mengajak Barra tinggal bersama. Desas-desus berkata perceraian mereka disebabkan karena Barata terlibat kasus penggelapan uang perusahaan, tapi Barata berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Itulah awal mula Barra tinggal di samping rumah Trisha.

Barata menikah lagi setahun setelahnya, dengan perempuan yang agak keberatan akan keberadaan anak tiri yang nyaris remaja. Barata mengalah, dan lebih sering tinggal bersama istri barunya ketimbang tinggal bersama Barra.

Mereka bertahan bahkan setelah Barata masuk penjara karena kasusnya dengan keluarga Trisha. Namun baru beberapa bulan di penjara, Barata terbukti ikut andil dalam banyak kasus penggelapan uang yang menyebabkan perusahaan rugi besar-besaran. Sang istri pun menyerah.

Dengan semua aset Barata yang disita, Barra pindah ke rumah bibinya. Tidak lama, hanya satu tahun sebelum Barra tinggal sendiri di kompleks kos. Kompleks kos yang nantinya, bersebelahan dengan kamar kos Trisha.

Sengaja? Tentu saja. Cita-cita Trisha saat itu ada dua. Masuk di kampus impiannya, dan mengontrak kos-kosan di dekat kosan Barra.

Trisha tersadar saat suara gerimis terdengar makin deras. Gadis itu mendongak, hanya untuk menemukan Barra yang sudah berdiri seraya menaungi mereka berdua dengan payung.

"Kamu nggak pernah dengar kabar ibu tirimu lagi?" tanya Trisha saat mereka berdua berjalan kembali ke mobil.

"Menikah lagi."

"Adik-adikmu? Mereka juga nggak pernah ketemu Om Barata lagi?"

Barra menggeleng.

"Salah satu keberatan papamu. Berasal dari keluarga yang berantakan."

"Jangan bilang begitu," gumam Trisha. "Bukan berarti kamu juga bakal begitu. Juga bukan berarti kamu nggak ngerti konsep pernikahan dan keluarga yang baik, kan?"

"Sayangnya, aku dulu memang nggak tahu." Jawaban Barra membuat gadis itu menoleh. "Tapi keluargamu memberi pandangan baru."

Trisha tersenyum sedih. "Kamu nyembunyiin banyak hal. Rasanya aku jadi nggak berguna."

Barra melirik Trisha yang berjalan dengan gontai. Tidak berguna, katanya? Setelah mengenalkan banyak warna di dunia Barra yang abu-abu?  Trisha sudah memberikan banyak hal, dan Barra menginginkan gadis ini untuk membersamainya sampai akhir nanti.

"Kamu--" Trisha berhenti sejenak. "Kamu kalau ada apa-apa, apalagi kalau tentang Papa, kamu harus bilang."

Barra tidak menjawab. Lelaki itu justru meraih tangan Trisha dan memasukkannya ke dalam saku. Hangat.

"Ngomong-ngomong, Barra?" panggil Trisha saat Barra menyalakan mobil.

"Hm?"

"Happy birthday," bisik Trisha di telinga Barra. "Thank you for coming in to my life, Mahesa Barrachandra."

Barra menatapnya sejenak, lalu kembali memandang ke depan sambil bergumam, "Pakai seatbelt, dan jangan dekat-dekat dulu."

==

"Baju-bajumu dibawa ke sini lagi, Sa."

Barra berkata pada Trisha yang baru saja selesai mandi. Karena dia tidak ada baju lagi di rumah Barra, malam ini ia meminjam sweater Barra yang kebesaran di tubuhnya.

"Besok sore. Sekalian masak di sini." Trisha bergabung dengan Barra di sofa, lalu memeluk bantal dengan malas sambil terkantuk-kantuk. "Jadi, tadi itu owner Athlas?"

"Hm."

"Ah...pantas dia ngomong begitu."

"Jangan dipikirkan, sungguh. Adegan tampar-tampar, baku hantam dan lempar gelas sudah sangat biasa di Athlas."

"Adegan tampar-tampar, dan dia ngomong gitu santai banget," ulang Trisha syok. "Siapa yang suka tampar-tampar di kafe?"

Barra hanya terkekeh pelan, lalu mengangkat alis saat Trisha hanya menatapnya.

"Senyum lagi, coba?" Gadis itu menusuk-nusuk pipi Barra. "Yang lebih lebar."

Namun lelaki itu justru menurunkan tangan Trisha dari pipinya.

"Barra the ice cream," dendang Trisha. "Barra yang dingin di luar, tapi lembut di dalam. Aku perlu ganti namamu di kontak, kayaknya."

"Selama ini namanya apa?"

"Ng--jangan dipikirin. Bukan sesuatu yang aneh, kok."

Trisha buru-buru menyimak berita kala Barra masih meliriknya. Pukul sembilam malam, dan Trisha memutuskan untuk menginap di rumah Barra saja.

"Bar?"

"Hm?"

Gadis itu menatapnya ragu, lalu akhirnya berkata, "Aku...jadi kepikiran. Selama ini, kamu sama Papa nggak cuma main catur, kan?"

Lelaki itu terdiam sesaat sebelum menjawab, "Kami ngobrol banyak hal. Tapi aku juga berusaha memberi waktu papamu buat lebih mengenalku, menilaiku, mempertimbangkanku. Berusaha meyakinkan beliau kalau aku bukan papaku atau kakekku. Hal lain yang jadi kendala papamu, adalah beliau yang takut aku punya pola pikir seperti ayahku. Bisa dipahami."

"Tapi lima tahun itu waktu yang lama!"

"Untuk sesuatu yang aku inginkan? Sepertinya nggak juga."

Trisha mendengkus kecil hingga lelaki itu tersenyum samar.

"Sa?" panggil Barra hingga Trisha menoleh. "Suatu hari kalau kamu harus menghadapi kemarahan papamu, jangan menghadapinya dengan kalimat yang nggak baik. Mari menghadapinya dengan cara yang baik, hm?"

Kelembutan dalam kalimat itu begitu meremat jantung Trisha. Kemungkinan yang sengaja ia tepikan nyatanya terasa begitu menakutkan.

"Kamu nggak takut?"

"Lalu apa?" balik Barra beberapa saat kemudian. "Aku nggak menawarkan ini semua hanya untuk selesai nantinya. Tapi meskipun aku sadar akan ada peluang untuk itu, aku akan tetap menawarkan hal yang sama karena aku lebih takut kehilangan kamu tanpa benar-benar berusaha. Bagiku, itu lebih mengerikan."

Trisha terpaku kala kalimat Barra meresap di hatinya, lalu mengangguk pelan. "Iya, betul. Itu lebih mengerikan. Tapi aku belum tahu apa yang harus aku bilang kalau tiba-tiba Papa tahu. Aku nggak tahu bakal seberapa keras reaksi Papa," gumam Trisha parau. "Dulu, Papa seberapa marah?"

Barra membenahi rambut gadis itu. "Marah sekali."

"Sampai ngomong jahat?" cecar Trisha.

"Jangan dipikirkan."

"Kita...bisa, kan?"

"Kita perlu usaha. Kita harus berusaha," ucapnya seraya mengusap pipi gadis itu. "Aku ke Happyhouse. Jangan lupa cek kunci rumah sama gerbang."

Namun gadis itu mencengkram lengan Barra dengan erat. Dilema menerpanya sesaat, lalu ia mengecup pipi Barra secepat kilat.

"Hati-hati." Trisha tersenyum tulus meskipun wajahnya sembab.

Alih-alih menjawab, lelaki itu hanya menatapnya hingga Trisha salah tingkah. Gadis itu beringsut menjauh, namun satu tangan Barra menahan pinggangnya.

Padahal, bukan pertama kalinya mereka sedekat ini. Namun sesuatu dalam tatapan Barra, ditambah hening yang menjadi jeda di antara mereka, nyatanya membuat Trisha tidak mampu memandang apapun selain lelaki di hadapannya.

Tatapan Barra jatuh ke bibirnya, dan jantung Trisha kalang kabut.

"Yes? No?" bisiknya.

Gadis itu meneguk ludah, dan mengangguk dengan terbata.

Buku-buku jari Trisha tenggelam di lengan Barra saat bibir mereka bertemu. Ringan, hangat dan singkat. Hanya sentuhan, tanpa lumatan. Berlangsung selama satu tarikan napas sebelum Barra melepasnya.

Trisha membuka mata. Napasnya memburu, pun dengan lelaki di hadapannya.

Maka saat Barra menariknya ke pangkuan, Trisha patuh. Direngkuhnya wajah Barra dengan tidak sabar saat lelaki itu meraih tengkuk Trisha untuk menciumnya lagi, kali ini tanpa ragu dan kehati-hatian.

Entah sudah berapa tarikan napas yang mereka lewati, atau mungkin Trisha sama sekali lupa bernapas. Yang ia tahu, ia menyukai tangan Barra yang kini mencengkram erat pinggangnya, juga bibir Barra yang menyentuhnya dengan tegas di saat yang sama. Jantung gadis itu bertalu hebat, membawa panas dan pening yang membuatnya lupa keberadaan dunia kecuali Barra dan sentuhannya.

Barra menyudahinya dengan kecupan di ujung bibir, dan Trisha langsung menghirup banyak-banyak. Untuk sesaat, tidak ada yang bicara. Tatapan lelaki itu masih sedikit gelap, dan Trisha berusaha meredam tubuhnya yang mengigil tiba-tiba.

"Aku ke Happyhouse."

Gadis itu berhenti memelototi bibir Barra. "Harus banget ke sana?"

Barra mengangguk, yang membuat Trisha mencebik. "Aku boleh ikut?"

"Tidur," gumamnya seraya memindahkan Trisha dari pangkuan. Gadis itu mengekor Barra ke depan dengan masih menekuk wajah, lalu mengerjap saat Barra mencium singkat dahinya.

"Gerbang dikunci, Sa."  Diliriknya Trisha sebelum menyalakan motor.

Gadis itu menatap Barra sampai hilang di tikungan, lalu menyentuh bibirnya. Antara percaya dan tidak percaya, tapi rasa hangatnya masih tertinggal di sana.

Pipi Trisha jadi merona.





*TBC*






Haii, selamat sore

Please be healthy, be happy, be safe yaa.

I luv yuu
💖💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top