Bab 21. Sama yang Berbeda

Tubuhnya mengkhianati Trisha untuk kesekian kali.

"Itu cuma Barra!" Trisha menepuk pipinya. "Jadi berhenti cengar-cengir!"

Hubungan mereka terasa sama sekaligus berbeda, terasa tenang sekaligus bergolak di saat yang sama. Semua tentang Barra terasa biasa sekaligus mendebarkan. Bagaimana bisa hubungan yang telah berlangsung bertahun-tahun itu nyatanya mampu menciptakan percikan baru?

Trisha berdeham dan berusaha menyelesaikan aktivitasnya di depan meja rias. Tapi tetap saja, pikiran tentang tadi malam berhasil menjaga balon udara di dadanya tetap mengembang sempurna. Hari ini terasa cerah. Bahkan wajah galak Dion. Duda anak satu itu kelihatan lebih ramah pagi ini.

"Ke ruang rapat, Sa," ucapnya tanpa melihat Trisha. "Ini kesempatan terakhirmu sebelum saya copot dari proyek Athena."

"Siap, Mas!" ucap Trisha ceria sebelum melangkah ringan ke ruangannya.

"Cerah banget. Ada kabar baik, ya?" selidik Sherly.

"Biarin aja, Sher. Dia baru seneng," celetuk Bastian dari ujung sana.

Trisha hanya nyengir semakin lebar.

"Kayaknya sama yang ini beneran jadi," ucap Mika menahan tawa. "Jangan lupa bawa ke nikahan gue, ya."

"Lamarannya...uhuk...diterima?...uhuk!" Bastian berdeham, yang membuat Sherly dan Mika ternganga.

"Oh.My.God!" pekik Mika. "Nggak banyak omong langsung sat set sat set! Yang mas-mas spa itu, Sa?"

"Ih! Aku ketinggalan!" tukas Sherly. "Bagus, Mbak. Gitu dong, janganlah terlalu pilih-pilih. Udah dua tujuh kan?"

Trisha hanya mengangkat bahu. Hari ini terlalu berharga untuk dirusak begitu saja. Gadis itu membuka foto dari Nora, lalu mengerang. "Buntelan satu ini memang imut banget! Cepet ya, kemarin sore masuk rs, malamnya lahiran."

"Makanya nikah, Mbak. Biar punya debay imut begitu," tukas Sherly, yang membuat Bastian berdecak dingin.

Trisha terkekeh dalam hati. Nanti kalau dia punya anak, apakah wajahnya akan mirip dirinya? Atau malah mirip Bar-

Trisha menampar pelan pipinya. "Kerja kerja kerja! Mas Vam-Dion, rapat sekarang?"

==

Trisha membaca sekilas pada email yang memberitahukannya bahwa desain ilustrasi yang ia pasang di sebuah microstock telah terbeli. Gadis berpiyama itu berjalan ke balkon sambil mengeringkan rambutnya.

Selain bekerja aktif sebagai ilustrator di MediaRenjana, Trisha juga menjual ilustrasi-ilustrasinya di banyak microstock seperti shutterstock, freepik, maddadesign, dan situs penyedia vektor lainnya. Orang-orang bisa membeli desainnya sebagai hak pakai saja, atau membeli hak ciptanya dengan harga yang lebih mahal. Dulu saat Trisha masih punya banyak waktu, dia membuat banyak ilustrasi untuk dijual di situs-situs tersebut. Hasilnya lumayan, karena dia bisa mendapatkan pembeli dari berbagai belahan dunia.

Dia hanya menjual saja, tidak melayani pemesanan untuk jasa desain tertentu. Sekarang setelah pekerjaannya di Renjana agak longgar, Trisha berniat meluangkan waktu untuk kembali menambah amunisi passive income-nya.

Trisha mendengkus kecil sambil bersandar di balkon. Menjadi anak tunggal di keluarga yang berada dan terpandang, membuatnya sering dicap sebagai perempuan beruntung dengan banyak privilege. Bahkan dulu, salah seorang kerabatnya mencibir Trisha yang membeli sebuah apartemen, mengatakan jika Juni dan Guntur terlalu memanjakannya. Padahal, apartemen ini dibeli dari hasil jerih payahnya sendiri.

Papa is calling...

Dan balon yang selama dua hari ini mengambang di dadanya, meletus dengan bunyi keras. Selama dua hari ini, Trisha tidak mau memikirkan kendala nyata yang ada di hadapan mereka. Dia masih ingin menikmati euforia yang membuatnya begitu bahagia.

Trisha menatap gawainya dengan gamang, lalu emosi sendiri. Ini papanya! Apa yang Trisha pikirkan?

"Papa," sapa Trisha menatap jingga yang nyaris binasa di ufuk barat.

"Sasa baik-baik saja?" tanya Guntur dengan suaranya yang berat.

"Iya, baik." Trisha mengerutkan kening. "Kenapa Pa?"

"Memastikan kamu baik-baik saja. Kami masih kepikiran soal yang kemarin, Sasa." Suara Juni menginterupsi. "Bisa-bisanya ponselmu ketinggalan. Ini benar, kan? Nggak ada hal lain yang bikin kamu celaka, kan?"

"Nggak ada, Mama," ucap Trisha. "Beneran cuma ketinggalan, kok."

"Jaga diri di sana baik-baik. Jangan sampai lupa kabari mamamu setiap hari, Sa. Kalau ada orang yang menyakiti kamu, bilang sama Papa."

"Papa. Ini aku udah gede, lho," ucap Trisha.

"Sampai kamu nenek-nenek pun, kamu tetap putri Papa. Paham?" ucap Guntur sebelum menghela napas panjang. "Kapan-kapan Papa main ke apartemenmu. Lama nggak main ke sana. Gimana, Ma?"

"Iya, nggak papa. Kapan-kapan nginep di sana semalam gitu, Pa," sahut Juni antusias. "Sambil jalan-jalan bertiga. Bisa nggak? Nanti kita jalan-jalan kamu ada panggilan?"

"Bisa diatur itu. Sasa mau dibawain apa dari rumah?"

Keindahan sore itu terlihat kabur di mata Trisha. Di telinganya, Juni mulai mendaftar satu persatu masakan yang Trisha suka hingga air mata Trisha mulai mengalir. Gadis itu cepat-cepat menghapusnya.

"Dibawakan cinta?"

"Kami selalu mengirimkannya dalam bentuk doa setiap hari. Sasa nggak kerasa?" kelakar Guntur dengan suara yang lebih ringan.

Gadis itu terkekeh dengan dada yang teremat sakit. "Aku sayang Papa. Sayang sekali sama Mama Papa."

"We know, sweetheart." Guntur terkekeh. "Papa tutup dulu. Ada tamu. Baik-baik di sana!"

Trisha mengusap-usap rambutnya, menatap tanpa fokus pada penghuni apartemen lain yang sedang menyiram tanamannya di balkon. Kemudian, bel pintu membuatnya melesat ke depan.

Barra berdiri di sana, menatap Trisha dengan sepasang manik coklatnya. Earphone terpasang di satu telinga, sementara yang lain terjuntai lepas. Ia tampak santai dengan kaus hitam lengan pendek dan ransel di punggung.

"Lumayan cepet urusan di Surabaya. Lancar, ya?" tanya Trisha sembari menutup pintu apartemen.

"Hm." Manik coklatnya mengamati Trisha lekat-lekat. "Kenapa?"

Trisha menggeleng. "Barusan ditelfon Papa. Cuma...telfon biasa. Tapi aku degdegan."

"Are you okay?"

Trisha menggeleng pelan dengan mata memanas.

"Mau bilang sama Om Guntur sekarang?"

Gelengan Trisha tambah cepat. Barra menariknya dalam pelukan satu tangan, dan Trisha menghela napas panjang.

Aroma yang membelai hidungnya, debaran yang memenuhi telinganya, telapak tangan Barra yang terasa besar di belakang kepalanya, semuanya bukan hal asing bagi Trisha. Dia tahu kehangatan ini memberinya rasa nyaman, dan sepasang lengan ini selalu menjaminkan rasa aman. Tapi setelah Trisha berpikir bahwa dia hampir kehilangan semuanya, pelukan ini terasa ribuan kali lebih hangat.

"Sa?"

"Apa?" sahut Trisha yang masih malas beranjak.

"I miss you," gumam Barra.

"Kita ketemu hampir setiap hari."

"And I'm still missing you."

Trisha mendongak. Kemarin, Trisha mati-matian menciptakan batas bagi mereka agar hubungan mereka menjadi normal. Sekarang jika dipikir-pikir, lelaki ini pasti sudah menciptakan batas sejak jauh-jauh hari.

"Bilang lagi," pinta Trisha.

"I miss you."

"Lagi."

"I miss you, Sasa," ulang Barra singkat, tapi tatapan hangat di balik manik cokelat itu cukup bagi Trisha. Gadis itu melipat bibirnya demi menahan senyum.

"Aku juga perlu bilang, nggak?"

"Coba bilang."

"Jangan deh. Nanti ketahuan kalau aku juga rindu."

Barra terkekeh pelan, dan Trisha ikut tersenyum. Bibir yang lebih sering mengatup datar itu, menyembunyikan senyum yang Trisha suka.

"Aku berarti boleh ngegambar kamu sesukanya, kan?" gumam Trisha. "Aku juga boleh telfon kamu kapan pun? Boleh ke rumahmu setiap kali aku kepingin ke sana, kan?"

"It has always been yours, Sasa. All you need to do is stay here, with me. Jangan pergi-pergi lagi."

Trisha menggigiti bibirnya. "Iya."

Lelaki itu menatapnya sedemikian rupa hingga pipi Trisha membara, membuat Trisha merasa malu pada diri sendiri. Gadis itu berdeham dan melepaskan diri.

"Yuk makan dulu. Habis ini nonton, ya. Aku ada film horor, tapi nggak berani lihat sendirian."

"Sejak kapan kamu takut nonton film horor?" tanya Barra.

"Barra..." erang Trisha. "Belum lama ini ada kasus pembunuhan di apartemen situ, ingat? Aku belum berani nonton sendirian, tapi katanya bagus. Santai, sih. Udah ada banyak cemilan."

Tidak banyak yang berubah dari mereka, Trisha menyadari. Membuat Trisha bertanya-tanya apakah hubungan mereka di masa lalu memang sudah jauh dari batas-batas normal sebuah persahabatan. Jika iya, pantas saja Juni menyadarkan Trisha akan kata batas.

Namun, Barra tertidur di tengah-tengah film. Trisha membenahi kepalanya yang bersandar di lengan sofa, lalu menghamparkan selimut untuknya. Gadis itu mengusap pelan dahinya, mengamati wajah Barra yang terlihat lelah sekali. Salahnya juga tidak memberi waktu bagi Barra untuk istirahat. Tapi...yah, dia hanya belum mau Barra pergi. Sesederhana itu.

Trisha lanjut menonton film, membiarkan Barra meringkuk di dekat tubuhnya hingga film itu selesai.

"Lho, bangun?" Trisha mengangkat alis saat melihat Barra terkantuk-kantuk di balik selimutnya yang mencapai dagu.

"Yang cowok kenapa?" bisiknya.

"Karma." Trisha menepuk-nepuk pundak Barra. "Tidur lagi. Aku ada kerjaan sebentar."

"Tentang apa?"

"Platform kepenulisan Renjana," jawab Trisha antusias. "Kebagian ngurusin user interface-nya."

"Hm." Barra mengacak singkat rambut Trisha. "Aku pulang dulu."

"Lhoh!" Gadis itu langsung menahan Barra. "Kok buru-buru? Nggak nginep sini aja? Kamu lama nggak pernah nginep lagi--aduh!"

Trisha mengusap bekas jentikan Barra di dahinya dengan gusar, lalu buru-buru menahan ransel Barra saat lelaki itu berjalan ke pintu.

"Masih jam sembilan. Sebentar lagi aja."

"Let's have dinner tomorrow, hm?"

"Gimana kalau aku ikut ke rumahmu aja?"

Sorot mata Barra menggelap. Tangan yang tadinya membelai rambut gadis itu, kini tersimpan di saku. "Mau apa di rumah?"

"Katanya boleh ke sana kapan pun aku mau." Trisha memuntiri kaus Barra. "Aku mau...ngapain aja. Bantu bikin lego, mungkin. Atau bikin maket--aduh! Apasih, Bar!"

Barra mengusap bekas jentikannya di dahi Trisha, lalu tersenyum samar.

"See you tomorrow," ucapnya sebelum keluar dari apartemen.





*TBC*

Haiii, selamat siang

Terima kasih untuk semua komentar dan apresiasinya yaa. Saya baca semua komentarnya, and it lightens up my day. Maaf akhir-akhir ini belum bisa balas komentar. Nak bucil baru nempel-nempelnya. Pergi sekelebat ditangisi, mau ke belakang pun pake jurus sat set 🙂🙃🙂

Selamat makan siang. Please be happy, be healthy, be safe ya.

I luv yuu
💖💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top