BAB 18. Ajakan Teman
"Kamu nggak jogging? Minggu pagi, sweetheart."
Guntur menerima botol minum dari Juni. Keduanya duduk di kursi taman, tampak berkeringat setelah jogging.
"Akhir-akhir ini kerjaanku banyak banget, Pa. Kemarin barusan spa," ucap Trisha, yang menelfon kedua orangtuanya demi mengusir hening saat sarapan.
"Jadi, bagaimana keadaan anak Mama? Sehat lahir batin?"
Guntur melirik istrinya, yang dibalas Juni dengan mengecup ujung hidung mancung pria itu.
"Please," erang Trisha.
Juni tertawa. "Hari ini ada agenda apa?"
Perut Trisha langsung melilit hebat. "Ke nikahan kakaknya Mas Leo."
Senyum Juni memudar, digantikan tatapan awas khas mata pengacaranya.
"Kapan dia ke rumah lagi?" tanya Guntur. "Dia masih perlu banyak belajar."
Mungkin tidak akan pernah lagi. Namun Trisha tidak sampai hati mengatakannya. "Suka Mas Leo, ya? Mau mantu kayak dia?"
"Leo sopan. Tapi Mama mau menantu yang juga disukai kamu," ucap Juni. "Yang nikah sama dia itu kamu, Sa. Bukan Mama."
Guntur merangkul Juni. "Tapi Papa suka dia. Anaknya sopan, latar belakang keluarganya baik, dan pekerja keras. Masih ingat pesan Papa?"
Trisha mengangguk dengan dada yang kian memberat.
"Pesan apa?" Juni mengerutkan kening, yang hanya dibalas Guntur dengan kedipan sebelah mata.
"Pertimbangkan dengan baik, Sasa. Dia sepertinya anak yang baik," ucap Guntur. "Kami pulang dulu, sweetheart. Mau mancing habis ini. Hati-hati nanti."
Trisha mengangguk dengan agak tidak rela, lalu menghela napas saat sambungan terputus.
Dia sudah mempertimbangkan semuanya. Tapi seperti biasa, keputusan paling baik bukan berarti keputusan yang mudah dijalani.
==
Keluarga Leo adalah keluarga besar.
Leo benar-benar memperkenalkan Trisha kepada setiap orang di keluarganya. Mulai dari saudara orangtuanya, sepupu-sepupunya, dan keponakannya.
Semuanya menyambut Trisha dengan atusias, terlebih orangtua Leo. Karena dari lima bersaudara, hanya Leo sendiri yang belum menikah. Ambar menginterogasi Trisha tentang banyak hal: keluarga, pekerjaan orangtua, pekerjaannya. Dan ia pun juga menunjukkan banyak hal tentang keluarga Leo pada Trisha.
"Jadi, gimana? Sudah ada tanggal?" tanya salah satu budenya. "Biar Bude bisa pesan tiket jauh-jauh hari."
Trisha hanya tersenyum dan melirik Leo, yang ternyata juga nyengir gugup.
"Jangan lama-lama. Kapan-kapan kita ke rumah Nak Sasa, ya. Leo udah tahu rumahnya Sasa, kan?" tanya Ambar.
Leo mengangguk, yang membuat Ambar nyengir lebar.
"Aku antar Sasa pulang dulu, Ma," ucap Leo akhirnya.
"Tunggu!" Ambar buru-buru mengambil sebuah bingkisan. "Ini kue, dibawa pulang. Le, nanti jangan lupa. Hati-hati di jalan, ya!"
"Dadah Tante! Besok-besok kita gambar lagi, ya!" seru salah satu keponakan Leo yang langsung menyukai Trisha karena tadi, Trisha membantunya mengatasi kebosanan dengan menggambar.
Trisha balas melambai, lalu pamit dengan sopan.
Jam di dashboard menunjukkan pukul satu siang. Gadis itu bersandar di kursi sambil memejamkan mata, tidak bicara bahkan saat Leo masuk dan mulai menjalankan mobil.
"Mama dari tadi muji kamu, Sa." Leo membuka percakapan. "Kagum sama dandanan rambutmu. Kok bisa manis begitu? tanyanya."
"Oh..." Trisha tertawa kaku. "Ini aku lihat tutorial di youtube."
Leo mengamati jalanan sambil tersenyum. "Maaf tapi kamu memang cantik sekali hari ini."
"Thank you," gumam Trisha, lalu menghela napas panjang. "Mas...aku--"
"Sa," potong Leo sambil merogoh sakunya. "Tadi Mama titip ini. Coba dibuka."
Diberikannya pada Trisha sebuah kotak kecil berwarna beludru yang sudah memudar.
"Itu kalung dari mendiang nenek buyutku," ucapnya saat Trisha membuka kotak itu. "Dulu diberikan ke Nenek, lalu ke Mama. Berhubung aku satu-satunya anak cowok, jadi Mama simpan kalung itu untuk menantu perempuannya."
Trisha menatap kalung mutiara itu, lalu kembali menutupnya. "Mas Leo, aku--"
"Gimana menurutmu?" Leo kembali bertanya. "Keluargaku sepertinya suka kamu. Bahkan Ghazi aja langsung nempel sama kamu, Sa."
"Mas--"
"Mau makan bakso?"
Trisha meletakkan kotak kalung tadi di atas dashboard, dan wajah Leo menjadi kaku.
"Tentang sebulan itu, sepertinya aku nggak bisa," gumam Trisha akhirnya. "Maaf."
Leo tidak menjawab apa-apa. Lelaki itu hanya menepikan mobilnya di sebuah lahan kosong dan terdiam sejenak.
"Ini bahkan belum sebulan, Sa. Masih ada beberapa hari lagi," ucapnya sambil tersenyum kecil.
"Iya. Ini belum ada sebulan, tapi harusnya aku tahu kalau kalimat 'tanpa ekspektasi' itu nggak akan pernah benar-benar ada," kata Trisha hingga senyum Leo memudar.
Trisha menatap ke depan saat rasa bersalah menikamnya kuat-kuat. "Aku takut aku nggak bisa mengimbangi ekspektasimu. Dan--dan aku nggak siap menghadapi pengharapan sebesar itu. Aku tahu, aku salah di sini. Dan akan lebih jahat lagi kalau aku setuju ini diteruskan."
"Aku bisa menahannya."
"Aku yang nggak bisa. Itu...terlalu berat. Maaf," ucap Trisha dengan pelan.
Leo terdiam beberapa saat sebelum bertanya, "Kamu yakin? Nggak mau nunggu beberapa hari lagi?"
"Nggak, jangan..." Trisha tertawa sedih. "Jangan begitu, Mas."
"Yakin?" tanyanya lagi. "Kita berhenti?"
Sepasang mata itu memerah, dan Trisha hampir saja runtuh. Namun gadis itu menguatkan hati dan mengangguk.
"Ya. Maaf."
"Jadi, aku ditolak." Leo bersandar. "Walau aku bilang kalau aku udah punya cincin buat melamar kamu, kamu tetap nolak?"
"Mas Leo, apa kamu nggak takut kalau aku bersedia nikah sama kamu hanya karena kamu udah nyiapin cincin?"
"I knew it," gumam Leo langsung. "Terdengar bodoh, kan? Tapi sayangnya, jawabanku adalah iya."
Trisha hanya terdiam, yang membuat Leo tertawa singkat.
"Karena ternyata kita jadi begini, aku akan bilang semuanya sama kamu, Sa," ucap Leo. "You know your charm, Sa? You look innocent, pure, sweet, and cute. Tapi di lain sisi, kamu bisa begitu dewasa seperti saat ini. Apa yang bisa aku katakan, kalau begitu? Aku kecewa, jujur aja. Tapi aku juga lega. Sudah aku bilang, mendapatkan kamu nggak akan semudah yang aku duga. Setiap hari, aku justru makin takut. Bukannya lega, aku justru was-was sendiri. Somehow, it is torturing me."
Trisha mendengarkan, namun tetap terdiam. Rasa bersalah masih bercokol di dadanya.
"Aku udah bilang aku suka sama kamu dari lama. Tapi nggak pernah berani nembak karena aku merasa peluangku ini kecil," ujar Leo. "Tapi siang itu, aku seperti mendapat celah. Jadi, kenapa nggak?"
Suara kendaraan menyela jeda suara Leo.
"Aku menginginkan kamu sebesar itu. Tapi harapan-harapan tinggiku itu, justru membuatku ketakutan. Aku tahu kamu nggak siap waktu lihat antusiasme keluargaku. Aku cuma nggak bisa menahan diri untuk nggak cerita tentang kamu sama mereka. Tentang gadis yang sudah lama aku suka, yang akhirnya berhasil aku dekati. Tapi jangan minta maaf, karena sebenarnya sebulan ini bukan cuma milikmu, Sa. Aku juga mengamati kamu. Walaupun aku begitu menginginkan kamu, aku masih belum yakin akan sesuatu. Aku punya semacam dugaan yang ingin aku buktikan. Tapi kamu tahu bagian paling menakutkannya? Semakin hari, aku semakin yakin kalau dugaanku ini benar. Tapi semakin hari juga, aku semakin menginginkan kamu sampai-sampai aku kewalahan mengendalikan egoku."
"Dugaan?"
"Do we need to make it clear?" Satu alis Leo terangkat, yang dibalas Trisha dengan kerutan di kening.
"Peluangku ini kecil, Sa. Aku seperti menginterupsi sesuatu. Tapi dengan begini, harapanku tentang kamu akhirnya punya jawaban yang jelas. Walaupun nggak seperti yang aku inginkan, setidaknya aku bisa tenang dan berhenti berandai-andai. Tapi aku nggak akan membantu Barra, Sa. Untuk masalah ini, keberadaannya saja sudah melukai harga diriku. Aku masih menganggapnya rival, sayangnya."
"Kenapa Barra dibawa-bawa?"
"Dia alasanmu minta kita berhenti, kan?"
"Hah?" Trisha ternganga, lalu tertawa kecil. "Barra? Aku sama Barra, maksudnya? Nggak, nggak. Kamu jangan ikut-ikutan juga. Nggak lah, Mas! Dia temanku dari dulu. Wajar kalau kami dekat. Barra juga cuma anggap aku teman aja."
Leo terdiam sembari menatap Trisha lama sekali hingga gadis itu merasa tidak nyaman.
"Denial?" tanyanya tiba-tiba, yang membuat Trisha kembali mengerutkan kening.
"Denial--apa?"
"Atau berusaha move on?" Leo meneruskan celetukannya seraya mengamati Trisha dengan penuh telisik.
"Dari?" tanya Trisha tambah bingung.
Leo masih mengamati Trisha dengan lekat hingga sesaat kemudian, lelaki itu tertawa kecil. "Ya Tuhan, Sasa. Tapi itu bukan urusanku lagi. Yah setidaknya, kita mengakhiri ini dengan cukup baik, kan?"
==
Trisha menutup novel di tangannya dengan keras.
"Tentu saja mereka akhirnya bersama," gumamnya putus asa.
Hampir di setiap novel yang ia baca, proses jatuh cinta kedua tokohnya bisa sangat mudah. Bertemu, berkenalan, melakukan aktivitas bersama semacam dinner dan sebagainya, dan jatuh cinta. Lalu mengapa, Trisha tidak mendapatkan ending yang sama? Bukannya tersipu dan berbunga-bunga, kini ia justru tenggelam dalam rasa bersalah yang luar biasa.
Trisha menyila rambutnya untuk yang kesekian kali. Bersila di atas kursi dengan kaki telanjang padahal dia memakai dress brokat, penjaga counter bahkan meliriknya curiga karena Trisha sudah terdampar di sudut kafe sebuah toko buku selama tiga jam lamanya.
Tapi, Trisha memang membutuhkannya.
Mungkin ada baiknya gawai Trisha tertinggal di apartemen. Sehari tanpa gawai, ternyata ia bisa mereguk kedamaian sebanyak ini. Dia pergi ke toko buku langganannya, membaca hingga selesai tanpa diinterupsi apa pun, Trisha seperti mendapatkan me time paling berharga seumur hidupnya. Dia bisa memberi ruang pada diri sendiri untuk memikirkan banyak hal, terutama apa yang terjadi hari ini.
Lagipula tidak ada lagi pesan dari Barra yang bisa ia tunggu. Si beruang kutub itu lebih suka memberikan kabar kepada Amira ketimbang dirinya.
Lagipula, Trisha sudah mengambil keputusan sejak awal. Selama ini dia sangat berusaha mematuhi keputusan yang ia buat. Dia hanya harus berusaha pergi dari zona nyaman yang sebelumnya ia tinggali tanpa sadar.
Tapi bagaimana caranya pergi? Mengapa dari sekian banyak memori, Barra harus mengisi banyak di antaranya? Mengapa dia lebih mudah mengingat saat-saat bersama Barra daripada rumus fisika?
Setetes air mata membasahi tangannya, membuat gadis itu mendengkus geli. Menurut Leo, segala kegundahan ini karena dirinya menyukai Barra. Yang benar saja! Dia begitu kacau karena tidak siap harus memberi jarak pada hubungan mereka. Itu saja.
"Sendirian?"
Trisha buru-buru mengusap wajah saat Amira duduk di depannya. Perempuan itu terlihat kasual dengan blus putihnya, dan cantik seperti biasa.
"Mas Leo mana?" Amira menatap sekeliling. "Bukannya kalian pergi bareng?"
Trisha menggeleng kecil. "Tahu dari mana?"
"Hari ini kami ada pertemuan dengan klien," jawab Amira. "Yang agak tertunda karena dia sedang ada urusan sama kamu. Kalian kencan?"
Trisha menggeleng lagi, merasa tidak enak hati. "Beli buku juga?"
Amira mengacungkan buku bertema arsitektur yang masih tersegel plastik.
"Aku pikir kamu gadis yang baik, Sa." Amira tersenyum ganjil. "Tapi ternyata kamu agak berengsek ya."
"Dan apa maksudnya itu?" balas Trisha dengan dingin.
"Bermain dengan perasaan orang lain bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Aku rasa kamu terlalu tamak. Tamak dan picik."
Amira meliriknya dingin sebelum mengambil pesanannya di kasir, lantas keluar dari kafe kecil itu. Sementara Trisha terdiam, menyadari jika separo kalimat Amira adalah benar.
"Gue memang agak berengsek sih." Trisha tertawa sedih.
==
Malam menyapa saat Trisha melepas wedges-nys di lobi apartemen.
Kakinya sakit karena memakai wedges seharian. Rambutnya banyak yang terurai, wajahnya sembab, dress-nya kusut dan bau keringat. Dia merasa sangat kotor dan lelah.
Trisha menatap kosong satu-persatu orang yang keluar dari lift hingga tinggal ia sendirian. Gawainya sudah pasti mati karena kehabisan daya. Lagipula apa yang ia tunggu? Sudah pasti tidak akan ada pesan dari Barra. Trisha mengusap pipinya lagi, tiba-tiba merasa sangat kesepian.
Gadis itu keluar begitu lift terbuka, namun langkahnya terhenti segera.
Karena lelaki itu berdiri tepat di depannya, dengan gawai di telinga. Kemeja kerjanya telah keluar dari celana, dan lengan kemejanya digulung hingga ke siku. Dua kancing paling atas telah dilepas, menampakkan kaus putih di baliknya. Dadanya naik turun dengan cepat dan ia berkeringat. Mata merahnya menghunus Trisha dengan tajam.
"Oh..." gumam Trisha mati-matian berusaha biasa saja. "Bukannya masih dua hari lagi?"
"Dari mana?" tanyanya tajam.
"Toko buku." Trisha sengaja mengalihkan tatapan karena air matanya keburu menggenang. "Gue capek. Pulang aja, Bar."
"Kenapa ponselnya bisa sampai ketinggalan?" tanyanya.
"Karena gue manusia biasa yang juga bisa lupa," ucapnya emosi kala melihat Barra mengikutinya hingga ke apartemen. "Pulang, Barra! Gue capek banget ini."
"Besok lagi jangan diulangi, Sa," ucap Barra dingin hingga emosi Trisha memuncak.
Siapa dia berani mengatur-atur Trisha? Sementara Barra bisa kemana-mana tanpa memberitahunya?
Trisha mendorong dada Barra dengan gusar. "Udah dibilang, gue capek, Barra! Gue mau istirahat!"
Trisha tidak tahu, pun tidak mengerti mengapa dia begitu emosi saat ini. Tapi bukannya mematuhi Trisha, lelaki itu justru menangkap kepalan tangannya dan menggenggamnya erat. Lelaki itu menarik dagunya, membuat Trisha bersirobok dengan tatapan tajam Barra. Gadis itu berpaling, namun Barra menahan dagunya.
"Kenapa?" tanya Barra. "Leo bikin susah?"
"Peduli sekali! Balik ke Bali sana! Barra, lepasin gue! Lo tuh--"
Sisa kalimatnya menghilang saat Barra justru memeluknya, menenggelamkan Trisha dalam kehangatan dan aroma yang begitu familiar, memenjarakannya dalam rasa nyaman yang ia rindukan tanpa sadar. Tempatnya selama bertahun-tahun, miliknya selama bertahun-tahun.
"Jangan marah," ucapnya pelan seraya mengusap belakang kepala gadis itu. "Maaf."
Segala gelisah yang membuatnya emosi seketika sirna, diganti dengan rasa hangat kala Trisha merasa pulang.
Kemudian, gadis itu menangis sejadi-jadinya.
==
Menit berlalu, isakan gadis itu mulai mereda. Trisha mendengarkan debar jantung Barra yang bergemuruh di telinga. Debar yang selalu datang bersama dengan sepasang lengan yang memeluknya kuat. Gadis itu bersandar di sana, menebus momen dingin tanpa kehadiran Barra yang akhir-akhir ini ia lalui.
Lalu sesuatu yang asing teraba olehnya, dan fokus Trisha teralihkan.
"Ini apa?" Trisha meraba bahu Barra. "Luka, ya?"
"Bukan luka serius," jawab Barra.
"Nggak mungkin kalau nggak serius. Sampai diperban gini--mau lihat, sini!"
"Nggak perlu," jawab Barra. "Besok-besok jangan diulangi lagi, Sa."
Trisha melepaskan diri dengan paksa, yang tidak pernah dikabulkan Barra.
"Bar?"
"Hm?"
"Gimana perasaanmu waktu tahu pacarmu pelukan sama cowok lain?" tukas Trisha lelah. "Nggak mau, kan? Jadi ini...lepas! Lo harus mulai menghargai perasaan Amira."
"Kenapa Amira dibawa-bawa?" tanya Barra, sama sekali tidak menggubris Trisha yang berusaha menyingkirkan lengannya.
"Karena dia bakal sakit banget kalau tahu pacarnya pelukan sama cewek lain. Paham? Jadi--"
"Dia bukan pacar gue. Bukan calon istri, bukan juga perempuan yang gue suka," kata Barra dengan wajah selempeng batu arca.
"Bukan?"
"Bukan."
"Ya...habisnya--" Trisha terdiam sejenak sebelum kembali berkata, "Dia suka sama lo."
"Tahu. Lalu?"
Trisha terperangah. "Tahu?"
"Dia pernah bilang."
"Terus?" Trisha bertanya dengan takut-takut.
"Nggak ada terusannya." Barra mengawasi Trisha. "Cuma karena orang lain bilang begitu, bukan berarti gue harus membalasnya dengan rasa yang sama, Sasa. Gue menghargainya dengan memberikan jawaban yang jujur, itu cukup. Dia ke rumah karena ada berkas Happyhouse di sana. Tenang?"
Iya. Gadis itu terkejut sendiri, lalu membuang wajah.
"Mau dengar jawaban jujur gue buat dia?"
Trisha mendadak disergap rasa takut. Ditatapnya kembali Barra dengan penuh antisipasi. Apa kira-kira? Apakah Barra memang murni tidak ingin menerima Amira? Ataukah dia sudah punya perempuan lain?
"A-apa?" tanya Trisha sembari menyiapkan hati.
" 'Aku sudah punya perempuan yang aku suka. Dia Sasa. Gemma Naratrisha.' "
Gadis itu terpaku sejenak, lantas berdecak keras. Ia melepaskan diri, yang dikabulkan Barra kali ini.
"Walaupun kita teman, jadiin gue tameng kayak gitu bukan hal baik. Mending lo ngomong jujur kalau emang belum mau pacaran daripada cari alasan yang nggak masuk akal." Trisha berusaha meredam jantungnya yang berdebar tiba-tiba. "Jangan dekat-dekat gue. Gue masih marah ini!"
Barra menatapnya beberapa saat, lalu menghirup napas panjang. "Marah kenapa?"
"Serius, Barra! Lo--" kenapa nggak ngasih gue kabar kalau ke Bali? Kenapa gue harus tahu itu dari Amira? Ih! Namun Trisha menelan kembali sisa kalimat itu dalam satu dengkusan keras. "--berantakan, ck!"
Gadis itu melirik Barra, lalu memutuskan untuk melunak. Trisha mengambil segelas air dan memberikannya pada Barra.
"Tiba-tiba ngilang, tiba-tiba muncul. Perasaan gue nggak pernah main jelangkung!" Trisha berkata jengkel seraya merapikan rambut lelaki itu. "Dan kenapa lo berantakan gini--aduh!"
Barra melirik Trisha yang mengusap bekas sentilannya, lalu meneguk air minumnya hingga habis.
"Besok lagi jangan diulangi. Ada ponsel, bawa itu kemana pun lo keluar rumah," celetuk Barra. "Sama Leo, benar selesai? Dia cowok baik-baik, Sa. Apa alasanmu nggak jadi sama dia?"
Trisha memutar bola mata. "Mas Leo curhat, ya?"
"Jawabannya, Sa."
"Seperti yang lo bilang, cuma karena orang lain berkata begitu, bukan berarti gue harus membalasnya dengan rasa yang sama. Gue akan jadi orang jahat kalau gue nerusin ini." Trisha berdecak sebelum mengancingkan kemeja Barra. "Dan, jangan sering-sering ke sini, Bar. Nggak enak kalau dilihat orang."
"Do you mean it?"
Sepasang mata itu terlalu menghunus hingga Trisha memilih untuk bermain-main dengan kancing kemeja lelaki itu. "Menghambat jodoh potensial, tahu! Bisa jadi keberadaan gue bikin calon istrimu salah sangka. Cukup sama Mas Prima aja, gue nggak mau ada drama apa pun sama lo."
"Gue udah bilang siapa perempuan yang gue suka."
"Udah gue bilang juga, lo jangan jadiin gue tameng."
"Kalau gitu, jangan beri mereka kesempatan untuk salah sangka."
Barra merendahkan wajah hingga pandangan mereka sejajar. Sedekat itu, hingga Trisha meneguk ludah tanpa sadar. Lelaki itu menyisipkan tangannya ke dalam saku, lalu berbisik hingga tengkuk Trisha merinding.
"Kalimat gue tadi bukan tameng. Jadi berhenti di sini. Jangan lari-lari lagi. Let's start it, Sa."
"Hng...S-start apa?" tanya Trisha gugup.
"Semuanya." Iris cokelat itu memenjarakan Trisha dalam tatapan tanpa keraguan. "Marry me, Sasa."
*TBC*
Jadii begitu ajakan temannya Sasa 😶
Sambil nulis ini, sambil ngedengerin Nobody compares to you-nya Gryffin. And I think it is sooo Sasa :''
Punya lagu lain yang cocok sama teman-tapi-sesuatu ini?
This is new version, yes. Apakah alur dan konfliknya berbeda dengan SS versi lama? Tidak. Alur dan konflik tetap sama. Beberapa part mengalami perubahan biar lebih smooth.
Jadii, selamat makan siang. Please be healthy, be happy, be safe yaa. Happy friday and see you next week.
Luv yuu
💖💖💖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top