BAB 17. Bad Feeling

"Sa! Lo di mana? Kelasnya udah mulai!"

"Aduh...gue belum bisa balik!" Trisha berlari menuju gedung wisuda. Orang-orang melihatnya heran, karena ia berlari sambil membawa sebuah buket bunga yang dirangkai di dalam balon transparan.

"Lo dimana sih? Kok rame gitu?"

"Wisudanya Barra. Udah ya, gue tutup. Nggak lama, kok."

Sepertinya prosesi wisuda masih berlangsung. Gadis itu celingukan dengan cemas, tapi sia-sia saja. Dia tidak mungkin bisa mengintip ke dalam balairung. Akhirnya, Trisha duduk di teras bersama beberapa orang lain yang mungkin saja kerabat dari para wisudawan.

"Zy, videoin materi, dong." Trisha mengirim pesan pada temannya.

Untuk waktu yang lama, gadis berkepang dua itu duduk sambil menyimak materi yang direkam temannya diam-diam. Angin membuat balon di tangannya berayun pelan, menggoyangkan bulir sterofoam warna-warni yang menjadi dekorasi di dalamnya.

Hingga kerumunan tiba-tiba membuatnya berdiri. Gadis itu berjinjit di antara orang-orang, lalu tersenyum lebar saat menemukan Barra berjalan seorang diri. Hidungnya sedikit memerah. Mungkin sedari tadi ia bersin-bersin karena banyaknya bunga yang bertebaran di sekitarnya.

"Barra!" Trisha berlari sambil menggoyang-goyangkan balonnya untuk menarik perhatian Barra. "Barra! Di sini!"

Keterkejutan melintas di wajah datar itu saat melihat Trisha berlari ke arahnya dengan berbinar. Tanpa jeda, Trisha memeluknya. Satu tangan Barra otomatis meraih punggung Trisha, menjaga keseimbangannya.

"Happy graduation!" Trisha tersenyum lebar. "Nih! Gue bawain bunga biar kayak yang lain."

Barra melirik balon yang digoyang-goyangkan Trisha. "Nggak kuliah?"

Trisha langsung mendorong Barra dengan sewot. "Lo jangan bikin gue tambah merasa bersalah. Nih, pegang! Gue mau balik ke kelas!"

"Jangan dulu." Barra menahan Trisha dan mengambil balonnya. "Thank you."

"Eits!" Seorang teman Barra mengulurkan tangan di antara mereka. "Guys, lihat sikon. Pikirin manusia macam gue yang nggak punya pacar buat diajak foto waktu wisuda. Sana nepi! Ck! Peluk-peluk segala! Lepas, nggak? Sini gantian--sorry Barra, bercanda."

Rudy mengedipkan satu mata pada Trisha, lalu tertawa saat aura angker Barra mulai menjadi.

"Nepi sana! Jangan di tengah jalan!" ucapnya hendak pergi, namun Trisha menahannya.

"Kenapa Sa? Jangan minta peluk, lah. Nanti gue nggak selamat sampai rumah," ucap Rudy, yang membuat Trisha memutar bola mata.

"Fotoin dong, Mas." Trisha mengulurkan gawainya. "Fotoin yang bagus, yang banyak."

"Pakai punya gue aja." Barra ganti mengulurkan gawainya.

"Yah, nggak bisa tukeran nomer--canda, Barra. Tuhan!" Rudy berdecak, lalu mulai mengambil foto sesuai arahan gadis itu. "Udah. Banyak banget itu. Gue harus balik, udah ditunggu keluarga gue. Barra, pleasure to know you as my friend, bro. Good luck ke depannya."

Kedua lelaki itu bersalaman sebelum Rudy menyambangi keluarganya dengan tergesa. Barra meraih tangan Trisha dan menariknya ke tepi.

"Habis ini mau kemana?" tanya Trisha. "Kalau mau ke tempat Tante Dilara, gue ik--"

Karena saat itu, Barra memeluknya. Embusan napasnya terasa samar di pundak. Satu telapak tangannya menyelusup di belakang kepala Trisha, sementara yang satu lagi melingkari pinggangnya, memeluknya erat.

Trisha balas memeluknya, mereguk rasa hangat yang hanya dimiliki oleh pelukan Barra. Sementara teman-temannya yang lain ditemani sanak saudara mereka, Barra melewati momen penting ini sendirian. Trisha tahu Barra kuat, tapi kalaupun Barra merasa sedih sedikit saja, Trisha tidak akan menyalahkannya.

"Nanti kalau mau ke tempat Om Barata atau Tante Dilara, gue ikut, ya," gumam Trisha.

"Hm," gumamnya. "Bikin ini di mana?"

"Di dekat Hypermart." ucap Trisha saat Barra melepaskannya. "Lucu kan? Hati-hati bawanya, jangan sampai meletus."

Lelaki itu menatap Trisha sejenak sebelum tersenyum samar dan mengusap puncak kepalanya. "Thank you. Ini cantik."

Trisha nyengir lebar. "Gue juga pesan buat Tante Dilara. Lo juga udah pesen sih pasti, tapi nggak papalah dobel, biar meriah. Jadi pokoknya kalau mau pergi, gue dikasih tahu."

Barra menatap Trisha dalam diam. Jemarinya menyila rambut Trisha ke belakang telinga sebelum berlari ke pipi, membelainya pelan. Sihir bekerja entah dari mana, meniadakan suara di sekitar Trisha, membuatnya terpatri pada sepasang mata coklat di hadapannya.

Lalu balon itu meletus, dan Barra bersin hebat sekali.

===

Pagi yang lain, mimpi yang lain, memori yang lain.

Sentuhan Barra terasa nyata hingga Trisha menggigil. Pelukannya, usapannya, juga genggaman tangan di jemarinya. Gadis itu mengusap matanya yang sembab, lalu otomatis menoleh ke kalender.

"Lo!" Trisha memejamkan mata dengan marah. "Stop, Sa! Lo kenapa sih? Biasa aja kali ditinggal-tinggal begini! Memangnya Barra punyamu, apa?!"

Seharusnya Trisha mengabaikannya. Tapi setiap bangun tidur, dia tidak pernah bisa mengabaikan kalender. Kepalanya refleks menoleh, dan batinnya otomatis menghitung hari hingga tanggal kepulangan Barra.

Tinggal empat hari. Tapi sejak malam itu, mereka tidak pernah bertukar sapa lagi.

Mungkin, misi Amira memang sudah berhasil. Ditambah dukungan dari Barata, semuanya pasti berjalan baik-baik saja.

Hanya saja, Trisha pikir menyesuaikan diri dengan hubungan mereka yang baru tidak akan sesulit ini. Butuh usaha, tapi Trisha yakin tidak akan memakan waktu lama. Nyatanya, Trisha salah sangka.

Dia tidak siap dengan kehilangan asing yang menghampirinya tiba-tiba. Dia tidak memperhitungkan sensasi lubang yang mulai tercipta di tengah dada, membuat tubuhnya terasa aneh hingga Trisha merasa tidak utuh lagi.

Dia tidak pernah tahu jika hari-harinya bisa sangat kacau. Sekacau tangannya yang menggambar sketsa Barra tanpa sadar. Sekacau wajahnya yang basah karena memimpikan Barra di malam hari. Sekacau ia yang memandangi ruang chat mereka hingga bermenit-menit. Sekacau ia yang membuka galeri demi menatap foto yang ada Barra-nya.

"Lo orang pertama yang akan tahu kalau gue punya calon istri."

Trisha mendengkus keras dan berjalan ke kamar mandi. Hari ini dia punya banyak agenda, termasuk pergi spa bersama Maura dan Mika. Namun saat gawainya berbunyi, Trisha segera melompat ke tempat tidur untuk meraihnya.

"Sasa, di apartemen?"

Bibir Trisha mengerucut saat tahu si pengirim bukanlah Barra, lalu menampar pipinya sendiri saat menyadarinya.

"Lo ngapain barusan, hah?" pekik Trisha emosi. "Ini Mas Leo, lho! Mas Leo!"

Trisha segera membalas pesan Leo, merasa sangat bersalah karena sudah merasa kecewa.

==

Pukul delapan pagi, lelaki berbaju batik itu muncul dengan banyak bawaan. Tergesa, ia meminta bantuan Trisha untuk menata hampers bagi temannya yang baru saja melahirkan. Katanya dia lupa jika hari ini, dia dan teman-temannya hendak datang berkunjung. Maka, Trisha mempersilakan Leo duduk di lobi apartemen dan membantunya di sana.

"Selesai." Trisha memotong pita dan memberikan hampers itu pada Leo. "Ini."

"Thank you, Sa. You saved my day." Leo terdengar lega sekali.

"Nggak masalah. Mas Leo panik banget tadi. Tapi sweater-nya lucu-lucu deh. Beli di mana? Temanku juga sebentar lagi ada yang lahiran."

"Menurutmu begitu? Tadi asal ketemu toko aja." Leo meraih gawainya. "Karena sekalian pulang dari rumah klien, jadi tokonya juga jauh dari sini. But wait...ketemu. Aku kirim."

Trisha membuka pesan Leo, lalu mengangkat alis. "Eh, ini jauh banget! Mas Leo beneran dari sana langsung ke sini?"

Leo mengangkat bahu. "Aku butuh bantuanmu, Sa. Hari ini aku sibuk banget."

Trisha mendengkus geli.

"Aku serius ini. Lima belas menit lagi harus jemput yang lain," ucap Leo meskipun ia ikut tersenyum. "Jadi, mau kapan ke tokonya? Aku antar."

"Nggak perlu. Ini agak jauh. Aku tahu tempat yang lebih dekat, kok," sahut Trisha.

"Nggak masalah, Sa. Setelah dipikir-pikir, mungkin aku perlu bikin satu lagi. Adikku juga mau lahiran sebentar lagi." Leo mengangkat hampers-nya sambil nyengir lebar. "Ilustrasi-ilustrasi lucu yang kamu tambahin, it's sweet. Aku jadi kepikiran minta bantuanmu lagi."

Trisha tertawa canggung. "Mungkin bisa pergi kapan-kapan. Bajunya memang lucu-lucu, sih."

"Bagus. Nanti aku jemput kamu. Unit apartemenmu di lantai ini?"

Trisha menggeleng dan menunjuk ke atas. "Tapi pendingin ruangan di lobinya baru diperbaiki, jadi kita di sini saja."

"Hm, ngomong-ngomong, Sa..." Leo menatapnya beberapa saat, lalu menggeleng. "Nggak apa-apa. Aku cuma sibuk sekali hari ini. But...thank you, Trisha. You made my day."

Gadis itu tersenyum kecil, lalu menerawang ke luar jendela saat Leo sibuk menulis kartu ucapan.

Dia sedang apa? Sibuk sekali ya, di sana?

Bagaimana jika Trisha bertanya kabar? Sekedar bertanya sebagai teman, apakah itu akan membuat Amira tidak nyaman?

"...Sa? Sasa?"

"Hm?" gumam Trisha. "Kenapa, Bar?"

Keheningan lama membuat Trisha tersadar "Maaf...maksudku, kenapa Mas?"

Leo tersenyum kecil. "Aku harus pergi sekarang. Kamu ada acara setelah ini?"

Trisha mengangguk. "Pas banget. Teman-temanku juga hampir sampai."

"Mau turun bareng? Aku beresin ini dulu, kamu bisa ambil dompetmu."

"Oh...oke," ucap Trisha yang segera pergi ke unit apartemennya sendiri. Ketika ia kembali, Leo sedang duduk sambil menerawang jauh ke luar jendela.

"Banyak pikiran?" tanya Trisha hingga Leo menoleh.

"Lumayan." Leo mengangkat bahu. "Ternyata lebih susah dari yang aku duga."

"Apanya?"

"I have some feelings, Trisha. Bad feelings," kata Leo pelan. "Tapi aku sangat ingin berjuang. Bagaimana ini?"

Trisha mengangkat kepalan tangannya dengan serius. "Good luck. Mas Leo pasti bisa."

Leo tertawa. "Semoga. Turun sekarang?"

Trisha mengiringi langkah Leo hingga ke mobilnya. Lelaki itu meletakkan hampers di samping kursi kemudi dan hendak masuk saat sekali lagi, ia berbalik.

"Ya?" Trisha mengerutkan kening. "Ada yang ketinggalan?"

Leo menatap Trisha dalam diam, lalu menghela napas dalam.

"Sebenarnya ada, tapi aku rasa aku belum bisa mengambilnya sekarang. Jadi aku pamit aja," ucapnya tertawa kecil seraya masuk ke dalam mobil. Leo membunyikan klaksonnya, dan mobil itu segera menghilang dari pandangan.

"Apa sih? Kenapa nggak diambil?" Trisha mendadak memeriksa tas selempangnya. "Punya gue semua, kan?"

==

"Sa?"

"Hm?" Trisha menyahut seraya menggelung rambutnya. Mereka baru saja selesai spa. Tubuhnya terasa lebih segar. Jujur saja, ia mulai khawatir pada nyeri berkepanjangan di lengan hingga pundaknya. Ditambah pikirannya yang ruwet, Trisha merasa remuk lahir batin. Tapi pijatan-pijatan profesional tadi mampu membuatnya kembali rileks.

"Yang tadi malam itu, bukan Barra." Maura, model cantik itu berjalan di samping Trisha.

"Ha, tadi malam? Kita ketemu di mana?"

"Restoran Jepang tadi malam. Kalian masuk waktu gue sama Bastian selesai makan." Maura mengerling Trisha sebelum kembali mengamati nail art-nya.

"Wah! Gue ketinggalan apa?" Mika yang baru saja selesai menelfon Januar, buru-buru mengejar. "Maura ketemu cowok barunya Sasa?"

"Cowok baru? Lo putus sama Barra?" Maura mengernyit.

Trisha berdecak. "Memangnya sejak kapan gue jadian sama Barra?"

"Since you knew him, may be," sahut Maura tidak peduli. "My bad, sorry. Gue nggak pernah lihat lo jalan selain sama Barra, soalnya. Walaupun Bastian selalu bilang kalian nggak ada apa-apa, gue nggak pernah percaya. Tapi sekarang, agaknya gue harus percaya. Sayang sekali. You're my favourite couple."

"See? Bukan gue aja yang nge-ship kalian." Mika berdecak.

"Gue nggak suka naik kapal. Gue punya mabuk laut," tukas Trisha hingga Maura berdecih.

"Ih, padahal Barra ke lo tuh manis banget, tahu!" sambar Mika berapi-api. "Tapi, yah...jodoh siapa yang tahu, iya kan? Lihat lo sama Mas Prima!"

"Oh ya. Bastian udah cerita." Maura berkata serius. "Lo butuh teman buat ngehajar dia?"

"Nggak--apa sih kalian?" Trisha terkekeh. Maura meliriknya tidak puas, namun tidak berkata apa-apa lagi selain berjalan sambil mengibaskan rambut-panjang-nan-lurus-ala-iklan-samponya.

"Siapa tahu yang sekarang memang baik." Mika membesarkan hati. "Kapan-kapan ajak ke kantor dong, Sa. Minta jemput apa gimana, gitu. Gue penasaran--Eh! Lhoh!"

Karena saat itu, seorang balita muncul dari tikungan dan menabrak Maura hingga jatuh terduduk.

"There...there...little dandelion." Maura menepuk-nepuk punggungnya kala si balita tadi mulai mencebik. "Where's your mommy?"

"Nangis--dia nangis!" Trisha yang panik ikut berjongkok. "Ini buntelan anak orang lho! Kita bawa ke resepsionis aja?"

"Shh, anak manis jangan nangis." Mika langsung menyahutnya dalam gendongan. "Iya, ke resepsionis aja. Gawat kalau dia tetiba nangis kejer--"

"Khaylila!"

Seorang wanita yang lebih tua dari Juni menyambangi mereka dengan tergesa.

"Astaga, syukurlah. Maaf, dia cucu saya," ucapnya mengulurkan tangan hendak meraih balita tadi dari gendongan Mika.

"Apa buktinya?" tanya Maura langsung.

"Maura..." Trisha menyenggolnya.

"Umma--" rengek balita tadi sambil mengulurkan tangan pada sang wanita, yang langsung mengambil alih Khaylila.

"Itu tadi buktinya, nona muda," ucapnya ramah. "Terima kasih sudah menjaga cucu saya."

"Ma! Astaga! Aku baru saja kasih tahu resepsionis--" Lelaki itu mengangkat alis. "Sasa?"

Serentak, tiga pasang mata langsung menatap Trisha. Mika menekap mulut, Maura mengelus dagu, dan wanita tadi berbinar di balik keterkejutannya.

"Sasa?" ulangnya. "Sasa yang sering kamu ceritakan? Yang kemarin kamu belikan cincin?"

Leo segera salah tingkah. Lelaki itu tampak gemas pada mamanya, namun Trisha tidak bisa tertawa.

"Kami duluan, Tante. Bye, little dandelion." Maura menyahut tangan Mika. Keduanya menghilang di tikungan, meninggalkan Trisha dalam situasi yang canggung setengah mati.

"Jangan khawatir, nanti pulangnya bareng Tante. Ayo duduk di sana." Wanita tadi meraih tangan Trisha dan mengajaknya duduk di salah satu sofa di lobi, sementara Leo menatap mereka dengan salah tingkah. "Lho, mana cincinnya?"

"Mama, kami...belum sampai ke sana." Leo buru-buru menengahi.

Ambar menatap anak lelakinya dengan bingung, lalu nyengir. "Oh, Mama merusak kejutan? Tapi nggak apa-apa. Jangan ditunda. Hal baik harus segera disegerakan. Iya kan, Nak Sasa?"

"Mama." Leo menghela napas panjang. "Sa, ini Mama Ambar. Mamaku. Dan ini Khaylila. Dia anak kakakku."

"Anak kakak iparmu. Keponakannya Sasa," timpal Ambar semringah. "Leo sudah banyak cerita tentang Sasa. Tapi ternyata memang secantik ini. Habis spa juga, Nak?"

"Iya Tante." Trisha meremas clutch-nya.

"Leo jemput Mama sama kakaknya yang pertama. Persiapan pernikahan selalu bikin capek, iya kan?" ucap Ambar antusias, lalu mengernyit. "Kamu nggak dikasih tahu Leo? Astaga Nang!"

Ambar meraih tangan Trisha dan menatapnya hangat. "Besok kakak Leo yang kedua akan menikah. Kamu datang ya, Nduk? Sekalian kenalan sama keluarga besar kami. Besok kita ngobrol yang banyak. Ya?"

Trisha diam sejenak sebelum menatap Leo, yang balas menatapnya dengan senyum kecil di ujung bibir.

"Just come, Sa," ucapnya. "Aku jemput kamu besok."

Meskipun nadanya biasa saja, namun sorot mata penuh pengharapan itu tidak mungkin disalahartikan Trisha. Dan karenanya, Trisha sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan besar.

"Semuanya di sini?" Seorang perempuan dengan wajah mirip Leo segera mendekat, lalu menatap Trisha dengan heran.

"Calonnya Leo," ucap Ambar tersenyum lebar. "Ayo pulang, sekalian kenalan sama orangtuanya Trisha, bisa?"

"Mama, Sasa tinggal di apartemen sendiri." Leo menyahut.

"Oh, begitu...ya sudah, ayo pulang bareng aja. Biar Tante tahu apartemennya Sasa." Ambar berdiri.

"Tante--maaf. Terima kasih tawarannya. Tapi saya bareng teman-teman saja." Trisha mengangkat gawainya dan tersenyum kaku. "Maaf Mas, Mika sama Maura nunggu di luar."

"Oh...ya sudah, nggak apa-apa." Ambar tersenyum penuh pengertian. "Yang penting besok kamu harus datang, ya?"

Trisha melirik Leo yang tersenyum dengan binar cemerlang di matanya.

"Iya, Tante."

Pada akhirnya, Ambar tetap tidak melepaskan Trisha hingga mereka keluar gedung. Gadis itu membalas sesopan mungkin, lalu mohon diri untuk pergi ke mobil Maura. Maura tadi bertanya padanya apakah Trisha minta ditunggu atau tidak, yang diiyakan Trisha.

"Kata Maura, itu cowok yang tadi malam dinner sama lo." Mika berkata dengan berbinar. "Itu dia? Yang mau lo ajak ke nikahan gue--Sasa, are you okay?"

Trisha terkekeh sedih dan menutupi wajahnya dengan bantal. Sebulan tanpa ekspektasi apa pun, dan Trisha mempercayainya?

"Kalau gue nerusin ini, gue bakal jadi cewek yang jahat banget," bisik Trisha parau. "Astaga."

"Kenapa?" Maura menyipit, namun Trisha hanya menggeleng.

Trisha tidak tahu, dia tidak mengerti. Tapi yang pasti, saat ini dia merasa sangat tersesat.


*TBC*




Haii, selamat sore

Please be healthy, be safe, be happy

Luv yuu

💖💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top