BAB 16. Mungkin Nanti

Sepasang flatshoes merah mengetuk lantai dengan lembut saat Trisha keluar dari lift. Pagi ini, ia tampak cerah dengan outer kemeja pink yang melapisi kaus putih polosnya. Pita berwarna merah mengikat separuh rambut panjangnya, sementara separuh yang lain dibiarkan tergerai hingga ke punggung. Poni rambutnya terjatuh ringan di samping wajah kala ia mempelajari notes di tangan.

Gadis itu hendak membuka pintu, namun Prima keburu membukanya dari dalam. Ia menatap Trisha dengan canggung sebelum wajahnya berubah tenang, lalu melangkah ke ruangannya sendiri. Trisha hanya mengerlingnya, lantas masuk ruangan. Hubungan mereka memang kembali baik-baik saja, tapi tidak akan pernah sama lagi. Seperti ada sebuah dinding dingin yang membuat mereka tidak lagi bisa bercanda seperti dulu. Jika dipikir-pikir, Prima memang cenderung lebih pendiam sejak hari itu.

"Selam---"

"Cek email, Sa." Dion menginterupsi tanpa mengangkat wajah. "Ada revisi dari Barni dan dari saya."

"--mat pagi, Mas Dion. Oke." Trisha mengangguk patuh seraya melangkah ke ruangannya sendiri.

Aroma minyak kayu putih menyeruak saat Trisha masuk ruangan. Bastian sedang memijit tengkuk Sherly, yang membalas sapaan Trisha dengan senyum lemah. Mika melambai antusias dari pojok ruangan.

"Lho, udah masuk, Mik?" Trisha nyengir lebar saat melihat wajah bahagia Mika. "Ululu yang barusan lamaran. Lancar kayaknya."

Mika menunjukkan cincin di tangannya dengan senyum penuh binar. "Cantik nggak?"

Trisha mengacungkan jempol. "Jadi, kira-kira kapan nikahannya? Biar gue bisa ancang-ancang."

"Pasti nanti gue kasih tahu. Kalian perlu fitting kebaya dan itu nggak bisa kilat. Nuansa lilac, jadi lo bisa ngomong sama Barra dari sekarang biar serasi," ucap Mika antusias, yang langsung berubah saat melihat wajah Trisha. "Kenapa, Sa?"

Trisha cepat-cepat tertawa kaku. "Nggak kenapa-napa. Nggak sama Barra juga nggak apa-apa, kan?"

"Eh, udah ada pacar, Sa?" sahut Mika yang kembali semringah. "Wah! Nggak, nggak apa-apa dong kalau bukan Barra! Siapa pun dia, gue bakal welcome banget. Asal jangan kayak Pak Prima!"

Sherly menangkup pipinya. "Udah ada gantinya Pak Prima? Siapa? Ganteng nggak? Kerjaannya apa? Aku kenal? Lebih ganteng dari Mas Barra nih pasti!"

"Apaan!" tukas Trisha tertawa.

"Mas Barra itu oke. Yang begitu aja lewat buat Mbak Sasa. Berarti yang ini lebih oke dong ketimbang Mas Barra," Sherly mengernyit. "Tapi Pak Prima biasa aja deh kayaknya. Dia emang punya tampang, tapi dibanding Mas Barra--"

Trisha memutuskan untuk mulai bekerja daripada mendengarkan ocehan Sherly yang kini ditanggapi Mika dengan antusias.

Lagipula, ganteng, menarik, adalah hal yang jarang ia sematkan pada Barra. Karena...itu hal biasa bagi Trisha. Hampir setiap hari selama bertahun-tahun, Trisha melihatnya sampai dia hapal sekali. Deskripsi-deskripsi tentang Barra bukan lagi tentang fisik, tapi sesuatu yang lebih jauh dari itu. Keberadaan dirinya untuk Trisha, kehangatan yang dibawanya, ketenangan yang ditawarkannya, keterdiamannya yang tetap mengamati banyak hal, pokoknya sesuatu tak kasat mata yang hanya ada pada Barra.

Tapi jika ia dituntut mendeskripsikan Barra hanya sebatas fisik, ya. Lelaki itu memang menarik. Barra punya gigi geligi rapi yang membuat senyumnya menarik. Badannya yang jangkung dan tegap, garis wajahnya yang maskulin, garis lehernya yang kokoh dan tegas, rambut menggemaskan di tengkuknya, aroma tubuhnya yang khas, belum lagi jika dia berkeringat setelah olahraga atau bertelanjang dada. Maksudnya, dia sudah melihat Barra bertelanjang dada ribuan kali. Mulai dari Barra remaja yang kurus hingga Barra dewasa dengan otot perut yang tidak se-wow para atlet tapi tetap terasa kuat dan bergelombang di bawah jemarinya--

"Sasa, you're daydreaming."

Trisha mengerjap. "Huh?"

Namun Bastian justru mengangkat alis. Trisha segera berdeham dan meraih gawainya.

"My God, kayaknya gue bakal punya tiga keponakan sekaligus di akhir tahun nanti," tukas Trisha.

"Empat kalau Bastian nggak ulur-ulur waktu," sahut Sherly. "Udah dua tahun lho, Bas. Sama Mbak Sasa juga tuh, buru diajak gih pacarnya buat nikah. Nggak baik nunda-nunda."

"Gue sama Maura nggak buru-buru," jawab Bastian malas, semalas Trisha hingga tidak menjawab komentar Sherly.

"Terus mau kapan? Udah makin tua lho, Bas. Mending Maura dikasih tahu jangan terlalu sibuk ngejar duit dan mulai belajar mikirin ke depannya kayak gimana. Pemotretan ke sana sini, gue lihatnya kayak yang...ngoyo banget. Duit nggak bisa dibawa mati, juga," gumam Sherly.

"Udah gue bilang, gue sama dia nggak buru-buru. Dia punya kehidupan dan gue menghormatinya. Terus itu, kata siapa duit nggak bisa dibawa mati? Calon istri gue adalah penggagas puluhan sekolah darurat di perbatasan negeri. Lo kira bangunan dan buku-buku itu berdiri pakai daun? Duit, Sher! Ayolah Sherly, jangan gitu-gitu banget. Duit bisa dibawa mati, asal lo convert dulu jadi pahala."

Sherly mencebik. "Tapi kan, nggak baik nunda-nunda nikah. Iya kalau langsung hamil kayak gue. Kalau harus nunggu lama kayak Mbak Nora itu, gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Tujuan gue nikah bukan cuma koleksi anak," ucap Bastian santai, yang dijawab Sherly dengan dengkusan lemah.

"Sherly kuat handle kerjaan? Nggak izin aja?" Trisha merasa harus menginterupsi obrolan keduanya sebelum memanas.

"Masih bisa, kok." Sherly menjawab dengan percaya diri. "Siap! Udah Bas, udah enakan."

"Sa, weekend spa, yuk? Badan gue remuk banget!" Mika bersuara dari ujung ruangan.

"Mau!" sahut Trisha langsung. "Eh, tapi Sherly bisa ikut, nggak?"

Sherly menggeleng. "Bakal enak banget, tapi mending nggak usah dulu deh, Mbak."

"Yah...Bas, tanyain Maura dong, dia bisa ikut spa sama kita-kita nggak?" ujar Mika. "Sherly nggak bisa ikut ya...gue bawain sesuatu, deh. Mau apa?"

"Beneran? Sei sapi aja!" sahut Sherly ceria. "Yang di perempatan--"

Trisha tidak mendengar kelanjutan kalimat Sherly karena saat itu, Leo mengirimkan pesan.

"Malam ini, mau jalan-jalan?"

"Kemana?"

"Ninjau proyek baru Happyhouse, makan malam, stargazing, atau mau nonton sekalian?"

Trisha membacanya, lalu menertawai dirinya sendiri. Bukankah dia harus belajar untuk pergi dari beruang kutub bernama Barra? Jadi, mengapa Trisha masih begitu ragu?

"Sure."

===

Trisha mengawasi tanah kosong yang terhampar di hadapannya. Hanya ada tumpukan pasir, bata dan beberapa kayu di sisinya. Leo mengobrol dengan beberapa orang yang sibuk mengukur entah apa, lalu kembali mendekati Trisha.

"Jadi, ini proyek tentang apa?" tanya Trisha.

"Hunian khusus para disabilitas. Donatur utamanya para pensiunan pegawai dari dinas sosial." Leo berkacak pinggang. "Proyek-proyek seperti ini akan selalu istimewa karena kami juga perlu memikirkan mobilitas anak-anak yang memakai kursi roda, atau anak-anak yang tidak bisa melihat."

Leo mengangkat alis kala melihat Trisha tersenyum. "Kenapa?"

Trisha hanya menggeleng dan mengamati dua orang tadi. Kenyataannya, dia memang begitu bangga dengan Barra. Happyhouse, mungkin adalah satu-satunya impian Barra yang sangat ia perjuangkan. Mengetahui perjuangan Barra yang bisa menolong banyak orang, mau tidak mau membuat Trisha bahagia juga.

"Masih buka donasi nggak untuk proyek ini?" tanya Trisha.

"Selalu," jawab Leo. "Ada di website kami."

"Aku ikut." Trisha mengeluarkan gawainya. "Done, ya."

Leo tersenyum. "Kamu udah termasuk donatur tetap di Happyhouse, Sa. Tiap bulan selalu donasi untuk satu-dua proyek. Itu membantu sekali."

"Aku lakukan apa yang bisa aku lakukan, Mas," gumam Trisha. "Punya teman kayak Barra, nggak akan pernah bisa menutup mata sama hal-hal kemanusiaan macam ini. In a good way, I mean. Dia punya solusi, dan aku mendukungnya dengan senang hati."

"Dia mengagumkan, ya?"

"Hm. Sangat mengagumkan," sahut Trisha otomatis, lalu berdeham saat menyadari ucapannya. "Maksudku kalian yang bekerja di Happyhouse, semuanya mengagumkan."

Gadis itu mengerling canggung saat Leo tidak kunjung membalas.

"Kenapa senyum-senyum gitu?" tukas Trisha, karena Leo memang menatapnya dengan senyum hangat entah sejak kapan.

Leo terkekeh, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku sambil mengawasi pekerjaan orang-orang di hadapannya.

"Aku benar-benar berharap strategiku ini berhasil," gumam Leo tiba-tiba.

"Strategi apa?"

"Snatch you away."

Trisha mengerutkan dahi, namun Leo hanya tertawa sambil meraih gawainya yang berdering.

"Kenapa Bar?"

Trisha ikut menoleh.

"Nggak ada masalah. Gue emang lagi di lokasi." Leo berkata. "Nggak. Gue sama Sasa. Sa?"

"Hm?"

Namun seluruh pikirannya langsung terbang saat Barra terlihat di layar, bertelanjang dada dengan hanya mengenakan celana pendek saja. Rambutnya basah, agaknya dia baru selesai mandi. Usapan handuk Barra di rambutnya berhenti saat mereka bersitatap. Manik cokelat itu menawan Trisha dalam diam sebelum bertanya.

"Nggak pakai jaket?" suara dalam khas Barra menarik Trisha kembali ke bumi.

"Nggak perlu," sahut Trisha. Sejenak, lelaki itu menahan tatapannya sebelum beralih pada Leo.

"Progresnya?"

"Belum ada kendala berarti," ucap Leo yang mulai mengintari lokasi proyek. "Gue rasa--"

Sementara Trisha, tercenung pada kelamnya malam. Kecuali dia sudah lupa rumah Barra, dia bisa mengambil kesimpulan jika Barra sedang tidak di rumahnya. Ranjang itu terasa asing, temboknya, juga gorden di belakangnya...

Trisha meraih gawai dan mengetikkan sesuatu.

"Barra, di mana?"

Tapi lagi-lagi, ibu jari Trisha berhenti. Di mana pun Barra dan apa yang sedang dilakukannya, itu bukan urusan Trisha. Seharusnya dia sudah merasa cukup dengan fakta bahwa Barra baik-baik saja.

"Pasti nanti gue kasih tahu. Kalian perlu fitting kebaya dan itu nggak bisa kilat. Nuansa lilac, jadi lo bisa ngomong sama Barra dari sekarang biar serasi."

Untuk pertama kalinya, partner kondangan Trisha sepertinya bukan lagi Barra. Gadis itu tercenung sejenak, lalu menghela napas kasar.

"Ini nggak sehat! Fokus! Heii Sasa!" Trisha mencengkram kepalanya dengan kesal. Apakah memori memang sebandel ini? Alih-alih mematuhi Trisha untuk pergi dari kepala, yang ada dia justru menempel makin erat saja. Sialan!

"Pusing?"

Trisha mendongak, dan mendapati Leo menatapnya dengan khawatir.

"Ah...nggak."

"Terus kenapa kepalanya dipegang-pegang begitu?" Leo makin heran.

"Nganu--bintang." Trisha menunjuk gugup. "Banyak banget sampai aku bingung mau hitung darimana."

Leo mengangkat alis. "Ngomong-ngomong, kamu baik-baik aja?"

"Nggak apa-apa. Kenapa memangnya?"

Leo bersandar di mobil. "Seseorang baru saja bilang kamu punya alergi dingin. Dia kasih saran kalau aku perlu ingatkan kamu buat bawa jaket setiap kita pergi ke mana pun."

"Oh...nggak separah itu. Cuma segini sih nggak masalah," sahut Trisha, yang kembali kesal tanpa tahu sebab. "Dia terlalu melebih-lebihkan. Udah lama alergi dinginku nggak kambuh."

Leo duduk di kursi kemudi. "Sorry, aku nggak tahu. Kita pulang saja?"

"Aku baik-baik aja, Mas," jawab Trisha menenangkan. "Ayuk cari makan, aku lapar."

===

"Jujur, Sa. Sepertinya kamu nggak terlalu menikmati film tadi," ucap Leo. "Aku pikir kamu suka film romansa."

Trisha tertawa. "Kenapa bisa menyimpulkan begitu?"

Leo mengangkat bahu. "Ekspresimu."

"Aku suka kok. Aku cuma...udah terlalu sering nonton film dengan tema kayak tadi. Dan jangan salah sangka, aku suka semua genre film. Semuanya tergantung sama cerita dan eksekusi karakternya. Tahu Split, nggak?"

"Split...psycological horor Thriller yang si James McAvoy itu?" balas Leo saat mereka masuk ke parkiran Happyhouse.

"Yes!" sahut Trisha berbinar. "Idenya nggak biasa, dan James bisa mengeksekusi keduapuluhempat karakternya dengan baik. Pesan tersampaikan, karakter pun dimainkan dengan sempurna, jadi penonton beneran bisa menikmati filmnya."

"Noted. Split memang bagus, tapi aku ketinggalan pemutaran perdananya," Leo tertawa.

"Iya? Wah! Kami kebetulan bisa nonton perdananya. Inget banget dulu Barra baru aja pulang dari Singapura. Sebenarnya nggak ngerti bisa nonton perdananya apa nggak, sih. Nyaris kehabisan tiket, but we made it." Trisha terkekeh. "Barra bahkan belum mandi."

Trisha mengangkat alis karena Leo menatapnya dengan senyum samar.

"Nggak apa-apa." Leo tersenyum kecil. "Ayo turun."

Happyhouse adalah sebuah bangunan bertingkat dua dengan desain yang tidak biasa. Asimetris, namun terlihat menarik dan futuristik. Barra menonjolkan aspek alam pada bangunan yang didominasi warna coklat dan hitam ini. Tampak kalem dan sejuk, tapi tetap nyaman dan tidak membosankan. Mulai dari lantai dan dinding yang beraksen kayu, lampu-lampu yang tergantung panjang di dalam sangkar anyaman bambu, serta ruang terbuka yang berisi kolam ikan dengan tanaman hias yang menjulur bagai tirai. Namun spot favorit Trisha adalah balkon luas di lantai dua, yang punya coffee grinder dan kursi goyang.

Trisha memilih menunggu Leo di sana. Sendiri, hanya ditemani rak buku besar di sisi ruangan dan aroma samar kopi yang tertinggal. Tubuhnya bergoyang pelan, tatapannya menerawang pada hiruk pikuk kendaraan di bawah sana.

Barra bukan orang yang punya banyak mimpi. Atau mungkin dia punya, namun seringkali membunuhnya jauh-jauh hari. Realita terlalu sering mematahkannya hingga harapan, adalah hal yang tidak ingin ia pupuk banyak-banyak. Namun saat ia memutuskan untuk mewujudkan sesuatu, Barra akan mewujudkannya dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Maka ketika Barra bilang bahwa dia akan mengeksekusi ide Happyhouse yang sudah ia impikan sejak kuliah, Trisha tahu impian itu sangat berharga untuknya.

"...karena kami baru bisa mulai proyeknya setelah Mas pulang dari Bali."

Suara yang cukup familiar itu membuat Trisha menoleh. Amira muncul di puncak tangga, tampak santai dengan kaus dan jaketnya. Senyum yang tadi terpulas di bibir kini sirna, digantikan tatapan dingin seperti waktu di rumah Barra tempo hari.

"Jangan khawatir Mas Barra, Happyhouse baik-baik aja," Amira berkata sambil berjalan ke arah rak buku, mencari-cari sesuatu. "Kantor juga nggak masalah, cuma David tadi tanya tentang proyek ecofriendly yang kamu pegang tahun lalu. Aku baru cari-cari referensinya di Happyhouse--ah, ketemu!"

Amira tersenyum lebar sambil menarik sebuah bendel dokumen dari rak buku.

"Makan yang banyak, dan jangan sampai sakit lagi. Proyekmu masih dua minggu lagi kan, Mas? Iya. Aku tutup, ya. Night." Amira menoleh pada Trisha. "Kamu ke sini bareng Leo?"

Trisha mengangguk.

"Oh, baguslah," bisiknya sambil tertawa kaku. "Kamu memang harus mulai membatasi diri, iya kan?"

Trisha mengangkat alis, namun Amira mengabaikannya dan turun.

Jadi, Barra kembali ke Bali? Jadi, yang Trisha lihat tadi adalah kamar hotel? Tapi bukannya proyek yang dulu itu sudah selesai? Ataukah dia pegang proyek lain yang juga ada di Bali dan dia baru pulang dua minggu lagi?

Biasanya, Barra selalu memberitahu Trisha jika ia akan pergi jauh. Baik proyek Zigma maupun Happyhouse, dari dulu Barra selalu memberitahunya. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, dia tahu kemana Barra pergi dari percakapan orang lain yang tidak sengaja ia curi dengar.

Apakah momen itu telah tiba? Apakah pada akhirnya, Trisha tidak lagi menjadi prioritasnya?

"Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Ini bagus." Trisha berusaha melunturkan rasa perih yang menerjangnya habis-habisan.

Mereka memang harus kembali dalam batas-batas wajar. Nantinya, ia akan bisa menghadapinya. Nantinya, dia pasti akan terbiasa.

"Pulang sekarang?" Leo muncul di puncak tangga.

Trisha tersenyum. "Yuk!"




*TBC*



Adududuu~~

Stay safe and healthy yaa
I luv yuu.
See u when I see u, then

❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top