BAB 14. Kesempatan yang Lain

"Nggak masalah."

Trisha mencuci wajahnya berkali-kali, berusaha menetralisir panas yang bercokol di ulu hati. Lalu begitu kalimat Leo terngiang di telinga, gadis itu menghela napas panjang.

Sebagai arsitek lepas, nama Leo bergaung di kalangan tertentu. Pria berusia 29 tahun itu banyak menangani kafe-kafe di berbagai kota, kantor, maupun orang-orang yang menginginkan tempat tinggal dengan desain tidak biasa.

Trisha mengenalnya saat Barra mulai mendirikan Happyhouse. Jika Barra mengajak Leo untuk mendirikan Happyhouse bersama, artinya Barra mempercayai kemampuan dan kepribadian Leo. Senyap-senyap begitu, Barra adalah pengamat yang baik.

"Gimana kalau kita bertemu setelah kamu pulang kerja? Sore ini, di Belario?"

Trisha memandangi pantulan dirinya di cermin wastafel, lantas memutuskan untuk menghadapi sisa hari ini. Meraih tasnya, gadis itu berjalan menuju Belario. Ia langsung menemukan Leo di salah satu meja, tersenyum pada Trisha seolah lelaki itu memandangi pintu masuk sejak tadi.

Dua gelas jus buah dan sepiring potato wedges datang bersamaan dengan Trisha yang duduk di hadapan Leo.

"What do you think, Sa?" pertanyaan Leo membuat Trisha mengangkat wajah. Lelaki itu menatapnya sejenak, lalu mengusap rambutnya dengan canggung. "Damn man, gue bukan anak SMP lagi."

Mendengarnya, Trisha terkekeh. Leo ikut tersenyum, dan kelunturan di antara mereka sirna seketika.

"Sebelum aku bertanya hal-hal yang lebih serius sama kamu, izinkan aku bertanya satu hal, Sasa," kata Leo dengan lebih santai. "Sebenarnya, apa hubunganmu dengan Barra?"

"Teman," jawab Trisha pasti. "Dua orang yang kebetulan jadi tetangga. Tapi, apa hubungannya ini dengan pertanyaan Mas Leo tadi siang?"

"Hanya memastikan," ucap Leo ringan. "Karena di mataku, kalian sangat dekat untuk ukuran seorang teman. Berapa kali aku lihat kamu menginap di rumah Barra, Sasa? Berapa kali kamu telfon aku hanya untuk memastikan keadaan Barra? Berapa kali aku lihat Barra mengesampingkan kegiatannya demi memprioritaskan kamu?"

"Barra nggak begitu," tepis Trisha. "Dia bantu karena dia mampu."

"Termasuk sengaja cancel pesawat karena kamu pesan brem?" Leo tersenyum saat melihat keterkajutan di wajah Trisha.

"Aku baru tahu itu setelah beberapa minggu. Lihat, Trisha. Kalian lebih dekat daripada yang seharusnya. Lelaki itu benar-benar menjaga kamu di tingkat yang cukup...mengagumkan," ucap Leo hingga ingatan Trisha kembali memutar ucapan Juni tentang batas. "Aku ingin sekali bertanya tentang hal ini sejak aku sadar aku tertarik sama kamu, tapi selalu menahan diri setiap kali melihat interaksi kalian. Nggak nyangka tadi ada momen begitu, aku rasa mungkin ini waktunya. Jadi, aku tanya sekali lagi. Apa hubungan kalian, Sa?"

"Teman," ulang Trisha pasti. "Tapi tunggu, Mas Leo. Kenapa aku merasa diinterogasi di sini? Hubungannya dengan pertanyaanmu tadi siang, apa?"

"Aku memastikan, Sa," ulang lelaki itu dengan binar kelegaan di matanya. "Teman."

Trisha menyipit hingga Leo tertawa. "Oke oke, sorry. Jadi, bagaimana dengan pertanyaanku tadi siang? Atau kamu udah punya pacar? Atau calon pacar? Barra bilang kamu sedang sendiri."

Trisha tercenung sejenak, lalu menggeleng. Leo tersenyum lagi. Lelaki itu mengetuk meja dengan kaku.

"Good. it is good. Tapi apa pun jawabanmu, jangan bilang sekarang," ucapnya hingga Trisha mengangkat alis. Leo terkekeh canggung dan menatap Trisha dengan hangat. "Aku suka kamu, Sa. Mungkin sejak setahun lalu, aku sadar kalau aku nggak bisa menganggapmu sebagai kenalan biasa. Aku rasa aku nggak bisa menahan diri lagi. Sekarang setelah kita berada di titik ini, aku benar-benar ingin kita berhasil. Dengan tanya ini sama kamu, aku harap kamu paham bahwa niatku nggak main-main. Aku serius sama kamu. Tapi aku perlu memikirkan sudut pandangmu, iya kan?"

Leo tersenyum pada Trisha yang terpaku.

"Bagaimana kalau kita coba sebulan dulu? Jalan, tanpa ada ekspektasi apa pun. Beri aku waktu agar aku lebih dikenali kamu, Sa. Tanya apa pun yang ingin kamu tahu tentangku. Setelahnya, aku akan bertanya lagi sama kamu. Siapa tahu setelah sebulan, pandanganmu tentangku bukan lagi sekadar kenalan. Siapa tahu sebulan lagi kamu berpikir, 'ah, ternyata Leo calon teman hidup yang baik'. Siapa tahu?" ucapnya teduh. "Let's try it."

Iya.

Siapa tahu, sebulan lagi dia berpikir demikian.

Siapa tahu sebulan lagi, dia tidak perlu merasa gelisah saat Amira mengunjungi Barra. Lagipula, apa alasan Trisha merasa tidak suka kala Amira berada di dekat Barra? Apakah dia sedang berubah jadi teman tidak tahu diri dan menutup pintu jodoh Barra?

Gadis itu memutar-mutar gelasnya. Bayangan Amira yang berkeliaran di rumah Barra menari-nari di depan mata. Betapa leluasanya dia di sana, betapa bahagianya Barata saat mengenal Amira...

"Dikatakan dengan baik sekali." Trisha berusaha tersenyum. "Besok, ya."

==

Gadis itu berusaha fokus, namun matanya terus memburam.

Dia ingin sekali menelfon Barra sejak tadi malam. Apakah demamnya sudah turun? Apakah dia cukup minum? Apakah tadi malam dia makan dengan baik? Namun gadis itu menahan diri.

Tentu saja dia pasti makan dengan baik. Ada orang yang merawatnya di sana, seharusnya Trisha tidak perlu khawatir.

"Sasa, mau ikut ke kondangan
teman minggu depan?"

Gadis itu membaca pesan Leo, lalu menghela napas panjang.

"Berhenti, Sa." Trisha berbisik gusar pada diri sendiri. "Berhenti. Lo harus lebih fokus sama tawarannya Mas Leo. Lo tahu dia orang baik. Lo juga udah stalking dia semalaman. Sejauh ini, nggak ada yang salah sama dia, inget itu!"

"Oke." Trisha mengirimkan balasan. Kemudian, nama muncul di gawai membuat Trisha mendengkus kecil.

Beruang kutub is calling...

Trisha hanya menatapnya hingga panggilan itu terputus. Namun saat panggilan kedua datang, Trisha meraihnya.

"Hm?" Trisha bergumam sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah enam pagi. "Kenapa? Lo oke, kan?"

"Boleh datang?"

Trisha tercenung sejenak. Pertanyaan itu membuktikan bahwa ada yang berubah di antara mereka akhir-akhir ini. Pertanda bagus, bukan? Tidak seharusnya Trisha membiarkan laki-laki datang dan pergi sesuka hati ke apartemennya, termasuk Barra.

Trisha berdeham. "Just come, then. Tapi lo udah baikan? Kalau nggak penting nggak usah ke sini. Mau ngomong apa? Sini gue dengerin."

"Tolong buka pintunya."

"Hah?"

"Pintu apartemenmu, Sasa."

Trisha buru-buru keluar. Benar saja, Barra berdiri di sana dengan kaus dan celana training yang dibalut jaket. Gadis itu berjinjit dan meraih wajahnya dengan tidak sabar. Satu tangan Barra meraih punggung Trisha, menjaga keseimbangannya.

"Baik-baik aja, kan? Udah nggak panas, bagus." Trisha meneliti lekat-lekat. aling tidak, wajahnya tidak lagi pucat meskipun suaranya masih agak parau. "Tapi matanya--"

Kalimatnya terputus saat menyadari sepasang mata itu berada begitu dekat, menatapnya lekat. Gadis itu melepaskan tangannya dan sedikit mundur.

"Tapi matanya kenapa?" Trisha menyipit. "Kurang tidur pasti. Ck! Terus ke sini mau ngapain, sih? Nggak istirahat di rumah aja?"

"Tidur."

"Ti--" Trisha menatap Barra tidak percaya. "Kenapa nggak di rumah aja, Barra?"

"Surprise." Lelaki itu berkata datar.

Trisha memutar bola mata, membiarkan Barra mengikutinya. Lelaki itu berjalan ke dapur hingga Trisha mengangkat alis.

"Bawa apa?" Trisha melongok dari belakang tubuh lelaki itu. Barra menuangkan sup seafood yang berisi bakso ikan, udang dan crabstick.

"Belum masak?" tanyanya parau.

"Males. Tadinya mau bikin mi aja," sahut Trish, menyipit tidak suka pada masakan itu. "Ini yang masak Amira?"

"Ayah."

"Oh...terus kenapa ke sini? Ini...Om Barata masak biar bisa makan bareng, Bar."

Alih-alih menjawab, lelaki itu membawa sarapannya ke meja makan. Gadis itu berdecak kecil, lalu menyerah pada aroma gurihnya. Masakan Barata memang sangat enak, Juni dan Guntur pun mengakui. Tapi pria itu jarang memasak, pun jarang pulang ke rumah. Dulu, Barra sering jajan atau memasak mi sebelum Juni mengajaknya untuk makan bersama setiap kali Barata tidak pulang. Itu artinya, hampir setiap hari Barra datang ke rumah Trisha.

Sudah berapa lama dia tidak menikmati masakan Barata? Sembilan? Sepuluh tahun?

Gadis itu menyalakan televisi, yang langsung menyambut mereka dengan berita paginya.

"Heran. Makin ke sini isi beritanya pembunuhan semua." Trisha bergidik seraya mengambil nasi. "Kemarin baru aja, persis di kompleks apartemen belakang, Bar. Ya ampun, gue masuk rumah sampai malem banget karena banyak polisi sama wartawan."

Barra mengangguk singkat, pertanda mendengarkan.

"Dan lo tahu kasus pelecehan di fitness center atas itu?" Trisha menyipit. "Syaiton emang. Langsung dihajar sama Pelatihnya. Baguslah!"

"Masih sering ke sana?"

"Belum sempat lagi. Barra, akhir-akhir ini napsu membunuh mas Dion baru tinggi banget. Gue sekarang tidur pakai koyo. Nih..." Trisha memperlihatkan koyo yang menempel di lehernya. "Gue kepingin spa, tapi belum ada waktu."

Barra mengulurkan tangan dan memijit kepala Trisha, yang langsung menunduk patuh.

"Iya situ..." Trisha memejamkan mata. "Enak banget huhu..."

Trisha mendadak sadar dan menyingkirkan tangan Barra. "Udah. Thank you. Habis ini balik deh, Bar. Kasihan Om Barata. Dia ke sini jenguk anaknya. Amira juga, siapa tahu ngebawain sarapan kayak kemarin. Malah ditinggal sarapan di sini."

Barra tidak segera menyahut, yang membuat Trisha mulai menyantap sarapannya.

"Ayah kemarin bilang apa aja?" tanya Barra.

"Oh, Amira dapat oke dari Om Barata." Trisha mengangkat jempolnya dan Trisha nyengir lebar. "Lampu hijau dari Om Barata. Dia jelas-jelas bilang sama gue dia bakal senang kalau dapat mantu Amira."

"Ayah cuma bilang itu?"

"Iya, cuma itu. Memang harusnya apa lagi?"

Barra meliriknya sekilas sebelum kembali menyantap makanannya.

"Sama Leo, gimana?"

"Sama Mas Leo...kikuk. Barra, selama ini gue kenal dia sebagai teman aja. Dan tiba-tiba begitu--kan gue jadi agak kaget," jawab Trisha jujur. "Tapi dia baik, sih. Kasih gue testimoni sebagai orang yang dekat sama Mas Leo,dong."

"Dia orang baik."

"Gue juga tahu, Bar. Kalau lo yang bilang begitu, berarti dia memang baik. Nggak perlu ada drama kayak yang lalu." Trisha terkekeh. "Minta jalan dulu biar gue lebih kenal dia, nggak semata-mata langsung nembak. Itu masuk akal. Gue pikir nggak ada salahnya terima ajakan Mas Leo buat mengenal dia lebih dari yang selama ini gue tahu. Tak kenal maka tak sayang, ya kan?"

"Ajakannya diterima?"

"Nggak ada salahnya mencoba."

Gadis itu mengangkat wajah, hanya untuk mendapati Barra menatapnya dalam diam entah sejak kapan.

"Kenapa?" Trisha mengerutkan kening.

"Dia orang baik," ucap Barra sebelum membawa pergi piringnya ke wastafel.

Trisha menatap punggung Barra. Sepertinya lelaki itu sangat mengamini Leo.

"Jadi nanti kita bisa double date," ujar Trisha menyusul Barra. "Sherly selalu pamer itu sama gue. Sebel juga kadang."

Lelaki itu tidak menyahut. Trisha menyangka Barra pergi ke depan televisi, tapi sesaat kemudian, jemari Barra menyila rambut Trisha.

"Habis ini pulang," gumam Trisha pada Barra yang masih sibuk dengan rambutnya. "Kasihan Om Barata. Lo juga harus siap-siap berangkat kerja."

"Gue izin."

"Oh bagus. Buat istirahat aja kalau gitu."

Barra tidak menyahut, dan Trisha diam kali ini. Ia membiarkan Barra menyatukan rambutnya dalam kucir ekor kuda, lalu meletakannya di bahu kanan Trisha. Hawa dingin di belakangnya memberitahu Trisha bahwa kali ini, lelaki itu benar-benar pergi.

"Gue mandi, ya. Jangan lupa bilang makasih buat Om Barata. Masakannya enak banget." Trisha melirik Barra yang duduk di depan televisi, lalu memutuskan untuk mandi.

Namun saat ia keluar dari kamar mandi setelahnya, gadis itu justru menemukan Barra tertidur di sofa. Tarikan napasnya terdengar halus, dan wajahnya damai meskipun sisa-sisa sakit masih terlihat di sana.

"Dia beneran ke sini buat tidur," celetuk Trisha tidak percaya.

Gadis itu menggigiti bibir beberapa saat, lalu duduk di lantai seraya mengambil spidol dari tasnya.

"Ini hukuman, tahu! Siapa suruh tidur sembarangan," bisik Trisha seraya menggambar. Trisha terkikik geli sebelum berdeham. "Mulai sekarang, nggak boleh tidur sembarangan lagi, oke, my polar bear?"

Gadis itu menghamparkan selimut di atas tubuh Barra, membuatnya sedikit terganggu hingga mengerutkan dahi. Trisha duduk di tepi sofa dan mengusap-usap dahinya, membuat lelaki itu menghela napas panjang dan meringkuk mendekati tubuh Trisha.

Trisha terdiam beberapa saat, lalu berdecak lirih saat sadar jika ia sudah menjahati orang sakit. Lebih baik dia menghapusnya sebelum Barra tahu. Tapi dia justru melotot saat sadar bahwa ia memakai spidol permanen.

"Mati gue!" batin Trisha panik. "Aseton, aseton--aduh, gue udah harus berangkat!"

Gawainya berdering atas nama Dion, yang membuat Trisha begitu dilema. Menatap Barra dengan putus asa, gadis itu menuliskan sesuatu di sticky notes dan buru-buru keluar dari apartemen.

==

Barra,
nitip ini buat Om Barata, ya.

Sebuah sticky note menempel di kotak berisi lapis legit. Lelaki yang baru saja bangun tidur itu mengambil sticky note yang kedua.

Di kulkas ada jus mangga tanpa gula, diminum biar cepet baikan. Dan besok lagi jangan sampai ketiduran di sini. Terus nganu, Bar...jangan lupa cuci muka, terus ada aseton di meja rias. Pakai itu, ya.

Barra segera bercermin, lalu menatap datar kumis kucing, karikatur beruang kutub di pipi, dan janggut di dagunya. Meraih aseton yang biasa Trisha gunakan untuk menghapus kuteks, Barra menghapusnya semaksimal mungkin.

Diambilnya titipan untuk Barata sebelum memandangi setiap sudut apartemen studio itu lama sekali, lalu beranjak pergi dari sana.







*TBC*

Selamat sore,

please be happy, be healthy, be safe ya

Luv yuu

❤️❤️




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top