BAB 13. Tawaran Lain
Selamat pagi, selamat membaca
❤️❤️❤️
Trisha berguling di kasur setelah berjibaku dengan proyeknya selama tiga jam terakhir. Pukul sebelas malam, dan unggahan dari Mika adalah foto yang pertama kali ia lihat di instagram.
Soon to be Mrs. Januar
Sudah sebulan sejak diadakannya HUT Renjana. Setelahnya, Mika mengambil cuti untuk mengurusi proses lamaran. Gadis berusia 27 tahun itu tampak bahagia bersanding dengan lelaki tinggi yang memiliki senyum lebar secerah mentari.
Januar pernah bertandang ke Renjana saat acara HUT. Tipe lelaki easy going yang gampang bergaul hingga kecurigaan kental Trisha memudar tanpa sadar. Dia sudah menyelidiki setiap media sosial Januar yang bisa dijangkaunya, tapi Trisha tidak menemukan apa pun yang mencurigakan. Namun melihat Mika yang percaya padanya, juga Januar yang tampak begitu apa adanya, membuat Trisha berpikir bahwa kalimat Nora mungkin benar: Prima hanyalah oknum dan Januar benar-benar mencari jodoh.
Trisha mengernyit saat Sherly menyebutnya dalam sebuah komentar.
AnggaShery Wah! Selamat Mbak Mika! Sudah jadi perempuan seutuhnya ya sekarang. Tinggal Mbak Sasa sama Mbak @MauraAditama nih. @GemmaSasa kapan, Mbak? Jangan kapok gara-gara kemarin, dong. Masih banyak laki-laki di bumi. Iya kan Mbak Nora? @Noranyabayu
Oh, wow. Jadi sekarang definisi wanita seutuhnya ditentukan oleh status taken atau single? Jadi, Trisha ini apa? Setengah perempuan? Perempuan semu?
MauraAditama @AnggaSherly mind your own business, girl. And you @GemmaSasa, You're still woman with dignity when you're with or without someone called boyfriend.
Trisha mendengkus geli. Tunangan Bastian adalah perempuan paling edgy yang pernah Trisha kenal. Untung saja, Nora segera menengahi sehingga postingan Mika tidak perlu ternoda.
Trisha menyadari bahwa pandangan orang tentang pernikahan bisa sangat berbeda satu sama lain. Bagi Trisha- yang berkaca pada ayah ibunya-pernikahan berarti menyatukan dua orang yang berbeda namun berkomitmen untuk bersama. Pasangan adalah mereka yang bisa jadi teman, sandaran dan partner tukar pikiran. Guntur dan Juni adalah orang yang keras kepala, namun keduanya juga bijaksana. Meskipun terkadang kerikil-kerikil kecil itu ada, mereka tetap bisa mengalah, mendukung, menghargai dan menghormati satu sama lain. Dari mereka, Trisha belajar bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Yang ada adalah, dua orang manusia yang bekerjasama membangun kesempurnaan.
Sementara di lain sisi, Trisha punya sepupu yang menjadi PR bagi keluarga besar karena bertahan dalam toxic marriage. Dia adalah korban KDRT dari seorang suami hobi judi, selingkuh dan pemabuk. Dan tetap, sepupu Trisha tidak mau melepaskannya karena janda adalah status memalukan di matanya. Pun, perempuan berkewajiban tunduk pada lelaki dan dia percaya bahwa suatu saat sang suami pasti akan berubah. Trisha begitu kasihan dengan keponakannya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena sepupunya pun tidak berusaha memperbaiki keadaan.
Lihat betapa berbedanya dua kehidupan dalam satu label yang sama: pernikahan.
"Ck, gue emang bijak." Trisha menguap lebar dan scrolling instagram dengan malas, hingga sebuah unggahan dari Amira membuat kantuknya hilang. Dua jam lalu, Amira memajang foto sebuah pintu yang sangat dikenal Trisha. Pintu kamar Barra.
"Get well soon, Mas."
Jadi, Amira di rumah Barra dua jam lalu? Malam-malam begini? Gadis itu segera meraih gawainya.
"Sakit, Bar?"
Ibu jarinya sudah berada di atas tombol send, namun Trisha berhenti.
Seharusnya Trisha tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Trisha menghapus pesannya dan meringkuk di kasur, berusaha menenangkan kegelisahan tak terjelaskan yang membuatnya tidak nyaman. Tapi ternyata, postingan Amira bukan hanya itu saja.
"Nice to meet amazing person like you, Mr. Adhyaksa Barata. Didn't expect this great person is also a great chef. Kapan-kapan kita masak bareng, oke?"
Adalah caption di bawah foto Amira bersama pria seumuran Guntur. Adhyaksa Barata. Ayah Barra lebih tinggi dari Guntur, dengan wajah maskulin yang diturunkan persis kepada Barra. Pipinya sedikit chubby, namun keelokan masa muda itu belum memudar. Sepertinya hidup di desa membuat keadaannya membaik. Mereka berdua berada di dapur rumah Barra, tersenyum lebar dan tampak akrab satu sama lain.
Trisha menatap pria itu dengan penuh dilema, namun Trisha mengingatkan diri jika dia tidak boleh lagi pergi ke rumah Barra selarut ini. Dia sedang berusaha menjauh ke tepi batas yang pantas. Mulai sekarang, dia harus berusaha agar siapapun yang hadir di sisi Barra maupun di sisinya kelak, tidak perlu khawatir akan kehadiran Barra maupun Trisha.
Lagipula sudah ada Amira, Trisha tidak perlu khawatir. Lelaki itu akan baik-baik saja.
Trisha meletakkan gawainya dan memejamkan mata, berusaha menyingkirkan kegelisahan yang bercokol di dada. Meskipun pada nyatanya, kegelisahan itu tetap ada dan menghantui tidurnya.
==
"Ilustrasimu dibenahi lagi, Sa." Dion berkata. "Saya suka konsepnya, tapi tatapan matanya kurang kuat. Saya setuju pemilihan warnamu, tapi jangan kebanyakan elemen hitam. Ganti beberapa ke merah atau biru."
"Noted." Trisha mencatat sambil menahan kuap.
"Dan untuk konsep pemasarannya gimana Prim?" Dion ganti menatap Prima yang duduk di sebelah Trisha.
Lelaki itu mengganti slide cover Trisha menjadi slide-nya sendiri. "Konsep banner, motion graphic dan jadwal update udah selesai."
"Bagus. Saat ini Athena sedang revisi. Saya harap semuanya bisa selesai sesuai jadwal. Renjana belum boleh beristirahat."
Prima mengangguk singkat. "Sasa, cover-nya ready kapan?"
"Dua hari lagi. Nanti aku kirim ke Mas Prima kalau sudah siap."
Dion mengusap dagu. "Sekalian saja kita bahas sebentar tentang platform kepenulisan Renjana, gimana?"
Trisha mengangkat alis, sementara Prima mengawasi Dion, menunggu.
"Developing platform-nya berhenti karena keadaan Renjana tahun lalu, tapi Barni bilang tahun ini mau mulai lagi. Ada masukan apa yang perlu dibenahi?"
"UI/UX," ucap Trisha. "UI/UX-nya perlu dibenahi agar lebih menarik lagi. Dengan banyaknya kompetitor, kemudahan menggunakan platform itu penting banget. Kalau nggak, ya kita bisa tumbang dengan gampang."
"Persis." Dion berkata. "Gimana Prim? Barni udah siap, kan?"
Prima mengangguk. "Tapi kita perlu tambahan desgraf."
"Gimana, Sa? Kamu bisa bantu urus user interface-nya," kata Dion.
"Yang penting wireframe-nya udah siap," sahut Trisha tabah menghadapi tambahan tugasnya.
"Bagus. Kapan-kapan kita perlu rapat konsepnya sebelum dibawa ke atas. Off."
Prima menjadi orang pertama yang meninggalkan ruang rapat, membuat Trisha bersyukur bahwa mereka bisa kembali jadi rekan kerja tanpa ada apa pun yang mengganggu. Gosip-gosip itu perlahan menghilang seiring kebenaran yang merangkak ke permukaan, dan Renjana kembali tenang.
Trisha menangkupkan mulutnya demi menyembunyikan kuapan lebar. Matanya sampai memburam.
"Sakit, Sa?" Dion bertanya.
"Nggak ngerti," rengek Trisha sambil membenahi laptopnya. "Belum tanya. Aku bingung."
Dion mengerutkan kening. Dia bertanya apa, si bayi ini menjawab apa. Matanya mengikuti si gadis yang keluar ruangan dengan gontai. Sudahlah, bukan hal penting. Mau sakit atau pingsan sekalipun, dia tidak akan mempermasalahkannya selama pekerjaan Trisha sempurna.
Sementara itu, Trisha tercenung di ruangannya seraya memandangi gawai. Seharusnya dia tidak perlu khawatir. Menilik postingannya tadi pagi, Amira sudah bertandang ke rumah Barra lagi sambil membawa serantang penuh kepiting asam manis. Nice shoot, sih. Barra suka sekali kepiting asam manis. Agaknya perempuan itu tidak main-main dengan niatnya. Lagipula, tidak perlu khawatir urusan perut jika ada Barata. Pria itu memang sangat gemar memasak.
Tapi...
"Barra, sakit ya?"
Pada akhirnya, Trisha mengirimkannya.
"Lima belas juta." Nora memasuki ruangan sambil mengurut punggungnya. "Agak tega juga ya."
"Ngomong tega-tegaan tentang pembajak?" Bastian yang berjalan di belakang Nora, menepis dengan dingin. "Gue nggak sudi berwelas asih sama mereka yang dengan sengaja berbuat jahat sama gue. My kindness is limited, and I will give it for those who deserve."
"Oh, baiklah." Nora duduk dengan susah payah. "Ya ampun, harusnya aku udah ngajuin cuti. Ini Mika mau sampai kapan liburnya, coba?"
"Udah pada balik?" Sherly masuk ruangan dengan wajah ceria. "Makan yuk!"
"Duluan aja." Trisha meraih tasnya. "Gue pergi bentar."
"Mau kemana, Sa? Hoi!"
Trisha tidak memperdulikan pertanyaan Bastian. Ia sampai di rumah Barra setengah jam kemudian. Pesannya belum berbalas, bahkan belum terbaca. Gadis itu membuka gerbang yang tidak terkunci, lalu masuk dengan hati-hati. Pintu rumahnya tertutup, dan suasananya tampak lengang.
Pintu terkunci, membuat Trisha resah kali ini. Gadis itu menatap camelia yang menengadah cerah, berpikir-pikir apa yang seharusnya ia lakukan ketika pintu di sampingnya mendadak terbuka. Seorang pria seusia Guntur keluar. Sepasang mata coklat yang mirip dengan Barra itu menatap Trisha dengan terkejut, lalu tersenyum samar.
"Sasa," sapanya ramah. "Om tadi penasaran siapa yang buka gerbang siang-siang begini. Om kira Amira, ternyata kamu."
Trisha tersenyum. "Gimana kabarnya, Om?"
"Seperti yang dilihat," ucapnya. "Ayo masuk. Papa Mamamu sehat?"
"Sehat, syukurlah. Barra sakit?" tanya Trisha yang tidak bisa menahan diri lebih lama.
"Hm. Kemarin tumbang habis pulang dari Bali. Anak itu menyambut kedatangan ayahnya dengan demam tinggi. Flu biasa, tapi tetap saja perlu jaga-jaga, kan?"
"Ini...nggak dibawa ke rumah sakit, Om?" ucap Trisha gelisah.
"Jangan khawatir. Kayaknya dia cuma kecapekan. Akhir-akhir ini banyak kerjaan, katanya."
"Iya. Barra memang sering lembur sebelum ke Bali." Trisha menjawab seraya meredam kecemasannya, lalu mengeluarkan satu cup strawberry tiramisu untuk Barata. "Ini enak. Dicoba, deh Om. Aku ambilkan sendok, ya."
Gadis itu melirik meja makan yang sudah penuh dengan berbagai sayur dan lauk pauk. Ia pergi ke dapur dan memasukkan beberapa strawberry tiramisu ke kulkas, lalu mencuci buah-buahan yang ia bawa sebelum kembali ke depan dengan sebuah sendok di tangan.
"Terima kasih, Nak," ujar Barata. "Kamu ke sini mau jenguk Barra?"
Trisha mengangguk. "Tapi...beneran udah turun kan, Om? Nggak ada bintik-bintik, gitu? Mual? Mutah?"
"Nggak ada. Dia anteng di kamar sejak tadi, dan sudah minum obat," kata Barata ringan. "Menyenangkan saat tahu ada dua gadis manis yang peduli sama dia. Tapi kamu nggak perlu khawatir, Sa. Sejak kemarin Amira merawatnya. Dia bahkan belanja dan memasak di sini. Makanan yang di meja itu, juga Amira yang membawanya pagi tadi."
"Oh...baguslah."
"Hm. Om baru tahu Barra punya teman perempuan sedekat ini selain kamu." Barata tersenyum lebar dengan binar yang menari di matanya. "Dia gadis yang ramah dan sangat perhatian, cerdas pula. Pacar Barra, ya?"
"Umm...mungkin Om Barata bisa tanya sama Barra sendiri."
Barata meletakkan cup yang sudah kosong. "Tentu. Sepertinya menyenangkan punya menantu seceria Amira. Om sudah semakin tua, dan Barra sudah lebih dari siap untuk mulai memikirkan kehidupan rumah tangga, iya kan?"
Trisha mengubur cubitan di ulu hati dengan tawa kecil. "Benar, kan? Sasa udah berkali-kali bilang sama Barra tentang ini, Om. Tapi Barra nggak pernah mau ngomong blak-blakkan sama Sasa."
"Mungkin belum saja. Kalian sudah bersama sejak kecil, dan Barra sudah menganggapmu sebagai adik sendiri. Apa yang nggak kalian bagi satu sama lain, hm?" Barata mengangkat alis. "Tapi jika benar mereka akan bersama, saya rasa Barra tidak akan merepotkan Sasa lagi."
Gadis itu tersenyum. "Sasa nggak pernah merasa repot, Om. Justru Barra yang selalu jaga Sasa."
Senyum Barata memudar, namun kembali terpulas. "Kamu sendiri bagaimana, Nak? Sudah siap memperkenalkan calon suami ke Guntur?"
Trisha terkekeh demi menyembunyikan matanya yang memanas. "Belum ada, Om Barata."
"Kenapa? Papamu masih keras kepala?"
Trisha mengangkat bahu, yang membuat Barata terkekeh kecil meskipun sepasang mata itu mengawasi Trisha dengan lekat.
"Kamu gadis yang baik, dibesarkan di keluarga yang baik. Om selalu mendoakan kebaikanmu, Sasa."
"Terima kasih. Om, Sasa boleh ke atas sebentar--"
Namun kalimatnya berhenti saat melihat Barra turun tangga sambil menelfon seseorang. Hoodie-nya terpasang di kepala, sorot matanya sayu, wajahnya memerah dan kuyu sekali.
"Kompleks apartemen Anggasta." Lelaki itu mengambil air minum sebelum kembali ke atas. "Luas ruang terbuka hijau sekitar--"
"Permisi, Om," ucap Trisha sebelum mengejar Barra. "Yakin cuma flu? Barra?"
Barra berbalik dan menahan dahi Trisha, menciptakan jarak di antara mereka.
"Bar--" Trisha berusaha menyingkirkan telapak tangan Barra dari jidatnya, namun Barra kembali menahannya dengan cara yang sama. Gadis itu mendongak dan mengamati Barra dengan cemas. "Tanganmu panas banget. Gimana rasa badan?"
Wajahnya terlihat lelah sekali, bibirnya kering dan napasnya sedikit kepayahan. Lelaki itu menatapnya datar, lalu melepaskan Trisha sebelum masuk ke kamar. Suara pintu yang terkunci membuat Trisha tersadar.
"Barra, beneran nggak periksa aja?" Trisha mengetuk dengan resah, mulai menimbang-nimbang apakah dia perlu mendobrak pintu ini. "Buka dong. Kok dikunci, sih?"
"Jangan dekat-dekat." Suara Barra dari balik pintu itu terdengar sedikit parau. "Balik, Sa. Ayah juga barusan kena flu."
"Gue nggak akan kena flu segampang itu. Lo, makan nasi sama buah yang banyak. Ada yuzu sama yogurt di bawah. Pokoknya jangan malas makan," tukas Trisha. "Gue bawain ke atas, ya?"
"Nggak perlu. Balik, Sasa."
Trisha menghela napas dalam. "Ya sudah. Istirahat yang banyak. Minumnya juga yang banyak biar demamnya cepat turun. Gue balik, ya."
Barra tidak menyahut lagi hingga akhirnya Trisha turun dengan beribu pikiran di kepala. Namun semua pikiran itu tergusur saat bertemu Amira di tangga, yang membawa nampan berisi makanan dan beberapa camilan.
"Jenguk Mas Barra, ya?" tanya Amira.
"Iya. Itu buat Barra?"
"Hm. Dan Sa, kamu nggak perlu repot-repot kemari lagi."
Trisha terpaku, namun sempat menahan Amira yang sudah naik ke atas.
"Ada tiramisu di kulkas. Aku ambilkan dulu!" ucapnya sebelum mengambil tiramisu dan berbalik dengan cepat. Tapi Amira sudah menghilang.
Trisha menatap tiramisunya, lalu menghela napas panjang saat matanya memanas untuk sesuatu yang tidak mampu Trisha jelaskan.
Gadis itu mengembalikan tiramisunya, lalu berjalan ke depan.
Leo melambai saat Trisha muncul. "Duduk sini dulu, Sa. Pasti capek bolak-balik. Di luar panas banget. Sini, mana tanganmu?"
"Eh, kenapa--" Trisha mengangkat alis kala Leo meletakkan jeruk yang sudah dikupas di tangannya.
"Cuaca memang sedang nggak bagus," katanya. "Nggak cuma yang sakit aja yang perlu makan buah. Kita juga perlu makan."
"Thank you," gumam Trisha, yang akhirnya memutuskan untuk duduk dan menghargai usaha Leo.
"Don't mind," sahut Leo. "Aku ke sini karena ada proyek Happyhouse yang harus kami bahas. Barra sibuk sekali akhir-akhir ini, jadi jarang ke Happyhouse. Tapi klien-klien itu mana mau tahu."
Trisha tertawa. "Mas Leo, mana bisa bicara begitu tentang klien? Happyhouse kan udah punya banyak pegawai handal. Pasti bisa handle jadwal padat dengan profesional, dong."
Leo nyengir. "If you say so."
"Leo, nggak mau coba jalan bareng Sasa?" Ucapan Barata membuat Trisha menoleh. Barata bersedekap, mengamati keduanya dengan penuh minat. "Sudah akrab juga. Saya cukup kenal Sasa untuk bilang kalau gadis ini bukan gadis yang bisa kamu temukan di sembarang tempat. Bagaimana menurutmu, Nak?"
"Om Barata," Trisha terkekeh kecil. "Sasa sama Mas Leo ini--"
Namun sisa kalimat Trisha menghilang saat Leo justru salah tingkah.
"Cocok, ya?" tanyanya nyengir canggung meskipun ia menatap Trisha dengan berani. "Gimana, Sa? Wanna go for a date with me?"
Eh...se-bentar.
"Gimana menurutmu, Bar?" Tatapan Leo mengarah ke belakang Trisha.
Dengan tubuh yang mendingin hebat, gadis itu menoleh. Barra berdiri di kaki tangga sambil membawa gelas kosong. Sementara Amira, muncul di belakangnya dan langsung pergi ke dapur.
Selama beberapa saat, sepasang mata coklat yang bernaung di bawah hoodie itu beradu tatap dengan Trisha.
"Nggak masalah," gumamnya sebelum mengambil minum dan kembali ke atas.
Leo berkata sesuatu, yang disahut Barata dengan ramah. Namun Trisha tidak bisa mendengarnya. Tatapan gadis itu mengikuti punggung Barra hingga menghilang di lantai dua.
"Sepertinya memang nggak bisa disembunyikan lama-lama." Suara Leo membuat Trisha tersadar kali ini. Lelaki berkaus biru itu menatap Trisha dengan senyum samar. "Mari bicara, Sasa."
*TBC*
UI/User Interface : Tampilan produk/web yang diperlihatkan atau bisa dilihat oleh mata. UI akan berfokus pada tampilan interface atau visualnya.
UX/User Experience : proses meningkatkan kepuasan pengguna situs atau aplikasi tertentu melalui kegunaan dan kesenangan (experience) yang diberikan dalam interaksi antara pengguna dan produk. UX design inilah yang memungkinkan suatu situs bisa digunakan dengan mudah, sehingga tidak membingungkan pengguna.
wireframe : kerangka atau blueprint dalam UX Design yang menjadi representasi visual dari struktur website atau aplikasi.
Selamat pagiii. Have a nice day yaa
Please be healthy, be happy, and be safe
Luv yuu
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top