BAB 12. Distraksi yang Gagal

"Embernya, Nak!"

Gadis itu buru-buru menarik embernya.

"Tadi Papa lihat yang lebih besar dari ini." ucap Guntur. "Umpanmu masih nganggur?"

"Iya. Jahat banget. Dari tadi belum dapat." Trisha tertawa kaku. Jangan-jangan dunia perikanan pun tahu tentang gosip Trisha yang jadi selingkuhan Prima? Makanya mereka menjauhi Trisha seolah Trisha adalah kuman berbahaya. Hah!

Guntur tertawa kecil. Papanya bermandi keringat, namun semangat berkobar di matanya. Sementara Trisha sendiri memakai sandal jepit, kaus sport, celana training dan topi yang menyembunyikan gelungan rambutnya. Keringat sudah mengalir di leher dan keningnya dari tadi, namun Trisha sedang butuh distraksi.

Dari video viral itu, dan dari perkataan Amira.

"Ditunggu saja." Guntur berkata sambil kembali memasang umpan. "Sambil merenungkan masalahmu."

Trisha menoleh, namun Guntur hanya mengangkat alis.

"Sepertinya putri Papa sedang banyak masalah. Dari kemarin, kamu sering melamun," ucapnya. "Apa ada hubungannya dengan si pemuda tidak sopan itu? Kapan dia akan datang ke rumah?"

Trisha tersenyum lagi, dengan dada yang memberat kali ini. Bagaimana mungkin dia baik-baik saja setelah jadi selingkuhan orang meskipun secara tidak sengaja? Jadi obyek gosip di kantor sendiri pula.

Walaupun dia berusaha abai, nyatanya bisik-bisik dan lirikan ingin tahu dari sesama pegawai Renjana itu tetap membuatnya tidak nyaman. Trisha mungkin aman di divisinya sendiri, tapi tidak di divisi yang jarang berinteraksi dengannya. Hah! Faya, si pengambil video, si penonton, mereka sudah melabeli Trisha sebagai pihak yang salah.

"Sepertinya dia nggak akan datang ke rumah," gumam Trisha.

"Dia nggak mau ketemu Papa?" Guntur berkata dingin.

"Bukan begitu. Kami...selesai."

"Dia menyakitimu?"

"Udah nggak cocok. Biasalah, Pa. Nggak perlu dikhawatirkan. Aku oke, kok."

Guntur melirik putri semata wayangnya yang kembali termenung.

"Bagus, bagus. Anak Papa sedang belajar," ucap Guntur hingga Trisha memutar bola mata. "Nanti, kamu akan tahu kecemasan orangtua saat putri semata wayangnya mulai berkencan. Gadis kecil yang keras kepala itu, mulai berkenalan dengan seorang pria."

"Apa ini? Apa ini SOP kalau ada orang yang mengajak Sasa berkencan?" goda Trisha.

"Baiknya begitu," jawab Guntur serius hingga Trisha berhenti tertawa. "Jika kalian sudah merasa cocok, lebih baik jika dia mengenalkan diri tanpa mengulur waktu. Kamu anak semata wayang Papa. Papa perlu tahu seperti apa laki-laki yang mendekati kamu."

Gadis itu mendengarkan, namun tidak menjawab.

"Apa dia yang bikin kakimu luka?" tanya Guntur lagi. "Mamamu nggak bisa tidur semalaman karena memikirkan itu, Nak. Tapi dia menahan diri karena kamu kelihatan capek sekali."

"Nggak kok. Ini gara-gara wedges-ku keselip. Habis ini aku kompres, deh," gumamnya mengamati pergelangan kakinya yang kian merah membengkak setelah Trisha pulang naik motor.

"Jangan sedih karena sebuah kehilangan, terutama jika diri sendiri sudah berusaha sebaik mungkin," ucap Guntur. "Itu artinya, Tuhan sedang memberitahumu bahwa Dia telah mempersiapkan orang yang lebih baik di masa depan."

Trisha terkekeh kecil. "Tentu saja."

"Tapi tetap minta dia bertemu Papa sebelum mengajakmu kencan kemana-mana." Guntur berkata tegas. "Papa perlu tahu seperti apa lelaki yang ingin membawamu ke hidupnya. Paham?"

"Pa..."

"Kamu jangan tertawa, Trisha," hunjam Guntur meskipun matanya terpancang di permukaan air. "Papa nggak akan main-main sama siapa pun yang akan kamu kenalkan nanti. Kalau sekadar menghadap Papa saja belum siap, itu artinya dia belum siap untuk apa pun."

"Bertemu Papa, noted. Tenang, Sasa akan bawa laki-laki yang berani menghadapi Papa dan bilang sama Papa kalau dia ingin meminang Sasa. Romantis, kan?"

"Waktu mengikis semuanya, Sasa. Termasuk usia," ucapnya menatap permukaan air yang beriak. "Pada saatnya nanti, Papa nggak bisa menjaga kamu lagi. Tanggung jawab itu akan beralih pada laki-laki yang akan jadi suamimu. Papa perlu tahu seberapa siap dia untuk menjalani rumah tangga, seperti apa lingkungan tempatnya dibesarkan, dan sopan santunnya. Lihat betapa pentingnya bagi Papa untuk bertemu siapa pun dia, hm?"

"Tentu," gumam Trisha. "Dan jangan bilang begitu. Sasa jadi takut. Ini udah jam tiga, Pa. Masih mau lanjut?"

===

Aroma ikan bakar menguar di seantero rumah. Trisha sedang mengompres pergelangan kakinya dengan sekantung es. Rasanya tambah bengkak dan nyeri setelah ia pulang naik motor. Padahal sebelumnya sudah baik-baik saja.

Beruang Kutub is calling...

Trisha menatapnya beberapa saat, lalu mengabaikannya. Namun Barra menelfonnya lagi, yang membuat Trisha mendesah kalah kali ini.

"Kenapa?" tanya Trisha akhirnya.

"Pulang?"

Trisha menyipit. "Pasti dikasih tahu Pak Satpam."

"Kapan?"

"Kemarin." Trisha menekan-nekan es batunya.

"Naik apa?"

"Motor."

"Kakimu, Sasa."

"Besok jugas pasti udah sembuh, kok," gumam Trisha yang jengkel sekali karena lelaki ini hampir selalu benar tentang dirinya. Tidak bisakah kakinya tidak bengkak hanya gara-gara diajak naik motor? Ini kakinya! Bukan kaki Barra! Mengapa kakinya lebih mematuhi pikiran Barra dibanding keinginannya?

"Ada apa ke apartemen?" tanya Trisha sedikit gusar.

"Lelah."

"Oh..," gumam Trisha, yang langsung merasa bersalah karena sudah mengganti password apartemennya tanpa memberitahu Barra. Padahal dulu, Barra bisa ke apartemennya kapan pun, lalu beristirahat di sana semaunya seperti yang biasa Trisha lakukan di rumah Barra. Bahkan ketika Trisha sedang tidak di apartemennya, lelaki itu sering menghabiskan waktu di sana sampai-sampai para satpam mengenal Barra dengan baik.

Ini sudah benar, Trisha menguatkan hati. Trisha harus mengingatkan diri bahwa batas itu harus terus diperbaiki sebagaimana mestinya, terutama setelah percakapannya dengan Amira.

Dan ngomong-ngomong tentang kunci rumah, Trisha diam-diam meletakkannya di laci dashboard saat Barra mengisi bensin.

"Pulang, Bar. Beli Yuzu, makan yang banyak. Ada madu baru, tahu kan? Nanti minum itu terus istirahat. Proyekmu yang kemarin memang nggak manusiawi."

Suara para satpam yang dikenal Trisha terdengar samar. Ia menangkap kata donat dan nasi padang di percakapan itu, lalu mendengkus.

"Kenapa malah duduk-duduk di pos satpam, sih?" tanya Trisha jengkel. "Katanya capek?"

"Om sama Tante sehat?"

"Sehat," sahut Trisha gemas. "Pulang, Barra. Nggak usah ke Happyhouse dulu. Kan udah ada Mas Leo. Sehat itu rezeki non material, tahu! Atau me time sana! Ke rumah Amira atau jalan sama dia. Siapa tahu bikin lelahmu ilang."

"Kenapa Amira
dibawa-bawa?"

Trisha mengangkat bahu. "Siapa tahu kan, Bar. Usaha itu, usaha. Udah, sana pulang!"

Barra tidak segera menyahut hingga Trisha mendengkus kecil.

"Sebentar lagi.
Are you okay?"

"Hm. Besok juga pasti udah sembuh."

"No. Sasa,
are you okay?"

Kali ini, gadis itu mengusap-usapkan es batu dengan mata yang mulai memburam.

"You are not what they're talking about. Gosip-gosip itu akan hilang nantinya. Isi fokusmu dengan hal yang lebih penting."

Padahal kemarin, Barra tidak berkata apa pun tentang itu. Tapi lelaki itu pasti menyadari saat menjemput Trisha, bahwa beberapa orang meliriknya dengan sembunyi-sembunyi. Bahkan salah satu anak Happyhouse pun bertanya pada Trisha tentang video itu.

"Judulnya ngawur banget," gumam Trisha. "Gue jadi takut kemana-mana. Kalau udah masuk Lambesiso kantor, yang lihat udah pasti satu kantor, kan?"

"Gue nggak salah," bisik Trisha, takut jika Juni dan Guntur mendengarnya. "Gue...bukan selingkuhan. Gue nggak tahu. Gue nggak salah, kan?"

"No, you are not."

Trisha terkekeh parau. Dia tahu dia tidak salah, tapi mendengar pembelaan dari orang lain di tengah-tengah kesalahpahaman ini sungguh melegakan.

"Besok gue jemput."

"Nggak perlu," gumam Trisha. "Pulang. Istirahat."

"Nggak nyuruh gue
ke rumah Amira?"

"Oh ya udah. Sana jalan sama Amira! Hati-hati!" tukas Trisha emosi, yang dibalas Barra dengan kekehan samar.

"Gue pulang
sebentar lagi."

"Nggak jadi ke tempat Amira?"

"Lo mau gue
ke sana?"

Trisha hendak membalas lagi, namun akhirnya gadis itu menggerutu pelan. "Barra nyebelin--oh iya! Kemarin Mas Prima lo apain, deh?"

"Baru tanya sekarang?"

"Kemarin gue masih syok," sahut Trisha tidak sabar. "Barra, I am asking you."

"Dia nggak menghargai lo."

Trisha mengabaikan nada dingin lelaki itu. "Yatapi nggak perlu pakai tinju juga, kan?"

"Perlu."

Trisha berdecak gemas. "Terima kasih karena udah ngebela gue. Tapi besok-besok jangan begitu lagi. Itu masalah gue."

Gadis itu menunggu, namun Barra tidak kunjung bersuara. Saat itu, Guntur memasuki ruangan sambil membawa setoples penuh rengginang sebelum melirik Trisha dari balik kacamata.

"Nggak usah ke Happyhouse. Pokoknya nanti gue tanya Luvy. Gue tutup, oke--eh, kenapa, Pa?" tanya Trisha kala Guntur mengulurkan tangan.

"Mau ngomong sama Barra sebentar," ucap Guntur.

"Oh...Papa mau ngomong sebentar."

"Hm."

"Gimana kabar proyekmu, Nak?" tanya Guntur. "Om mau tanya-tanya tentang konstruksi rig offshore."

"Papa gantengnya Sasa, Barra baru pulang kerja," bisik Trisha sebelum mengecup pipi Guntur.

Pria itu mengusap puncak kepala putrinya, lalu membiarkan Trisha masuk ke dapur.

"Papamu udah selesai kerja?" tanya Juni.

"Baru telfon sama Barra," jawab Trisha sambil menyiapkan lalapan untuk makan malam mereka.

"Dia mau ke sini? Ya udah bakar ikan lagi aja. Dua? Apa tiga sekalian?"

"Nggak. Tadi cuma telfon," gumam Trisha. "Barra masih suka main catur sama Papa?"

"Kemarin waktu Sasa di rumah itu. Setelahnya belum lagi. Kenapa?"

"Oh...nggak." Trisha meraih kursi. "Bakal canggung banget kalau nanti pacarku tahu ada cowok yang sering datang kemari padahal bukan siapa-siapaku."

Trisha menghindari Juni yang menoleh ke arahnya.

"Mama juga berpikir begitu. Itu sebabnya Mama minta Sasa kembali memikirkan batas-batas yang seharusnya kalian miliki. Mama lihat kamu akhirnya paham." Juni tersenyum. "Kita pernah jadi rumah satu-satunya untuk Barra. Hal seperti itu, nggak mungkin nggak membekas. Tapi jangan khawatir, mungkin nggak akan lama mengingat kalian yang sudah sama-sama dewasa. Kalau dia juga punya calon istri nanti, dia pasti lebih sering main ke sana. Untuk sementara ini, biarkan dia jadi teman mengobrol papamu."

"Hm." Trisha mengangguk-angguk. Dengan kata lain, Trisha harus ekstra sabar dan ekstra hati-hati.

"Ngomong-ngomong," Juni mendekati Trisha. "Siapa teman kencanmu kemarin?"

"Bukan siapa-siapa." Trisha mendengkus pelan. "Cuma teman kantor."

Juni mengangkat alis, namun memutuskan untuk tidak memperpanjang saat tahu reaksi masam anaknya. Wanita itu melirik pergelangan kaki putrinya, namun tidak berkata apa-apa.

"Baunya enak." Guntur mengembalikan gawai Trisha sebelum mendekati Juni, lalu tertawa sambil menghapus noda arang di pipi istrinya. "Istriku sedang bekerja keras. Mau rengginang, nggak?"

"Boleh."

Pria itu menyuapkan sepotong rengginang pada sang istri, yang menerimanya dengan antusias. Trisha memutar bola mata dan memutuskan untuk mengirim pesan pada sekretaris Happyhouse.

"Vy, nanti kalau Barra datang ke Happyhouse, bilang gue ya."

==

Trisha menatap sebal pada laki-laki yang sedang bercengkrama dengan Juni. Siang ini, ia memakai kaus abu-abu polos berlengan pendek. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan sebuah jaket tersampir di lengan kursinya.

Sepasang mata coklat itu menangkap Trisha, lalu melirik kakinya.

"Kapan datang?" Trisha meletakkan ranselnya di motor, bersiap-siap balik ke apartemen.

"Waktu kamu mandi tadi," jawab Juni. "Mau balik sekarang?"

"Iya. Ada gladi resik di kantor." Trisha memakai sepatunya. "Barra mau ketemu Papa, ya?"

"Mau jemput kamu, katanya," ujar Juni ringan.

"Kami balik dulu, Tante." Lelaki itu mendekati Trisha. "Kunci motor, Sa."

"Kenapa ke sini?" geram Trisha pelan karena Juni menatap mereka dengan ingin tahu. "Udah dibilang di rumah aja, istirahat!"

"Kakimu."

"Udah baikan, kan udah dibilang," tukas Trisha.

"Good," gumamnya sambil menghidupkan motor. "Nggak pamit?"

Trisha meniup poninya dengan gemas, tapi tetap menyambangi Juni.

"Papa mana?" tanya Trisha setelah cium tangan.

"Ke tempat Pak RT. Tapi tadi udah ketemu Barra, kok." Juni berkata. "Hati-hati, ya. Barra, Nak, hati-hati!"

Lelaki itu membunyikan klakson, dan Trisha melambai pada Juni hingga mereka hilang di tikungan.

"Udah makan belum?"

Barra mengangguk singkat.

"Nggak capek?" Gadis itu otomatis menyisipkan tangannya ke saku jaket Barra. Hangat. "Nanti gantian di rest area, deh."

"Nggak perlu."

Gadis itu berdecak lirih. Jarak rumah dengan apartemennya sekitar dua setengah jam perjalanan naik motor.

"Nanti ke rumahmu aja, Bar. Gue langsung ke Renjana soalnya."

"Gue temani."

"Nggak perlu."

"Ada Prima di sana."

"Ya, terus?"

Barra tidak menjawab, namun Trisha sudah lelah meladeni lelaki ini. Terkadang, Barra bisa sangat keras kepala. Terutama pada orang-orang seperti Prima. Gadis itu mengawasi jalanan sambil menepuk-nepuk perut Barra dengan main-main.

Kemudian Trisha menyadari sesuatu.

Segera saja, Trisha mengurai pelukannya dan mengeluarkan tangan dari saku jaket Barra. Sepanjang sisa perjalanan, ia menyibukkan diri bermain instagram maupun mengintip grup kantornya.

"Pulang! Pulang!" Trisha mendorong punggung Barra saat lelaki itu malah mengikutinya ke lobi. "Istirahat, Bar--astaga, ih!"

Gadis itu berjalan cepat di belakang Barra yang berkelit dan berjalan menuju lift.

"Ck!" decak Trisha pelan sebelum mengikuti Barra.

Pintu lift hendak menutup, namun kembali terbuka. Prima masuk dengan tergesa, lalu mematung saat ia langsung berhadapan dengan Barra. Dengan tangan di dalam saku, Barra menatap Prima dingin hingga Prima berbalik keluar lift tanpa sepatah kata.

Trisha meninju pelan lengan Barra saat lift bergerak naik, menyuruhnya menyingkirkan aura angker yang membuat lift jadi semakin dingin.

"Nanti gue balik malam. Lo duluan aja kalau dirasa kemalaman." Trisha berkata saat mereka sampai di aula yang sudah penuh orang.

Beberapa orang masih meliriknya, namun Trisha mengangkat dagu dan mengabaikan mereka dengan mudah kali ini.

"Gue ke dalam, ya. Nanti kabari kalau mau balik," gumam Trisha yang menyerah untuk mengusir Barra.

"Sure," ucapnya sembari merapikan rambut gadis itu. "Sana."

Gadis itu menyapa Mika dan yang lainnya, lalu melirik Barra yang rupanya disambangi Bastian. Teman kerjanya itu mengulurkan sebuah cup es teh pada Barra sebelum mengobrol entah tentang apa.

"Sasa, saya mau lihat final project kita."

Trisha menoleh. Prima sudah duduk bersila di hadapannya. Namun sepanjang kegiatan, Prima tidak pernah mendekatinya dalam jarak kurang dari satu meter, pun tidak lagi mengajaknya mengobrol tentang topik di luar pekerjaan.





*TBC*


selamat sore,

please be healthy, be happy, be safe

See u next week yaa

I luv yuu

❤️❤️


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top