BAB 1: Musuh Bersama
"Mik," Trisha menyenggol Mika dengan tidak sabar. "Mika?"
Mika melotot pada Trisha karena gawainya nyaris terjatuh. "Apa sih?"
Trisha melirik sekitar yang masih sibuk mempersiapkan rapat, lalu menyipit. "Lo yang pasang dating app di ponsel gue?"
Pelototan Mika berubah jadi senyum lebar. "Iya. Langsung dapat Pak Prima, lhoh. Dia yang like duluan!"
Trisha mendengkus kecil. "Lo ngapain pasang itu di ponsel gue?"
"Iseng aja. Di usia kita ini, udah harus rajin-rajin tebar jala. Lo pasif amat sampai bikin dua senior patah hati, tahu!"
"Apa hubungannya?"
"Ck! Makanya gue kasih kesempatan." Mika memainkan gawainya. "Siapa tahu kayak gue, ketemu cowok yang suamiable di Madam Rose. Lagipula ini Pak Prima lho, Sa! Nggak mau dipertimbangkan? Dia main di sana, berarti emang baru nyari jodoh."
Trisha memutar bola mata. "Aplikasinya udah gue uninstall."
"Ih, kok gitu?"
"Ngomong-ngomong, aplikasinya butuh pendaftaran, kan?" tanya Trisha. "Lo daftarin gue pakai apa?"
"Cuma nomor telfon."
"Cuma nomor telfon?"
"Plus informasi receh macam nama, TTL sama kerjaan. Gitu aja, sih. Jangan khawatir, gue udah bikin bio yang kece badai di akun lo. "
"Mika, kalau tiba-tiba ada data leakage gimana? Lo yakin aplikasinya aman?"
"Aman kok." Mika menjawab dengan percaya diri. "Lagipula ya, Sa. MadamRose ini kalau gue lihat, beda dari yang lain. Dia bahkan punya konsultan pernikahan yang background pengetahuannya nggak main-main. Psikolog sist! Jadi sebelum lo suudzon, gue rasa lo perlu nyoba main MadamRose--"
"Nyoba main apa?"
Kedua gadis itu otomatis menjauh saat Dion membungkukkan badan di antara mereka.
"Nggak apa-apa. Biasalah, obrolan cewek." Mika buru-buru merapikan berkasnya.
Lelaki itu melirik Mika sebelum menatap Trisha. "Sebelum rapat mulai, saya mau bilang kalau di HUT Renjana nanti, kamu bantu Prima."
Mika tersenyum memang, sementara perut Trisha langsung melilit. "Bantu Mas Prima?"
"HUT ini bisa jadi ajang comeback yang bagus buat MediaRenjana. Tapi anak-anak merketing juga punya misi besar terkait pemulihan Renjana. Jadi di rapat kemarin, Prima secara khusus meminta bantuan anak-anak divisi artistik. Keberatan?"
"Nggak--kok. Oke." Profesional, Sa. Profesional.
"Dan satu lagi." Lelaki berwajah lelah itu menatapnya dengan serius. "Saya berusaha melobi Athena."
Trisha terkejut. "Serius? Apa dia mau?"
"Kita punya tawaran baru untuknya," ucap Dion. "Nanti, kamu ikut saya. Kamu yang akan pegang cover Athena."
"T-terus editor Athena..."
"Saya. Siapa lagi? Ada masalah?"
Oh, tidak. Selain kerja bagai quda untuk beberapa waktu ke depan, tidak ada masalah lain.
"Bagus." Dion menggebrak meja. "Rapat dimulai, guys!"
==
"Mau brem. Pulang jam berapa jadinya?"
Gadis berambut panjang itu mengerucutkan bibir ketika pesan yang terkirim satu jam lalu belum juga berbalas. Namun, sebuah pesan lain berhasil mengembalikan senyumnya.
"No smile for me today?"
Trisha berselfie sambil mengedipkan sebelah mata, lalu mengirimkannya pada seorang pria nun jauh di sana.
"Beautiful as always.
Menyenangkan hari ini?"
"Yep. Pulang kapan? Aku kangen."
"Masih seminggu lagi,
sweetheart".
Cake, no?"
"Sure, Papa."
"Wait for me then."
"Isu mau ngegaet Athena, itu benar?" Suara Bastian membuat Trisha menoleh.
"Ternyata benar," jawab Trisha.
"Sepertinya bakalan susah. Dia udah bilang mau berhenti dari dunia tulis-menulis. Setelah itu, boom! Ngilang. Nobody knows."
Trisha mengangkat bahu. "Mungkin itu alasannya kenapa dia nggak pernah mau muncul di publik. Lo nggak akan pernah tahu Athena walaupun lo senggolan sama dia di mall."
"Yatapi bakatnya sia-sia aja, gitu Sa. Siapa sih yang nggak kenal Athena? Penulis legendaris genre fantasi yang mengejutkan semua fansnya-termasuk gue-dengan mengumumkan berhenti nulis empat tahun lalu?"
Trisha mendengkus jengkel. "Pembajakan."
"Ini pernah jadi gosip besar, waktu awal-awal dia hiatus." Nora mengelus perutnya yang membesar. "Dan memang ebook bajakannya langsung keluar setiap kali bukunya diluncurkan. Di hari yang sama, pula."
Sherly mengangguk dengan wajah mendung. "Padahal butuh banyak effort untuk menerbitkan satu buku. Dan si pembajak itu main copy dan jual aja tanpa pernah mikirin orang-orang yang sudah bekerja keras di balik buku itu. Nggak takut nggak berkah apa ya? Maksudnya, dia mencuri hak orang lain!"
"Itu belum seberapa," sambung Trisha. "Buku fisik bajakannya pun beredar di pasaran cuma satu minggu setelah bukunya launching. Si pelaku memereteli bukunya satu persatu, di scan, dan dijual lagi."
Sherly meringis, sedangkan Nora mengipasi diri sendiri.
"Dion sampai marah besar waktu itu," ucap Nora. "Udah jadi rahasia umum kalau Dion dan Athena adalah kolaborasi antara penulis dan editor yang sempurna. Jadi waktu dengar pengakuan si pelaku, weuh...kalau Prima nggak turun tangan, habis dia." Nora menyabetkan telunjuknya ke leher hingga Bastian berdecih.
"Nggak akan ada penjualan kalau nggak ada permintaan. Nyatanya, yang jadi pembajak karya Athena justru pembacanya sendiri. Backstabbing. Ini yang bikin dia memutuskan berhenti. Karena ebook bajakannya pun masih banyak dicari sampai sekarang."
"Karena terlepas dari bajak membajak, ceritanya memang bagus," tukasTrisha. "Tapi ini jelas miris. Harusnya, itu hak Athena."
Nora tersenyum kecut. "Mereka yang beli bajakan itu, sepeser pun nggak ada yang masuk ke kantong penerbit maupun penulis. Duit itu cuma akan dinikmati si pembajak. Lo copy karya orang lain, lo jual itu dan duitnya lo nikmatin sendiri? Sedih banget. Dengan konflik internal yang hampir bikin Renjana kolaps, masifnya pembajakan justru memperparah keadaan."
"Alasan Candra dan karyawan lain mengundurkan diri, kan? Masa depan Renjana memang suram banget waktu itu. Lihat, akhirnya gaji kita baru balik seratus persen plus tunjangan setelah dua tahun." Bastian melirik kursi di sampingnya dengan prihatin. "Candra sekarang kerja di perusahaan exim, katanya."
Trisha tersenyum sedih mengingat salah satu temannya. "Setiap orang punya pilihannya masing-masing. Yang jelas, gue seneng kita masih bareng-bareng di sini. I luv you guys."
"We've done well." Bastian merentangkan tangan. "Come to Papa, Trisha. Cuma lo yang masih aman untuk dipeluk. Kalau gue peluk yang lain, jadi dendeng gue malam ini."
"Gue aduin Maura, nih?" tukas Trisha hingga Bastian menekuk wajahnya.
"Perlu banyak edukasi bahwa pembajakan adalah bentuk pelanggaran hukum dan perampasan hak," gumam Nora. "Punishment-nya udah jelas, dan itu alasannya kenapa kita semakin memperkuat divisi legalitas dengan ngegandeng firma hukum dan asosiasi yang peduli dengan hak cipta. Jadi kalau ada aktivitas pembajakan buku-buku MediaRenjana, efeknya parah. Kasus terbaru kan, denda sepuluh juta."
"Si anak hukum kemarin itu." Bastian tertawa puas. "Kuliah hukum tapi jadi pelaku pembajakan. Shame on you."
"Yang sebelumnya, dokter," tukas Trisha melepaskan kuncir kudanya dan menggantinya dengan cepolan.
"Aku dengar platform ebook Renjana bakal ada fitur baru." Sherly berkata antusias. "Fitur sewa, itu benar?"
"Iya. Harganya bakal lebih murah ketimbang beli dan ada batas waktunya. Tapi itu masih dikembangin sama tim IT." Trisha berkata. "Kita berusaha menjembatani semua pihak agar sama-sama enak. Ya penerbit, ya penulis, ya pembaca. Pembajakan dan peredaran buku ilegal jelas merugikan penulis dan penerbit."
"Kamu jangan gitu ya, Nak." Nora membelai perutnya dengan sayang. "Duit itu penting, tapi cari duit yang halal, yang berkah. Bahagia dengan mengambil hak orang lain, itu bukan bahagia namanya. You hear that, my baby boy?"
Trisha terkekeh kecil, lalu kembali menghadap pekerjaannya. Jika melihat definisi pembajakan buku yang biasa tercantum di setiap buku, maka pembajakan adalah upaya memperbanyak buku dengan cara dicetak, di-fotocopy atau cara lain tanpa mendapat izin tertulis dari penerbit buku terkait. Rendahnya kesadaran untuk menghormati hak cipta membawa efek yang cukup merugikan. Pembajakan masih menjadi kejahatan di dunia literasi yang susah dibasmi. Salah satu artikel bahkan pernah menyebutkan bahwa pembajakan seakan sudah menjadi budaya yang sulit untuk diatasi, khususnya di Indonesia. Beredarnya kualitas cetak yang buruk, hingga produsen yang tidak mendapatkan imbal balik setimpal. Jika sudah begini, barangkali masyarakat jadi tahu mengapa literasi di Indonesia begitu lambat berkembang.
"Uh, nggak sabar kepingin lihat baby Langit! Lahiran bulan depan ya, Mbak?" tanya Sherly.
Nora mengangguk. "Mau lihat foto USG-nya, nggak? 4 dimensi, dia ganteng banget."
"Mau!" sahut Sherly. "Ih, makin nggak sabar punya debay."
Bastian mengernyit pada si pengantin baru. Sementara Trisha, ikut melongok pada foto USG 4 dimensi si baby Langit.
"Makin mirip papanya deh," gumam Trisha.
"Ya syukur dong. Bahaya kalau mirip papanya tetangga," sahut Nora hingga Trisha menaboknya pelan.
Sherly terkekeh, lalu memekik keras. "Aku lupa! Tadi dapat titipan undangan dari Verra."
"Undangan lagi. Padahal masih awal tahun. Bas, minta." Nora mencomot camilan Bastian. "Besok nitip dong, Bas. Enak ini."
Nora meraih toples yang berisi aprikot dan cranberry kering itu untuk dinikmati sendiri. Bastian memutar bola mata, tapi merelakan camilannya untuk Nora.
"Gabriella Verra Rajendra? Oh, Verra marketing," sahut Bastian menerima undangan dari Sherly. "Keluarga Rajendra selalu nggak biasa. Gue jadi penasaran akan seberapa mewah pernikahannya nanti."
"Tapi Mbak Verra orangnya down to earth kok. Aku aja baru tahu kalau Mbak Verra masih keluarga besar Rajendra," ucap Sherly ceria sambil menoel-noel pundak Trisha. "Jadi, Mbak Sasa kapan undangannya? Ini tinggal Mbak Sasa aja yang belum punya gandengan, lho. Mbak Sasa terlalu fokus sama karir, sih. Kata mamaku, bisa jadi itu alasan susah dapat jodoh."
"Mungkin ya, mungkin nggak," sahut Trisha ringan.
"Ih Mbak Sasa, tapi--"
"Udahlah, Sher." Bastian berjungkat-jungkit di kursinya. "Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan saat membahas pernikahan sama orang macam Sasa. Siap atau nggaknya Sasa. Of course, mentally, phisically, and whole condition. Dua: Kesiapan pasangan, yang ketiga dan paling penting..." Bastian menyipit dengan dramatis. "Ada calonnya atau belum."
Trisha mendorong kursi Bastian hingga lelaki menyebalkan itu menjauh dengan terbahak.
"Lho, salah gue di mana?" Bastian memprotes meskipun cengiran lebar masih terpulas di wajah. "Calon adalah syarat mutlak melaju ke jenjang pernikahan. Lagipula, punya pacar juga belum tentu kalian bakal nikah. C'mon! Face the truth! Lo perlu melewati banyak fase fit and proper test sebelum memutuskan buat nerima bau kentutnya setiap malam."
"You know what?" Nora berkata. "Meskipun wajahnya nyengir nyebelin gitu, Bastian benar."
Bastian menarik kerah bajunya dengan lagak penting. Sherly menggerutu pelan, namun akhirnya kembali ke tempat duduk. Sementara Mika tidak memperdulikan huru-hara di bilik subdivisi artistik itu. Dia sibuk berbalas pesan dengan pria yang ia temui lewat aplikasi pencari jodoh.
Sementara Trisha mendengkus kecil. Calon? Pfft!
Jujur saja, Trisha tidak pernah pusing dengan urusan pernikahan. Jangankan pernikahan, dia bahkan tidak pernah tertarik berkencan hingga sekarang. Satu-satunya hal yang ia seriusi adalah mendapatkan pekerjaan mapan dengan lingkungan yang sehat, dimana dia bisa menggali potensi diri dan mengembangkannya dengan maksimal. Walaupun Sherly mengatakannya dengan nada negatif seperti tadi, Trisha bahagia dengan hidupnya.
Namun, semuanya menjadi semakin serius semenjak ia menginjak usia dua puluh tujuh. Satu persatu teman angkatannya mulai mengirim undangan, dan pertanyaan yang sama selalu mengikuti setelahnya.
"Kapan giliranmu, Sa? Ditunggu undangannya."
"Sibuk ngurus karir sih, jadi nggak punya waktu dating."
"Udah Sa, umur udah pas cari suami. Nggak perlu karir tinggi-tinggi, nanti laki-laki jadi minder kalau mau ngedeketin lo."
Yang terakhir itu, adalah alasan paling tidak masuk akal yang pernah Trisha dengar. Dia juga punya mimpi dan impian-impiannya sendiri. Lalu tiba-tiba seseorang yang bahkan belum menjadi bagian dari hidup Trisha, menyalahkannya untuk semua pencapaian dan usaha Trisha? Yang benar saja!
Gadis itu mendesah berat saat teringat masalahnya dengan Prima. Prima tidak menghubunginya lagi setelah dua chat kemarin malam. Trisha akan meluruskannya dengan menemui Prima sekalian. Tapi masalahnya, Prima sedang sibuk saat ini.
Dan mengapa lelaki satu itu harus menambah kecemasannya?
"Barra nyebelin!" Trisha menekan-nekan layar gawainya.
"Kenapa sama Barra?" Nora menoleh ingin tahu.
"Nggak papa, hehe."
Nora mengangkat alis. "Lama nggak kelihatan di Belario."
"Baru ke Solo."
"Oh..." Nora kembali menghadap komputernya. "Pantes emosi."
"Aku nggak emosi, ya!"
Nora cekikikan, namun tidak membalas. Berusaha mengabaikan Nora, Trisha membuka-buka ruang obrolannya dengan Barra meskipun tahu tidak ada yang berubah di sana.
"Isshh!"
*TBC*
Haii, selamat sore
Please be healthy, be happy, be safe, dear. I luv yuu
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top