1 - Hanya Melintas Sekejap Saja
Cerita ini didedikasikan untuk sayembara "The Fantasies" yang diselenggarakan oleh FantasiIndonesia
Nb: ini cerita fantasi, walaupun ringan. Jadi, jika menurutmu ada yang tidak sesuai dengan kebenaran, maka anggap saja bahwa ini fiksi fantasi, bukan fiksi ilmiah, apalagi nonfiksi. Ote! 😉
📚
Area koleksi dari ruang seluas 180 meter persegi itu masih lengang tanpa keriuhan. Ada banyak siswa yang sedang senyap di meja baca, sesekali ada beberapa berlalu lalang keluar masuk, sebagiannya masih sibuk bolak-balik dari rak ke rak-belum bertemu dengan buku yang dicarinya, tapi tak merusak ketertiban sama sekali. Semua warga sekolah kenal pasti dengan penjaga perpustakaan, ibu-ibu jutek berwajah sangar itu siap melontarkan jurus omel yang menggetarkan mental siapa saja. Siswa sebandel apapun, akan ciut jika berhadapan dengannya.
"Hai, Ima ...."
"Hai." Seorang gadis berkacamata tetap membalas sapaan beriring senyum meski sedang larut dalam dunianya. Selepasnya, ia kembali fokus pada bacaan. Bagi siswi kelas sepuluh itu, hibernasi di perpustakaan merupakan pilihan yang mustahil tak terpilih. Membaca buku lebih mengenyangkan dari pada makan. Apa lagi dengan buku, bab, halaman, paragraf, atau kalimat yang sedang ia baca saat ini, begitu membuatnya penasaran.
Apa benar "tuleueng dong" itu ada?
Rasa penasaran Ima terputus oleh suara bel. Ia segera mengembalikan buku itu ke raknya, lalu bergegas menuju kelas. Ima sama sekali tidak menyadari jika ada yang mengintainya sejak tadi.
***
"Apa benar yang kau katakan itu, Grandong?"
Temannya mengangguk.
"Ah, aku enggak percaya."
"Halah, kamu belum lihat, sih!"
"Emangnya kamu udah lihat?"
"Tadi aku sempat lihat dia melintas di jalan setapak lo!"
Ima tak mengacuhkan pembicaraan dua teman di sampingnya. Biasa, lah, anak kampung, suka mengheboh-hebohkan. Padahal, yang dibicarakan cuma mitos.
"Aku tetap enggak percaya. Dah, ah, jangan mengibul lagi. Tuh, ustad datang," ucap gadis yang duduk bersisian dengan Ima sambil mengarahkan dagu ke luar balai.
Yang duduk di samping kanannya menyeringai. "Awas kamu! Entar kalau ketakutan, aku tinggal sendiri."
Ustad sudah masuk ke balai pengajian. Semua santri memperbaiki posisi duduknya. Pengajian malam ini berlangsung khidmat.
Ima pulang dengan jalan kaki. Ia sudah biasa pulang sendiri sejak kecil, tidak mau merepotkan keluarganya untuk antar jemput.
Langkah demi langkah menapaki jalan setapak tanpa gentar sama sekali. Dulu awal-awal ngaji, ia memang sempat merinding karena baru mendengar cerita orang, juga pernah membaca di fiksi-fiksi horor. Namun semakin dewasa, dengan banyaknya wawasan yang didapatkan, ia yakin bahwa yang ada dalam cerita-cerita itu tak lebih dari sekadar mitos. Menurutnya, jika seseorang melihat makhluk gaib, maka itu bukanlah makhluk yang sebenarnya, melainkan tipu daya setan pada mata orang itu.
'Lelah' juga tak begitu terasa bagi Ima. Selain karena terbiasa, hikmah dari ilmu yang akan didapatkan saat mengaji tak dapat dihitung dengan angka. Hampir satu kilo meter jarak dari rumah ke pondok tempatnya mengaji, ditempuhnya tiap malam hari dengan gembira.
"Assalamu'alaikum ...." Ucapan salamnya diiringi dengan ketukan pintu yang tripleksnya sudah terkelupas di mana-mana.
Pintu langsung terbuka setelah suara sahutan salam terdengar dari dalam.
"Ayo, masuk."
"Iya, Bu." Ima mencium tangan wanita paruh baya itu, lalu masuk. Rumah kecil itu sudah sedikit reyok, ibunya belum punya uang untuk merenovasinya. Ia tinggal bertiga di rumah itu bersama ibu dan seorang adik. Ayahnya telah meninggal sejak ia berumur enam tahun.
***
Ima sudah siap dengan seragam sekolah. Sepatu hitam yang dibeli saat kelas tujuh masih layak untuk dipakai, walaupun warnanya sudah pudar.
"Ima dah siap?"
"Iya, Bu."
"Sebentar." Ibunya berderap ke kamar, entah mencari apa. Lalu kembali dengan menggenggam sesuatu dan menyerahkannya kepada Ima. "Ini buat jajan. Kemarin ibu baru panen karet." Ia tersenyum, berharap Ima mengambilnya.
"Enggak usah, Bu. Simpan aja. Kalau enggak, kasih buat adek aja. Ima enggak apa-apa." Ima berbicara lembut. Telapak tangannya terangkat sedikit-mengisyaratkan penolakan yang sopan.
"Sesekali kamu harus jajan, Nak." Kini wajahnya memelas.
Ima menelan ludah, tidak punya cara lagi untuk menolak. Baiklah, ia akhirnya mengambil dan memasukkan selembar uang merah itu ke dalam saku bajunya.
"Baiklah, Bu. Kalau begitu, aku berangkat dulu, ya." Ia lantas mencium tangan ibunya.
Sang ibu tak lupa mengusap kepala anak sulungnya itu. "Iya. Hati-hati, ya."
Ima mengangguk, bergegas. Di tepi jalan ada temannya, terduduk kokoh di atas motor matic-menunggu.
"Anggi! Hati-hati, ya!"
"Baik, Bu!" Gadis bernama Anggi itu mengangguk dengan senyum. Ima telah naik ke punggung motor.
Tancap gas.
***
Kantin tidak pernah menjadi pilihan untuk berteduh saat jam istirahat. Alasan pertama, Ima tak punya uang. Ibunya hanya seorang buruh tani pengais karet. Penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari, seiring dengan harga karet yang tak kunjung bangkit. Karena tidak tahu harus ke mana, Ima memilih perpustakaan. Tempat ini tidak memandang isi kantong, tidak ada yang harus di beli di sini. Awalnya karena pilihan, tapi sekarang Ima malah ketagihan. Bisa dibilang seperti tak bisa sehari tanpa masuk ke perpustakaan. Ini adalah surga dunia baginya.
Buku yang kemarin belum selesai dibaca, Ima membukanya lagi. Di dahinya tiba-tiba muncul garis-garis saat ia membaca kalimat, "Selain usil dan suka mengganggu, 'tuleueng dong' tidak suka menyakiti dan mencelakai manusia." Masih ada beberapa kalimat lain yang membuat alisnya menaut. Tetapi sepenasaran apapun, yang namanya mitos tetap saja tidak terjamin kebenarannya. Ima memilih tak terlalu ambil pusing, cukup membacanya sebagai penambah wawasan saja. Lagi pula, membaca adalah hobinya.
Beberapa lembar buku berlalu. Entah kenapa, tiba-tiba Ima ingin meminjam buku itu.
Ima tidak punya jam tangan, juga belum pernah membeli telepon genggam. Itulah sebabnya ia terbiasa memperkirakan waktu dengan perasaan. Perkiraan alami Ima tidak terlalu jauh meleset. Terbukti, setelah admin menstempel sampul belakang buku bagian dalam, bel tanda 'jam istirahat berakhir' pun berbunyi.
Ima bergegas menuju ruang kelas. Tetapi sebelum itu, ia tak sengaja menangkap sebuah tatapan mengarah kepadanya. Seorang cowok, sepertinya ia senior. Apa dia benar-benar mematap Ima sampai jarang sekali berkedip? Ah, tidak! Ima sadar diri, siapa dirinya. Tidak mungkin cowok itu meliriknya. Ia yakin, itu pasti cuma tatapan kosong yang kebetulan mengarah padanya.
***
Seorang cowok menggeleng-gelengkan kepala melihat teman di sampingnya bengong dari tadi. Ia memperhatikan arah tatapan temannya tertuju pada seorang cewek berkacamata.
"WOI!"
Cowok bermata sipit dan rambut keriting keong itu terkesiap, hampir saja sebuah tinju melayang di wajah temannya. "Apaan, sih?"
"Lu yang apaan. Bukannya baca buku, malah bengong lu. Tahu gini, ogah gue ikutin lu ke sini."
"Nggak asik lu."
"lu yang nggak asik. Kalo mau bengong, noh ... di kantin lebih cocok kayaknya, sambil makan Bakso Bang Jar dan ...," cowok berambut lurus itu tercengir, "lu yang traktir." Ia mengedikkan bahu.
Bel berbunyi. Raut wajah cowok berambut keriting keong sudah terlihat sebal. Bukan karena bel, tapi karena rasa penasarannya dengan gadis berwajah kusam itu kian bertambah. Ia jadi repot menguntit cewek itu.
"Noh, bel masuk, apa traktir-traktir."
"Ya udah, yok ma-Woy!"
Cowok sipit itu sudah berlalu meninggalkan temannya. Bukunya ditinggal begitu saja tanpa menaruh ke rak-tempat semula.
"Vin! Tunggu gue!" Cowok berambut lurus menggigit bibir atas ulah temannya yang bossy itu. "Sial!" Ia terpaksa mencari rak-tempat 'buku yang temannya ambil', untuk meletakkan buku itu. "Gini amat punya teman bossy kampret!"
***
"Hai, Alvin ..., hai, Iqbal ...."
Cewek-cewek yang sedang mengambil motor di parkiran bergantian menyapa. Kedua orang yang disapa menanggapi dengan senyum simpul saja, tapi di balik itu motif berbeda. Iqbal-si rambut lurus-memang cuek dengan semua orang selain Alvin. Berbeda dengan Alvin-si keriting keong, ia cuek karena sedang mematung menatap area parkiran sepeda.
"Apa yang lu tunggu?"
Alvin tidak menjawab. Masih belum sadar.
Iqbal tahu apa yang temannya lihat, tapi tidak menggubrisnya lagi. Ia segera menghidupkan motor, memutar pedal gas dengan kencang supaya suaranya membuat Alvin terkejut. "Cepat naik!"
Lagi-lagi Alvin ingin meninju Iqbal yang selalu mengacaukan dunianya-menatap cewek sederhana itu. Tapi sudahlah, dia segera naik ke pantat motornya. Besok-besok masih ada kesempatan untuk melihat cewek itu lagi.
"Tumben lu mau bawain motor? Biasanya lu selalu nemplok di belakang gue." Angin yang menghempas membuat ekor rambut keriting Alvin melambai.
Iqbal tersenyum miring. Tidak menjawab apa-apa.
Alvin tertawa. "Jangan sok cuek juga lu sama gue," ucapnya sambil menimpuk bahu Iqbal dengan tangannya. Entah apa yang membuatnya begitu riang.
Iqbal menyentak pedal gas lebih dalam. Kecepatan laju motor warrior itu bertambah, membuat Alvin spontan meremas bahu temannya. "Bisa lebih cepat lagi?" perkataan yang memiliki makna sebaliknya.
"Siapa takut!"
Motor berlari kencang membelah jalan yang diapit rumah-rumah warga, menyalip apa yang ada di depannya.
"Hati-hati juga lu, Bro!" Alvin sedikit geger dengan kegilaan Iqbal yang membawa motor dengan kecepatan penuh. "Woi! Gue nggak mau mati dulu! Gue belum nembak cewek i-" Alvin segera membungkam mulutnya.
Iqbal spontan mengangkat sebelah alisnya. Laju motor dilambankan. "Cewek siapa?"
"Ya cewek yang gue cari lah." Dengan jawaban seperti itu, Alvin berharap agar Iqbal tidak bertanya lebih lanjut.
Benar saja, tidak ada respon apa-apa lagi dari Iqbal selain tatapannya yang lekat menatap jalanan.
***
Cuci piring, memasak, mandi, semuanya sudah beres. Sore hari, saatnya berdiam diri sejenak sambil membaca buku, sebelum salat lepas senja. Ima sudah tak sabar untuk melanjutkan membaca buku itu. Sudah jadi kebiasaan, ia tidak bisa membaca sebuah buku setengah-setengah-mesti tamat. Tak peduli dengan apapun genrenya.
Menyisakan makanan itu mubazir. Bagi Ima, kutipan itu juga berlaku juga dalam hal membaca buku.
"Buku apa itu, Kak?" tanya adik Ima yang mengintip dari pintu kamar.
"Buku tentang mitologi, Dek."
Adiknya menyelonong ke kamar Ima. "Kok, gambar di sampulnya serem, ya?"
Ima menatap adiknya sejenak. "Apanya yang serem? Biasa aja, ah."
Adiknya masih mendongak, berusaha melihat sisa sampul yang tak tertutup di sela jari Ima. "Makhluk-makhluk apa itu? Adek belum pernah lihat."
"Kakak juga belum. Ini lagi kakak baca tentang mereka semua. Udah, sana belajar," ujar Ima sambil mengibaskan tangannya.
Adiknya sangat penurut, langsung keluar dari kamar kakaknya.
Waktu terasa begitu cepat saat kita menikmatinya. Ima mendengkus sebal, terpaksa menyimpan dulu bukunya. Ia tidak boleh melalaikan waktu salat hanya karena baca buku.
Setelah salat, ia langsung pergi ke pondok. Seperti biasa, ia berangkat dengan berjalan kaki. Tidak mau membawa sepeda ibunya, takut bocor karena jalanan menuju pondok belum dilapisi aspal, masih berupa taburan kerikil. Kalau sampai sepedanya bocor, ibunya mau pergi bekerja dengan apa?
"Tuh 'kan? Apa aku bilang!"
"Hawanya, sih, terasa. Tapi aku enggak yakin."
Dua teman yang biasa duduk berdekatan dengan Ima masih saja membahas hal tak penting itu. Ima segera mengambil posisi duduknya.
"Eh, Ma. Kamu ngerasain sesuatu, nggak?" Baru saja pantat Ima menempel dengan tikar, teman-temannya sudah bertanya ini itu.
Ima menggeleng. Ia lebih memilih mengikuti jalur pengetahuan dari pada percaya dengan kabar dari mulut ke mulut yang selalu bisa berubah di setiap mata rantainya.
"Masa, sih, Ma? Hampir semua santri merasakan aura yang tak biasa akhir-akhir ini. Sejak setelah libur panjang kemarin."
"Apa setannya emang baru balik dari kampung, ya?" Teman yang satu lagi berlagak menjulingi langit-langit.
Ima terbahak. "Kalian bicara apa, sih? Kok, aku enggak paham, ya?" Ia menutup mulutnya agar tertawanya tak lepas landas.
"Kamu, sih, kudet. Nggak gabung sama ki-"
Kedatangan Ustad membuat balai menjadi hening seketika, menyisakan suara ustad yang memulai membaca kitab.
***
"Kamu berani pulang sendiri, Ma?" Teman yang duduk di samping Ima tadi sedang menjongkok, berusaha meraih sandalnya di bawah balai. Sengaja diletakkan di situ, takut ada santri jahil yang suka mencomot sandal sembarangan.
"Berani, dong, Rani." Ima sudah selesai memakai sandalnya, lantas melangkah pergi. "Aku duluan, ya!" ucapnya sambil melambai.
Rani membalas lambaian. "Oke, hati-hati!"
Ima tersenyum dan mengangguk, lalu kembali menatap jalan setapak di sela balai-balai pondok.
Bertahun-tahun sudah ia menikmati perjalanan malam seperti ini, tapi cerita tentang hantu gelap yang sering ia dengar belum ada satu pun yang terbukti. Tidak ada yang lebih mengerikan dari pada pohon pisang yang bergoyang saat diterpa angin. Mungkin hanya binatang buas yang sedikit ia waspadai. Namun lagi-lagi, faktor 'terbiasa' membuat hal itu tak menjadi masalah baginya. Ia malah menikmati pemandangan sekelilingnya. Siluet pohon dan rumah-rumah bernuansa sunyi, menjadi pesona tersendiri untuk matanya.
Kaki yang terbiasa melangkah di jalan itu bertahun-tahun, tak pernah tersandung bebatuan atau cekungan meski matanya tak monoton menatap jalan setapak. Matanya begitu sering mengarah ke mana-mana, sampai sosok berwarna putih muncul sekilas di dalam gelap-di balik pohon-pohon.
Ia sontak mengerjap, lalu mengusap mata. Apa itu? Mata Ima tak sempat menangkap dengan jelas. Penampakan putih itu hanya melintas sekejap saja.
Bersambung ....
Terima kasih buat yang sudah baca. Jika kamu suka, berikan votenya ya. Jika ingin memberi kritik/saran, silakan komen. Jika dirasa cerita ini bagus, share ke teman dan saudaramu, hitung-hitung hiburan biar betah "di rumah aja". Eaaa
Jangan lupa tambahkan ke privat library dan reading list.
Bye.... See you ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top