Tujuh
Awalnya saat Jihyun dan Taehyung masuk area dapur, mereka tak menyadari tatapan menusuk dari staf lain yang mereka lalui. Tetapi kemudian Taehyung sadar, mereka tengah membicarakannya dan Jihyun.
"Kenapa menatapku seperti itu? Ada masalah?" semburnya pada seorang staf laki-laki yang memang tidak pernah ramah padanya sejak awal Taehyung bekerja di kafe itu.
Pemuda itu hanya menggeleng pelan dengan tatapan mencemooh, "Benar-benar tak tahu diri."
Setelah itu dia mengeloyor pergi dan membiarkan Taehyung menatapnya penuh tanda tanya.
"Sepertinya Miyoung sudah mulai beraksi," tukas Jihyun lemas.
Belum selasai satu masalah, muncul lagi Sooyeon dan beserta seorang staf lain yang tampaknya berpihak padanya.
"Di sini kau rupanya," kata Sooyeon menatap Jihyun intens, "Kau itu benar-benar tahu malu, ya? Ah, atau tepatnya kalian berdua tak tahu malu."
Staf perempuan lain mengangguk membenarkan ucapan Sooyeon, "Mereka berdua sama-sama masuk ke mari melalui jalur belakang. Dan sekarang berani-beraninya mereka berbuat mesum selama menajer Min pergi. Sungguh memalukan!"
"Berbuat mesum? Apa maksud kalian?" tanya Taehyung tak terima.
"Tak kusangka, dibalik wajahmu yang tanpa dosa dan sifatmu yang pendiam itu, ternyata kau suka merayu laki-laki," kata gadis itu pada Jihyun, lalu kemudian pandangannya terarah pada Taehyung, "Dan aku benar-benar heran, bagaimana bisa kau tertarik pada gadis menjijikkan seperti ini."
Jihyun menahan tangan Taehyung yang hendak maju mungkin untuk menampar mulut gadis itu. Taehyung lalu mencoba tersenyum sekilas mengembalikan mood-nya yang anjlok karena ucapan gadis itu. Dia sadar, dia pegawai baru yang sudah mendapat satu kali teguran saat terlambat tadi. Dia tidak ingin posisinya semakin kacau karena membuat keributan siang ini.
"Aku benar-benar tak mengerti apa yang kalian maksud dengan 'berbuat mesum'," kata Taehyung mencoba tenang, "Tapi, kalau yang kalian maksud adalah 'perbuatan mesum' yang mungkin dilihat Miyoung, kalian salah paham. Aku hanya membantunya yang hampir jatuh di rooftop."
"Mana mungkin mereka mengaku," sela Sooyeon cepat berusaha mengompori gadis itu, membuat gadis itu mengangguk yakin.
"Terserah kau sajalah." Taehyung berdecak keras kemudian menyeret Jihyun pergi dari sana.
"Sooyeon eonnie, kita harus melaporkan ini pada manajer Min," kata gadis itu setelah kepergian Jihyun dan Taehyung. "Sayang sekali pemuda setampan dia ternyata buta. Tak bisa membedakan mana gadis cantik dan mana yang menjijikkan."
Sooyeon mengangguk pura-pura prihatin. "Kau benar. Mungkin Jihyun memberikan guna-guna padanya. Jika tidak, mana mungkin Taehyung mau membelanya seperti tadi. Kau saja jauh lebih baik darinya."
Gadis itu tersipu mendengar bualan Sooyeon, kemudia berujar, "Ayo kita laporkan saja."
"Jangan!" cegah Sooyeon cepat. "Urusan manajer Min sudah terlalu banyak, lebih baik jangan membuat beliau semakin pusing hanya karena urusan seperti ini."
"Lalu kita harus bagaimana?"
Sooyeon menyeringai penuh kemenangan, mulai melancarkan rencana sesuai instruksi Miyoung, "Kita buat saja mereka tidak betah bekerja di sini. Bukankah itu jauh lebih mudah?"
Gadis itu ikut menyeringai licik dan mengangguk.
***
Udara musim dingin membuat Jihyun menggigil. Kepulan uap putih keluar dari mulutnya setiap kali dia mengembuskan napas. Dia melirik jam tangan warna perak yang melingkar di tangan kirinya. Sudah hampir tengah malam, pasti ibunya khawatir.
Siang tadi, Jihyun akhirnya bercerita tentang masalahnya pada Gaeun dan gadis itu mengatakan akan memberikan video perundungan Miyoung ke manajer Min. Namun, Jihyun menahannya karena bukan hanya dia yang mendapat masalah, tapi Taehyung juga. Dan pemuda itu tak ingin memperpanjang masalah karena dia sudah pernah mendapat peringatan satu kali. Gaeun akhirnya mengatakan akan melihat situasi dan kondisi dulu dan meminta mereka berdua untuk tetap waspada.
Tak tahan melihat Jihyun lebih muram dari biasanya, gadis itu memaksanya ke noraebang (tempat karaoke). Memang karena Gaeun dia pulang lebih larut dari biasanya, tapi baru kali ini dia pergi dengan teman perempuan. Selama ini dia selalu ke mana-mana sendiri. Ternyata menyenangkan juga punya teman perempuan. Seharusnya dia membuka diri pada Gaeun dari awal.
Sambil bersenandung pelan dengan suaranya yang mulai serak karena terlalu banyak menyanyi, Jihyun menyusuri jalan kecil yang agak menanjak menuju gedung tua tempat tinggalnya. Jalan kecil itu sepi dan hanya diterangi lampu jalan yang remang-remang.
Tiba-tiba saja, telinganya menangkap sesuatu. Suara langkah kaki di belakangnya. Jihyun terkesiap dan menelan ludah. Dia berusaha menenangkan diri dan berjalan semakin cepat.
Jihyun berusaha melirik ke balik bahunya. Jihyun hanya menangkap sosok seseorang yang berjalan tidak jauh di belakangnya. Bulu kuduknya meremang. Rasa panik mulai menyerang membuatnya berpikir yang aneh-aneh. Langkahnya semakin cepat dan napasnya mulai memburu.
Langkah kaki orang di belakangnya terdengar semakin mendekat.
"Jangan-jangan orang suruhan Miyoung," pikir Jihyun, "Atau stalker? Atau pemerkosa?" batin Jihyun semakin panik.
Gedung tempat tinggalnya sudah terlihat semakin dekat. Jihyun tanpa sadar menghela napas penuh kelegaan. Dia nyaris berlari, tapi kedua kaki itu mengkhianatinya.
Tiba-tiba terdengar suara gumaman rendah seorang laki-laki di belakangnya dan Jihyun merasa orang itu mendekatinya. Kepanikannya mencapai ubun-ubun. Dia berputar dengan cepat sambil mengayunkan tas selempangnya ke arah orang itu dan menjerit keras.
Tas selempangnya mengenai sisi tubuh orang itu berkali-kali hingga orang itu berteriak kesakitan.
"Hei! Hentikan, Nona! Hentikan!"
Jihyun tak menghiraukan teriakan orang itu, malah semakin keras memukulinya, "Rasakan ini! Rasakan ini!"
Mungkin karena mendengar teriakan keras dari Jihyun, dan pekikan kesakitan dari seorang pemuda, Kakek Kim dan Nenek Sung tergopoh-gopoh keluar.
"Jihyun, ada apa ini?" tanya Kakek Kim menghampirinya.
"Orang ini menguntitku, Kek! Kita laporkan saja ke polisi!" Jihyun terengah-engah karena lelah memukuli pemuda itu. Namun, sesaat kemudian dia tersentak ketika memperhatikan orang itu dengan seksama.
"Menguntit katamu? Aigoo...." Pemuda itu mengeleng tak percaya. "Aku tadi mau memanggilmu, Jihyun-ssi. Malah kau memukuliku seperti ini."
Jihyun terkesiap dan memandang wajah pemuda itu ngeri. Wajah pemuda itu tampak memar di beberapa bagian. Secara reflek Jihyun membungkuk, "Maafkan aku, Taehyung-ssi."
Nenek Sung memandang pemuda itu lekat-lekat, "Eommo! Kau penghuni baru itu, kan? Jadi, kalian sudah berkenalan?"
"Ah, kau benar. Ini penghuni unit 06, Taehyung-ssi." Kini Kakek Kim ikut mengomentari. Rasanya Jihyun ingin ditelan bumi saja.
"Kau dengar itu, Nona. Aku juga penghuni gedung ini. Bukan penguntit seperti katamu."
"Itu ..."
"Sudahlah, kalian lanjutkan saja ributnya di dalam. Jangan mengganggu lingkungan sekitar." Kakek Kim dan Nenek Sung kembali ke unitnya setelah Jihyun dan Taehyung membungkuk hormat.
"Jadi kau penghuni sebelah? Apa kau yang memberikan kue di depan pintu?"
Jihyun mengangguk. "Nenek Sung bilang ada penghuni baru, tapi setelah beberapa kali aku menekan bel untuk mengantar makanan, tak ada tanda-tanda kehidupan. Jadi, aku letakkan depan pintu saja."
"Terima kasih kuenya. Aku ketiduran karena bermain game terlalu larut," sahut Taehyung sembari mengusap wajahnya yang bengkak tanpa sadar.
Mereka berdua beriringan naik ke unit masing-masing. Sampai di depan pintu unit, Jihyun berbalik menghadap Taehyung, "Tunggu sebentar."
Gadis itu segera masuk ke unitnya, lalu kembali beberapa saat kemudian seraya membawa kotak obat dan handuk kecil berisi es batu.
Taehyung segera menolaknya, "Tak perlu. Besok pasti sudah sembuh."
Giliran Jihyun yang menggeleng keras, "Kau tahu, jika aku merasa bersalah, pasti semalaman aku tidak akan bisa tidur."
Taehyung hanya mengernyit lalu membuka pintu unitnya, "Masuklah."
Mata Jihyun membulat sempurna ketika lampu ruang tengah dinyalakan. Ruangan itu persis seperti kapal pecah dengan sampah berserakan di mana-mana.
"Aku belum sempat membereskan ruangan," kata Taehyung membuat Jihyun tersenyum kikuk karena Taehyung membaca pikirannya.
Taehyung mempersilakan Jihyun duduk di sofa butut berwarna biru tua, sementara dia sendiri duduk bersila di sampingnya.
"Nah, tunggu apa lagi, Nona Jihyun?"
"Ah, baiklah," jawab Jihyun seraya memberikan handuk berisi es kepada Taehyung. Dia sendiri membubuhkan antiseptic ke kapas lalu menempelkan di bagian memar yang lainnya.
"Kau sudah lama bekerja di sana?" tanya Taehyung memulai percakapan. Jujur dia tidak suka keheningan.
"Empat bulan."
"Aku masih penasaran dengan matamu." Ucapan Taehyung membuat Jihyun menghentikan kegiatannya, "Itu asli, atau kau memakai lensa kontak? Aku akan sangat malu pada Miyoung jika ternyata itu lensa kontak."
Jihyun paham yang dimaksud Taehyung adalah matanya, "Asli."
"Daebak! Kau orang kedua yang dengan gen heterochromia iridium yang aku temui secara langsung. Bukankah itu sangat langka di sini?"
Jihyun terdiam. Dia pikir Taehyung baru saja mencari tahu ketika ribut dengan Miyoung tadi. Ternyata pemuda itu sudah tahu sebelumnya. Dulu, jarang sekali ada orang yang tahu tentang heterochromia iridium.
Biasanya orang akan menganggapnya aneh. Bahkan ketika dia masih kecil, orang tua teman-teman sekelasnya ada yang menganggap mata Jihyun adalah kutukan yang bisa membawa kesialan bagi sekitarnya. Sejak saat itulah, Jihyun mulai dijauhi.
Tiba-tiba saja Jihyun menyadari sesuatu dan bayangan pria yang dia anggap sebagai ayahnya muncul di benaknya.
"Lalu yang pertama?" Jihyun mulai mengorek keterangan lebih lanjut. Mungkin saja keterangan itu bisa membawanya pada Andrew Wood.
"Seorang pria rekan kerja ayahku. Aku sendiri lupa bertemu di mana."
"Kalau boleh tahu, apa pekerjaan ayahmu?"
Kini giliran Taehyung yang terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Pedagang."
Jihyun mengangguk maklum. Sepertinya rekan kerja ayah Taehyung bukan Andrew Wood. Seperti yang dia baca di buku harian ibu, Andrew Wood adalah ekspatriat yang bekerja di bidang property.
"Kau tak menganggapku aneh?"
Taehyung menggeleng, "Mata itu maksudmu?" tanyanya yang dijawab Jihyun dengan dengusan pelan, "Itu gen langka, kau tahu. Aku saja baru tahu ada orang Korea dengan gen seperti itu. Setahuku mata dengan gen spesial itu bisa terjadi kerena keturunan, dan kebanyakan dimiliki orang-orang Eropa."
"Mungkin ayahku orang Eropa."
Taehyung menyipitkan matanya keheranan, "Mungkin?"
"Aku tak tahu siapa ayahku."
Taehyung mengangguk maklum, "Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu."
"Tak apa, aku sudah terbiasa mengalaminya," kata Jihyun seraya tersenyum miris, "Mata yang menurutmu spesial ini, malah membuatku sengsara."
"Aku benci pemberi gen mata siluman ini," lanjut Jihyun pelan yang kemudian disadari Taehyung bahwa gadis ini merasakan hal yang sama dengannya.
Mencoba mengalihkan topik, Taehyung kembali bertanya, "Kau tinggal sendiri?"
Jihyun menggeleng. "Dengan ibuku. Kue yang kau makan itu buatannya."
"Benarkah? Itu enak sekali," puji Taehyung tulus.
"Kau tidak ketus seperti yang Eunsang katakan," komentar Jihyun kemudian, membuat Taehyung mengangkat alis penuh tanya. Tanpa diminta, Jihyun menjelaskan, "Gadis yang tinggal di seberang Kakek Kim."
"Ah, gadis yang melihatku seperti ingin menelanku bulat-bulat itu?" tanyanya retoris, "Saat itu aku masih lelah dan suasana hatiku sedang buruk. Dia terus bertanya dan itu membuatku pusing."
Jihyun hanya mengangguk dan menempelkan plester di beberapa bagian wajah Taehyung yang kulitnya terkelupas. Keheningan tercipta di antara mereka berdua. Jihyun sendiri sibuk membersihkan luka lain Taehyung, sementara pemuda itu menatapnya lekat-lekat.
Taehyung kembali membuka suara karena Jihyun tak kunjung membuka obrolan, "Kau tahu? Dengan kekuatan pukulan seperti ini, seharusnya kau tak perlu takut pada Miyoung."
Jihyun menghentikan kegiatannya seolah meminta penjelasan. Taehyung tersenyum simpul melihatnya, "Jika mereka merundungmu, balas saja. Balas pukul, balas jambak, balas tendang dan teriak dengan keras."
"Kau pikir semudah itu?" tanya Jihyun retoris.
"Apa keberanianmu tiba-tiba menghilang saat mereka datang?" Pertanyaan Taehyung membuat Jihyun mengerjap beberapa kali seolah membenarkan pikirannya. "Ternyata seperti itu."
"Mereka selalu datang bersamaan. Dan... entahlah, mungkin karena aku sudah mengalami dari kecil, jadi... ya begitulah." Jihyun segera mencari topik lain karena tak nyaman dengan hal itu. "Kau sendiri aman? Apa Sangwoo menganggumu lagi?"
"Aku tak terlalu ambil pusing dengan gangguan verbal seperti tadi. Lagi pula, Jungkook membantuku."
Jihyun mengagguk sekilas.
"Benar juga kata Jungkook, kau akan ketus pada orang yang belum lama kau kenal," lanjut Taehyung membuat Jihyun mendengus keras, "Tapi, sepertinya aku pengecualian. Kita baru bertemu dan kau menawariku makan serta merawatku seperti ini."
"Itu karena kau merasa bersalah, bukan?" sahut Taehyung cepat begitu melihat Jihyun membuka mulutnya.
"Kau terlalu banyak bicara."
"Yeah, this is me!" seru Taehyung dengan bahasa Inggris yang baik. Tidak tampak logat Busan padanya
"Pikiranmu akan lebih terbuka jika bertemu dengan banyak orang. Dengan menyendiri, kau tidak akan tahu dunia luar. Bukankah dunia itu luas?"
Alis Jihyun bertaut membuat Taehyung kembali menjelaskan. "Kau terlalu berprasangka buruk pada orang sekitar. Belum tentu orang itu berniat jahat padamu. Kau terlalu membatasi diri padah--"
"Kau terlalu banyak bicara dan sok tahu." Jihyun sebal pada ucapan Taehyung yang tampak menghakimi itu. "Kita bahkan belum saling mengenal selama itu."
Gadis itu segera berdiri dan membawa kotak obat yang dia bawa tadi.
"Jangan sampai besok kau terlambat lagi."
Taehyung menatap punggung Jihyun yang beranjak menuju pintu unitnya, lalu keluar.
"Jadi, dia juga membenci ayahnya?" gumam Taehyung.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top