Enam Belas

Jihyun membuka matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar yang sangat asing baginya. Menganggap masih mimpi, dia kembali memejamkan mata dan mengganti posisinya miring ke kanan. Entah kenapa matanya begitu berat. Dia masih ingin terlelap di ranjang yang hangat ini.

Tunggu! Dia tidur di ranjang?

Jihyun membuka mata lebar. Sekarang dia berbaring di ranjang, lengkap dengan bedcover abu-abu yang tadi menyelimutinya.

Gadis itu memandang sekitarnya. Sebuah ruangan yang didominasi warna abu-abu, hitam, dan biru tua. Begitu juga dengan segala perabot minimalis dan gitar klasik yang ada di ruangan itu. Siapapun pasti tahu ruangan ini milik laki-laki.

Manik mata Jihyun beralih pada pigura kecil yang tergeletak di atas meja, memperlihatkan Taehyung bersama dengan seorang pria setengah baya, dan dua orang pemuda yang tampak lebih tua darinya.

Jihyun sepenuhnya sadar itu kamar Taehyung. Segera saja dia bangun dari kasur, tapi, dia merasa janggal ketika bedcover abu-abu di sebelahnya tampak bergerak-gerak tak berarturan.

Betapa kagetnya Jihyun ketika dia menyibak bedcover itu. Taehyung mendekur halus di sisinya.

"Berarti tadi malam aku tidur dengannya?" Jihyun merasa ngeri dengan apa yang dia pikirkan. Segera saja dia cek pakaiannya. Masih lengkap kecuali blazer yang Taehyung belikan untukknya. Tanpa sadar dia mendesah napas lega.

"Liar sekali pikiranku. Dalam keadaan mabuk sekali pun, mana mungkin dia tertarik padaku?" tukasnya dalam hati.

Jihyun segera turun dari ranjang perlahan, takut Taehyung bangun karenanya. Dia belum siap menghadapi Taehyung dalam keadaan seperti ini. Sayangnya harapan itu sia-sia, Taehyung menyadari kepergiannya dari ranjang.

"Kau sudah bangun?" tanyanya seraya mengucek mata pelan.

Jihyun hanya mengangguk, belum berani menatap langsung mata Taehyung. Jihyun berharap semoga tadi malam dia tak mengatakan yang macam-macam atau hal-hal yang memalukan.

Taehyung segera menghampiri Jihyun yang tampak salah tingkah di hadapannya, Taehyung segera menyadari hal itu dan meminta maaf.

"Maaf, tadi malam sebenarnya aku ingin mengantarkanmu pulang, tapi aku tak menemukan kunci, dan tak ada sahutan dari dalam unitmu. Padahal aku sudah memencet bel berkali-kali."

"Benarkah?" tanya Jihyun tampak panik. Tiba-tiba saja gadis itu melesat keluar tanpa memperhatikan Taehyung.

Taehyung yang tampak heran, menyusulnya kemudian.

Tepat di saat yang kurang tepat, Hoseok keluar dari unitnya untuk membuang sampah ke bawah. Tanpa bertanya pun, dia sadar Taehyung dan Jihyun yang masih berantakan, keluar dari unit 06 bersama.

Hoseok menaikturunkan alisnya, menggoda Taehyung. Namun, pemuda itu segera saja menggeleng keras, seolah meyakinkan tidak terjadi hal-hal seperti yang dipikirkan Hoseok.

Jihyun sekilas melihat tulisan Taehyung yang ada di lantai, tapi sekarang ada yang lebih penting dari sekedar membaca pesan Taehyung. Jihyun harus tahu keadaan ibunya di dalam.

Diambilnya kunci yang dia simpan di saku jinsnya. Dengan terbur-buru dia mencari ibunya di kamar. Wanita setengah baya itu tak ada di sana.

"Eomma..., Eomma ...," panggil gadis itu.

Mendengar Jihyun tampak kesulitan mencari ibunya, Taehyung yang semula hendak menjelaskan sesuatu pada Hoseok, akhirnya memilih menyusul ke dalam untuk membantu. Toh, beberapa kali pemuda itu diundang makan di sana. Dia jadi merasa sedikit terbiasa.

Betapa kagetnya Taehyung ketika pintu kamar mandi tak bisa dibuka.

"Jihyun, aku takut ibumu terkunci di dalam. Bagaimana kalau kita dobrak saja?" tanyanya yang dijawab Jihyun dengan anggukan keras.

Pintu kamar mandi terbuka lebar setelah untuk ke empat kalinya Taehyung mendobrak pintu itu. Benar dugaan Taehyung, ibu Jihyun tergeletak di lantai dengan dahi berdarah.

"Ya Tuhan." Jihyun menangis dan memeluk ibunya erat, "Eomma, maafkan aku lalai menjagamu."

"Simpan tangisanmu! Lebih baik kita bawa ibumu ke rumah sakit sekarang!" seru Taehyung segera menggantikan Jihyun membopong ibunya keluar kamar mandi.

"Selimuti ibumu dan bawa barang seperlunya! Aku cari taksi dulu!"

Taehyung segera turun mencari taksi dibantu Hoseok yang dia temui di bawah. Sementara Jihyun menyelimuti ibunya dan menyiapkan hal-hal yang diperlukan. Termasuk buku tabungannya.

Jihyun semula ragu mengambil buku tabungan itu dari lemari pakaiannya, tapi saat ini keselamatan ibu jauh lebih penting dari segalanya.

Taehyung kembali dan segera membopong ibu Jihyun turun menuju taksi yang telah dipesannya. Hoseok yang saat itu sedang di luar, ikut membantu Jihyun meletakkan bawaannya.

"Gomahaera, Hoseok-ssi. Maaf kami harus buru-buru," kata Jihyun dari balik kaca taksi.

Hoseok mengangguk prihatin, "Semoga ibumu segera sembuh."

Taksi segera melesat menuju rumah sakit terdekat. Di sana ibu Jihyun segera di bawa ke unit gawat darurat. Jihyun dan Taehyung menunggu di luar ruangan dengan cemas.

"Aku akan mengabari manajer Min dulu."

Jihyun mengangguk setuju dengan usulan Taehyung. Pemuda itu agak menjauh dan menghubungi manajer Min. Namun, Jihyun sedikit merasa aneh dengan kalimat yang diucapkan pemuda itu pada manajer Min. Pemuda itu sepertinya juga izin tidak masuk kerja.

"Kau juga izin tidak masuk hari ini?" tanya Jihyun ketika Taehyung kembali, "Kenapa? Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa pekerjaan ini penting bagimu?"

Taehyung tersenyum menenangkan, "Menurutku menolong tetangga jauh lebih penting. Lagi pula manajer Min mengerti, dan mengizinkan kita tidak masuk hari ini."

"Mungkin ucapan terima kasih tak cukup membalas kebaikanmu. Tapi sekali lagi terima kasih untuk semuanya, Taehyung-ssi."

Taehyung mengangguk mengiakan seraya menepuk bahu Jihyun untuk menenangkannya.

Tepat sebelum Taehyung membalas ancaman Jihyun, pintu ganda ruang gawat darurat terbuka. Seorang dokter keluar dari sana dengan wajah yang tampak lega. Tetapi, sesaat kemudian wajah lega itu pudar digantikan orang wajah bingung ketika melihat kedua orang di depannya dalam keadaan yang kacau.

"Dokter, bagaimana keadaan ibuku?" tanya Jihyun kemudian.

Dokter itu tersenyum menenangkan, "Ibumu baik-baik saja. Tidak ada cedera yang serius. Dia hanya sedikit terkejut sehingga belum siuman sampai sekarang."

"Hanya saja, seperti yang kita ketahui sebelumnya, ibumu menderita asma. Terbaring tak sadarkan diri di dinginnya lantai kamar mandi berjam-jam, membuat saluran pernapasannya sedikit tergangu. Beliau sebaiknya diopname beberapa hari supaya kita bisa melihat perkembangannya."

"Apa tidak bisa rawat jalan saja dokter?" tanya Jihyun cemas.

"Lakukan saja yang terbaik untuk ibunya dokter. Kami tahu dokter akan melakukan yang terbaik." Taehyung tersenyum ramah kepada dokter itu sebelum akhirnya sang dokter undur diri.

"Kau pikir tak butuh banyak biaya jika ibu dirawat beberapa hari di sini? Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Kau ini sering mencampuri urusanku seenaknya!" geram Jihyun seraya menatap Taehyung sebal. Napasnya naik-turun tak karuan, pertanda dia benar-benar marah pada pemuda itu.

Taehyung menarik bahu Jihyun sehingga gadis itu menghadapnya. "Bukankah kau mengatakan sangat menyayangi ibumu? Bukankah ibumu adalah satu-satunya keluarga yang kau miliki? Kenapa kau begitu perhitungan pada orang yang kau sayangi?"

Taehyung langsung melanjutkan begitu melihat Jihyun akan membantah ucapannya. "Jika ibumu dirawat di rumah, lalu siapa yang akan menungguinya saat kau kerja? Siapa yang akan menyiapkan segala keperluannya? Apa kau akan terus-menerus izin kerja? Tidak mungkin, kan?"

Jihyun terdiam mendengar pertanyaan Taehyung yang bertubi-tubi itu. Taehyung benar, dia tak mungkin izin kerja terus-menerus. Jika dia terlalu banyak izin, pasti manajer Min akan kecewa padanya. Dan bukan hanya itu, pasti gajinya juga dipotong. Padahal itu satu-satunya mata pencahariannya.

"Lalu aku harus bagaimana? Aku harus bagaimana, Taehyung-ssi." Tanpa sadar air mata Jihyun mulai menggenang. Tapi dia berusaha sebaik mungkin agar air mata tersebut tidak mengalir di pipinya.

"Gajian masih dua hari lagi." Taehyung masih tampak berpikir, dia tidak mungkin secara terang-terangan membantu Jihyun, pasti gadis itu akan menolaknya, "Kau punya simpanan? Mungkin sementara kau bisa menggunakannya."

Jihyun mengangguk, "Tapi, mungkin tak cukup untuk perawatan dan obat ibu selama beberapa hari."

"Aku tahu kau pasti akan menolak jika aku yang menawari pinjaman. Jadi, bagaimana kalau kau meminjam pada Gaeun atau Jungkook?"

Jihyun kembali menggeleng, "Gaeun sedang banyak urusan, dia harus bolak-balik ke Seoul. Sementara itu, aku dan Jungkook sebenarnya tak sedekat yang kau kira."

"Bagaimana kalau kau pinjam manajer Min? Atau meminta gajimu dibayarkan lebih awal? Kupikir manajer Min tak akan keberatan."

"Tapi, aku sudah terlalu banyak merepotkan beliau."

"Hei, kau bukannya berhutang tanpa bayar, kan? Kau hanya meminta hakmu lebih awal. Sudah coba saja. Pergilah, aku di sini akan menjaga ibumu."

Taehyung kemudian mendorong Jihyun menjauh. Meyakinkan bahwa yang gadis itu lakukan benar.

Awalnya Jihyun tampak enggan melakukan saran Taehyung. Namun, setelah memikirkan keadaan ibunya, dengan berat hati Jihyun ke kafe menemui manajer Min seperti yang disarankan Taehyung.

Setelah yakin Jihyun jauh dari jangkauannya, Taehyung tampak menelepon seseorang.

"Ah, yeoboseyo Min Bujang-nim. Maaf sepertinya harus merepotkanmu lagi. Keadaan ibu Jihyun memburuk dan harus dirawat beberapa hari. Bisakah aku meminta tolong agar gajiku dibayarkan sekarang?"

Taehyung tampak mendengarkan jawaban manajer Min dengan seksama sebelum menjawab lagi.

"Oh, tidak. Bukan untukku, itu untuk Jihyun. Aku ingin membantunya, tapi dia pasti menolak. Jadi berikan saja gajiku untuknya. Katakan sebagai uang bonus atau apalah. Jadi, saat gajian tiba dia masih bisa menerima gajinya utuh."

Taehyung memutuskan panggilan telepon setelah mengucapkan banyak terima kasih pada manajer Min. Dia tersenyum puas sekarang.

Entah kenapa kalinya ini dadanya begitu lega. Sepertinya menuruti permintaan Seokjin hyung untuk bekerja di kafe milik Min Yoongi, atau manajer Min adalah pilihan yang tepat. Ada banyak yang bisa dia lakukan dan pelajari di sini, tanpa terikat peraturan yang terlalu ketat, mengingat manajer Min orangnya terlampau santai.

Taehyung teringat segala yang Seokjin lakukan untuknya. Bagaimana Namjoon membelanya saat sang ayah memarahinya yang pulang terlambat, bahkan dia juga mengingat ayahnya.

Jujur hubungannya dengan sang ayah belum membaik sejak Taehyung memutuskan menjadi trainee, hingga kini. Namun, jika dipikirkan lagi, itu bukan sepenuhnya salah sang ayah. Taehyung lebih banyak bersalah di sini, tapi tetap saja, dia enggan meminta maaf terlebih dahulu, mengingat sebelumnya sang ayah sempat bersikap tidak adil padanya.

Melihat Jihyun begitu menyayangi ibunya, sebagai satu-satunya keluarga yang gadis itu miliki, Taehyung merasa sangat beruntung sekaligus merasa sangat tak tahu diri. Tiba-tiba saja dia takut, jika sesuatu terjadi pada sang ayah, padahal dia belum sempat meminta maaf.

Taehyung tahu kekhawatiran ayahnya karena dunia hiburan adalah dunia yang keras. Belum lagi ditambah netizen Korea yang terkenal kejam. Namun, saat itu Taehyung yang masih muda dan labil, sangat mencintai musik.

Dia ingin percaya yang dikatakan kakak-kakaknya bahwa sang ayah sebenarnya sangat menyayanginya, hanya saja ayah mereka kurang bisa mengekspresikan rasa kasih sayang tersebut.

Jika saja kau tak memaksa ibumu untuk menjemput, pasti dia masih ada di sini bersama kita.

Namun, ucapan sang ayah saat kematian ibunya dulu, selalu terngiang-ngiang di telinganya sehingga Taehyung memilih menanggap ayah membencinya. Setelah itu, memang sang ayah seperti menjaga jarak dengannya hingga Taehyung merasa ditinggalkan sang ayah.

"Haruskah aku meneleponnya sekarang?" gumamnya retoris. "Aku pikir, kami berdua sudah saatnya berdamai."

Dengan sedikit keraguan yang masih tersisa, pemuda itu menghubungi nomor yang selama ini paling dia hindari. Tak membutuhkan waktu lama hingga akhirnya panggilan itu tersambung.

"Ayah, ini aku."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top