Empat
Jihyun keluar dari unitnya tepat pukul sembilan. Lebih dari cukup untuk berjalan kaki menuju tempat kerjanya yang mulai dibuka pukul sepuluh. Biasanya manajer Min memberikan briefing singkat sebelum kafe di buka.
Masih penasaran dengan penghuni baru, Jihyun menempelkan lagi telinganya di daun pintu. Namun, lagi-lagi tak ada suara mencurigakan. Satu hal yang membuat Jihyun tersenyum simpul, piring berisi kue yang di letakkan di depan pintu, kini telah kosong.
“Ternyata dia lapar juga.”
Jihyun kembali melajutkan perjalanan ke tempat kerjanya dengan berjalan kaki. Sowoozoo Café cukup dekat dijangkau dari unitnya dengan berjalan kaki. Bertemakasihlah pada Nenek Sung yang telah berbaik hati pada keluarganya.
Jalanan menuju pantai Haeundae tampak lumayan ramai pagi itu. Jihyun sepertinya melupakan sesuatu. Tetapi saat mendengar seseorang asing yang melewatinya menyebutkan Polar Bear Swimming Competition, dia segera menepuk dahi lebarnya dan berlari secepat mungkin menuju kafe. Dan benar saja, pukul 09.30 manajer Min sudah menyelesaikan briefing-nya.
"Apa ponselmu tak bisa menunjukkan waktu?" tanya manajer Min retoris.
Jihyun segera membungkuk dan meminta maaf. Sekilas dia melihat Miyoung dan kawan-kawannya terkikik penuh kemenangan, tapi langsung terdiam saat manajer Min menatap mereka tajam.
Untung saja sebelum libur Jihyun sudah merapikan semuanya. Hanya saja dia belum menata kursi dan meja untuk teras depan kafe yang menghadap langsung ke pantai Haeundae.
Jihyun lupa kalau hari ini diadakan Polar Bear Swimming Competition, manajer Min meminta mereka datang lebih awal dari biasanya.
Sepertinya suasana hati manajer Min sedang baik. Beliau hanya mengomel sebentar lalu berpamitan, “Aku ingin melihat-lihat suasana Polar Bear Swimming Competition sebentar. Nanti aku akan kembali.”
Jihyun segera mengeluarkan menata kursi dan meja di teras atas dengan bantuan Jungkook dan Jimin. Sepertinya dua pemuda ini tak terpengaruh dengan ajakan Miyoung untuk menjauhi Jihyun seperti halnya Gaeun.
Sowoozoo Café sengaja dibangun lebih tinggi dari daratan sekitarnya, sehingga pemandangan pantai Haeundae tampak jelas dari sana. Selain itu, bagian depan kafe dikelilingi kaca, sehingga pengunjung yang ada di dalam kafe pun bisa menikmati indahnya pemandangan pantai Haeundae.
Sesekali gadis itu dan dua temannya memandang kerumunan orang di pantai Haeundae yang tampak tengah pemanasan dipandu oleh instruktur dengan iringan musik yang berdentum keras.
Sementara itu di atas kerumunan, balon udara berbentuk pesawat bertuliskan Polar Bear Swimming Competition dengan ikon beruang kutub tampak terbang ke sana ke mari membuat burung camar yang terbang di dekatnya menjauh.
Sebelumnya, mereka tampak mengikuti beberapa permainan seperti tarik tambang dan membangun istana pasir. Setelah pemanasan selesai, mereka akan berlari sejauh kurang lebih 10 meter lalu menceburkan diri ke dalam dinginnya air laut yang menusuk tulang. Di lanjutkan dengan berenang sejauh 80 meter kembali ke tepi pantai. Orang yang paling cepat, yang akan menjadi pemenang.
Bagi Jihyun, menceburkan diri di air laut saat musim dingin sama saja dengan bunuh diri. Memang musim dingin di Busan tidak sedingin di Seoul. Bahkan sangat sulit menemukan salju saat musim dingin di Busan. Tapi tetap saja, yang namanya berenang musim dingin itu bisa membuatnya mati beku.
“Gomahaera. Aku benar-benar lupa kalau hari ini ada Polar Bear Swimming Competition,” kata Jihyun seraya membersihkan meja kayu yang ada di hadapannya.
“Sudahlah, Noona. Sebaiknya kau segera membuang sampah yang menumpuk di dapur.” Jungkook berkata sambil membuka lipatan kursi kayu lipat berwarna putih.
Kali ini Jimin yang menanggapi, “Untung saja manajer Min belum masuk dapur. Cepat bersihkan sebelum dia memarahimu.”
“Sampah?” gumam Jihyun heran, “Seingatku semua sampah sudah aku buang sebelum libur.”
Dua laki-laki itu hanya mengangkat bahu. Jihyun segera menuju dapur dan melihat sampah menumpuk di sudut ruangan. Sepertinya dia tahu siapa dalang dibalik semua ini. Tapi, Jihyun tak ingin berburuk sangka sebelum mempunyai bukti.
Jihyun segera mengangkat tempat sampah yang berisi sampah rumahan itu. Jelas-jelas bukan berisi sampah dari limbah kafe. Saat tengah membawa sampah ke pintu belakang dapur, seseorang sengaja menyenggolnya sehingga sampah jatuh berserakan. Tanpa menengok pun, Jihyun tahu siapa mereka. Miyoung dan Yoonji ada di sana. Entah kenapa kali ini Sooyeon tidak ada bersama mereka.
“Ups! Maaf aku sengaja,” Miyoung berkata sambil terkikik geli.
“Kau ini malas sekali, ya. Sudah datang terlambat, kerjamu pun berantakan.” Kali ini Yoonji yang mencela.
Melihat Jihyun tak menanggapi dan meneruskan kegiatannya memunguti sampah, membuat dua gadis itu jengkel.
Miyoung merangkulnya menjauh dari jangkauan CCTV. Setelah merasa aman, dia sengaja menarik poni panjang yang menjuntai menutupi hampir sebagian dari pipi kiri Jihyun. Tampak luka sayatan memanjang di sana.
“Yebbuneye (cantiknya-dialek Busan) , Jihyun-ah,” sindir Miyoung dengan tatapan mencemooh, “Apa kau pikir luka di pipimu itu membuat semakin cantik? Pantas saja kau tak ingin operasi untuk memperbaikinya. Atau... kau tak melakukan operasi karena tak punya biaya? Kalau aku jadi kau, lebih baik bunuh diri saja jika hidup dengan wajah seperti itu."
Yoonji tertawa, "Betul. Lebih baik kau mati saja. Percuma kau mengumpulkan uang siang malam, tak akan cukup untuk membiayai operasimu. Wajahmu terlalu buruk. Dokter pun tak sanggup memperbaikinya."
Jihyun berusaha menepis tangan Miyoung, tapi Yoonji memeganginya dengan erat.
Jihyun akhirnya membuka suara karena mereka sangat keterlaluan. “Lepaskan aku, Miyoung! Atau aku akan ─”
“Kau akan apa? Melapor pada manajer Min?” tantang Yoonji retoris, karena tahu Jihyun tak akan berani melakukannya.
“Bukan Jihyun yang akan melapor, tapi aku.”
Suara seorang gadis mengagetkan mereka bertiga membuat Miyoung melepaskan Jihyun.
Gaeun muncul dari arah tempat pembuangan sampah seraya menggoyang-goyangkan ponsel pertanda gadis itu telah merekam semuanya. Dia yang awalnya mencari barangnya yang terbuang, tak sengaja malah melihat perisakan.
“Aku sudah menduganya selama ini. Pasti kalian yang membuat sebagian orang di sini menjauhi Jihyun karena takut bernasib sama. Saat itu aku belum punya bukti, tapi sekarang aku punya.”
Gaeun berhenti sebentar sebelum melanjutkan ucapannya, “Terus saja perlakukan Jihyun seperti itu. Maka aku tak hanya akan melaporkan kalian ke manajer Min, tapi langsung ke kantor polisi. Kalian tahu kan, hukuman bagi perisak seperti kalian?”
Miyoung mendekat hendak merebut ponsel dari Gaeun.
"TOLOOONG!!" Gaeun berteriak lantang untuk memancing perhatian sekitar.
“Beraninya kau!” seru Miyoung tak terima.
"Ayo maju! Aku akan berteriak lebih keras lagi." Gadis itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Dan Jihyun, ayo ikut teriak bersamaku. Kau tidak sendiri."
“Ayo kita pergi saja, Miyoung,” ajak Yoonji seraya menyeret Miyoung dari tempat itu.
Gaeun mendekati Jihyun yang tengah berdiri mematung, “Kau baik-baik saja?”
Jihyun mengangguk lalu tersenyum kecil ke arah Gaeun. Baru kali ini dia tersenyum kepada orang lain yang bekerja di kafe itu.
“Gomahaera, Gaeun,” kata Jihyun tulus, “Maaf, selama ini aku sering berkata kasar padamu. Aku hanya tidak ingin kau menjadi korban berikutnya.”
“Aku tidak akan kalah dari orang-orang picik seperti itu.” Gaeun tertawa penuh kemenangan, “Ayo aku bantu.”
Sekali lagi Jihyun tersenyum. Baru kali ini dia bekerja tanpa ada beban dan ancaman yang menghantuinya.
Sepertinya mulai saat ini dia harus lebih terbuka pada sekitarnya. Mulai dari Gaeun yang telah membantunya dengan tulus.
“Luka itu, bagaimana bisa terjadi?” tanya Gaeun seraya memunguti sampah.
“Kenapa? Kau ngeri melihatnya?” tanya Jihyun sedikit tersinggung. Bagi Jihyun yang belum terbiasa membuka diri dengan orang lai , pertanyaan Gaeun sedikit membuatnya jengkel.
“Apa maksudmu? Kau ini mulai lagi, aku hanya ingin dekat denganmu. Kalau kau tak ingin menjawab ya sudah.” Gaeun berdecak sebal, lalu kembali memunguti sampah.
Jihyun sedikit tersentak mendengar ucapan Gaeun. Memang dirinya yang terlalu sensitif, “Jatuh," jawabnya kemudian. "Tepatnya saat aku kecil, aku didorong sampai jatuh entah oleh siapa. Pipiku menabrak besi tempat parkir sepeda dan inilah hasilnya.”
“Ya Tuhan jahat sekali. Kenapa mereka tega melakukan itu padamu?”
“Menurutmu kenapa?” Jihyun malah balik bertanya, “Tanpa kujawab pun kau sudah tahu jawabannya.”
Gaeun menjawab dengan ragu, “Matamu yang berbeda dari kebanyakan orang?”
Jihyun mengangguk, “Aku benci mata ini. Mata yang membuatku berbeda dari kebanyakan orang dan mereka menuduhku pembawa kesialan."
Suara Jihyun sedikit meninggi saat melanjutkan ucapannya, “Kau tahu kan lingkungan kita terlalu homogen? Bukankah kita terlalu takut berbeda dengan orang lain? Takut dianggap aneh, takut dianggap abnormal, asing, siluman, dan sebutan lainnya."
"Dan kau tahu rasanya mengalami hal itu dari kecil?" tanya Jihyun retoris. "Mereka selalu menuduhku pembawa sial jika terjadi hal-hal buruk. Padahal aku tidak tahu apa-apa."
Gaeun tiba-tiba saja memeluk Ji-hyun dengan erat, “Sudah cukup tak perlu kau lanjutkan lagi. Mulai sekarang, bagilah ceritamu padaku. Biarkan aku jadi temanmu.”
Jihyun balas memeluk Gaeun, “Terima kasih, Gaeun. Terima kasih.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top