Dua Puluh Empat

Bantingan keras pada pintu, membuat Namjoon yang tengah melepas rindu dengan istrinya melalui video call, menoleh terkejut.

Adiknya datang dengan muka kusut masai, serupa pakaian yang tidak disetrika.

"Kau kenapa? Sebegitu melelahkan kah pekerjaanmu sekarang?" tanya Namjoon sembari mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel sesaat.

"Taehyung-ah, segera istirahat kalau kau lelah. Jangan mau menemani Joonie minum."

Suara kakak iparnya dari seberang sana, turut memenuhi ruangan.

Taehyung kemudian duduk di sebelah kakaknya dan menyapa Hyena. "Hai, Noona. Bagaimana kabarmu di sana? Apa si kecil di perutmu baik-baik saja?"

"Tentu saja." Senyum wanita itu terlihat di layar ponsel. "Apa kau suka cupcake-nya?"

Taehyung mengangguk antusias. "Mana mungkin aku tak menyukai makanan buatanmu? Tapi, lain kali kau tak perlu memaksakan diri, Noona. Maafkan aku karena terpaksa membuatmu masuk dapur padahal kau sedang mual-mual."

"Aku tak apa-apa. Lagipula aku bosan jika tak banyak melakukan kegiatan. Pulanglah sesekali jika kau rindu masakanku."

Taehyung kembali mengangguk dan Namjoon mengarahkan layar ponsel itu kembali ke arahnya.

"Sudah malam, tidurlah. Besok pagi aku langsung ke rumah sakit dari stasiun. Mungkin siang kita baru bisa bertemu," ujar Namjoon yang ditanggapi istrinya dengan anggukan. Mereka saling mengucapkan salam perpisahan sebelum akhirnya calon ayah satu anak itu mengakhiri panggilannya.

Taehyung menatap kakaknya heran. "Tega sekali kau, Hyung. Aku kira kau pulang terlebih dahulu. Memang kau tidak rindu pada istrimu?"

"Mau bagaimana lagi? Aku harus bertemu Profesor Hong untuk membahas penelitianku. Jadwal beliau sangat padat, belum lagi kalau tiba-tiba ada operasi darurat. Aku yang harus menyesuaikan diri dengannya."

Bungsu keluarga Kim itu kembali menggeleng heran. "Dari dulu, kau memang suka belajar ya, Hyung. Apa kau sempat merasa bosan dan ingin berhenti belajar?"

"Masih banyak hal yang belum aku pahami. Memang ada kalanya aku bosan, tapi bukan berarti aku berhenti. Aku hanya butuh istirahat sejenak dan memulainya lagi," tukas Namjoon terlihat santai. "Aku pikir, sebagian orang juga akan melakukan hal yang sama."

Taehyung berhenti sejenak sebelum sebelum akhirnya kembali bertanya, "Bagaimana jika akhirnya terlalu sulit untuk mulai lagi?"

"Aku paham maksudmu." Namjoon tersenyum mendengar ucapan adiknya. Sepertinya dia mengerti arah pembicaraan Taehyung. "Kau tak perlu memaksakan diri. Bukankah Ayah sendiri bilang, kau boleh kembali kapan saja jika tak betah di sini."

"Bukan itu. Aku betah di sini," tukas Taehyung tak terima. "Aku... hmm... Hyung, aku... ingin bermusik lagi, tapi di sisi lain aku juga sadar di usiaku ini, aku butuh pekerjaan yang lebih menghasilkan daripada sekadar bermusik. Hmm... kau tahu maksudku kan?"

Namjoon tak langsung menjawab. Pria itu mengamati adiknya intens, hingga akhirnya pemuda di hadapannya itu kembali bicara.

"Sungguh, Hyung. Aku ingin seperti kalian yang bisa selalu dibanggakan Ayah, tapi... kau tahu sendiri kan, aku tak seberbakat kalian."

"Hei, apa maksudmu? Mana mungkin kau mendapatkan piala saat kontes piano jika kau tidak berbakat?" Namjoon berusaha menumbuhkan rasa percaya diri adiknya lagi.

Taehyung mencebik kecil. "Itu sudah lama."

"Sebenarnya, aku ingin mendiskusikan sesuatu dengan kalian, tapi mungkin Ayah tidak akan menyukainya mengingat beliau ingin aku bertanggungjawab dengan pekerjaanku yang sekarang."

Namjoon tersenyum. "Katakanlah. Siapa tahu aku atau Jin hyung bisa membantu."

"Awalnya manajer kafe meminta aku dan dua temanku untuk mengisi acara kafe jika kami sedang tidak bertugas. Memang kami mendapat kompensasi yang lumayan, di luar gaji kami, tapi... sesuatu di luar dugaan terjadi."

Alis Namjoon bertaut, mendengar cerita Taehyung yang tampak berlebihan.

"Salah satu rekan kerjaku merekam setiap penampilan saat kami menyanyi dan mengunggahnya di media sosial. Dan ternyata, banyak yang menyukai penampilan kami." Hidung Taehyung tampak sedikit mengembang saat mengucapkan kalimat itu. Ada kebanggaan tersendiri saat mengungkapkannya pada sang kakak.

"Hei, selamat kalau begitu." Namjoon menepuk bahu adiknya bangga. "Lalu, apa masalahhya? Kenapa kau tampak bingung?"

"Hmm... jadi, sejak video kami tersebar di dunia maya, kafe semakin ramai dan tadi Jungkook, salah teman yang tampil bersamaku mengatakan bahwa ada yang menghubunginya dan meminta kami untuk yah... semacam casting."

Namjoon membulatkan matanya takjub. "Daebak! Jadi, apa kau akan mengambil kesempatan itu?"

Menghela napas lelah, Taehyung berujar, "Entahlah, Hyung. Aku... teringat masa lalu. Kau tahu kan, Hyung, bagaimana perjuanganku saat menjadi trainee dulu. Tapi, apa yang aku dapatkan? Rasanya semua sia-sia."

"Tidak ada yang sia-sia, Taehyung-ah." Namjoon menepuk bahu adiknya lembut. "Kau sudah berusaha semaksimal mungkin. Bukan salahmu jika kau batal debut karena perusahaan bangkrut."

Taehyung teringat bagaimana sang ayah memaksanya untuk mengundurkan diri saat keadaan keuangan perusahaan sedang tidak baik. Saat itu dia menyangkal semua informasi dari ayahnya yang memang paham bahwa gerak-gerik perusahaan mencurigakan.

Sampai akhirnya kasak-kusuk semakin ramai dibicarakan kalangan artis dan trainee Jin Hit Entertainment, tempat Taehyung bernaung.

Sekali lagi pemuda itu menelan pil pahit karena tidak bisa membanggakan ayahnya. Dengan penuh keengganan, dia menuruti permintaan sang ayah. Taehyung mengundurkan diri sebelum kebangkrutan Jin Hit Entertainment menyebar di kalangan publik.

"Hei? Kau baik-baik saja?" Namjoon kembali menepuk bahu adiknya yang tampak terdiam beberapa saat.

Dengan anggukan sekilas, sang adik merespons.

"Apa menurutmu aku tidak terlalu tua untuk menjalani ini semua?" Taehyung berdecak pelan. "Aku... sebenarnya sudah tidak terlalu ingin menjadi idol atau apapun itu. Aku hanya ingin bermusik sesuai keinginanku. Tapi, melihat binar bahagia di wajah Jimin dan Jungkook saat mendapat informasi tentang casting itu, aku... tidak ingin mengecewakan mereka. Mungkin kami akan mencobanya dulu, mengingat Manajer Min sudah memberikan izin."

Kakaknya tersenyum penuh arti. "Kau banyak berubah, Taehyung-ah. Siapa yang menyangka kau yang sekarang akan seperhatian ini pada temanmu?"

"Tentu saja, bahkan aku membelikan Jihyun lipbalm." Taehyung memutar bola matanya sebal, mendengar kalimat sang kakak. "Tapi, dasar memang gadis itu tidak tahu terima kasih. Dia malah melarangku berbuat baik padanya. Memangnya dia mau di-bully lagi seperti dulu?"

Tawa Namjoon terburai lantang mendengar ucapan adiknya. "Bagaimana mungkin kau bisa sebodoh ini? Haruskah aku jelaskan bahwa tetangga sebelah menjaga jarak agar tidak terjadi salah paham di antara kalian?"

"Apanya yang salah paham?" tanya Taehyung bingung. "Selama ini hubungan kami baik-baik saja, tapi tiba-tiba saja dia berkata seperti itu."

Namjoon menggeleng kecil. "Dia hanya tak ingin salah mengartikan kebaikanmu."

"Apa aku salah berusaha berbuat baik? Memangnya dia mau aku berbuat jahat padanya?" Dahi Taehyung berkerut belum paham dengan ucapan sang kakak.

"Dia tertarik padamu, Bodoh!"

"APA?!"

***

Halo, apa kabar? Lama banget saya nggak buka wattpad. Rasanya kayak keong banget buat nulis lagi.

Selamat membaca 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top