Delapan Belas
Sudah hampir dua puluh menit Taehyung menunggu seseorang yang berjanji akan menemuinya tepat pukul sebelas di salah satu kafe di Shinsegae Centum City. Mall yang merupakan salah satu mall terbesar di dunia dengan 14 lantai dan 3 basement.
Sayangnya, sampai sekarang, orang yang ditunggu Taehyung belum menampakkan batang hidungnya. Baru saja Taehyung hendak menghubungi orang itu, seseorang menepuk bahunya keras membuat Taehyung menoleh.
"Haengnim!" Taehyung langsung berdiri dan memeluk erat kakaknya itu.
"Belum ada dua bulan di sini, kau sudah benar-benar seperti orang Busan, Taehyung-ah," kata Seokjin yang kemudian duduk di hadapan Taehyung dan memanggil seorang pelayan kafe.
"Sepertinya kabarmu baik," kata Seokjin begitu melihat keadaan Taehyung, "Kukira kau akan merengek minta tambahan uang atau membuat keributan di tempat kerjamu."
"Aku tak seburuk itu. Lagi pula aku merasa tertantang dengan permintaan ayah, aku pasti bisa membuatnya mengakuiku kemampuanku."
"Lagi pula, aku belajar banyak hal di sini," lanjut Taehyung setelah terdiam sesaat, "Uang yang kupikir uang kecil, ternyata sangat berarti bagi banyak orang. Bagaimana mungkin aku meminta tambahan uang padamu? Selain ayah akan semakin tak memercayaiku, aku juga merasa malu pada diriku sendiri."
Seokjin terkekeh tak percaya, "Apa kau benar-benar adikku? Adikku tak mungkin memikirkan orang lain."
"Terserah kau sajalah." Taehyung mendelik jengkel
Tawa Seokjin semakin meledak melihat muka kusut adiknya, "Aku bercanda, Taehyung-ah. Bertahanlah sebentar lagi. Satu lagi, jangan pernah mengatakan ayah membencimu. Beliau menyayangi kita semua sama. Hanya saja, mungkin waktu itu ayah sempat sedih karena harus berpisah mendadak dengan ibu."
"Aku tahu. Aku sempat menghubunginya. "
"Kau yang menelepon lebih dulu? Serius?" tanya Seokjin tak percaya, karena yang dia tahu, adiknya ini masih perang dingin dengan sang ayah.
Taehyung kembali mengangguk. "Hyung tahu apa yang ayah katakan? Ayah mengatakan bahwa aku tak perlu memaksakan diri. Aku boleh kembali jika aku tak tahan bekerja di sini."
"Ayah hanya... kurang bisa mengekspresikan kasih sayang dengan baik." Seokjin menepuk pelan bahu adiknya. "Ayah memang salah karena waktu itu pernah menuduhmu sebagai penyebab meninggalnya ibu. Dan aku juga tahu, kau merasa sedih dan tertekan sejak ayah menjaga jarak. Namun, bukankah hubungan kalian membaik sejak kontes piano itu?"
Taehyung mengangguk pelan, merespons kalimat kakaknya.
"Aku, Namjoon, dan kau berbeda. Aku menyukai berdiskusi dengan orang lain, Namjoon suka belajar, dan kau mulai mencintai musik. Kita semua mungkin dulu bebas bercerita pada ibu, karena ayah menghabiskan waktu untuk bekerja. Sejak kepergian ibu yang tiba-tiba, ayah mungkin mengalami kesulitan memahami kita semua." Seokjin mengambil cangkir dan menyesap tehnya sebelum melanjutkan. "Memang awalnya ayah yang salah, tapi jika kau meminta maaf lebih dulu, apa itu berat bagimu? Aku pikir itu lebih melegakan dibanding menyimpan dendam."
"Aku tahu, hubungan kami memang belum sepenuhnya membaik. Apalagi sejak terakhir kali aku pulang mabuk dan membuat onar di bar hingga akhirnya aku berakhir di Busan. Mungkin aku akan meluangkan waktu pulang ke Seoul untuk mengunjunginya."
"Aigoo... aku kehilangan bayi harimauku. Sekarang dia sudah dewasa." Seokjin tergelak melihat perubahan wajah adiknya.
"Hyung, suaramu terdengar lantang sekali sampai ke luar."
Mereka berdua menoleh mendengar suara yang sangat familiar bagi mereka berdua.
"Namjoon hyung, kenapa tidak mengabariku kalau akan ke mari?" Taehyung langsung berdiri dan memeluk kakak keduanya.
Calon ayah muda menggeleng seraya tersenyum. "Kenapa? Kau pasti akan minta dibawakan cupcake buatan Hyena?"
Taehyung mengangguk cepat seraya tersenyum lebar. Sebesar apapun usahanya untuk tampak terlihat dewasa, dia akan tetap terlihat seperti anak kecil saat di hadapan kedua kakaknya.
"Jangankan membuat cupcake, masuk dapur saja dia mual." Namjoon mendesah lelah. "Aku sendiri berusaha membuat makanan, tapi malah berakhir dengan menghancurkan dapur."
Bukannya prihatin, Seokjin malah tertawa membuat Taehyung ikut tertawa juga. Dia teringat adiknya yang tidak bisa memasak itu, benar-benar meledakkan dapur seperti saat mereka masih kecil, hingga dimarahi ibu mereka.
"Tertawalah kalian berdua. Tunggu sampai kalian mengahadapi istri kalian hamil dan hormonnya berubah-ubah secepat cahaya." Namjoon yang jengkel, mengambil minuman Taehyung dan menghabiskannya.
"Sepertinya aku masih lama. Mungkin Seokjin hyung dulu yang merasakannya," tukas Taehyung setelah memanggil pelayan untuk memesan minuman lagi.
Seokjin mencebik kecil. "Kalian ini bicara apa? Aku belum ada niat untuk menikah."
Taehyung tampak terdiam sejenak, seolah-olah memikirkan sesuatu. "Hmm ... Hyung, Yoona noona menemuiku beberapa waktu yang lalu."
Genggaman Seokjin pada cangkirnya sedikit mengerat. Namun, sesaat kemudian dia menatap Taehyung heran. Pemuda di hadapannya ini tahu, kakaknya hanya pura-pura. Sementara Namjoon memilih untuk diam, karena tahu kedua saudaranya ini menyukai gadis yang sama.
"Lalu? Apa urusannya denganku?"
"Berhentilah pura-pura, Hyung. Sebenarnya dulu, Yoona-noona sudah mengatakan semuanya. Kau menolaknya dan memintanya untuk menerimaku sementara waktu, kan?"
Seokjin berdeham sekilas sebelum akhirnya berujar, "Apa maksudmu? Kami hanya teman."
"Hyung, aku tahu kau kasihan padaku. Tapi, tak perlu sampai sejauh ini. Kita semua sama-sama sakit, Hyung. Kau yang harus menahan perasaanmu, Yoona-noona yang harus berpura-pura menyukaiku, dan aku ... yang seperti orang bodoh menganggap semua itu semua nyata."
"Taehyung-ah, bukan seperti itu. Aku sama sekali tidak ada perasaan padanya."
"Berhentilah membohongi diri sendiri, Hyung. Aku... sudah merelakan semuanya saat memulai hidup di sini. Yoona-noona sangat menyukaimu dan bahkan dengan bodohnya mau saja menuruti permintaanmu. Jika kau tidak bergegas, mungkin saja dia akan menjadi milik orang lain."
Kali ini Seokjin memberikan sepenuhnya atensi pada Taehyung. "Maksudmu?"
"Yoona-noona ... akan dijodohkan oleh orang tuanya."
Mata Seokjin membulat sempurna. Sementara Namjoon tak kalah terkejutnya.
"Hyung, kau benar-benar akan merelakannya?" tanya Namjoon merasa tak yakin. Calon ayah satu anak itu melirik si bungsu sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dulu kau merelakannya demi Taehyung, tapi... yang ada di hati Yoona noona itu kau. Apakah kau mau terus mengelak?"
Taehyung ikut mengangguk. "Hyung, aku benar-benar baik-baik saja. Lagipula kami sudah putus lama. Aku harap kau tak lagi membohongi perasaanmu lagi."
"Rumit sekali kalian ini. Aku tidak bisa membayangkan jika seandainya juga menyukai Yoona-noona. Keributan apa yang akan terjadi nanti?"
Seokjin menggeleng. "Membayangkan pun kau tidak boleh, karena aku akan mencekikmu lebih dulu."
"Ya! Kau mau mengalah untuk Taehyung, tapi tidak denganku." Namjoon pura-pura marah karena dia tahu, kakaknya hanya bercanda.
Taehyung mencebik kecil melihat tingkah kedua kakaknya. "Aku akan membantu Seokjin hyung untuk mencekikmu yang tidak bersyukur sudah memiliki istri sebaik Hyena noona."
Namjoon tiba-tiba tersenyum dan melirik Seokjin. "Jadi, segera kembali ke Seoul dan temui masa depanmu."
"Tak perlu mengajariku," kata Seokjin sembari menunjukkan pesan di ponselnya yang berisi ajakan makan malam pada Yoona.
Taehyung tersenyum lega. Setidaknya satu per satu masalahnya selesai saat dia menjaga jarak dan berpikir dengan lebih tenang.
Ingin rasanya dia menghabiskan waktu lebih lama di Busan karena di sini dia bebas menjadi diri sendiri.
"Hyung, jika menghabiskan waktu lebih lama di Busan, apa ayah akan menganggapku pembangkang?"
Seokjin dan Namjoon saling melempar pandang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top