Bab 5
"Kamu pernah enggak berpikir bagaimana kehidupan kita ke depannya?"
"Enggak sempat mikir," timpal Eca.
"Kenapa?" Vidar mulai penasaran dengan apa yang Eca ungkapkan.
"Enggak ada waktu juga untuk memikirkan hal itu. Bisa makan dan hidup di hari ini aja udah seneng banget, kenapa harus mikir ke depan?" Eca mengedipkan mata kirinya. "Jalani aja, kita enggak tahu apa yang akan terjadi sedetik kemudian."
"Emang kamu enggak punya mimpi?"
"Dulu punya, sekarang udah mulai hilang."
Eca memang berbeda dengan gadis pada umumnya. Dia harus kehilangan segalanya di usia sangat muda. Kehilangan kedua orang tuanya karena bunuh diri. Terlilit hutang bank yang mengharuskannya keluar dari rumah lantaran semua aset di sita bank. Kemudian hidup bersama adik semata wayangnya, Andi. Hari-hari menyedihkan itu telah mengubur mimpi miliknya, menjadi seorang chef terkenal. Saat ini Eca lebih realistis, tidak ingin memiliki mimpi terlalu tinggi, dia yakin mimpi itu hanya akan menjadi bualan yang tidak akan pernah terwujud.
"Makan dulu, biar ada semangat untuk kembali memupuk mimpimu." Vidar menyodorkan empat leker cokelat keju di atas piring bening.
Eca kaget dengan apa yang Vidar berikan. "Iya kali makan leker bisa memupuk mimpi?"
Vidar tertawa terbahak mendengarkan ucapan dari gadis bermata cokelat itu. "Bisa, kalau makannya sambil membayangkan apa yang akan kamu miliki esok hari."
Eca menghela napas panjang. "Males gila, udah lapar gini langsung makan aja lah."
Vidar merasa nyaman ada di samping Eca yang mulai menampilkan sisi apa adanya tanpa jaim. Dia memahami apa yang terjadi pada Eca lebih berat dari apa yang dia alami. Vidar masih memiliki mama dan adik-adik yang menyayanginya, sedangkan Eca hanya hidup dan menghidupi adiknya tanpa bantuan orang lain. Eca memang sosok yang hebat di mata Vidar.
"Aku mau curhat nih." Vidar memancing simpati Eca.
"Curhat aja, pasti aku dengerin," sahut Eca cepat.
"Aku ingin punya usaha sendiri, kecil-kecilan sih."
Eca tersentak mendengarkan ucapan Vidar. "Emang mau buka usaha apa?"
"Usaha kuliner, tapi belum ada modal. Aku juga enggak tahu harus jual makanan apa?"
"Gimana kalau bisnis makanan daring? Modal dikit, tanpa sewa tempat, dan yang pasti tidak menyita waktumu kerja di pabrik."
"Bisa juga, tapi apa yang mau dijual? Segmennya untuk siapa saja?" Vidar mulai membuka wawasan Eca untuk lebih mendalami permasalahan yang dia ungkapkan.
"Ya aku enggak bisa jawab sekarang, kita harus survei sebelum melangkah membuat bisnis daring ini."
"Dan yang pasti butuh modal juga untuk memulainya," tambah Vidar memantapkan.
"Betul banget!"
Vidar dan Eca mulai bisa berjalan satu frekuensi. Mereka sudah memiliki pemikiran tentang mimpi yang akan diraihnya dengan jalan bisnis makanan melalui daring. Pasalnya saat ini semua berhubungan dengan daring, tidak salah jika mereka memiliki pemikiran untuk meramaikan dunia bisnis daring melalui jalur makanan. Ini hal yang menarik untuk mereka selalu bertukar pikiran dalam membangun mimpi bersama.
***
"Enggak terasa udah tiga tahun kamu pergi, pulang-pulang udah lulus aja nih."
"Iya dong Vi, kita harus punya target."
"Oh iya, setelah ini kamu mau ngapain?"
"Bantu Mama di kantor, urus ini itu perihal bisnis frozen food."
"Wau ... keren banget, aku selalu dukung setiap langkahmu."
Vidar sedikit bingung dengan apa yang Vania ungkapkan. Dia tidak habis pikir mengapa malah Vania yang masuk kantor dan dia di pabrik sebagai karyawan rendahan. Vidar anak pertama, namun nasibnya tidak seberuntung Vania yang dipilih mamanya untuk menemaninya di kantor. Berlapang dada, Vidar menanggap memang Vania lebih layak untuk berada di kantor. Dia bisa menyelesaikan kuliah dalam jangka tiga tahun, sedangkan dia belum tahu kapan akan lulus.
Terburu-buru, Onad datang membawa sebuah map kuning yang mencurigakan. "Ma, tadi aku nemuin dokumen milik Kak Vidar di tumpukan berkas-berkasku."
"Kamu ambilnya dari mana?" Rosita mulai mengintrogasi.
"Dari kamar Mama, tadi disuruh foto akta lahir, terus aku nemuin akta kak Vidar dan kak Vania juga. Tapi punya Kak Vidar kok ada beberapa kertas lain di belakang akta itu" Onad menjawabnya dengan rinci, polos, khas anak usia enam belas tahun.
"Benarkah?" Rosita memasang wajah cemas mendengarkan ucapan putra bungsunya.
Onad mengangguk lalu memberikan map kuning kepada Rosita. "Oh iya, usia Kak Vidar dan Kak Vania hanya selisih empat bulan?"
"Empat bulan?" Vidar mengulangi ucapan Onad. "Bukankah usiaku dan Vania selisih tiga belas bulan? Itu sesuai akta yang aku pakai untuk sekolah selama ini."
"Ma, tolong jelaskan yang sebenarnya. Ada apa ini, Ma?" Vania mulai curiga dengan akta yang Onad bawa.
"Ini tidak seharusnya terjadi. Maafkan Mama."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top