Bab 4

Eca menarik tubuh Vidar dari samping almari. Posisinya seperti orang tidak sadarkan diri. Mengerahkan banyak tenaga, Eca dapat menarik Vidar hingga depan almari. Perasaan tidak karuan menghantui Eca, hingga dapat melihat dengan pasti wajah Vidar yang mulai mengusik hatinya.

"Vidar!" Teriak Eca memukul ringan pundaknya.

Vidar mengulurkan tangan untuk membuatnya dapat berdiri. "Bantuin, bukan hanya diam aja."

"Beneran aku takut banget," ucap Eca sambil menarik tangan Vidar untuk membuatnya berdiri.

"Takut apa?"

"Kamu sih tiduran di samping almari," sergap Eca tidak bisa menahan kejengkelannya.

Vidar tertawa menampilkan susunan giginya yang rapi. "Bukan tiduran, aku hanya ngambil tutup botol air mineral yang kebetulan jatuh di situ."

"Kenapa waktu aku panggil enggak jawab?"

"Mau jawab keburu kamu teriak terus kamu tarik, aku bisa apa?"

"Lah kok malah aku yang dimarahi?"

"Ye siapa juga yang marah?"

Vidar dan Eca saling melempar sindiran yang mana terlihat sangat akrab. Tidak ada yang pernah menduga jika pertemuan sekian menit di pemakaman akan membawa dampak yang besar untuk mereka. Vidar juga Eca potret dua manusia yang bertemu di saat tidak terduga, namun membawa dampak yang luar biasa.

Eca membukakan bubur yang sempat dia beli sebelum menuju rumah Vidar. Dia telaten menyiapkan obat untuk kawan barunya yang sakit. Selalu menampilkan senyum manis membuat suasana selalu ceria. Eca beberapa kali menawarkan untuk membawa Vidar ke dokter, lantaran dia terlihat cukup mengkhawatirkan. Tetapi, Vidar terus menolak dengan alasan dia sering mengalami hal ini jika terlalu lelah.

"Kamu kaya ya?"

Vidar mengangkat kedua pundaknya. "Orang tuaku, bukan aku."

"Tapi tinggal di rumah sebesar ini dan kamu masih mau bekerja di pabrik, itu hal yang di luar nalar." Eca terus menunjukan rasa kagumnya terhadap Vidar.

"Sudahlah, tidak usah memikirkan hal seberat itu. Kita jalani yang ada, toh kita enggak tahu ke depannya seperti apa."

Eca mengangkat kedua jempolnya. "Vidar emang yang terbaik."

Mereka hanyut dalam suasana yang ceria, penuh canda tawa. Vidar senang di masa sakitnya ada Eca yang menemani dengan banyak memberikan warna baru di hidupnya. Kehadiran Eca memang memiliki banyak dampak positif terhadap Vidar. Tidak dapat dipungkiri setelah kepergian papanya dan Vidar memutuskan untuk bekerja paruh waktu di pabrik, teman-teman kuliahnya satu per satu meninggalkannya. Vidar pikir itu wajar, tidak perlu disesali karena itu adalah hak mereka.

***

Saya mau Vidar dipindahkan ke bagian distribusi pesanan."

"Akan saya laksanakan Bu," ucap Pak Sony dengan nada patuh. "Saya permisi mencari Vidar dulu ya, Bu."

Rosita mengangguk tanpa memberikan ucapan apapun. Sudah cukup tiga hari Vidar beristirahat di rumah dengan alasan sakit. Sekarang waktunya Vidar untuk kembali menerima pekerjaan yang baru dengan tanggung jawab yang lebih besar. Rosita telah mantab memindahkan Vidar ke bagian distribusi barang, yang mana ini tugas semakin berat dan banyak tantangannya. Rosita berharap Vidar tidak akan betah untuk terus bekerja dengannya.

"Kenapa saya harus pindah ke bagian distribusi barang?"

"Saya kira kamu sanggup, kamu masih muda harus banyak pengalaman."

"Ya, tapikan enggak pengalaman kerja di pabrik juga 'kan, Pak? Eh, sekarang malah jadi tukang antar barang."

"Jalani saja, jangan protes!" Tegas Pak Sony tidak ingin terlihat lembek di depan anak buahnya.

Vidar hanya menjalani apa yang telah Pak Sony perintahkan. Dia sedikit ragu dengan pekerjaan barunya untuk mengantarkan frozen food ke rumah para konsumen. Semampunya tetap berusaha memberikan pelayanan maksimal demi membuat perusahan milik alhamarhum papanya tetap memiliki tempat terbaik di hati para konsumennya.

"Kenapa baru datang, Mas?"

"Tadi saya mencari alamat Ibu, tetapi tersesat mulu." Vidar mencoba memberikan alasan yang logis. "Alamat Ibu di data pengantaran juga tidak sama dengan alamat rumah Ibu ini."

Perempuan muda dua puluh delapan tahunan, dengan bandana merah yang dikenakan, tidak sependapat dengan apa yang Vidar sampaikan. "Ya Mas cari di Google Map biar cepat tahu alamat rumah saya."

"Mohon maaf, Bu," Vidar melirik sekitar menemukan jika nomor rumah si konsumen tidak sama seperti data alamat penerima pesanan. "Ibu, itu nomor rumah Ibu nol enam B, Ibu nulisnya nol sembilan B. Sampai lebaran monyet pun enggak akan ketemu, Bu." Vidar mulai jengkel dengan ibu muda itu.

"Kok jadi Masnya yang nyolot? Tadi saya nulisnya nol enam B, lah kenapa kok bisa berubah sih? Besok-besok lagi langsung tanya rumah Pak Irwan pengusaha donat madu, seantero kompleks juga paham, Mas."

Vidar tidak ingin pelanggan pertamanya ini menjadi kecewa dan diskusi kusir mereka tidak kunjung usai hanya karena penulisan angka alamat, Vidar memutuskan untuk berdamai. "Ya sudah maafkan saya, mungkin kesalahan ini memang terjadi di aplikasi saya. Terima kasih Ibu telah memesan frozen food Sarasa, semoga cita rasanya selalu terjaga."

Ibu muda itu hanya tersenyum tipis. Tanpa ucapan terima kasih, dia langsung masuk ke rumah. Vidar hanya menggela napas panjang. "Dasar wanita, selalu ingin dimengerti," gumamnya jengkel.

Vidar meninggalkan pelanggan pertamanya menuju pelanggan yang lain. Vidar hanya mengantar pesanan dari rumah ke rumah, bukan dari toko ke toko. Ini lebih berat lantaran harus bertemu langsung dengan para konsumen yang beragam. Di hari pertama bekerja sebagai pengantar frozen food, Vidar mengalami banyak kesulitan. Mulai dari penulisan alamat yang keliru, pesanan yang tertukar, hingga ban motor bocor mewarnai hari pertamanya sebagai kurir frozen food.

***

"Gimana nih udah seminggu di bagian kurir frozen food?" Rosita membuka percakapan di sela menonton film horor di Neflix.

"Seru banget, bertemu para ibu-ibu yang bawelnya minta ampun." Vidar mengadu dengan wajah melasnya.

"Ya itu namnaya pembelajaran di lapangan, biar kalau besok kamu terjun langsung dalam mengelola bisnis jadi enggak kaget lagi."

"Oh iya Ma, kemarin ada seorang ibu mulai resah dengan frozen food yang dimakan anaknya."

"Masudnya apa, Kak?" Onad yang hadir dalam jamuan nonton film ikut penasaran.

"Iya karena frozen food ada kandungan bahan pengawet terus juga adanya penyedap rasa untuk tempura, sosis, nuget dan beberapa macam olehan daging ayam lainnya. Si ibu khawatir kalau mengonsumsi makanan itu secara berlebihan memberikan dampak buruk untuk kesehatan anak-anaknya."

"Kenapa enggak kita buat frozen food sehat, pasti banyak peminatnya." Onad ikut memberikan pendapat. "Ditambah lagi dengan sistem satu hari masak, satu hari antar."

"Tidak semuda itu, Nad. Itu akan membuat biaya produksi membengkak berkali-kali lipat. Kita enggak akan dapat untung apa-apa."

"Benar juga ya Ma, tapi yang Onad katakan juga ada benarnya. Ini semacam inovasi terbaru untuk Sarasa."

"Terlalu sulit, semua membutuhkan perencanaan yang matang. Bukan hanya sekadar ingin ini dan ingin itu."

"Iya sih, Ma," sahut Vidar sependapat dengan mamanya.

"Mama berdoa saja semoga apa yang menjadi keinginan Onad bisa terwujud melalui usaha kalian sendiri."

"Aamiin ...." Vidar dan Onad kompak meng-aamiin-i doa mamanya.

Rosita menyeruput teh lemonnya lalu memberikan pengumuman mengejutkan. "Mulai besok, kita akan kedatangan anggota baru. Pastinya suasana rumah lebih ramai."

"Siapa, Ma?" Onad mulai penasaran dengan apa yang mamanya sampaikan.

"Lihat saja besok!"

***

Ada banyak kejutan setelah seorang gadis berambut hitam sebahu datang ke rumah Rosita. Ada kisah tersembunyi di sana, di balik senyum merah mudanya. Tinggi semampai juga memiliki wajah rupawan membuatnya terlihat sempurna untuk ukuran gadis dua puluh satu tahun.

Usianya masih muda, namun perjalanan hidupnya cukup sulit. Menyelesaikan kuliah hanya dengan masa belajar tiga tahun merupakan kebanggaan tersendiri. Terlebih tinggal di Malaka membuatnya memiliki pemikiran yang lebih dewasa dari usainya. Sekarang saatnya dia kembali ke sarangnya untuk membuat seseorang menyesal telah membuatnya pergi untuk sementara waktu.

"Selamat datang, Vania!" Rosita membukakan pintu rumah untuk menyambut putrinya. "Mama senang banget, kamu mau pulang."

"Aku pasti pulang, tapi harus nunggu waktu yang tepat."

"Maaf ya, Mama waktu itu enggak bisa bantu kamu untuk tetap di sini," ungkap Rosita penuh penyesalan.

"Udahlah, yang berlalu ya biarkan berlalu. Tinggal sekarang kita menikmati hasilnya."

Rosita segera memeluk putrinya untuk melepas rindu. Vania membalas pelukan itu, dia menyadari selama tiga tahun kepergiannya banyak yang telah berubah. Telah cukup untuknya tiga puluh enam bulan mengasingkan diri ke negeri tetangga. Banyak kisah yang telah Vania ukir di sana. Suka duka dia jalani sendiri tanpa kehadiran orang tuanya.

"Apa yang harus Mama lakukan untuk membalas semua sakit hatimu?"

"Mama jangan gitu dong, aku enggak sakit hati. Hanya kecewa yang terus bercokol di dadaku."

"Apa saja yang kamu lakukan, Mama akan selalu ada di pihakmu," ucap Rosita meyakinkan putrinya. "Kamu enggak mau ke makam papamu?"

"Aku belum siap, Ma."

"It's okay, Mama paham apa yang kamu rasakan. Ya sudah kamu istirahat dulu ya, Mama mau nyiapin makanan untukmu."

"Ok, aku ke kamar dulu ya," ucap Vania sambil berjalan menuju kamarnya dengan dua koper yang dia tarik dengan kedua tangannya.

"Permainan ini semakin menarik, aku bangga telah memantik kemarahan itu," gumam Rosita lirik pada dirinya sendiri. "Ada yang lebih indah dari kata menderita?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top