Bab 3

Rosita tersenyum kecut. Dia ingin putranya juga ada dipihaknya, namun sepertinya cukup sulit. Mengingat jika Onad sangat dekat dengan Vidar dari pada Vania, kakak kandungnya. Rosita penjelaskan maksud ucapannya dengan bahasa seoarang ibu ke anaknya.

"Hari-hari yang akan datang bagaikan penyiksaan yang harus Vidar jalani untuk membuat mentalnya semakin kuat, dan kelak tumbuh sebagai pria yang hebat."

"Onad yakin pasti kak Vidar mampu melalui masa-masa berat itu."

"Mama juga yakin, Vidar bukan tipe orang yang mudah menyerah," ucap Rosita meyakinkan putra bungsunya.

"Oh iya Ma, kak Vidar benar-benar sakit, makanan ini bolehkan diantar ke kamarnya?" Onad terlihat masih takut setelah mendengarkan ucapan Rosita beberapa menit yang lalu.

"Tentu, bawa saja ke kamarnya. Tadi Mama hanya bercanda, ngetes Onad seberapa sayang kepada Vidar," papar Rosita dengan senyum khasnya.

"Thanks Ma, aku ke kamar kak Vidar dulu ya."

Rosita tersenyum sambil mengangguk, tanpa berucap sepatah kata pun.

Onad berjalan menuju kamar Vidar dengan sepiring makanan yang lezat. Rosita terus mengawasi langkah putranya, dia semakin paham dengan perasaan yang Onad miliki untuk Vidar. Onad seperti Johan yang naif kepada semua orang. Onad dapat dimanfaatkan untuk mengali banyak informasi guna melumpuhkan Vidar dan mengusirnya dari rumah. Ini jalan baik untuk Rosita semakin matang menyusun rencana liciknya. Dia dingin juga mematikan.

***

Pening di kepalanya tidak kunjung menghilang, ditambah lagi nyeri di punggungnya semakin menyiksa. Koyo yang menempel hampur di sekujur punggungnya hanya seperti hiasan semata. Ingin hati tetap beristirahat di atas ranjang, namun kewajiban untuk ke pabrik tidak bisa dia tinggalkan begitu saja. Sekuat tenaga tetap harus pergi walau sakit benar-benar menyiksanya.

Vidar mengambil ponselnya ingin menghubungi Eca untuk menjemputnya guna pergi pabrik. Mencari kontak bertulisan Eca membuatnya berubah pikiran. Vidar tidak ingin membebani Eca dengan menyuruhnya datang ke rumah. Vidar meregangkan tubuhnya, perlahan turun dari tempat tidur, dan berjalan menuju dapur untuk mencari makanan yang mampu diterima perutnya yang ternyata juga kembung sejak semalam.

Beberapa saat Vidar celingukan di dapur. Namun, dia tidak menemukan makanan tersaji di sana. Vidar berjalan menuju kulkas untuk melihat bahan makan apa yang tersedia di sana. Nyatanya tidak ada bahan makanan yang sesuai dengan seleranya. Vidar kembali ke sudut dapur, lalu membuka penanak nasi listrik, ternyata ada nasi di sana. Sekelebat dia mengingat nasi goreng jawa kesukaan papanya. Sebagai penebusan akan rasa rindunya, dia memutuskan memasak nasi goreng jawa.

"Masak apa?" Rosita datang dengan berpakaian rapi, khas pakaian kantor.

"Nasi goreng jawa, Ma. Lagi kangen sama papa," sahutnya cepat.

"Maaf ya tadi Mama buat sarapan hanya cukup untuk Mama dan Onad, Mama kira kamu akan makan di kantin pabrik seperti biasanya."

Pening di kepalanya semakin menjadi, Vidar memutuskan untuk absen ke pabrik. "Ma, aku pusing banget, aku izin enggak masuk ya?"

"Boleh dong, asal gaji kamu Mama potong."

"Lo kenapa, Ma?"

"Ya kamu izin enggak masuk, berarti gaji harus dipotong," ucap Rosita memperjelas.

"Aku 'kan sakit, Ma." Vidar memasang wajah manja kepada mamanya.

"Ini berlaku untuk semua karyawan, tidak memandang karyawan biasa atau anak bos. Ini cara kecil Mama untuk mendisiplinkan kamu di dunia kerja," papar Rosita menjelaskan alasannya.

"Oke Ma, dipotong enggak masalah. Aku suka dengan cara Mama mengajariku untuk bertanggung jawab dalam bekerja."

Vidar tidak memahami permainan Rosita yang mulai berjalan sesuai dengan keinginannya. Vidar semakin percaya jika Rosita memang ibu yang baik dan tegas untuk membuat dirinya memiliki tanggung jawab di dunia kerja. Rencana apik Rosita baru dimulai.

Rosita mencium rambut putranya sebelum berangkat. "Mama pergi dulu ya, kamu hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa langsung telepon Mama," pesan Rosita penuh pengertian.

"Beres, Ma. Hati-hati di jalan." Vidar menyukai perhatian itu, namun dia benci harus sakit tanpa teman di rumah.

***

Di pabrik Eca merasa ada sesuatu yang meresahkan hatinya. Pikirannya melayang entah ke mana. Kinerjanya tidak begitu maksimal. Dia beberapi kali ke ruang produksi. Tatapannya liar mencari sesuatu yang tidak ada si sana. Nyatanya dia ke sana hanya untuk melihat tempat duduk Vidar yang hari ini kosong. Hatinya mulai resah tak karuan. Dia bingung dengan dirinya sendiri, mungkin Eca mulai menyimpan rasa yang tak biasa untuk si anak bos.

Tidak ingin rasa khawatirnya semakin mengebu, Eca memutuskan untuk menelepon Vidar. Mengali informasi mengapa Vidar harus absen bahkan sebelum satu bulan dia bekerja. Belum sempat mengambil ponsel di saku celannya, Eca berpapasan dengan Pak Soni, pengawas bagian produksi. Secepat kilat Eca menghantikan langkah Pak Soni.

"Maaf, Pak Soni pengawas bagian produksi?"

"Benar, ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mau tanya Pak, Vidar hari ini enggak masuk kenapa ya?"

Sesaat dia membuka cacatan presensi kehadiran karyawan produksi. "Vidar tidak masuk karena sakit, ini saya dapat infonya dari Ibu Rosita."

"Terima kasih, Pak."

Hati Eca semakin dibuat tidak karuan setelah mendengarkan pengakuan dari Pak Soni. Perasaannya benar-benar tidak karuan. Ingin hati datang ke rumah Vidar, namun dia hanyalah karyawan rendahan, sedangkan Vidar adalah anak bos. Rasa ini rumit untuk dijelaskan jika menyangkut perihal kasta.

Langkah Eca semakin tidak beraturan. Dia bingung dengan perasaannya sendiri. Seakan alam memahami apa yang Eca pikirkan, ponselnya berdering. Eca segera mengambilnya dari saku celana, nama Vidar tertera di layar ponselnya. Cepat-cepat Eca menganggat panggilan itu.

"Halo Vidar?"

"Hai Ca, kamu masih di pabrik?"

"Iya," sahutnya cepat. "Ada yang bisa aku bantu?"

"Tolong ya nanti pulang dari pabrik kamu belikan aku obat sakit kepala, nanti merk obatnya aku kirim ke chat-mu terus kamu mampir ke rumahku sebentar ya," ucap Vidar dengan nada gemetar.

"Siap," timpal Eca meyakinkan.

"Sori aku buat kamu repot, soalnya Mama nanti lembur dan Onad ada ekstra di sekolah. Aku enggak tahu harus minta tolong kepada siapa."

"Iya enggak apa-apa, santai aja. Sekarang kamu istirahat dulu, habis ini aku pulang langsung ke apotek terus ke rumahmu."

"Thanks ya."

Panggilan itu dimatikan sebelum Eca menjawab ucapan terima dari kasih Vidar. Eca sadar benar, Vidar menahan rasa sakit yang luar biasa. Terdengar dari suaranya yang gemetar dan terbatbata. Ini semakin membuat Eca ketakutan. Eca pun memutuskan untuk izin pulang lebih awal.

***

Apa yang Vidar pesan telah Eca belikan. Eca berinisiatif membeli bubur ayam, kalau-kalau Vidar belum makan. Eca dibuat salah tingkah dengan perasaannya sendiri. Tepat di depan pagar rumah Vidar yang tidak terkunci, Eca menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan untuk memberikan efek tenang untuk dirinya. Penuh kemantaban Eca melangkah memasuki halaman rumah Vidar.

Sampai di depan pintu utama, Eca segera mengetuknya. Beberapa kali mengetuk, tetapi tidak ada jawaban. Pintu pun tidak terkunci, Eca pelan-pelan masuk ke dalam.

"Vidar ...?" Eca memanggilnya dengan hati was-was. "Vidar, kamu di mana?" Eca kembali mengulangi panggilannya, namun belum ada jawaban.

Eca kembali melangkah menyusuri ruang tamu dan tanpa sengaja melihat sosok yang dia cari tergeletak tak berdaya di samping almari kaca berisi piala-piala berharga. "Vidar!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top