Bab 2
"Kemasi barangmu!"
Vidar bingung mendengarkan ucapan wanita yang telah merawatnya. "Maksud Mama apa?"
"Harus Mama ulangi?" Rosita semakin jengkel melihat Vidar yang menatapnya dengan tatapan nelangsa.
Tatapan Rosita tajam penuh dendam. Tidak seperti yang lalu, kali ini Rosita melepaskan topeng kepalsuannya. Dia muak melihat Vidar yang hidup dalam jangkauannya. Tidak ada alasan untuk mempertahankan lelaki muda itu. Kepergian Johan telah menghapus segala kebaikan yang selalu Rosita tampilkan.
"Apa salahku, Ma?"
"Tidak ada yang salah, sudah terlalu lama kamu hidup sebagai anak dari Johan dan Rosita. Nyatanya, kamu hanyalah anak angkat."
"Anak angkat?" Vidar semakin dibuat bingung dengan pengakuan Rosita.
"Benar, dua puluh tahun kami merawatmu layaknya anak kandung. Saya hanya menganggapmu sebagai benalu, jika inangnya sudah meninggal kamu harus pergi juga."
Redup lampu ruang keluarga memberikan kesan kesedihan yang tidak terduga. Vidar terpaku menatap Rosita yang berdiri di depan foto keluarga. Semampu diri, dia menahan tangis demi terlihat kuat di depan mamanya. Hatinya hancur, luluh lantah tidak beraturan mendengarkan pengakuan dari Rosita. Tidak ada yang bisa menebak arah hidup manusia karena semua memiliki rahasia yang tersembunyi. Vidar mencoba melangkahkan kaki lebih dekat dengan wanita yang selama ini dia panggil dengan sebutan 'mama'.
"Ma ...?" Suara sorang lelaki muda dari belakang punggungnya memanggil.
Rosita memutar tubuhnya sembilan puluh derajat untuk melihat sosok yang memanggilnya. Rosita terlihat kaku dengan kedua tangan menggenggam segelas air mineral. Pandangannya bingung, ada sesuatu yang sulit untuk dia ungkap. Lamunannya menghilang ditelan gelapnya malam.
"Sudah pulang? Tadi bareng sama kak Vidar?"
"Iya, kak Vidar lagi benerin motor, tadi macet di jalan."
"Ya sudah, kamu mandi lalu makan ya. Sudah Mama siapkan masakan kesukaanmu," ucap sambil Rosita tersenyum menatap putra sulungnya.
"Siap, Ma."
Onad berjalan menuju kamar untuk membersihkan diri. Rosita dengan langkah ragu berjalan menuju garasi rumah untuk menemui Vidar. Ada rasa berkecamuk yang sulit untuk dia ungkapkan. Rasa sakit hatinya telah memenuhi seluruh rongga dada, namun dia juga tidak tega begitu saja membuang anak yang telah memberikan banyak senyum untuknya.
"Vidar, lagi ngapain?" Rosita membuka percakapan.
"Lagi benerin motor, tadi tiba-tiba saja macet."
Rosita mulai menata kalimatnya untuk lebih mudah dipahami oleh Vidar. "Mama boleh minta tolong?"
Vidar bangkit dari tempatnya terduduk di samping motor itu. "Boleh banget dong, Ma."
Rosita tersenyum mendengarkan ucapan putranya. "Mulai besok, tolong kamu bagi waktu untuk kuliah dan bantu Mama kerja di pabrik."
Vidar mengenyitkan dahi mendengarkan permintaan mamanya. "Aku enggak masalah kok, malah dengan senang hati mau bantu Mama di pabrik."
"Syukurlah, Mama senang dengarnya. Oh iya, benerin motornya sudah beres belum?"
"Udah kok, Ma." Vidar bangkit dari tempatnya terduduk di samping motor.
Rosita merangkul Vidar untuk diajaknya masuk ke rumah. Senyumnya terus dia sunggingkan untuk memberikan kesan baik yang selalu Rosita tampilkan. Tidak ada curiga di hati Vidar melihat perilaku mamanya. Benar saja Rosita begitu halus memainkan peranya, dia merasa puas dapat terus menampilkan topeng kepalsuan di depan Vidar.
🍁🍁🍁
Hari pertama di pabrik membuat Vidar kuwalahan. Banyak tugas yang begitu berat membebani dirinya. Ini kali pertama dia bekerja selama dia hidup dua puluh tahun, canggung dan kaku kesan pertama untuk para pekerja di pabrik. Sekalipun berat, namun Vidar tetap berusa semangat demi tidak ingin melihat tatapan kecewa dari mamanya.
"Mau aku bantu?" Seorang gadis cantik bermata cokelat datang memberikan uluran tangan.
"Terima kasih, tapi aku bisa." Vidar tidak ingin terlihat lemah di depan gadis yang pernah dia temui di pemakaman papanya.
"Aku salut deh sama kamu, mau bekerja di pabrik yang panas dan kotor ini."
"Aku juga manusia biasa," sahut Vidar memberikan senyum manisnya.
"Tapi kamu anaknya bos, yang enggak seharusnya berpanas-panasan di tempat ini."
"Biarkan ini jadi pengalaman yang tidak akan pernah aku lupakan. Asal kamu tahu, yang bos itu orang tuaku, kalau aku masih belum jadi apa-apa."
Eca tersenyum mendengarkan ucapan Vidar. Dia menyadari jika cowok di depannya adalah pekerja keras yang tidak mudah menyerah. Terlihat betapa Vidar menahan haus, lelah, juga panas demi menyelesaikan pekerjaannya di bagian produksi.
Eca mengambil sapu tangan dari kantong celannaya lalu mengusap peluh yang menetes di pelipis Vidar. "Capek ya?"
Vidar menganguk, "Aku enggak menyerah, ini masih hari pertama."
Eca mengedipkan mata kirinya untuk memberikan semangat kepada rekan kerja barunya. Hari-hari ke depan pasti akan lebih menyenangkan sebab ada senyum Vidar yang menghiasi harinya. Nyatanya Eca memang telah kagum pada sosok Vidar sejak kali pertama perjumpaan mereka.
Di lantai dua, Rosita terus megawasi kinerja Vidar. Dia yakin cepat atau lambat Vidar akan menyerah, lalu Rosita akan mengungkapkan segala isi dalam hatinya. Sakit hatinya satu per satu akan terungkap. Sudah cukup dua puluh tahun dia merawat dan membesarkan Vidar demi kebahagiaan Johan. Kali ini waktunya Rosita menentukan kebahagiaan menurut versinya sendiri.
🍁🍁🍁
"Kakak capek enggak sih kerja di pabrik?"
Vidar mengangguk, "Jangan tanya lagi, capek banget."
"Sudah empat belas hari Kakak berjuang tanpa campur tangan mama. Aku sebal sama mama yang cuek dan enggak memberikan prioritas untuk Kak Vidar."
"Enggak boleh gitu, itu namanya kerja yang enggak jujur. Mau enaknya sendiri." Vidar mencoba menasihati Onad dengan bahasa yang sederhan untuk mudah dimengerti.
"Iya sih Kak, sekalipun kita anak yang punya pabrik, kalau kerja harus tetap profesional dan disiplin ya?"
Vidar mengangkat dua jempol tangannya. "Benar sekali, itulah namanya tanggung jawab dalam bekerja."
Onad hanya ingin melihat Vidar tersenyum setelah rutinitas bekerja yang menjemukan. Dia tidak ingin melihat kakaknya terlalu lelah dalam bekerja, tetapi dia juga tidak bisa membantunya. Pasalnya Onad harus sekolah sepanjang pagi hingga sore, tidak ada waktu untuk berkunjung ke pabrik.
Vidar beberapa kali memijat keningnya yang terasa pening. Sudah empat hari pening itu tidak hilang dari kepalanya. Minum obat hanya meredakan tidak menghilangkan. Hal itulah yang membuat Vidar kesal dan membiarkan sakit kepalanya terus hadir dalam hari-harinya.
"Nad, Kakak di kamar aja ya."
"Enggak makan malam di bawah?"
"Lagi pusing."
Onad segera meletakkan telapak tangan kananya di kening kakaknya. "Agak demam deh Kak, udah minum obat?"
Vidar mengagguk.
"Biar makananya aku bawa ke sini ya, Kak?"
"Enggak usah, Nad. Aku enggak lapar." Vidar tidak ingin melihat adiknya repot mengurusi sakitnya.
Tanpa meminta izin, Onad keluar dari kamar Vidar. Dia berlari menuju meja makan. Di sana ada Rosita yang sedang menunggu mereka. Onad tidak menghiraukan keberadaan Rosita yang terduduk sambil mengerjalan laporan di laptopnya. Sesekali Rosita melirik apa yang putra sulungnya lakukan. Onad pikir mamanya telah paham dengan situasi ini.
"Kamu enggak lihat Mama ada di sini?" Rosita mulai membuka suara ketika Onad telah selesai mengambil nasi dan beberapa lauk di atasnya.
"Aku lihat ada Mama, tapi Mama sibuk banget. Onad enggak mau ganggu Mama."
Rosita tersenyum tipis dan melihat sepiring nasi lengkap dengan lauknya. "Kenapa enggak makan di sini?"
Onad menaikan satu alis kanannya. "Ini untuk Kak Vidar yang lagi sakit."
"Enggak perlu, kalau dia lapar biar turun sendiri. Jangan manjakan dia!" Rosita tegas memberikan ancaman.
"Kak Vidar lagi sakit, dia enggak bisa turun." Onad tetap pada pendiriannya.
"Semoga dia tetap kuat dalam penyiksaan ini."
"Maksudnya?"
🍁🍁🍁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top