Bab 1
~ Kepergian, awal sebuah kehidupan yang rumit untuk diungkap ~
Keluarga, satu kata berjuta cerita. Canda tawa hadir dalam setiap detak, mengukir kisah penuh cinta. Semua terlihat sempurna tanpa celah, hari-hari terlampaui dengan baik bagi keluarga Johan. Memiliki tiga anak adalah anugrah terindah yang tidak dapat terbayar oleh kata. Menjaga mereka hingga mencapai sebuah kesuksesan merupakan tanggung jawab yang besar, dan mungkin tidak akan pernah bisa terwujud.
Rutinitas seperti yang lalu, Johan pergi ke pabrik frozen food rintisannya. Sarasa, nama yang unik dan mudah diingat, sepanjang masa. Johan layaknya orang tua pada umumnya, ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Dibantu Rosita, sang istri, Johan menjalankan bisnisnya dengan lancar,walaupun ada beberapa masalah kecil menyapa.
"Yuk, sarapan dulu!" Teriak Rosita memanggil suami dan kedua jagoannya.
"Wih, enak banget nih!" Seru Vidar sambil duduk di kursi makan.
"Iya dong, untuk yang tersayang, Mama mau yang terbaik," ungkap Rosita menata piring untuk suaminya. "Ini Mama masakan nasi goreng jawa pesanan Papa Johan, lumpia sosis sapi untuk Onad, dan kesukaan Vidar risoles ayam cincang pedas setan."
"Thanks ya, Ma, Mama tahu apa yang kami suka," ucap Vidar tak hentinya tersenyum menatap Rosita.
"Ini kewajiban Mama menyediakan makanan yang kalian suka, awali hari dengan sarapan, karena harapan bikin kita enggak kenyang." Rosita menggoda putranya yang mulai mengenal cinta.
"Idih, Mama sok puitis, Vidar jadi baper deh."
"Baper itu tandanya Vidar masih normal karena masih punya perasaan," Rosita menimpali.
"Mama!" Teriakan Onad terdengar renyah memecah keriuhan meja makan. "Spesial sarapan untuk, Mama!" Onad berlari kecil sambil membawa dua butir kentang rebus lengkap dengan mayones pedas kesukaan Rosita.
"Ini yang Mama suka," senyum Rosita menghiasi bibir merahnya, menyambut Onad putra bungsunya di meja makan. "Oh iya, Papa kalian mana?"
Johan berjalan santai dari arah kamar mandi. "Ada dua cowok ganteng, kok malah nyariin Papa sih, Ma?"
"Hidup ini enggak lengkap tanpa adanya Pak Johan Prasetya." Rosita buru-buru menarik satu kursi untuk tempat suaminya duduk.
"Kita itu punya pabrik frozen food, tapi kenapa kita hanya boleh memakannya dua kali dalam satu minggu?"
"Vidar, frozen food enggak sehat jika dimakan setiap hari, lagi pula selama Mama masih bisa masak, pantang untuk makan frozen food."
"Sudah-sudah, jangan ribut di meja makan, nanti makananya nangis lo." Johan menengahi.
"Keburu aku telat sekolah deh, Kak Vidar kalau kepo jangan keterlaluan," tegur Onad dengan wajah masam.
"Ups ... sori Onad."
Itulah Vidar, suka membuat suasana menjadi ramai. Usianya yang sudah dua puluh tahun tidak membuatnya malu untuk bercanda dengan mamanya. Rambut Vidar yang ikal dan wajah tirusnya cukup membuat Vidar terlihat seperti masih anak SMA, inilah yang Vidar manfaatkan untuk tetap bersifat kenak-kanakan, tetapi jangan salah jika dibutuhkan dan dalam situasi terhimpit, Vidar akan lebih dewasa dari usianya.
Inilah yang selalu terjadi di ruang makan sebelum semua anggota keluarga melakukan rutinitasnya. Mereka selalu menyempatkan diri untuk sarapan, mengisi energi guna fokus untuk menjalani hari penuh semangat. Rosita dengan telaten menyiapkan semua makanan yang mereka sukai. Tanpa mengeluh dia rela bangun lebih awal dan tidur lebih malam demi memastikan semua orang yang ada di rumah itu merasakan perut mereka kenyang.
Jamuan sarapan telah usai. Onad mengambil tas yang ada di kamar, Vidar sudah bersiap di ruang tamu, beberapa kali Vidar melirik jam dinding, dia tidak mau telat di hari pertama kuliahnya, di semester lima. Tidak ingin berteriak, Vidar santai menungu papa dan adiknya.
Sakit kepala yang diderita Johan semakin parah. Namun, dia tidak ingin memberitahu yang lain. Johan berusaha menyembunyikan rasa sakitnya dengan mengonsumsi obat penahan rasa sakit dengan dosis tinggi. Menurut Johan diam adalah langkah terbaik demi ketenangan keluarga mereka. Itulah Johan, sosok ayah yang tidak ingin terlihat kurang di mata anak-anaknya.
***
Hari berlalu seperti yang lalu. Malam larut menyisakan sebuh sendu. Gelap tidak ada yang bisa menerkanya. Kondisi Johan kian parah, kali ini pandangannya mulai kabur di pagi hari. Siang hingga sore seluruh tubuhnya terasa nyeri, dan jika malam datang dia sulit untuk memejamkan mata. Obat yang selalu dia konsumsi mulai tidak ada hasilnya, Johan pun tidak tinggal diam dia akan ke rumah sakit kenalannya untuk kembali meminta obat dalam dosisi yang lebih tinggi.
Johan yang ingin pergi ke rumah sakit harus terhenti, pasalnya pandangannya benar-benar tidak bisa melihat apa yang ada di depannya. Bukan Johan namanya jika tidak memaksa, dia tetap berjalan dengan keterbatasan pandangan untuk menuju halaman depan rumah, menunggu taksi online pesananya.
Vidar yang baru pulang kuliah melihat papanya berdiri di samping pagar rumah terasa aneh. Tidak biasa papanya melakukan hal itu di malam hari. Vidar memarkirkan motor matiknya di tepi jalan, tidak sampai masuk halaman rumah, Vidar segera turun, dan menghampiri papanya. Terasa aneh lantaran Johan seakan tidak menghiraukan keberadaan Vidar yang berada beberapa langkah di sampingnya.
"Papa mau ke mana?"
"Vidar, kamu baru pulang?" Johan berusaha bersikap sewajar mungkin, walau dia tidak bisa melihat putranya dengan jelas.
"Iya, Pa, tadi masih ada kegaitan di kampus. Papa mau ke mana sih?" Vidar terus bertanya kepada papanya lantaran belum mendapatkan jawaban darinya.
"Papa mau pergi sebentar," sahut Johan singkat.
Vidar melihat ada sesuatu yang berbeda dari papanya, wajahnya pucat, juga sorot matanya terlihat kosong,Vidar dibuat cemas olehnya. "Tumben enggak naik mobil sendiri? Atau Vidar antar Papa aja ya?"
"Kamu baru pulang, pasti capek, istirahat saja." Johan berusaha mengelak, tidak ingin Vidar mengetahui perihal kondisinya yang sebenarnya.
"Ok, Papa hati-hati, kalau ada apa-apa telepon aku aja."
"Siap, bos!"
Vidar menuruti apa yang Johan ucapkan tanpa rasa curiga. Vidar menuntun motor matiknya masuk halaman rumah dan memarkirkannya di garasi. Pandangan Vidar terus menatap papanya hingga dia masuk dalam taksi online hitam pesananya.
Johan mulai melangkah memasuki rumah yang tidak terkunci, namun kepalanya terasa sangat pening, pandangannya gelap, napasnya berat, Johan mulai limbung, buru-buru Rosita yang melihat suaminya mulai kehilangan keseimbangan, berlari menangkap tubuh tegap orang yang sangat dia cintai. Johan pingsan dalam dekapan Rosita.
"Papa bangun!" Teriak Rosita memecah kehengan malam.
"Papa!" Vidar berlari dari kamarnya melihat Johan terkulai tak sadarkan diri dalam dekapan mamanya.
***
Tanah merah masih basah. Bunga-bunga kertas masih terpajang di sana. Tak ada yang layu setangkai pun. Semua terlihat enak untuk dipandang. Aroma tanah basah juga tercium, aroma yang khas setelah hujan menguyur. Satu per satu datang dan pergi untuk memberikan penghormatan terakhir. Tidak ada yang indah. Senyum-senyum di bibir mereka kunci. Mengenakan kacamata hitam adalah langkah terbaik untuk menyembunyikan kedua bola mata mereka yang memerah. Tidak ada blus on di pipi, semua luntur tersapu air mata yang terus mengalir.
Beberapa orang bahkan mencoba menampilkan senyum manis di bibir pucatnya walau hanya topeng sesaat. Beberapa orang yang lain saling bersalaman. Memeluk. Mengucap doa. Semua memiliki batas waktu. Waktu tidak akan bisa ditawar, yang sudah berjalan tidak akan pernah dapat berhenti, pun yang sudah pergi tidak akan dapat kembali.
"Maaf, jiak semua terlambat. Pak Johan menderita diabetes militus sejak dua tahub belakangan, tetapi beliau tidak ingin merepotkan keluarga." Dokter Soni selaku dokter pribadi sekaligus sahabat buka suara di pemakaman Johan.
"Tidak seharusnya dokter menyembunyikan semua itu dari kami." Rosita menahan tangis.
"Sabar, Ma, Vidar janji akan selalu ada di samping Mama," ucap Vidar dengan nada gemetar
"Mama yang kuat, hanya Mama yang kami miliki," tambah Onad sambil memeluk mamanya.
Terlihat seorang gadis membawa sebuket mawar merah lalu meletakannya di pusara Johan. Dia berkaca mata hitam, dengan selendang hitam menutupi rambutnya, ada sorot mata yang menunjukan kesedihan cukup dalam. Gadis itu berdiri, lalu membuka kaca matanya, menatap Vidar, mengisyaratkan jika dia juga merasakan kesedihan Ats kepergian Johan.
"Saya turut berbela sungkawa," ucapnya pelan sambil menjabat tangan Vidar.
Vidar menerima jabat tangan itu. "Terima kasih, kalau boleh tahu, kamu siapa ya?"
Gadis itu melepaskan jabat tangannya. "Saya Rebecca, panggil saja Eca."
"Kenal Papa saya dari mana?"
"Saya karyawan Pak Johan di pabrik. Dulu Pak Johan menyelamatkan saya dari tindak perdagangan manusia, lalu beliau menampung saya untuk dipekerjakan di pabrik."
"Iya, itulah kelebihannya, selalu ingin menolong siapa saja, bahkan yang belum beliau kenal."
"Yang tabah, saya yakin Pak Johan akan tenang di sana, atas segala kebaikannya."
Vidar tersenyum mengiringi doa Eca. Dia merasa ada sesuatu di balik sosok Eca yang ada di depannya saat ini. Entah mengapa Vidar yakin akan bertemu Eca kembali dalam jangka waktu dekat. Ada aura baik yang dia rasakan, dan mampu membuat hatinya tenang untuk sesaat.
Berbeda dengan Rosita yang tak hentinya menitikan air mata di pusara sang suami, sambil memeluk erat nisan bertuliskan, JOHAN PRASETYA. Perjalanan hidupnya seakan terhenti saat itu juga, mimpinya mulai kandas, semua yang mereka rencanakan hilang tanpa arah. Penyesan hanya tinggal penyesalan, hari-hari berikutnya akan lebih berat dari hari kepergian belahan jiwanya.
"Kuatkan aku ya, Pa, Mama akan berusaha tetap tegar dan menjalani hari yang tersisa. Papa tenang di surge, tunggu Mama di sana," bisiknya lirih seraya memeluk erat nisah Johan.
Dipapah Onad dan Vidar, Rosita mulai menyusuri jalan sepi tanpa kehadiran suaminya. Langkahnya yang lemah sebagai tanda penguat langkahnya telah terlebih dahulu pergi. Semampunya dia menatap apa yang tersisa, dengan tangis yang terus mengucur deras, sederas hujan di bulan Juni.
***
Empat puluh hari setelah kepergian Johan semua kembali seperti semula, walau hati tetap dalam duka. Rosita mulai bisa menerima kepergian suaminya. Dia mengambil alih perusahaan milik Johan untuk tetap dijalankan guna menghidupi keluarga. Rosita terlihat sangat tegar dengan pipi tirus dan kerutan di ujung kelopak matanya.
Kehidupan mereka berbeda dengan yang lalu. Tidak ada sarapan untuk memulai hari, Rosita selalu berdalih dia kerepotan jika harus mengurus dapur juga kantor, sehingga dia harus merelakan salah satu untuk dikorbankan. Rosita mendadak menjadi wanita karier yang harus serba bisa dan mampu diandalkan dalam segala situasi. Sulit, namun tetap harus dia jalani demi masa depan anak-anaknya.
"Ma, Vidar mau minta uang untuk pratikum."
Rosita terlihat sangat sibuk memeriksa keuangan pabrik, dia tidak begitu menghiraukan ucapan putranya.
"Ma, kalau enggak segera bayar, Vidar enggak bisa ikut praktikum." Dia mengulangi ucapannya dengan kalimat yang lebih meyakinkan.
Rosita meletakan berkas-berkas yang sedang dia periksa. Melepaskan kaca mata baca yang dipakai, lalu menatap Vidar dengan tatapan jengkel. "Kamu enggak lihat, Mama lagi sibuk audit keuangan pabrik, karena beberapa ada yang tidak sesuai dengan laporan bulan lalu."
"Maaf, tapi ...."
"Tapi apa? Kamu minta semuanya serba cepat?"
Vidar menggeleng, dia paham benar ekspresi yang ditampilkan Rosita menunjukkan kejengkelan. Dia menggigit bibirnya, ingin rasanya berucap, namun takut jika emosi mamanya memuncak. Diam adalah hal teraman yang dapat dia lakukan.
"Harusnya kamu sadar diri, Papamu sudah tidak ada, sekrang semua Mama yang mengatur, dan itu berat untuk dijalani." Rosita menurunkan pandangannya dan kembali menatap Vidar dengan rasa bersalah seorang ibu kepada anaknya. "Maaf, Mama hanya lelah."
"Aku tahu, ini salah Vidar, seharusnya sadar diri dan bisa memahami situasi saat ini."
"Cukup, nanti Mama transfer sesuai dengan kebutuhanmu." Tanpa berkata banyak kalimat, Rosita mengabulkan apa yang menjadi kebutuhan Vidar.
Senyum Vidar mengembang, menghiasai bibir pucatnya. Dia segera memeluk mamanya, sangat bersyukur dikirimkan malaikat sebaik Rosita. "Mama yang terbaik, malaikat tanpa sayap yang nyata di dunia ini."
Rosita membalas pelukan putranya. Dia tersenyum mendengarkan pujian yang Vidar sampaikan. "Sama-sama, karena semua ini tidak akan bertahan lama."
Vidar melepaskan pelukannya, setelah mendengarkan ucapan dari Rosita. "Maksudnya apa, Ma?"
"Kalau kamu sudah dewasa dan meninggalkan rumah ini untuk memulai kehidupan baru, Mama enggak bisa membiayai kehidupanmu lagi."
"Aku akan selalu ingat Mama."
"Harus dong, kelak kamu harus mampu hidup sendiri. Di luar, di dunia belantara, Mama enggak bisa melindungi kamu lagi."
Vidar dan Rosita saling bertatap, berharap waktu akan berhenti sejenak. Semua tetap bersama, Johan hidup dan menemani hari-hari mereka. Pelangi kehidupan kembali hadir, tidak ada tangis dan penderitaan, hanya tawa yang terus menghiasi sudut rumah.
"Aku berangkat dulu ya, Ma." Vidar pamit dengan mencium punggung telapak tangan kanan Rosita.
"Jangan ngebut, pelan-pelan aja, yang penting sampai sebelum terlambat."
Vidar tersenyum, memutar badan, dan pergi meninggalkan ruang kerja Rosita. Kehilangan Johan bukan akhir dari hidupnya, ada Rosita, ibu yang sangat menyayanginya. Tidak ad alsan untuknya bersedih setelah empat puluh hari kepergian papanya.
Bayang Vidar mulai menghilang. Rosita berjalan menuju ruang keluarga, langkahnya pelan namun pasti untuk melihat sebuah kenangan yang tidak bisa dihapus oleh waktu. Rosita terhenti tepat di depan foto keluarga berbingkai emas. Matanya berair, jantungnya berdegup cepat, hatinya kacau. "Jika Johan sudah tiada, Vidar harus pergi dari rumah ini." Rosita berbisik lirih, menatap foto keluarga yang terpajang di ruang itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top