Terlempar
“Bisa kalian lihat, ini adalah bambu runcing yang digunakan pahlawan kemerdekaan dahulu pada zaman penjajah Belanda dan Jepang. Senjata ini terbuat dari bambu yang ujungnya diruncingkan. Senjata ini memiliki andil besar dalam ....”
Javier mengorek telinganya yang tidak gatal dan mendecak. “Membosankan. Tanpa dijelaskan pun aku tahu kalau itu bambu runcing. Lagipula keterangannya sudah tertulis, tinggal baca.”
Celetukan Javier segera disambut dengan pukulan di punggung oleh Juliana. Sebagai murid teladan yang mendengarkan setiap penjelesan dengan seksama, kalimat Javier sungguh membuatnya jengkel. Javier hanya membalas pukulan Juliana dengan cengiran, dan lanjut bersikap seenaknya. Sama sekali tidak peduli dengan pelototan Aniella yang menyuruhnya untuk diam.
“Psst. Coba kalian lihat di sana.” Javier tiba-tiba menunjuk pada ke satu pintu berwarna kuning emas. “Mau coba ke sana?”
“Javier!” seru Juliana kesal. Mau cari gara-gara apa lagi anak ini?
“Cih, kalau tidak mau ya sudah. Biar aku sendiri yang ke sana.”
Dilihat dari dekat, warna kuning emas terukir pada pinggiran pintu tampak berkilau, seolah-olah itu adalah emas asli. Plang tanda dilarang masuk yang terbuat dari dua tiang dengan sambungan tambang berdiri kokoh di depan pintu, tetapi hal itu tidak menyurutkan niat Javier. Malah sebaliknya, semakin dilarang maka semakin memacu adrenalin.
Aniella yang sudah mengerti gelagat Javier segera menyusul. Juliana tentu mau tidak mau ikut membuntuti. Ia sempat memastikan bahwa guru mereka masih berada di tempatnya sebelum berlari ke sisi Javier.
“Dilarang masuk. Kau tidak akan mungkin nekat, Javier. Kau janji tidak akan membuat masalah lagi kali ini.”
Javier menyengir lebar. Tanpa menghiraukan peringatan Juliana, ia melompati pembatas lalu membuka pintu yang anehnya tidak terkunci. Juliana tersentak, memutar bola matanya memastikan tidak ada petugas yang memergoki mereka, lalu berjalan di belakang Aniella yang melenggang masuk dengan wajah tenang.
“Waah! Keren!” Javier bersorak takjub. Ia segera berlari ke ujung ruangan, di mana sebuah kotak kaca memamerkan sebuah keris dengan gagang burung garuda yang terukir dari emas. Tidak terkecuali dengan Aniella dan Juliana yang ikut terpana melihat senjata tradisional lain terpajang rapi di dinding ruangan.
Dilihat sekilas memang tidak ada bedanya dengan senjata yang sebelumnya mereka lihat di luar. Namun, jika diperhatikan lebih teliti, setiap senjata yang dipamerkan memiliki ukiran terbuat dari emas entah itu di gagang ataupun bagian senjata lainnya.
“Kenapa Cuma keris ini yang disimpan dalam kotak kaca?” tanya Javier penasaran. Mata keris terlihat berkilau di bawah cahaya lampu.
Entah sudah berapa lama mereka berada di ruangan dan mengagumi setiap benda . Juliana yang pertama sadar ketika melirik arlojinya, segera menarik tangan Javier yang tidak mau memalingkan tatapannya dari keris itu. “Kau sudah cukup melihatnya, bukan? Sekarang ayok kita pulang. Kita tidak mau terpisah dari rombongan.”
Javier terlihat enggan, tetapi ia tidak mau membantah. Ketika mereka sampai di pintu, mereka menyadari bahwa Aniella tampak bergetar di tempatnya. Tangan gadis itu mencengkeram gagang pintu erat, keringat dingin mengucur dari dahinya.
“Kenapa? Ada apa?”
“Pintunya ... tidak bisa dibuka.”
“Ha! Jangan bercanda!” Javier menepis tangan Aniella lalu membuka pintu. Detik berikutnya, giliran Javier yang mengeluarkan keringat dari lehernya.
“Haha. Hahahaha. Sepertinya seseorang sedang mengerjai kita.” Javier tertawa hambar. “Hei! Buka pintunya! Ini sama sekali tidak lucu!”
Sekuat tenaga Javier berusaha mendobrak pintu. Nihil. Bahkan ketika ia mencoba membuka kunci dengan jepit rambut milik Aniella, tidak ada bunyi ‘klik’ yang khas ketika kunci terbuka.
“Erm ... sepertinya kalian harus lihat ini.”
Sibuk dengan masalah di depannya, Javier dan Aniella tidak menyadari bahwa sejak tadi Juliana menepuk-nepuk punggung mereka.
“Apa itu?”
Tiga pasang mata seketika terbelalak tak percaya. Di ujung ruangan, cahaya tampak memancar dari keris yang terpajang. Getaran halus memberi retakan pada kotak kaca, perlahan semakin membesar sampai-sampai lantai tempat mereka berpijak ikut bergetar. Refleks Javier meraih Aniella dan Juliana dan menggenggam tangan mereka erat.
“Ukh! Apa yang terjadi?” Juliana memicingkan matanya, melawan silau berwarna emas yang memenuhi ruangan.
Javier menunduk, merasa pijakannya seolah menghilang. “Oh, sial—“
Terlambat. Begitu menyadari ada retakan di lantai, Javier tidak sempat menghindar. Retakan dengan cepat berubah menjadi belahan, lantas sebuah lubang hitam besar terbentuk hanya dalam sepersekian detik.
Jeritan melengking terdengar memekakakkan telinga seiring dengan tubuh mereka bertiga yang jatuh bebas ke dalam kegelapan.
***
Begitu membuka mata, Javier melihat bahwa mereka sudah berada di tempat yang berbeda dengan sebelumnya. Ruangan kecil tergantikan dengan lorong panjang, dan di tangannya tergenggam keris yang tadi memancarkan cahaya. Juliana dan Aniella terduduk di sisinya, mengusap pantat mereka yang terasa nyeri akibat pendaratan tidak mulus.
“Kalian tidak apa-apa?”
Keduanya mengangguk. Juliana mengedarkan pandang ke segala arah dan mengerutkan keningnya dalam. “Ini di mana? Apa yang terja—“
“Siapa kalian!?”
“Ada penyusup!”
Tiba-tiba dari ujung lorong muncul tiga orang pria berseragam berlari ke arah mereka. kalimat yang mereka ucapkan tampak asing di telinga, tetapi dilhat dari tampangnya sepertinya para pria itu bukan orang yang ramah.
“Katakan siapa kalian!”
Javier dan kedua temannya langsung tidak berkutik ketika bayonet yang terpasang di senjata laras panjang milik mereka terhunus ke leher.
“ ... Sepertinya kita dalam masalah besar sekarang.” Javier menelan salivanya dengan susah payah.
"Apa yang kalian bawa itu?" tanya salah satu dari ketiga pria itu. Mereka tampaknya curiga dengan apa yang para anak-anak itu bawa. Tanpa menunggu jawaban, diambilnya keris yang berada di tangan Javier dengan kasar.
"Kita bawa saja mereka."
Javier, Juliana, dan Aniella tidak tahu mereka akan dibawa kemana. Mereka hanya disuruh mengikuti. Juliana melirik Javier yang masih kelihatan tenang meski kini situasi mereka sama sekali tidak baik-baik saja.
Dan seperti seolah mengetahui dirinya diperhatikan, Javier menoleh. Menggerakkan dagu seakan bertanya apa. Juliana hanya memutar bola matanya malas. Berusaha memutar otak untuk lolos dari tempat aneh seperti ini.
Di belokan, mereka ternyata dibawa terpisah. Javier yang dibawa ke arah berbeda sendiri, menoleh kepada teman-temannya.
"Kenapa aku dibawa sendiri? Mereka mau dibawa kemana?"
Orang yang bertugas mengawasi Javier tidak menjawab, hanya melirik dengan sinis. Karena tidak ada jawaban, maka tidak ada yang bisa Javier lakukan selain mengikuti dan mencari tahu jawabannya sendiri.
Juliana dan Aniella ternyata dimasukkan ke dalam penjara yang isinya banyak wanita. Tanpa mengatakan apapun mereka berdua di dorong masuk dan ditinggalkan.
"Ini sebenarnya situasi apa, sih?" heran Juliana karena dirinya sama sekali belum paham dimana dan seberapa berbahayanya situasi sekarang.
Aniella yang sedari tadi diam itu menyikut Juliana, menunjuk wanita-wanita lain yang sedang terduduk dengan lesu. Pakaian dan cara menata rambut mereka samgat berbeda dengan Juliana dan Aniella.
"Kita sepertinya berada di masa lalu, entah tahun berapa," kata Aniella.
Juliana bergumam, merutuk kesal pada Javier yang benar-benar pembuat onar.
"Lalu sekarang dimana Javier? Ah, bagaimana cara kita kembali?"
Juliana benar-benar merasa frustasi karena tidak bisa melakukan apapun. Berbeda dengan Juliana, Aniella mendekati salah satu wanita yang paling dekat posisinya dengan dirinya.
"Maaf, kalau boleh tahu ini tahun berapa, ya?"
Si wanita yang ditanya itu mendesah berat. "Tidak peduli ini tahun berapa, karena kita semua sudah pasti tidak akan selamat."
"Kita pasti akan dijadiin pelacur," timpal seorang wanita yang lain.
Jawaban mereka membuat Juliana dan Aniella saling melempar pandang. Semakin menyadari kalau mereka harus keluar dari tempat ini secepatnya.
"Gila saja mau dijadiin pelacur," kata Juliana geram. "Tidak bisa. Kita harus segera keluar."
Aniella mengangguk setuju. Menjadi tahanan lalu pelacur sama sekali bukan hal bagus untuk dijalani. Mereka harus kembali ke dunia mereka sebelum itu benar-benar terjadi.
"Kita harus mendapatkan keris itu juga, 'kan? Aku pikir kita kemari karena keris itu."
Juliana mengangguk setuju. Berarti prioritas pertama sekarang adalah keluar dari penjara dan membawa keris itu menemui Javier. Dengan begitu mereka bertiga bisa kembali ke dunia mereka.
Sementara itu Javier dimasukkan ke sebuah sel sempit, di mana di dalamnya sudah ada kurang lebih sepuluh orang yang berjongkok sambil berimpitan.
Udara di dalam sana terasa pengap, sumpek, dan lebab. Penjara tersebut benar-benar mengerikan dan gelap. Javier ingin mencoba melawan, tetapi dia keburu dijejalkan masuk dan langsung dikunci bersama tawanan lain yang wujudnya terlihat mengkhawatirkan. Pakaian mereka tampak lusuh, wajah-wajahnya tirus dan badan mereka tampak kotor. Jelas kondisi di dalam sini sangat tidak manusiawi.
Entah semalaman atau seharian, Javier berada di sana. Dia tidak bisa melihat jam atau bahkan langit yang sudah berganti dari siang menjadi malam. Asumsinya mereka berada di penjara bawah tanah, sebab tidak ada sedikit pun cahaya matahari yang mampu menembus ruangan itu.
"Kurasa sekarang saatnya," kata salah satu tawanan, kemudian seseorang di sampingnya mengangguk mantap.
"Lakukan cepat!" perintahnya sambil bergeser memberi jalan.
"Ada apa?" kata Javier polos. Dia kelaparan saat itu, bahkan hampir-hampir ingin pingsan karena tidak mendapat oksigen yang cukup.
"AMKA akan mulai beraksi. Kamu diam saja dan harus nurut kalau ingin bebas." Javier langsung terdiam. Dia ingin bebas dan segera pulang.
Seorang tawanan itu membunyikan jeruji besi dua kali hingga terdengar berdentang pelan dan membuat seorang penjaga berseragam mendekat. Di menatap satu per satu wajah tawanan di dalam sana dan mengerutkan alis keheranan ketika melihat rupa Javier yang terasa asing, sebab dia mengenakan pakaian yang tak lazim digunakan pada masa itu.
Penjaga penjara itu kemudian celingukan, seakan memindai kondisi hingga akhirnya membuka sel tersebut dengan sangat hati-hati.
"Waktu kita sebentar lagi, serangan akan dimulai. Sebaiknya cepat cari tempat berlindung," peringat sang penjaga.
Javier yang kebingungan langsung ditarik tangannya oleh salah satu tawanan. Mereka bilang bahwa penjaga itu berada di pihak AMKA, yaitu Angkatan Muda Kereta Api yang belum lama ini menjadikan Lawang Sewu sebagai markas, tetapi tidak disangka ternyata ada serdadu Jepang yang malah menyerang mereka dan mau tak mau melakukan perlawanan.
Javier dan beberapa tawanan bergerak cepat dengan hati-hati. Ketika berpapasan dengan penjaga Jepang di kelokan, salah satu dari mereka langsung menumpas dengan sangat anggun. Tanpa suara, tanpa gerakan berlebih. Hingga menyebarlah mereka ke berbagai tempat yang Javier duga sebagai titik-titik pertempuran yang sudah direncanakan.
"Tunggu, aku punya dua teman. Mereka semua perempuan, aku ingin memastikan mereka selamat," kata Javier pada seorang lelaki tinggi bermata cokelat.
"Tenang, Dik. Ada teman kami juga di sana, kuyakin temanmu akan aman."
Meski ragu, Javier akhirnya memercayai kata-kata pemuda itu. Walau ternyata tak lama kemudian terdengar bunyi letusan senapan, teriakan kesakitan, dan warna-warni pertempuran yang pada malam itu tampak kisruh dengan aroma darah dan ketegangan.
***
Aniella dan Juliana berhasil keluar dari penjara berkat salah seorang pemudi yang merupakan anggota AMKA. Perempuan itu berhasil meyakinkan para tawanan wanita untuk tetap berpegang teguh pada harapan dan perjuangan, bahwa masih ada cahaya yang bisa muncul di tengah kegelapan.
Mereka berlari saat terdengar bunyi serangan tak keruan di sekitarnya. Pertempuran sudah terjadi. Tujuan wanita itu adalah membawa para gadis ke tempat yang aman dan berniat membobol ruang peletakan senjata yang bisa digunakan.
Beberapa wanita sudah dialokasikan ke tempat aman. Sebagian bersembunyi di belakang lemari, sebagian pergi ke toliet, dan beberapa sisanya di tempat lain.
"Kurasa keris itu ada di gudang senjata," bisik Juliana pada Aniella yang mengagguk setuju.
"Untuk apa kalian mencari keris?" tanya di pemudi.
"Anu, kami sepertinya terjebak dan ingin pulang. Terakhir kali kami ingat berada di museum dan tahu-tahu sudah ada di sini," terang Juliana.
"Lawang Sewu. Kalian berada di Semarang. Dan kupikir kalian memang berkata jujur, pakaian dan gaya kalian tampak aneh," komentar si pemudi.
Tanpa menghiraukan keadaan yang sedang memanas, pemudi itu membawa Aniella dan Juliana ke salah satu ruang yang tertutup rapat dan dijaga ketat. Beberapa orang bersenjata mengawasi tempat itu sambil membawa bayonet, tetapi si pemudi lantas menerjang dan maju melawan tanpa memberi tahu rencananya pada Aniella dan Juliana.
Hanya berbekal kepalan tangan dan bambu runcing yang dipungut dari salah satu jasad yang tergeletak, wanita itu dengan perkasa menumpaskan para penjaga yang kaget bukan main. Akses ke gudang senjata lantas terbuka lebar. Tak ada tentara Jepang yang memfokuskan perhatian ke arah itu sehingga mereka bertiga lantas masuk dengan cepat.
"Itu!" Aniella memekik gembira saat melihat benda yang dicari ada di atas tumpukan benda-benda runcing. Dia pun segera mengambil keris bergagang garuda tersebut dan menggenggamnya dengan erat.
"Kita juga harus cari Javier!" peringat Juliana.
"Di sana, bukan?" Aniella menunjuk menara air yang dapat dia lihat dari jendela. "Sepertinya sekilas aku bisa lihat baju modern dan wajah tengil Javier di sana."
"Berarti dia memang di sana," seru Juliana.
"Kalian gak akan nekat ke sana, 'kan? Apa kalian tidak lihat akses ke sana banyak berondongan senjata?" peringat si pemudi.
"Kita teriak saja," putus Juliana tanpa berpikir dua kali. "JAVIER!"
Aniella langsung membekap mulut Juliana, sementara si pemudi AMKA langsung bersiaga dengan bambu runcing di genggamannya.
"Kenapa sih hau harus mengumumkan keberadaan kita?" rutuk Aniella.
Akan tetapi, Javier langsung menyahut tak kalah lantang meneriakkan nama Aniella dan Juliana secara bergantian. Ketiga perempuan di gudang senjata lantas bergerak ke luar, mengendap-endap menghindari kontak mata dengan para lelaki yang sedang bertarung. Mereka pelan-pelan mendekat ke menara air, bersembunyi di balik tangga yang tinggi menjulang.
Seutas tali tiba-tiba turun menimpuk kepala Juliana, kemudian tak lama Javier melompat turun sambil berpegangan pada tali tersebut dan mendarat dengan tidak elegan. Ketiga remaja itu merasa lega karena bisa bersama kembali, tetapi mereka lantas kebingungan di tengah carut marut peperangan yang terjadi.
"Jadi, bagaimana cara menggunakan keris ini agar kita bisa kembali?" tanya Aniella.
Mereka saling pandang, karena tidak ada yang tahu caranya. Kemudian si pemudi menyahut. "Ada banyak pengorbanan hari ini, disertai pertumpahan darah demi mempertahankan kemerdekaan. Jika kalian berada di posisi kami, demi mendukung negara tercinta, meski harus mengorbankan nyawa akankah kalian melakukan itu?"
Ketiganya terdiam, merenung sekaligus memikirkan ucapan si pemudi itu. Lantas Juliana berseru seakan mendapat ide. Gadis itu merampas keris dari tangan Aniella, lantas memosisikan ujung keris tersebut pada letak denyut nadi di tangannya.
"Jika tebakanku salah, kuharap kalian bisa mencari cara lain," katanya sambil tersenyum.
Aniella hampir berteriak saat Juliana menggores sisi tajam keris itu ke urat nadinya. Namun, ketika ternyata cara itu berhasil, Aniella dan Javier melakukan hal yang sama untuk membunuh diri sendiri di masa yang kelam itu.
***
Ruangan sejuk dengan aroma kuno kembali menyeruak dalam hidung. Ketiga remaja itu terlentang di lantai museum dan tersadar saat ada petugas yang memarahi mereka karena berani-beraninya tidur di area umum.
"Aku masih hidup?" kata Javier panik.
Mereka bertiga saling pandang, kemudian mata ketiganya terpaku pada posisi senjata tradisional yang kini berada di posisi semula seperti saat mereka pertama kali melihatnya sebagai koleksi museum.
Mereka berhasil pulang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top