8 • semua jadi repot

__________

Suasana yang biasanya ramai karena ocehan Caca yang cerewet, begitu pun dengan Juna yang selalu berakhir menjadi sebuah perdebatan kini mendadak dilalap keheningan. Hanya suara deru mesin si Merah dan kendaraan lainnya serta sumber bunyi yang mereka dengar saat lewat. Misalnya, suara promosi khas konter HP beserta badut-badutan lucu khas merek ternama. Gadis Prastayadi itu hanya bersuara ketika mendapati kedatangan Juna yang tiba-tiba tadi di depan kampus. Dengan jawaban kebetulan lewat pulang dari kosan teman usai mengerjakan project group yang disinggung tadi pagi sebagai dalih.

Sesekali Juna melirik wajah Caca yang terpantul dari kaca spion, memastikan gadis itu baik-baik saja. Nyatanya, ia tahu dari caranya bertingkah juga raut wajah muramnya bahwa gadis itu tak baik-baik saja. Dia cukup tahu apa sebabnya yang tak lain ialah kejadian di depan kampus tadi.

Suasana ini tak biasa, membuatnya terasa canggung padahal bukan Juna pula yang salah seperti pasangan bertengkar pada umumnya. Ini bukan, jelas bukan begitu. Juna sampai gemas dan frustrasi sendiri ketika mendapati tatapan Caca yang kosong ke depan. Sampai-sampai Caca baru sadar kalau jalan yang mereka lalui bukan jalan menuju arah rumah yang biasanya.

"Kok, ke sini? Ini, kan, bukan jalan ke rumah kita?" tanyanya sedikit berteriak karena tahu sendiri kalau di motor apalagi dengan telinga tertutup helm mendadak tuli.

"Nyari angin bentar. Gue lagi mumet sama tugas kuliah," jawab Juna, berteriak juga.

Caca iya-iya saja, toh, kebetulan dia sedang badmood. Bohong kalau bukan gara-gara di depan kampus tadi. Dia tak peduli Juna membawanya ke mana walau hanya berkeliling kota pun tak apa. Memang awalnya begitu, sampai si Merah berhenti di salah satu kedai bercat ungu yang Caca yakini sebuah kedai es krim.

Tanpa banyak tanya, Caca turun dari motor begitu Juna memarkirkan motornya di tempat parkir. Kemudian, ia mengekor saat Juna mengajak masuk ke dalam.

"Rasa cokelat, 'kan, pasti?" tanya Juna memastikan kalau ia tak lupa dengan rasa es krim kesukaan Caca dari sejak kecil dulu.

Caca mengangguk lalu mengimbuh, "Mix juga sama rasa Oreo. Topping-nya samain aja."

Usai Juna memesan dan langsung membayar, mereka putuskan naik ke lantai atas mencari meja kosong. Caca masih saja mengekor dan tak bersuara apapun. Dia benar-benar mendadak bisu. Juna memilih tempat di balkon kedai yang mengarah ke jalanan. Kebetulan saja kedai sepi pengunjung, sehingga meja lain pun kosong.

Mereka duduk diam. Benar-benar bukan mereka yang biasanya. Juna saja sudah kehabisan akal dan kata, sedangkan Caca membuang muka ke jalanan di mana kendaraan berlalu lalang. Sungguh, yang tak lantas buat salah Tio, kenapa Juna yang merasa serba salah?

Dia mengusap wajahnya lalu menghela. "Udah, luapin aja, mau mewek juga boleh mumpung sepi," cetusnya.

Caca menoleh, menatap lekat manik jelaga Juna. Alih-alih air mata mendongsok keluar dari pelupuk matanya, ternyata umpatan berupa mengabsen nama-nama binatanglah yang lolos dari bilah bibir. Sontak Juna saja kaget. Dia speechless. Kalau saja kedai ramai pengunjung, mungkin dia juga kena imbas malunya. Jujur saja, Juna sangka ia akan bersedia meminjamkan bahunya sebagai sandaran. Nyatanya keliru.

"Darmawantio bangsat Siregar!" pungkasnya sebagai akhir umpatan luapan emosi. Napasnya kembang kempis dan kepalan kuat pada tangannya juga melemah.

"D-dah tenang, Ca?"

Caca tiba-tiba tersenyum dilanjutkan dengan tawa kesenangan. Bulu kuduk Juna sampai merinding. Di benaknya, Caca itu semacam psycho. Persis dengan Bima kalau sudah begini ternyata. Ya, jelas, mereka satu darah sebab darah lebih kental daripada air.

Nggak adek, nggak abangnya, kek psikopat semua, begitu umpatnya. Kendati demikian, tanpa disadari birai kurvanya juga ikut terpatri saat Caca mulai mencicipi es krim yang baru saja datang dengan perasaan antusias. Rasanya dia berhasil menjalankan sebuah misi.

***

"Bima!"

Suara panggilan ayah Bima terdengar yang kebetulan pemuda itu tengah berada di balkon lantai dua tengah memadu kasih dengan gitar kesayangannya. Matilda, itu namanya.

"Iya, Pah!" sahutnya melongok ke bawah, begitu pun ayahnya menengadah.

"Turun sini!"

Kendati tungkai Bima malas turun tangga, mau tak mau dengan dorongan tak boleh membantah orang tua ia pun lekas menghampiri sang ayah. Dia tak mau jadi Malin Kundang.

"Ada ap—"

"Cuci motor, dah kayak dari gunung aja motor kamu," tukas Pak Adi imperatif.

"T-tapi, Pah—"

"Nggak ada tapi-tapian Bima Adi. Papa nyuruh cuci motor kamu sendiri juga, bukan nyuruh cuci mobil Papa. Mau Papa tambahin sama nyuci mobil?"

"Nggak, Pah. Iya, siap, laksanakan cuci motor!" pungkas Bima pada akhirnya dengan tubuh tegak dan lengan seperti melakukan hormat layaknya prajurit pada komandan.

Sejurus kemudian, ia mengambil seperangkat alat tempur guna mencuci si kuda bermesin kesayangannya. Iya, kesayangan, tapi malas dimandikan. Awalnya memang hari ini ia mau cuci motor ke tempat steam cuci motor, tapi rasa malasnya mengalahkan niatnya dan kini malah berakhir melakukan hal yang lebih malas lagi.

"Pantesan aja nggak ada cewek yang mau nempel sama kamu. Orang motornya aja dekilan begitu," gumam sang ayah sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah usai pulang kerja.

Sementara Bima mendengar apa gumaman beliau, lantas menyahut agak berteriak, "Tapi orangnya kinclong, Pah!"

"Iya lah, bibit unggul siapa yang punya," jawab beliau dengan nada pongah meski bertendensi kelakar saja.

Berselang beberapa menit sang ayah masuk dan Bima sudah setengah kerja memandikan motor, suara deru motor terdengar mendekat lalu berhenti tepat di depan pagar. Bima lekas menghentikan aktivitasnya, ia agak melongok guna memastikan bahwa itu memang motor Juna yang barusan mengantar pulang Caca. Namun, ia tak keburu menyapa Juna sebab majikan si Merah sudah berbalik pulang. Agaknya Juna dan Caca pun memang tak menyadari kehadiran Bima yang tengah mencuci motor.

Caca masuk ke gerbang dan dikagetkan akan presensi Bima. Kemudian kembali bersikap biasa, ia hendak berlalu masuk rumah tanpa mengucap sepatah kata. Akan tetapi, tangan Bima mencekal lengannya.

"Ada apa, sih, Kak? Gue capek, nggak mau debat sama lo."

Bima tak lantas menjawab, ia memicingkan mata curiga seperti ada sesuatu yang aneh dari adiknya. "Lo … habis nangis?"

"Nggak," sanggah Caca.

"Bohong. Terus kenapa mata lo sembab?" tanya Bima skeptis.

"I-ini … gue baru bangun tidur di kosan Yuna terus Juna jemput pulang—"

"Si Juna nyakitin lo, 'kan? Lo nangis gara-gara dia? Dah gue bilang 'kan lo mending putus—"

"Bukan! Ini bukan gara-gara Juna, Kak!"

"Dek, lo nggak usah bela dia karena dia pacar lo sekarang. Gue tahu ini bakal terjadi. Jadi, si Juna da—"

"Justru dia udah ngehibur gue, Kak. Emangnya kenapa, sih, dia sobat lo sendiri, 'kan?"

"Iya, tapi—"

"Caca, Bima!" Suara bariton tegas menyusupi rungu mereka. Kepala mereka perlahan menoleh pada sumber suara di mana sang ayah berdiri dengan berkacak pinggang di ambang pintu masuk. "Kalian ini sehari aja bisa nggak ribut? Heran, Papa. Mana di luar, nggak malu sama tetangga? Sudah, Caca masuk!"

"Aku, Pah?" tanya Bima bisa-bisanya sok polos di suasana seperti ini.

"Malah nanya. Lanjutin cuci motor, masa mau Papa yang cuciin?!"

Dengan langkah gontai dan bibir menganjur ke bawah, ia terpaksa melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda akan perihal kecurigaan yang berujung adu argumen. Sedangkan Caca pun masuk ke rumah—tak lupa sun tangan pada sang ayah terlebih dulu—dengan langkah seolah-olah mencak-mencak setiap ia meniti anak tangga menuju kamarnya. Dia direk melemparkan tubuhnya ke ranjang. Lagi-lagi menatap plafon kamarnya sejenak lalu bangkit lagi menuju cermin. Dia menatap pantulan dirinya yang jauh dari kata rapi dan baik-baik saja. Seperti kata kakaknya, matanya memang sembab. Meski begitu, kakaknya itu memang peka, ia tak menyangkal.

Caca menghela napas lalu merebahkan kembali tubuhnya pada ranjang tak peduli dengan bau badannya. Dia tahu itu jorok. Dia malas untuk langsung membersihkan diri, padahal tubuhnya sudah bau apek, asem, dan bau panas matahari. Oh, dan tak lupa badannya lengket karena keringat. Toh, memang seharusnya lebih baik tunggu keringatnya kering dan suhu tubuh mendingin dulu sebelum mandi. Kalau langsung mandi, takut-takut langsung masuk angin—istilah penyakit yang populer bagi orang Indonesia.

"Kenapa coba gue akhirnya malah nangis di motor? Malu-maluin," erangnya sembari mengingat hal memalukan saat pulang. Ya, akhirnya dia bisa meluapkan emosi dengan meluruhkan air matanya di atas motor. Caca tak peduli dengan pakaian Juna yang jadi korban mengelap lendir dari hidung dan basah karena air matanya, yang ia pedulikan justru rasa malu takut-takut beberapa orang yang lewat tahu ia tengah tersengut-sengut di atas motor.

Tak lama kemudian, ketukan pintu terdengar. Caca mengizinkan masuk. Tatkala gagang pintu dipotek dan daun pintu kontan terbuka, tampaklah sosok kakaknya Bima menatapnya cemas.

Caca meliriknya sekilas lalu matanya membola. Dia agak malas menatap sang kakak.

"Ngapain kemari? Pasti disuruh Papa, ya, 'kan?"

"Kakak boleh duduk di sini?" tanya Bima sambil mengarahkan dagu pada tepi ranjang dan tak mengindahkan pertanyaan retorik Caca. Caca diam, tak menjawab. "Diam artinya iya."

Hening sejenak. Caca menatap plafon kamar; Bima menatap sang adik lalu menggaruk tengkuknya.

"Dek, maafin Kakak soal tadi. Kakak cuma khawatir," ujar Bima melembut.

Caca menoleh lalu beringsut untuk duduk. "Iya, Caca maafin. Maafin Caca juga, Kak."

Caca dan Bima kalau memang sedang seperti ini berubah melembut, baik sikap maupun kata. Subjek menyebutkan diri mereka masing-masing saja mendadak berubah menjadi persona tunggal ketiga. Kendati begitu, ya, pasti cepat berubah lagi. Contohnya, sekarang saja.

"Gue nggak mau lo sakit lagi. Kalau boleh milih antara dua sobat gue, mending sama Abin aja dah," ungkapnya, memulai lagi. Lengannya sambil mengacak surai pada puncak kepala sang adik. Caca lekas menepis. Baru saja damai, perang kembali dimulai.

"Keluar sekarang!"

Bima sempat terkaget. Apa ucapannya salah lagi?

"Keluar!"

Caca mendorong Bima keluar, lalu menutup pintu dan menguncinya. Helaan napas mengudara dan menyugar surai panjangnya.

Justru sama Kak Abin, gue lebih sakit hati lagi karena hatinya masih buat Kak Lia, Kak.

Caca menarik kembali kata-katanya tadi. Kakaknya ternyata tidak peka.[]

Telat sih, tapi gimana keadaan kalian saat kang/mas tubatu comeback? Masih waras? Aku siii ga waras lololol

‼️ Announcement‼️
kalo kalian nunggu cerita aku /kagak adaaaa/, aku putuskan Sweet Plan update setiap Rabu & Sabtu. Ini tuh pen update terus, tapi kewajiban nguli(?) bakal mulai hectic lagi hikd. So, c ya~

—180821, ara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top