5 • firasat seorang abang
___________
Senja hari enaknya ngopi sambil kongko-kongko bareng konco sejawat. Apalagi ditemani musik indie, lengkap sudah jadi anak indie, kalau kata orang-orang. Begitu pula yang dilakukan Bima dan Abin, ditemani kopi dan kue kering—yang disajikan Tante Dini—di balkon kamar Abin menikmati waktu santai usai pulang ngampus. Pemuda Prastayadi memetik senar gitar dan bersenandung diikuti pula oleh sang sobat. Seketika ia menghentikan permainan gitarnya dan menceletuk, memulai kembali obrolan random, "Bin, lo jadi ambil KKN awal semester ini?"
"Jadi lah orang udah dapet kelompok KKN. Lo akhiran?"
"Ya iyalah, kapan lagi?" Bima menyesap kopi lalu mengimbuh, "Barengan sama si Juna paling."
"Barengan mulu lo, awal mau masuk kuliah milih jurusan TI cuma ngikut dia, sekarang KKN juga gitu. Jangan bilang lo kalo si Juna kawin ngikut kawin juga?"
"Nikah dulu, woy, nikah!" sewot Bima.
"Heran gue sama orang-orang padahal nikah sama kawin sama aja, sinonim."
"Beda!"
"Serah lo dah."
Abin tak mau ambil pusing berdebat dengan sang rajanya bersilat lidah. Cukup Caca dan Juna saja yang tahan meladeninya, sebelas dua belas memang. Dia abaikan lalu meraih ponselnya ketika sebuah notifikasi pesan masuk terdengar, kontan birai senyumnya terukir bersamaan lesung pipinya pula ikut tercekuk.
"Lo masih kontakan sama Lia?" celetuk Bima seakan memang sudah tahu segala hal tentang sahabatnya apalagi mendapati reaksi Abin kala menatap layar yang diyakini pesan dari sang mantan terindah. Sebenarnya kalau kata Abin, Lia itu mantan terindah, lantas kenapa harus putus? Nggak habis pikir.
"Putus hubungan cinta bukan berarti putus pertemanan juga, 'kan?"
"Ya, iya, sih. Tapi gue tahu sebenernya lo masih sayang, 'kan, sama dia?"
Abin tak bisa mengelak, dia tak mau membohongi hatinya. Mau tak mau, ya, dia akui, "Bohong kalau gue udah nggak ada perasaan sama sekali sama dia," ungkapnya.
Bima berdecih. "Sesuai harapan, emang lo nggak bisa berpaling dari dia. Pantesan gue kenalin sama cewe ini-itu kagak ada yang klop."
Ya, hati Abin masih tersangkut, tak bisa keluar jeratan hatinya Lia. Seolah-olah tak ada tempat singgah ternyaman yang lain. Hanya Amalia Sharfina seorang.
"Nah, lo gimana sama si doi? Lo masih belom berani deketin dia? Lo, 'kan, bisa minta bantuan adek lo barangkali mau bantu. Kata orang-orang lo emang buaya, tapi gue sebagai sobat lo tahu kalau hati lo cuma pilih satu. Si doi."
Benar kata Abin. Memang dia seperti gencar mencari perempuan hanya sebagai target permainan perasaan, tapi untuk masalah hati ada satu perempuan yang benar-benar menarik hatinya. Namun, dia ragu mendekati. Pasalnya, dia rasa si doi tak pantas bersamanya. Takut, hati si doi tersakiti. Katakanlah Bima ciut nyali, dia akui.
Bima mendesah gelisah. "Gak tahu, gue belom berani. Apalagi tahu rumornya lagi deket sama kating."
"Gue baru tahu kalau Bima Adi bisa sepesimis ini," selorohnya lalu menjejalkan kue kering ke dalam mulutnya satu kali gigitan.
Sedangkan Bima mengacak rambut gondrongnya yang sengaja ia panjangkan meski mamanya kerap kali menyuruhnya potong rambut. Kemudian, ia kembali memetik senar gitar. Baru saja lewat beberapa kunci gitar yang ia petik, dia terhenti. Ada sekelebat pikiran yang mengganggu kepalanya.
"Bin."
"Hm?" Abin merespons dengan dehaman, tapi atensinya masih pada layar ponsel.
"Lo tahu sesuatu nggak antara adek gue sama si Juna? Atau si Juna pernah ngomong atau curhat apa kek ke lo?"
Abin tampak berpikir, tapi tak perlu waktu lama untuk menjawab, "Kagak. Kenapa emangnya?"
"Gue punya feeling nggak enak."
"Apa?"
"Kalo mereka itu pacaran. Tapi masa, gak mungkin lah, ya?" sangka Bima lalu diiringi tawa hambar.
"Kalo iya pun emangnya kenapa? Nggak apa-apa, 'kan, kalo itu bener?"
"Nggak, gak, gak. Seusil-usilnya gue sama adek gue. Di antara lo berdua, gue paling nggak mau adek gue sama si Juna. Mending elo daripada tuh buaya."
"Emangnya lo nggak ngaca?"
Belum sempat Bima menyanggah, suara deru motor terdengar familier. Mereka segera menilik ke bawah di mana itu motor Juna berhenti di depan rumah Caca, rumah Bima juga. Dua sejoli itu masih belum menyadari presensi kedua pemuda itu tengah melihat gerak-gerik mereka dari balkon. Namun, bagi Abin dan Bima tak ada yang aneh seperti apa yang dipikirkan Bima. Hanya saja firasat Bima mengatakan lain. Bahkan, tak ada lambaian tangan atau ucapan manis sebagai kata perpisahan, yang terdengar hanya saling makian seperti biasa mereka dengar.
Motor Juna berbalik pulang, pemuda itu tak menyadari akan presensi kedua sobatnya itu. Begitu pun Caca yang sudah raib dari balik daun pintu rumah. Bima dan Abin juga tak berniat menyapa mereka.
"See? Mereka nggak ada apa-apa, Bim."
Bima memiringkan kepalanya dan dahinya mengernyit, tampak berpikir. Hingga satu tepukan pada pundaknya menyadarkannya.
"Dah lah, sok mikir lo. Lagi pula itu urusan mereka berdua," imbuh Abin.
Enggak. Ini urusan dia juga. Hatinya masih mengganjal. Bima perlu memastikan.
Beberapa jam lamanya dia terus berkontemplasi. Sampai esok harinya berpikir lalu menjelang malam lagi. Mungkin seharian lebih dia begitu. Bukan seperti Bima yang biasanya. Namun, dia belum kunjung pula bertanya pada orang bersangkutan. Padahal baik Bima maupun Caca, hari sabtu tidak berniat keluar kemana-mana. Dari situ pula Bima berpikir bilamana mereka punya hubungan, bukankah hari sabtu dan malamnya juga mereka akan keluar rumah? Nyatanya Caca seharian di rumah. Saat Bima mengintip ke kamarnya pun sang adik malah bermesraan dengan laptopnya yang menayangkan drama Korea.
Kebetulan sekali saat malam hanya mereka berdua di rumah, di ruang tengah depan televisi. Mama dan papanya keluar, katanya mau malam mingguan berdua seperti pasangan ABG. Meskipun sudah tua, mereka masih mesra. Harmonis sekali. Baik Bima dan Caca sudah biasa, toh, memang harusnya begitu membiarkan kedua orang tuanya menikmati waktu berdua tanpa mereka. Asalkan pulangnya harus bawa makanan. Jujur, itu yang paling mereka tunggu.
"Dek."
"Hm." Caca hanya berdeham tanpa menoleh dari layar televisi. Tangannya pun sibuk memasukkan snack ke dalam mulut lalu giliran organ dalam mulut yang bekerja. Tiba-tiba sepasang kaki gajah—bukan, deh, maksudnya kaki panjang menimpa pangkuannya dan lekas ia menyingkirkannya. "Kebiasaan lo. Gak sopan!"
"Pijitin."
"Ogah."
"Berbakti pada abang itu berpahala."
"Gak."
Bima menyerah sebab bukan itu tujuannya. Keusilan tadi hanya sekadar basa-basi, syukur-syukur kalau Caca mau. Namun, mana mungkin adiknya itu mau. Begitu pun dirinya kalau disuruh Caca pun pasti ogah-ogahan juga.
"Ada apaan lo sama si Juna? Jangan bilang lo pacaran sama dia?" tanya Bima to the point. Habisnya dia juga sudah gemas sendiri.
"Kalo iya, kenapa?"
"Kalo iya, ya … APA?! Anjir! Sumpah lo?!" Bima kaget dengan jawaban Caca yang kelewat santai, sementara dia yang dengar sekonyong-konyong merasa ditimpa barbel paling berat yang selalu ia temui di tempat nge-gym—kalau lagi mood. "Kenapa lo malah sama si Juna? Emangnya nggak ada cowok lain apa? Bukannya lo masih ada rasa sama si Tio? Kalau mau, gue bakal bantuin lo balikan sama si Tio, asal lo jangan sama si Juna."
"Udah nggak ada rasa sama si brengsek Tio."
Bima mengusap wajahnya seraya mengambil napasnya dalam-dalam. Kali saja bisa melangiskan rasa syok yang baru saja mendera. "Ya, kalo gitu … kalo ngebet banget pengen punya cowok, biar gue cariin, asal jangan si Juna. Banyak kenalan bahkan temen gue yang ganteng walau gak seganteng gue. Biar gue kenalin, asal jangan si Juna!" sungut Bima tetap bersikukuh.
"Pasti temen lo juga gak beda jauh sama lo. Emangnya kenapa, sih, gak boleh si Juna?"
"Pokoknya jangan dia, mending lo sama anaknya Pak Jaya daripada Juna."
Caca sempat terdiam sejenak, sempat kaget dengan pernyataan kakaknya yang lebih dukung dia dengan Kak Abin. Kenapa gak dari dulu, sih? Caca menganjurkan bibirnya ke bawah. "Kak Abin gak bakal demen sama gue, Kak. Lo, kan, tahu dia masih berharap balikan sama Kak Lia," ujarnya lemah.
"Gue bantuin, anjir. Jadi, sekarang juga lo putus sama si Juna!"
"Gak."
Caca beranjak dari sofa lekas masuk ke dalam kamarnya sebelum perdebatannya semakin panjang. Tumben, kali ini dia malas adu mulut dengan sang kakak. Selain itu, dia tak mau bahas lebih jauh. Baru mengetahui ini saja sudah marah, apalagi kenyataannya.
"Putus gak lo?!"
"Gak dulu."
Kemudian, debaman pintu menjadi titik akhir dari adu mulut mereka, awalnya. Tahu, 'kan, Bima tak mudah menyerah? Dia menggedor pintu kamar sang adik yang terkunci dari dalam, sedangkan sang empunya menyumpalkan earphone ke telinga. Sengaja ia setel salah satu lagu dari Linkin Park yang bergenre rock melalap suara gedoran dan teriakan Bima dari luar.[]
p.s. kalo notice waktu di ss twt, diharap abaikan wkwk
—100821, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top