4 • pagelaran dimulai
_________
Esok, di pagi hari. Mentari sudah muncul dari ufuk timur—syukuran, masih belum dari barat—menyinari bumi demi keberlangsungan aktivitas makhluk hidup. Induk burung sudah mencari makan untuk anak-anaknya di sarang, begitu pun tukang sayur sudah lewat depan rumah demi menghidupi anak-istrinya di rumah. Ibu-ibu kompleks juga sudah mengerumuni abang tukang sayur, bukan karena pesona si abang, tapi mereka butuh membeli bahan dapur demi anak dan suami tercinta. Tukang sayur dan ibu-ibu itu sudah menjadi ikatan masif, dua-duanya saling membutuhkan dan menguntungkan. Bisa dikatakan simbiosis mutualisme. Begitu pun Pak Adi—suami Ibu Rani dan ayah dari Bima dan Caca—tampak memanaskan mobil dengan bersetelan necis. Persis orang hendak pergi kerja demi menjemput rezeki, bukankah abang tukang sayur dan Pak Adi sama-sama seorang suami?
Lupakanlah narasi sampah di atas. Sebenarnya, ini mau bahas kedatangan Juna, mengapa jadi bahas tukang sayur, ibu-ibu, dan Pak Adi?
Arjuna Yuga Giffara—pemuda kompleks sebelah yang Pak Adi ketahui dia anaknya Pak Pandu dan sobat anaknya dari TK—datang dengan si Merah kesayangannya yang diparkirkan depan rumah agak jauh dari gerbang, tahu kalau Pak Adi bakal mengeluarkan mobilnya. Dia menghampiri Pak Adi yang sudah menyambut hangat.
"Wih, Nak Juna, pagi-pagi dah dateng, rajin," puji beliau.
Juna terkekeh sambil menyalami beliau. "Pagi, Om!"
"Mau ke siapa? Bima? Atau Caca?"
"Caca, Om. Ada?"
"Tumben akur."
Siapapun tahu kalau Juna dan Caca jarang akur dari kecil. Tetangga sekitar saja tahu. Bukan rahasia lagi, kecuali kalau memang ada tetangga baru.
Juna menyengir kuda menampakkan gigi kelincinya. "Kali-kali, Om. Lagi gencatan senjata ini."
Gelak tawa Pak Adi menggelegar, khas yang tak beda jauh dengan anaknya, mau itu Bima ataupun Caca. Sama-sama punya suara bass. "Ada-ada aja kalian. Katamu perang dunia? Ya, udah, masuk aja atau duduk di depan boleh, terserah. Om duluan berangkat kerja," ujar Pak Adi sembari menepuk bahu tegap Juna lalu hendak masuk ke dalam mobil.
"Ya, Om, hati-hati!"
"Bima! Tolong, tutup gerbangnya. Papa berangkat nih!" teriak beliau, lekas Bima pun keluar.
Mobil metalik hitam sudah keluar dari halaman rumah disusul Bima menutup pagar rumah sesuai suruhan papanya walau masih koloran, kaos oblongan, belekan, dan rambut gondrongnya acak-acakan. Dia mengucek matanya dan menguap.
"Tumben lo kemari pagi-pagi. Bukannya ada kelas pagi?" Bima membulatkan matanya. "Jangan bilang lo mau bolosnya kemari?! Gue bilangin Tante Dewi, abis lo!"
Belum sempat Juna menyanggah, Caca keluar dan sudah siap dengan jaket denim juga tas tote bag menyampir di bahunya.
"Lah, ada kelas pagi juga lo, Dek?"
"Menurut lo?"
Juna pun bangkit dari duduknya. Bima ikut menaruh atensinya pada Juna juga diikuti kerutan di dahinya.
"Ca, jangan bilang ternyata bener sekarang ganti haluan nebeng sama si Juna?"
"Kalo ada yang nawarin, kenapa enggak? Daripada punya abang nggak guna, wleee."
"Justru elo, makanya belajar motor biar gak nyusahin orang lain. Belagu cuma bisa mobil."
"Yeee, orang kata Papa juga gapapa cuma bisa mobil doang. Biar gue yang dibeliin mobil. Lo, kan, udah dibeliin motor baru juga sama Papa."
Kalau saja ingat Caca bukan perempuan dan bukan adiknya juga bukan karena mama-papanya, entah nasib seorang gadis bernama Bianca Nadila Prastayadi ini. Pagi-pagi sudah ngajak ribut.
"Bim, gue cabut duluan, ya?" Lalu beralih pada Caca. "Yuk, Ca! Entar telat. Eh, bentar. Tante Rani mana?"
"Lagi di kamar mandi pas gue pamit. Udahlah cabut aja, gapapa. Mama dah tau, kok."
Tiba-tiba Bima menyodorkan tangan pada Caca. Gadis dengan keturunan yang sama itu jelas tahu maksud kakaknya, dia pun lekas mencium tangan. Ya, mau nggak mau, gitu-gitu juga masih abangnya. Lalu mereka pun pergi dengan si Merah kesayangan Juna meninggalkan Bima yang masih penuh tanda tanya di kepalanya sekaligus mengumpulkan beberapa persen nyawa lagi.
***
Pagi diawali adu mulut dengan sang kakak lalu berlanjut dengan Juna di sepanjang jalan, bukanlah hal baru bagi Caca jika soal adu mulut. Hanya saja hal baru itu pergi ngampus bareng Juna. Bukan tanpa alasan, ini semua dilakukan demi keberlangsungan rencana yang mereka sepakati kemarin siang dan benar-benar dilegalkan pada malam hari via aplikasi chatting.
Mereka sudah menapaki lingkungan kampus dan Juna sengaja mengantarnya sampai depan gedung fakultas Caca. Kebetulan sekali target sudah ada di sana, seakan tahu apa yang harus dilakukan, Caca paham. Dia turun dari motor lalu Juna lekas membukakan kunci helm dan membukakannya. Lemparan senyum manis dilanjutkan dengan lengannya merapikan surai panjang Caca dengan lembut.
Sementara Karina yang memang satu fakultas dengan Caca, berada tak jauh dari mereka tengah menatap bengis. Mukanya sudah masam.
"Kamu beres kelas jam berapa hari ini?"
"Ada dua kelas, tapi semuanya beres jam 12."
"Ya, udah, sama. Aku jemput lagi atau aku tunggu di kantin?"
"Jemput bisa, nggak?"
"Anything for you, babe."
Jujur. Keduanya sudah mual. Rasanya sarapan yang sudah masuk ke dalam lambung ingin sekali naik ke kerongkongan lalu dikeluarkan kembali. Serius, bukan main.
Agaknya Karina sudah naik pitam. Mereka bisa melihat kepergiannya dari ekor mata mereka. Begitu mereka pergi, lekas Caca menjauhkan diri dari Juna lalu berpura-pura muntah.
"Mual gue, anjir!"
"Heh, gue nggak ngapa-ngapain lo. Nyium lo aja belom, apalagi ngelakuin itu ke lo."
"Heh, jaga mulut tuh, Arjuna! Gak bakal itu terjadi, amit-amit, Ya Gusti!"
"Bisa nggak, sih, lo profesional? Udah, sementara lo harus terbiasa, lo nggak mau, 'kan, rencana kita gagal? Gimana tiba-tiba si Tio juga lewat?"
Juna menyadarkannya. Benar, demi rencana semua ini sukses, dia harus profesional. Apapun itu demi tujuannya.
"Tadi emang boongan, tapi bener nih lo beres jam 12 gue jemput lo di sini. Oke?"
"Hmmm." Dengan muka malas-malasan Caca mengiyakan, terpaksa. Demi rencana.
"Ya, udah, gue juga masuk kelas. Belajar yang bener lo. Bye."
"Ya, ya, ya, cepetan pergi ke habitat lo, Buaya!"
Juna dan si Merah akhirnya melenggang pergi. Nyatanya bukan langsung ke kelas, belok bentar mampir ke kantin. Santuy, masih ada sepuluh menit lagi katanya.
***
"Brother!"
Pemuda tinggi berdarah blasteran tengah berlari lekas merangkul pemuda berhidung bangir dengan mata bulat khasnya yang juga cocok dengan bentuk rahang wajah tegasnya. Juga bersetelan rapi yang menampakkan khas anak kedokteran. Dari auranya pun sudah jelas pemuda itu cerdas bukan main. Darmawantio Siregar, lebih dikenal dengan panggilan Tio, dialah orangnya. Sedangkan si pemuda blasteran, orang-orang mengenalnya Gideon. Kadang, ada juga yang panggil Kamal dari nama tengahnya. Namun, tak ada yang panggil Huening dari nama akhirnya. Sebagian orang awam katanya susah nyebutnya.
"Mau ke mana lo? Kelar kelas, nih?"
"Gue mau ke perpus bentar. Kelas gue masih ada satu lagi tar sore," ujarnya.
"Widihh~ emang beda, ya, orang pinter. Gue kira lo mau mampir kemari, tengok Caca gitu, kali aja kangen mantan," seloroh Gideon, suka sekali menggoda sahabatnya ini.
"Kan gedung FE sama perpus sebelahan. Ya, mau ke mana jalan lagi?"
"Ke jalan hatinya Caca."
Sarat dengan gelak tawa Gideon yang puas menggoda Tio meski tak ada letak lucunya di mana bagi pemuda Siregar itu sekonyong-konyong mendadak tertelan keheningan. Tatkala dua pasang mata tak sengaja menemukan dua sejoli familier yang berada tak jauh di sana. Tampak Caca berlari antusias mendekat ke arah motor vespa merah. Senyuman merekah tak langis dari keduanya bagai sepasang insan sebati dimabuk asmara. Didukung dengan sang lelaki menyelipkan surai tergerainya Caca ke belakang daun telinga sebelum dipasangkan helm.
Gideon sesekali melirik Tio berhati-hati memastikan raut mukanya baik-baik saja. Namun anehnya, pemuda itu tampak biasa-biasa saja. Ekspektasi bahwa Tio cemburu tak kentara dari raut wajahnya membuat pemuda blasteran itu terheran-heran. Aneh.
"Lo … nggak cemburu?"
Tio tertawa sarkastik. "Buat apa? Gue udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sama Caca. Sekarang dia bebas mau sama siapa aja."
"Tapi, lo, 'kan … masa iya perasaan lo tiba-tiba ilang begitu aja dalam sekejap?"
Gideon masih kukuh dengan persepsi akan probabilitas Tio yang masih menyimpan perasaan pada Caca. Sementara Tio melenggang pergi ke tempat tujuan awalnya—perpustakaan untuk cari referensi tugas kuliah. Begitu pun Gideon mengekori dan masih gencar melayangkan bertubi-tubi pertanyaan. Sementara sosok Caca dan Juna pun sudah pergi keluar dari lingkungan kampus.
Wajah Tio memang tampak biasa saja. Namun, hatinya tak bisa berdusta.[]
Aloha~
Mau bilang sih kalo kalian ngeuh sama chapter kemaren soal pembagian najis. Yaelah kek belajar agama aje. Maksudnya hewan yg kategori najis kok bisa²nya aku yang harusnya nulis 'dog' jadi 'monkey' itu jauh typo-nya dan aku baru koreksi pas baca sendiri chapter sebelumnya. Dimohon dimaklum dan sekian curcolnya.
Jan lupa tinggalkan jejak, makasii sebelumnya yang udah mampir juga tinggalkan jejak, uwuuu /send a million luvs/
Eh, jan lupa, D-9 nih. Apa hayooo selain HUT RI?
—080821, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top