3 • tebengan
___________
Juna
| Jam berapa lo selesai kelas?
Ngapain tiba-tiba nanya? |
| Lo mau tumpangan gratis ga? Mumpung gue baek
Jam 12 juga dah selese |
| Njir, lagi panas-panas gini?
Lo, niat ga si? |
| Oke, kabarin kalo beres, gue masih di kantin soalnya cuma ada satu kelas
Ga nanya sumpah |
| Tar tunggu di parkiran
Tatkala menerima pesan sekaligus jemarinya menari di atas layar gawai pipih, Caca berusaha menahan tawanya. Sontak Yuna yang berada di sebelahnya hanya menatap aneh. Baru saja romannya kusut, tapi ketika mendapati layarnya yang tanpa sengaja menampilkan layar aplikasi chatting, tak berapa lama mematri senyuman-senyuman aneh. Mau heran, tapi dia Caca, sahabatnya. Beruntung mereka duduk di baris ke lima paling ujung dekat tembok. Kemungkinan kecil Prof. Anwar menangkap basah Caca yang lebih memilih menaruh atensinya pada gawai pipih daripada perkuliahan beliau.
Yuna lekas menyenggol. Seakan Caca paham dengan kodenya pun menoleh, tapi ia belum kapok. Dia hanya menandas kelewat seperti bisikan, "Kalem. Prof. Anwar baik, 'kan?" Kemudian lanjut menggulir layar benda kesayangan para generasi zaman kini.
Hanya bisa merotasikan mata jengkel dan menghela napas, Yuna menyerah akan kebengalan Caca. Memang Prof. Anwar katanya baik, kalau telat, masuk aja; tak ada tugas dan tetek bengeknya; dan tak pernah peduli mahasiswa ajarnya memberi atensi penuh pada kelasnya. Justru hal itulah membuat mahasiswa ajarnya menjadi kurang ajar, semacam Caca. Beliau tahu, makanya dia mengubah teknis perkuliahannya dan Caca sendiri belum tahu—selain poin-poin baik di atas—kalau Prof. Anwar terkenal akan …
"Baik. Sebelum kita akhiri perkuliahan, saya akan memberikan kuis pada kalian sebagai penutup perkuliahan ini."
Kuis dadakan.
Sontak mata Caca membeliak. Lebih syok dibandingkan (kalau) Tio punya pacar baru. Bilah bibirnya dalam hitungan sekon akan meloloskan kata andalannya, meski harus meraung dalam hati, berbisik, sampai memekik.
"Mampus."
Masih untung, mata kuliah kali ini bukan menyoal hitungan, lebih ke teori. Maka jalan pintasnya tentu saja dengan … seni mengarang.
***
Terik panas mentari menusuk kulit kepala kalau saja tempurung kepala dua insan itu tak dilindungi helm. Sayangnya, bau matahari masih saja tercium dari dalam helm dan masih terasa panas. Agaknya bukan pilihan bagus dari kampus langsung pulang di siang hari bolong begini. Caca sudah kebiasaan, sebelum-sebelumnya, kan, Caca diantar-jemput oleh pemuda bermobil, Tio, tentunya. So, nggak bakal kepanasan langsung. Itu pun kadang langsung pulang, kadang enggak. Biasa, rutinitas dua muda-mudi yang dimabuk asmara kalau Tio tak ada acara apapun dan tak sibuk di organisasi.
Si Merah membelah jalanan lengang, kebetulan tak begitu macet. Sampai akhirnya menepi dan melaun lambat. Sang pengemudi membuka kaca helm lalu sedikit berteriak. "Ca, melipir bentar, ya? Panas," pintanya dan mendapati anggukan setuju.
Namun, si Merah tahu-tahunya berhenti tepat di depan pedagang kaki lima. Caca turun mengikuti Juna. "Bang, es kelapa mudanya dua, minum di sini, ya?"
"Siap, Bos!" seru abang penjual es kelapa muda seolah-olah sudah akrab dengan Juna.
"Langganan?" tanya Caca agak berbisik seraya mendaratkan pantatnya di salah satu bangku satuan tanpa sandaran. Begitu pun Juna dibarengi anggukan.
"Iya, dia si abang penyelamat kalo panas gini pas pulang ngampus."
"Kalo hujan?" tanya Caca seperti berkelakar. Faktanya dia tak berniat tanya-tanya lebih jauh. Cuma, ya, bukan Juna dan Caca kalau hening. Pasti ada saja perbincangan tak penting.
"Di warkop depan sana ngejual bandrek juga, entar gue tunjukkin kalau lo mau tahu," jawabnya yang mau-mau saja meladeni. "Elo, sih, bermobil terus. Jadi, enggak tahu rasa nikmatnya kepanasan-kehujanan terus mampir di tempat-tempat kayak gini. Gue tahu style pacaran kalian. Pasti gak jauh-jauh mentok ke mall, bioskop, kafe gitu-gitu. Dah, kebaca."
Ya, benar juga, sih. Kadang Caca sudah bosan. Ke sana lagi, ke tempat yang sama lagi. Muter-muter saling tanya mau ke mana, Caca pasti jawab "terserah" dan ujung-ujungnya mentok di tempat yang sudah berapa kali mereka datangi. Oh, tempat tambahan kencan, mungkin perpustakaan. Itu pun tak sering. Meski Caca menghabiskan waktunya membaca novel, sementara Tio mengerjakan tugas, tetap saja rasanya mengantuk. Kadang Caca menyuruh Tio mengerjakan tugas di rumahnya kalau sedang tidak dijadikan sarang buaya.
Dua gelas es kelapa muda tiba mendarat mulus di tangan mereka. Tak lupa baik Juna dan Caca ucap terima kasih pada si Abang. Rasa dingin menyejukkan kepala dan tubuh dari teriknya panas matahari juga pikiran Caca yang mendidih. Dia benci kalau ingat semua kenangan dengan Tio tadi. Salah Juna memang menyenggol soal Tio terus. Dia tak mau hanya mantannya saja yang dibahas, agaknya seru membahas mantan Juna juga. Pemuda itu terkenal ogah-ogahan dengan salah satu mantannya yang masih terus saja menempel.
"Lo sama Karina juga sering kemari?"
Disangka respons akan sesuai ekspektasi seperti dirinya, ternyata tidak. Juna seolah biasa saja. "Enggak. Dia justru ogah-ogahan diajak ke tempat kayak gini. Justru cocoknya si Karina itu pacarannya sama Tio, lo sama gue."
"Idih, najis sama buaya."
"Buaya kagak najis. Yang najis itu babi, anjing—"
"Dan elo!" tukas Caca diiringi gelak tawa puas.
Juna mendelik tajam, Caca enggak peduli. Dia baru bungkam ketika mencetuskan ancaman, "Lo ketawa lagi, gue tinggalin di sini, bayar sendiri!" Namun, Caca bungkam bukan sebab takut ancaman itu, melainkan dia tak percaya Juna mendadak baik.
"Lo mau bayarin?!" Caca menilik curiga. "Dari awal lo ngajak pulang bareng sampe sekarang jajanin, gue curiga."
Juna menurunkan kembali gelas yang sempat hendak meneguk sisa air kelapanya lalu berdecak kesal. "Lo, tuh, curigaan mulu sama gue. Heran. Dosa lo."
"Idih, sok alim main menghakimi. Yang bisa menghakimi dosa kagaknya manusia cuma Tuhan, bukan elo!" sungutnya. Benar-benar tipikal manusia bengal saat diingatkan. Harap jangan dituruti. "Gue tahu tabiat lo, orang kita dah kenal dari zaman lo masih ngompol di kelas waktu TK karena lo nahan pipis."
Kembali, tawa Caca pecah. Benar-benar Juna makin jengkel. Mau malu, sudah terlanjur malu. Toh, masih mengompol di celana waktu TK sepertinya masih wajar. Itu dalam benaknya.
"Gue inget lo—hahah … na—hahaha—han pipis. Malu gu—ahahaha padahal gue lebih muda dari lo aja gak pernah."
Terlanjur, hilang harga dirimu, Arjuna Yuga Giffara.
"Lo masih suka sama si Tio?" tanya Juna tiba-tiba melenceng bagai menembakan busur panah tepat pada target.
Akhirnya, Caca benar-benar bungkam.
"Ngapain, njir, tiba-tiba bahas dia lagi?Merinding gue." Caca menandaskan segelas es kelapa muda, lalu kembali berujar dengan roman yang mulai serius, "Tapi, ya, nggak munafik, sih, gue berharap balikan sama dia. Kenapa? Lo mau nembak gue?"
"Idih, kalo ini gak kepepet juga gue ogah sama lo."
"Ya, gue juga ogah sama lo ... Eh, apa, lo bilang apa tadi? Maksudnya gimana?"
Kerutan di dahi Caca semakin berlipat-lipat, lalu memiringkan kepala layaknya memberi telinga. Dia alih-alih memastikan tak salah dengar, juga meminta penjelasan apa maksud otak udang dalam diri buaya ini. Krisis identitas emang.
Juna menggeser sedikit kursinya mendekat pada kursi Caca. Celingak-celinguk memastikan tak ada yang dengar, pengecualian abang es kelapa muda. "Gini sebenernya, gue punya rencana."[]
Aloha~ jan lupa tinggalkan jejak, kritik+saran boleh bgt juga hihi
—060821, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top