2 • perlu ditampar, biar sadar

___________

"Juna, tunggu!"

Gadis berambut lurus nan panjang—tapi tak tebal seperti iklan sampo—dan tubuh tingginya yang juga semampai berusaha berlari mengejar Juna yang lewat menuju parkiran. Sementara Juna terus saja berjalan, tak mempedulikannya. Raut mukanya berubah sebal sambil menggerutu, "Mampus, mana ketemu si Karina lagi."

"Jun, tung—"

Bruk!

"Aw, sial—"

Jangan bilang dia drama lagi? Juna merotasikan matanya jengah. Dia muak. Kalau nggak berbalik, dia pasti disangka orang tak berperikemanusiaan sesuai sila kedua Pancasila. Kayak percuma sekolah tinggi-tinggi, tapi enggak ada hasil, terutama budi pekerti.

Mau enggak mau dia berbalik menghampiri Karina yang sudah tersungkur. Dia mengulurkan lengannya, tentu saja disambut antusias Karina. Coba bayangkan aja senangnya ditolong doi. Begitu perasaan Karina walau kudu menahan malu. Nggak apa-apa malu yang penting ditolong doi, kayaknya begitu pikirannya.

"Thanks," ujar Karina malu-malu sambil menyelipkan rambutnya ke telinga.

Juna hendak kembali berbalik, tapi lengannya ditahan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Karina. Juna menatap tak suka lengannya yang dicekal. Kalau saja yang dihadapinya ini bukan seorang gadis, mungkin adu jotos sudah terjadi.

"Apa lagi, Rin? Lo nggak apa-apa, 'kan? Cuma jatoh dan nggak perlu ke rumah sakit, 'kan? Jadi, lepasin gue dan gue nggak mau tanggung jawab."

Karina cemberut. "Bukan itu. Motor lo kosong, 'kan? Bisa nggak gue nebeng? Jalan ke rumah lo satu arah 'kan sama gue?"

"Nggak."

"Soalnya mobil gue mogok di jalan tadi pas berangkat. Sekarang lagi di bengkel."

"Nggak nanya."

Juna hendak pergi, tapi ditahan lagi. Karina malah membikin raut mukanya memelas. Memang hal itu bagi Juna enggak mempan, justru tatapan orang-orang lewat yang membuatnya jadi berpikir dua kali.

"Please~"

"Oke."

Wajah sumringah terpatri, Karina antusias mengikuti langkah Juna ke parkiran. Sebenarnya kalau ditilik-tilik, apa yang jadi daya tarik seorang Arjuna Yuga Giffara? Biasanya para perempuan akan tergila-gila dengan pria bermobil, bukan seperti Juna yang bermotor vespa merah. Memang nggak menyangkal kalau lo pada tahu harga asli motor antik ini berapa, ya … dua kali lipat sampai tiga kali lipat harga motor matic. Nggak, nggak, bukan ini yang bakal kita bahas. Kembali lagi pembahasan apa yang jadi daya tarik Juna. Ganteng, sih, tapi ganteng maupun cantik, kan, relatif. Seperti kata Caca dulu kalau Juna itu; ganteng kagak, buaya iya, itu pendapat Caca. Lain halnya dengan Karina dan perempuan lainnya yang terkagum-kagum sampai mengejar hati Juna. Mungkin yang jadi daya tariknya terasa ada kharisma pada diri pemuda itu. Enggak tahu pasti, tiap orang itu beda selera.

Di sepanjang jalan Karina tak bisa menyembunyikan senyumannya, bahkan dia itu cerewet. Juna tak meladeninya, kini bukan Arjuna yang berisik seperti bersama Bianca. Dia mendadak bisu dan cuek.

"Oh, ya, lo kemarin nggak ada kelas, 'kan? Kok, gue lihat lo kemarin ada di kampus, ngapain?"

"Bukan urusan lo."

"Apa jangan-jangan nganter cewek baru, ya?"

Juna masih terdiam sejenak, tampak berpikir memutar otaknya. Kali aja kalau dia bilang "iya", apa Karina bakalan menjauh darinya?

"Kalau iya, kenapa? Bukan urusan lo lagi, 'kan?" kilahnya.

Karina juga mendadak bungkam. Juna mengangkat sebelah sudut bibirnya, tersenyum kemenangan. Sepertinya benar. Karina perlu ditampar dengan kenyataan biar sadar kalau sudah tak ada tempat di hatinya. Sekelebat pemikiran lewat di benaknya, apa dia harus mencari gadis lain agar Karina berhenti mengejarnya? Namun, jujur saja Juna sudah malas menjalin hubungan, apalagi dengan perempuan baru yang harus mengenalinya luar-dalam dari awal.

Si Merah—nama motor kesayangan Juna—berhenti di depan pagar rumah bernomorkan 24. Juna masih tahu rumah mantannya ini. Inginnya dia antar sampai depan gapura kompleks perumahan, tapi rasanya tak tega dengan kondisi Karina usai jatuh tadi.

"Thanks, ya, Jun. Mau mampir dulu?"

Juna menggeleng. "Gue balik."

"Hati-hati di jalan, Jun!" serunya sambil melambaikan tangan dan memandang bagian punggung Juna dengan tatapan sendu.

Si Merah melaju konstan tak berbelok menuju kompleks perumahannya, lebih memilih berbelok ke kompleks perumahan sebelah. Dia memasukkan dan memarkirkan motornya di depan garasi halaman rumah minimalis tingkat dua bercat putih dipadupadankan dengan kusen dan ornamen kayu lainnya berwarnakan cokelat kehitaman.

Walaupun masuk ke dalam rumah selayaknya masuk rumah sendiri, tapi tentu saja salam tak luput diloloskan dari mulutnya. Dia disambut hangat wanita berusia 40-an. Meski hampir menginjak usia setengah abad, wanita itu masih terlihat segar dan awet muda, mungkin karena memang cantik.

"Siang, Tante."

"Eh, Juna. Pulang ngampus?"

"Iya, Tan. Bima ada?"

"Ada. Udah ada Abin juga tuh di atas," jawab beliau sambil menaruh beberapa potong kue brownies ke sebuah piring. "Juna, Tante mau minta tolong, sekalian bawa ke atas, ya? Buat kalian, kok. Abisin aja. Kalau kurang, bilang aja."

"Makasih, Tante. Tahu aja kita rakus, haha." Juna terkekeh sambil menerima sepiring kue brownies dari tangan Tante Rani. Ya, itu nama mamanya Bima dan Caca. Menyoal Caca, dia jadi kepikiran. "Caca masih ngampus?"

"Iya, mungkin bentar lagi juga pulang kalo nggak keluyuran dulu."

Juna hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf 'o' dan mengangguk-angguk sebagai respons. "Kalau gitu, Juna ke atas, ya, Tante."

"Mama, Caca pulang!"

Panjang umur.

Baru saja Juna hendak berbalik dan naik ke atas tangga, terhenti dengan seruan Caca.

"Idih, ngapain lo ada di sini?" Caca sewot mendapati Juna ada di rumahnya.

"Hush, jangan gitu. Sekali aja kamu nggak ribut sama Juna atau Bima, bisa?"

"Nggak bisa, Ma. Mereka predator, mereka buaya."

"Caca!"

Sebenarnya Tante Rani sudah biasa dengan keributan Juna dan Caca semenjak kecil sampai sekarang, enggak berubah. Meski begitu, ya, kadang mereka saling peduli. Begitu pun Juna, selayaknya Bima sama Caca, ibarat adik-kakak yang walaupun ribut ternyata diam-diam peduli. Contohnya, kemarin aja Juna mau antar Caca. Ya … meski Tante Rani juga tahu pasti di perjalanan mereka ribut.

"Minta maaf sama Kak Juna! Inget, kemarin dia anterin kamu, loh."

Caca menatap malas pada Juna meski sambil berdecak kesal dan rasanya sulit mengeluarkan kata maaf, akhirnya lolos juga dari bibirnya. "Maaf …," dia menjeda, melirik sekilas pada mamanya yang menatapnya tajam, "… Kak … Juna!" imbuhnya dengan panggilan yang jarang diucapkan karena kecuali dengan Juna dia tak memanggil embel-embel 'Kakak', tak seperti pada Bima dan Abin.

Caca tahu pasti Juna dalam hatinya bersorak kemenangan, kentara dari raut mukanya. Caca dan Juna akhirnya naik tangga dengan gadis itu yang memimpin dengan muka masam. Tampak di depan televisi, Abin sedang main PS, sedangkan Bima sibuk dengan laptopnya. Aktivitas mereka terinterupsi dengan kedatangan Caca dan Juna yang berbarengan. Senyuman usil terpatri pada wajah Bima.

"Widih, yang awalnya anter-jemput pakai mobil ganti haluan nebeng si Juna lo, Ca?"

Caca memutar matanya kesal. "Kagak. Cukup kemaren aja karena gue kepepet," sungutnya lalu duduk di karpet bulu samping Abin yang fokus ke layar televisi. Kemudian, mendelik jengkel ke arah Bima. "Sama punya abang yang nggak guna."

"Kok, salah gue? Gue, kan, lagi ngerjain tugas. Salah lo-lah yang bangun kesiangan, pasti gadang mikirin Tio bukannya gadang ngerjain tugas."

"Berisik, lo!"

"Ya, lo, sih, makanya belajar yang bener biar si Tio nggak ninggalin elo. Ya, wajar, sih, si Tio ninggalin elo. Lo kan—"

"Dia cuma bilang mau fokus dulu ke kuliahnya," potong Caca. Sedangkan Abin masih fokus main PS dan Juna menikmati drama dadakan pertengkaran adik-kakak di depannya sambil menikmati kue brownies buatan Tante Rani.

"Halah, klasik alesannya. Kek bocah SMA yang ngajak putus mau fokus UN."

Jleb. Seketika Caca bungkam. Omongan kakaknya ini memang sama persis apa yang dibilang sahabatnya, Yuna. Sudah berapa kali dia tertohok. Perkataan mereka memang boleh dibenarkan, hanya saja Caca-nya ngeyel.

"Omongan kakak lo juga nggak salah, Ca. Dengerin! Kami sebagai sesama cowok cuma mau bilang kenyataannya, cowok terlahir mahir akan skill omongan. Ya, walaupun lo juga jangan sama ratakan semua cowok itu sama. Bisa aja, alesan si Tio juga bener, tapi jujur gue juga curiga setelah kemarin aja gue lihat dia balik sama cewek," tutur Abin ikut serta dalam konversasi Bima dan Caca. Meski dia tadi fokus main PS, dia juga menaruh atensi pada topik yang jadi perdebatan tadi.

"Tuh, kata si Abin yang satu-satunya bukan buaya di fakultas kita aja ngomong gitu." Juna pun ikut menyetujui dan malah mengakui dirinya buaya. Ya, memang sudah jadi steorotipe kalau Fakultas Teknik itu sarang buaya. Namun, seperti kata Abin, tak boleh disamaratakan.

Caca ikut frustrasi. Dirinya merasa terpojokkan. Meski begitu, dia tahu kakak dan teman-temannya ini—sudah dianggap kakak kandung sendiri pula—peduli padanya. Demi melenyapkan rasa kesalnya, dia mencomot sepotong kue brownies dari piring dekat Juna dan menjejalkan ke mulutnya. Dia ini memang perlu diberi tamparan terus menerus biar sadar.

"Awas aja si Tio. Dia dulu yang mohon-mohon biar gue nerima dia, dia juga yang ngajak putus. Bakal gue bikin dia nyesel dan mohon-mohon sama gue!" ucapnya bersungut-sungut. Akhirnya setelah otaknya dicuci dengan omongan-omongan orang sekitarnya, rasa benci menjalar pada dirinya. Sementara Juna diam-diam menyeringai. Dia tampak mendapat ide baru usai mendengar ucapan Caca.

"Dek, sore nanti mau ikut nggak?"

Bima mengalihkan pembicaraan. Dia mulai melunak, begitu pun Caca.

"Ngajak ke mana lagi, nih? Gue nggak mau ya ikut cuma kudu fotoin atau video-in lo kayak pas lagi di studio musik minggu lalu."

Bima menyengir. Caca mendelik tajam.

"Tahu aja lo. Tapi, sekarang kita mau main skateboard sama anak komunitas."

"Emang lo masuk jadi anak komunitas mereka? Emangnya lo bisa? Lo 'kan bisanya cuma sepeda, itu pun nggak kayak mereka yang sambil atraksi."

"Itu temennya si Juna salah satu anak komunitas mereka ngajak. Ya, kita main-main aja. Namanya juga belajar. Nah, lo biasa vi—"

"Nggak."

Caca lekas beranjak pergi menuju kamarnya. Baru saja menyentuh gagang pintu, terhenti.

"Pulangnya gue jajanin—"

"Seblak seafood premium!" potong Caca.

"Buset, lo meras gue? Tapi … oke deh."

"Awas, lo. Kalau bo'ong," ancamnya. " Oh, ya, ketuk pintu aje, ye, kalau mau berangkat, gue mau nonton drakor dulu."

Caca lemah, lemah kalo disogok makanan.[]


Keknya buat awal-awal bakal (agak) sering update. Jadi, update berkala tiap sabtu ada kemungkinan dimulai nanti hmmmm

Oh, jan lupa tinggalkan jejak, luvs. C ya~

—040821, ara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top