11 • upaya demi upaya
p.s. di-post jauh sebelum perang saudara dimulai.
_____________
Masih berlanjut dengan pertengkaran dua saudara Prastayadi—semoga tidak bosan. Sampai saat ini tak ada indikasi di antara salah satunya untuk berinisiatif mengibarkan bendera putih, keduanya masih keras kepala akan pendiriannya masing-masing. Maka dari itu, sebagai orang tua tak ada pilihan lain selain ikut menengahi. Kalau rencana-rencana yang mereka susun ternyata gagal teraktualisasi, jalan terakhirnya dengan pendekatan—merundingkan secara kekeluargaan dengan mengetahui apa permasalahan lalu mencari solusi. Namun, Tante Rani masih belum kehilangan ide. Ada saja yang muncul di dalam benak.
Kemarin rencananya memang gagal, mengajak mereka berdua belanja bulanan ke department store. Mereka biarkan Caca dan Bima yang belanja kebutuhan bersama-sama, sedangkan kedua orang tuanya menikmati masa-masa muda katanya. Meski kenyataannya, Pak Adi mengekori Tante Rani yang keluar masuk toko pakaian sampai berakhir di boks pakaian yang kerap banyak diskon dan sebagai pembawa barang belanjaan sang istri.
Dikira rencananya berhasil dengan mendekatkan mereka karena saling membantu saat belanja, nyatanya tidak. Memang kerja sama mereka bagus, tapi hanya sekadar melakukan keprofesionalannya melakukan apa yang diperintah sang Kanjeng Ratu—begitu mereka biasa memanggilnya. Baik Caca maupun Bima masih punya hati nurani, tak mungkin membiarkan salah satunya melakukan sendiri dengan belanjaan dua troli penuh. Untuk sebulan, tapi seperti mau hajatan kecil.
"Kak, tolong ambilin yang di atas!"
"Dek, apa lagi yang belum?"
Hanya sekadar itu percakapan mereka saat berbelanja. Mereka putuskan adanya gencatan senjata, tak ada perdebatan karena memang hakikatnya perang dingin tak mungkin ada senjata. Lebih merinding memang atmosfer di sekitarnya kalau sudah perang dingin dibandingkan saling melemparkan serangan dengan mulut dan kata-kata sebagai senjata.
Kemarin gagal. Hari ini mereka putuskan pergi ke kampung halaman dengan dalih menjenguk nenek—ibu dari Tante Rani—yang katanya tengah sakit. Mungkin rindu, itu kata kakek mereka. Beruntungnya pekerjaan Pak Adi fleksibel dan tidak terlalu sibuk, begitu pun Bima dan Caca tak ada kelas di hari Jum'at—kenyataannya Caca ada satu, tapi titip absen jadi andalan.
Kini keduanya duduk berjauhan di jok tengah—hampir mepet ke pintu mobil setiap sisi. Awalnya Bima berinisiatif di jok paling belakang bersama tumpukan barang bawaan, tapi ternyata terlalu penuh. Masing-masing dari mereka sibuk sendiri di sepanjang perjalanan. Caca tidur; Bima main gim di ponsel—sudah lama katanya sebab akhir-akhir ini lebih suka pergi ke tempat gym daripada main gim. Memulai hidup sehat dan normal, katanya.
Menempuh perjalanan hanya dua jam dari kota, sampailah di tempat asri dengan sisi kiri-kanan jalan masih adanya persawahan. Kendati begitu, akses jalannya sudah beraspal mulus tak kalah dengan di kota. Mobil hitam metalik masuk ke pekarangan rumah panggung berbahan kayu jati. Tampak seorang pria baya tengah mengasah golok, perkakas kesayangannya setelah keris.
"Kakek, Caca kangen!" seru Caca saat itu juga turun dari mobil dan menghambur ke pelukan sang kakek persis kala kecil dulu. Baik Bima dan Caca dekat dengan sang kakek.
"Waduh, Caca cucu kakek paling cantik akhirnya ke sini juga. Ada cucu kakek yang ini juga, Bima si ganteng kalem," seloroh kakeknya.
Ritualisasi cium tangan dan pelukan pun terjadi satu per satu, begitu pun saat memasuki rumah dan disambut aroma masakan sang nenek. Ya, benar, neneknya sakit itu sebagai dalih rindu. Nyatanya sehat-sehat saja.
"Gimana kuliahnya lancar?" tanya sang kakek di sela-sela makan usai bercakap-cakap topik lain.
"Lancar, Kek," jawab mereka serentak.
"Syukur kalau gitu. Kalau hal lain, nggak ada masalah apa-apa, 'kan?"
Hening. Tak ada suara yang keluar pun tak ada suara denting alat makan yang beradu sebab tengah menyuap makanan dengan tangan—serius, makan menggunakan tangan lebih nikmat apalagi ditemani sambal ulek khas. Pertanyaan sang kakek terlalu eksplisit sampai membuat mereka tertohok tak bisa jawab apapun. Sang kakek mengernyit dan menatap Bima dan Caca bergiliran. Beliau sudah tahu ada yang tak beres semenjak kedatangan mereka.
"Bima, Caca, besok ikut Kakek ke kebun," ujar beliau lebih cenderung bermakna imperatif bukan tawaran. Mau tak mau, ya, mereka juga mengiyakan tanpa protes sebab sudah lama juga mereka tak ke sana.
"Kalau Caca boleh ke sawah?" Caca bersuara pada akhirnya.
"Kamu mau ke sawah? Sama siapa? Biasanya Kakek ajak kalau mau panen, tapi sayangnya sawah Kakek belum panen. Mau lihat apanya? Mending ikut Kakek sama kakak kamu ke kebun."
Caca membulatkan bibirnya membentuk huruf 'O' dan mengangguk-angguk paham. "Ya, udah, ikut ke kebun juga kalau gitu," pungkasnya.
"Kebun yang dekat hutan itu bukan, Kek?" tanya Bima memastikan.
"Ya, iya, yang mana lagi. Kecuali kalau kamu mau beliin Kakek lahan baru, Bim," balas beliau diiringi tawa berat khasnya.
Kehangatan yang diciptakan dengan kumpul bersama terus berlanjut meski terselingi sembahyang Jum'at bagi para lelaki muslim. Dilanjut Caca yang merengek untuk jalan-jalan sore bersama sang kakek. Bima tak ikut sebab sudah tepar di kasur sepulang dari mesjid. Selama kedua kakek dan cucu itu pergi jalan-jalan yang berakhir ke tempat pemancingan dan sepulangnya Bima masih bergelung di atas ranjang sambil membuat pulau. Alhasil, pemandangan Bima dimarahi habis-habisan sebab mengakhirkan waktu sembahyang menjadi pemandangan memuaskan bagi Caca tersendiri. Meski sempat kasihan, tapi seru. Biadab memang adik macam ini.
Rembulan menggantikan mentari. Lembayung senja berkroma jingga tergantikan dengan langit legam. Namun, masih tampak cerah akan gemerlap bintang dan rembulan menerangi. Biasanya menikmati malam indah seperti ini cocok ada yang menemani. Tapi, siapa? Sampai dering ponsel menginterupsi lamunan Caca.
"Tumben telepon? Jadi, merinding gue," kata Caca saat mengangkat telepon masuk pada gawainya. Tungkainya melangkah ke luar, duduk di kursi panjang yang dibuat menjadi semacam ayunan di samping pekarangan rumah kakeknya.
"Nggak boleh emang telepon pacar sendiri?" tanya pemilik suara berat dengan vokalnya yang agak unik juga dengan kekehan dari seberang sana.
"Tapi kita, kan, ...." Caca menggantungkan kata-katanya, ia melirik ke kanan-kiri memastikan tak ada siapapun, paling utama yaitu Bima. "... pacaran bohongan," bisiknya.
"Apa salahnya? Pulsa-pulsa gue."
"Ya, justru itu. Kenapa lewat telepon biasa?"
"Gue kira lo nggak ada sinyal atau sinyalnya nggak stabil, entar suara lo ngerebek. Udah tahu suara jelek makin jelek."
"Sialan!"
Ya, Juna hanya berkelakar. Mana mungkin suara bass Caca yang persis seperti Bima itu dikategorikan jelek, dia tak jarang dengar gadis itu bersenandung. Jujur saja, ia akui suaranya sangat bagus, enak didengar. Tak kalah dengan suara kakaknya. Sebab, jarang seorang perempuan memiki suara bass.
"Sori, aja, ya. Gue pake kartu si merah, kartu bangsawan. Lagian, di sini bukan pelosok."
"Lah? Gue juga sama ini, lihat aja digit nomor gue. Abisnya dulu gue pas ke situ susah sinyal ... oh, baru sadar. Dulu gue masih pake kartu rakyat."
Caca menahan tawa. Pun tak merespons. Sepertinya cukupkan sampai sana saja menyoal kartu. Takut-takut jadinya terkesan ada tindakan rasisme terhadap provider.
"Gimana kabar Nenek? Kata si Bima kalian ke situ buat jenguk Nenek."
"Baik-baik aja, kok, nggak sakit, sehat jasmani dan rohani. Itu dalih Nenek sama Kakek, katanya rindu."
"Dah lama gue nggak ke situ bareng Abin. Pasti mereka kangen, apalagi ke gue, ya, nggak?"
Caca tergelak sarkas. "Sok tahu, lo. Cucu kandung aja bukan."
"Calon cucu mantu."
"Dih! Ogah! Nggak bakal terjadi!"
Hening. Sampai akhirnya Juna berdeham. "Ca, bukan maksudnya gimana-gimana nih. Lo sama Bima masih belom baikan?"
Kepala Caca menunduk, menatap sepasang kaki yang beralaskan sendal jepit yang sebenarnya ia gunakan dari awal keberangkatan. Toh, cuma ke desa, selama perjalanan di dalam mobil, dan lebih nyaman.
"Ca? Lo masih di situ, 'kan?"
"Hm."
"Caca~" seruan dari sang kakek terdengar.
"Iya, Kek? Caca ada di luar, di ayunan sini," sahutnya. "Eh, udah dulu, Kakek manggil." Itu ditujukan pada Juna di seberang sana.
Hendak menutup panggilan sepihak namun lekas dicegah Juna. "Eh, jangan ditutup, kasihin sama Kakek. Pengen ngobrol."
"Ngobrol apaan?"
"Tanya kabar atau apalah. Yang penting silaturahmi."
Kebetulan sekali kakeknya juga menghampiri sambil menggerakkan mulutnya seolah-olah bertanya 'siapa?' tanpa suara sebab tahu Caca tengah berbicara dengan ponselnya. Lekas Caca memberikan pada beliau. "Juna, Kek."
Tampak wajah sumringah sang kakek, diawali ucapan salam dilanjut bertukar kabar dan tawa. Banyak sekali yang dibicarakan menyoal hal penting sampai tak penting. Saat Caca disuruh membawakan kopi beserta kue sebagai temannya lalu kembali lagi, sang kakek masih saja asyik berbincang dengan Juna di telepon. Terkadang Caca kagum, Juna itu ringan mulut pada setiap orang. Serius, dia hanya kagum akan kepribadian positifnya, itu saja. Selebihnya? Tidak. Apalagi Juna itu sendiri. Perlu ditekankan, hanya kepribadian.
"Yo, mari, ditunggu main kemari. Nggak sama Abin atau Bima juga, bisa sama Caca, ya, 'kan?" kata sang kakek ke seberang sana, tapi matanya melirik pada Caca. Kontan cucunya itu mengernyit bingung. Apa lagi yang diomongin Juna ke Kakek? Awas aja kalau yang aneh-aneh.
Lantas salam penutup terlontar dan ponsel diberikan kembali pada Caca, bertukar dengan secangkir kopi hitam. "Nih, barangkali mau kangen-kangenan lagi," seloroh beliau.
Caca membulatkan mata. "Idih, Kakek ini ngomong apa?"
"Itu, teleponnya masih nyambung itu. Juna nunggu."
Benar saja, telepon masih tersambung. Namun, dia diam-diam memutuskan sambungan sepihak. "Mana? Udah mati, kok, Kek," kilahnya.
Sang kakek menyesap kopi, berdeham, lalu sebelah tangannya menepuk samping bangku ayunan yang diduduki, menyuruh Caca duduk. Sebagai cucu yang berbakti, Caca mengiyakan.
"Kamu sama Juna pacaran, ya?"
Caca menjengit kaget. "Eh? Kakek-"
"Nak Juna cerita. Nggak pa-pa, kok. Namanya juga anak muda. Kakek dulu aja pernah sama nenek. Kakek setia tahu."
"Serius nih setia, Kek?"
"Tentu."
"Iyain, deh, biar cepet, biar Kakek seneng kalau Kakek jadi suami setianya Nenek," pungkas Caca diiringi kekehan dari keduanya.
"Terus katanya Bima nggak setuju sama hubungan kalian, terus kalian jadi berantem gara-gara itu?"
Ya Tuhan, ngomong apa lagi, sih, Juna?
"Juna yang cerita barusan," sambung beliau sebelum Caca bertanya kakeknya tahu dari mana.
"Kalau Kakek, sih, paling setuju kamu sama Nak Juna. Setahu Kakek dia itu anak baik, sopan, murah senyum, dan ramah. Waktu kakak kamu sama Abin dan Juna liburan di sini juga, Juna yang paling luwes bahkan sama orang-orang desa. Dari orang yang kerja di kebun sama sawah Kakek, anak-anak, sampai ibu-ibu yang pernah kenal Nak Juna aja pada nanyain dia waktu mereka sudah ke kota."
Caca tak terkejut dengan cerita mendetail kakeknya menyoal Juna karena dia sendiri pun akhir-akhir ini sering lihat. Kendati sebenarnya baru tahu-menahu saat memiliki hubungan palsu dengannya. Mungkin karena sering bersama.
"Ini masalah sepele, kenapa kudu dibesar-besarin? Konon, ada suatu ungkapan dalam masyarakat Sunda, 'ulah sok parasea bisi pajauh huma' yang artinya 'jangan saling bertengkar agar tidak berjauhan rumah' atau bisa juga tali persaudaraan kalian terputus."
"Ya, kalau nggak begitu juga siapa tahu rumah aku sama Kak Bima juga beneran jauhan nanti?"
Memang, Caca itu bengal, Bima juga. Namun, kakeknya hanya tersenyum menanggapi. "Intinya, nggak baik bertengkar lama-lama. Apalagi sama saudara kandung sendiri. Jadi, baikan, ya? Soal hubungan kamu sama Juna biar Kakek yang urus, biar Kakek yang jelasin sama kakakmu itu," jelas beliau lalu diselingi dengan menjejalkan kue kering dibantu dorongan seduhan kopi. "Heran Kakek sama Bima. Ah, nggak, intinya heran sama kalian juga. Nggak berantem adu mulut, saling diem-dieman. Tapi, Kakek mending milih kalian berisik daripada harus diem-dieman. Merinding suasananya."
"Mungkin Kak Bima iri belum punya pacar? Ya, 'kan, Kek?" celetuk Caca berkelakar. Kakeknya juga ikut tertawa.
"Nah, itu. Padahal ganteng kalem, tapi masih jomblo."
"Kata siapa ganteng kalem? Mukanya sih iya kelihatan kalem, tapi aslinya kayak emak-emak. Sukanya nyerocos terus."
"Aeh, Kakek bilang ganteng kalem biar jadi do'a."
"Bisa aja Kakek."
Malam itu diisi kehangatan antara kakek dan cucu perempuannya di bawah langit cerah bertabur bintang pun rembulan, suara jangkrik dan kawan-kawannya sebagai latar musik, dan ditemani kopi juga kue kering. Topik A sampai Z sambung menyambung yang harus diakhiri panggilan dari sang istri lekas masuk ke dalam sebab sudah larut malam dan lekas tidur. Apalagi kakek yang sudah berumur, gampang masuk angin. Begitulah alasannya.
Sementara Caca dan Juna masing-masing sebelum tidur merenung kalau tindakan mereka salah. Ya, mereka sudah membohongi banyak orang sampai kakek saja dibohongi. Bedebah memang.[]
Moga kalian ga bosen sama perkara Caca Bima yang belom baikan. Tapi, masalahnya harus clear dulu, ya, 'kan?
Okay, dicukupkan makasi udah mau nunggu lapak ini. So, c you on Saturday~
—010921, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top