10 • disparitas si bebal bersaudara
___________
Terhitung hari ketiga, dua saudara Prastayadi masih tak mau memangkas disparitas. Suasana di rumah saja cukup sepi, tak ada saling adu argumen sama sekali yang biasanya memenuhi penjuru rumah. Terjadi konversasi saja sekadar gue berangkat ngampus atau mau makan apa? kalau tengah berdua, biasanya menyoal makan malam. Caca sudah mau bermalam di rumah kembali, tak enak menumpang di kamar kos Yuna secara percuma. Apalagi Yuna sendiri sibuk di UKM Modern Dance. Ya, begitulah ketertarikan demi mengasah bakat gadis Shintya itu di sana sejak mereka berada di tingkat satu dan tentu saja di sanalah awal kedekatannya dengan Haikal. Kalau Caca amati, agaknya hanya Kak Haikal yang menaruh asa. Hal itu kentara dari luapan afeksi yang nyalar ditunjukkan. Sayangnya, Yuna itu begitu dungu menyoal kisah romansanya sendiri. Dia seolah-olah tak tertarik sama sekali. Tidak peka, sepertinya cocok memvisualisasikan Ayuna Shintya kala berhadapan dengan pemuda Adhitama.
Kembali lagi pada Bima dan Caca. Keduanya masih tak mau memulai siapa dulu yang akan memangkas distansi dan membuang jauh egonya. Namun, keduanya itu memang sudah terlalap ego masing-masing.
"Kak Bima yang salah, dia yang mulai ngajak ribut dan malah enggak tahu kesalahan dia di mana."
"Caca yang salah, gue udah minta maaf malah ngajak perang dingin kayak gini lagi."
Ya, keduanya mempertahankan pendiriannya masing-masing. Agaknya mereka itu sebenarnya tengah membesar-besarkan hal yang seharusnya kecil dan mudah diselesaikan.
Lantas mereka hanya menetapkan pendirian yang sama; biarin, sampai mana dia kayak gitu? Gue cuma ikut permainannya aja.
Sebenarnya, semua ikut direpotkan juga akan problema dua kakak-beradik yang bebal ini. Yuna saja ikut pusing, tapi setidaknya ia sudah menjadi pendengar yang baik dan memberi masukan. Meski memang di telinga Caca masuk ke kuping kanan keluar dari kuping kiri. Ibarat dosen menjelaskan materi di kelas yang berujung kalau ujian, maka seni mengarang menjadi andalan.
Menyoal direpotkan, Juna yang menjadi salah satu alasan dari berbagai alasan perang dingin kakak-beradik itu pun ikut andil menengahi keduanya. Sekarang saja ia sigap memasang telinga mendengar segala ocehan Caca. Kendati memang mereka hanya pacaran karena sebuah rencana, yah, anggap saja kali ini ia bertindak seolah-olah seperti kekasih benaran atau paling tidak, anggap saja bentuk perhatian antara teman sedari kecil.
"Lo masih marahan sama abang lo?" tanya Juna sedikit agak berteriak karena tengah di perjalanan. Ya, karena seiring berjalannya waktu, antar-jemput Caca sudah menjadi rutinitas meski Juna sendiri tak ada kelas.
"Salah dia, kok."
Hening. Juna belum membalas, tampaknya ia tengah memilah padanan kalimat apa yang cocok. Takut-takut dia juga salah jawab dan berakhir ribut dengan Caca. Bukan karena ia tak dengar.
"Ca."
"Hm?"
"Mampir dulu di depan sana, yuk? Ada tukang sate Maranggi. Gue laper, suer."
Dikira apa, ternyata malah mengalihkan topik. Tapi, ya, memang tak ada salahnya mampir dulu mengisi perut. Sudah sore juga sekalian hitung-hitung makan malam. Yah, pastinya malam nanti juga mengorek-ngorek kulkas demi cemilan.
"Nggak nolak. Gas gas aja kalau gue, sih," setuju Caca. Apalagi kalau gratisan. Caca memang tak tahu malu, tapi meski begitu kadang ia juga sungkan kalau terus-menerus Juna yang traktir. Sebagai gantinya, kadang Caca juga ajak makan Juna sekadar beli gado-gado, batagor, atau bahkan ngajak ngopi ke tempat kongko.
Si Merah diparkirkan berjejer dengan kuda mesin lainnya. Biasa kalau sudah sore begini, pasti berjejer para pedagang kaki lima yang dibuka bersama tenda makan.
"Eh, si Bos tumben ngajak cewek kemari. Biasa? Beliin Bunda soto?" tanya seorang lelaki dengan luaran warna hijau stabilo, persis yang biasa dipakai tukang parkir. Kebanyakan begitu walau tak semua. Caca hanya mencoba tersenyum ramah, agaknya memang sudah akrab dengan Juna. Heran. Agaknya pemuda Giffara ini banyak sekali koneksinya. Kemarin abang tukang es kelapa muda, temannya punya angkringan dan yang satunya lagi punya tempat ngopi, lalu sekarang abang parkir. Nanti siapa lagi?
"Oh, bukan, cuma mau makan, Bang Bejo. Rame?"
Lelaki yang disebut Bang Bejo itu manggut-manggut. "Alhamdulillah, biasa lumayan rame. Ya, udah atuh, silakan menikmati hidangan. Kalem, si Merah mah ada Bang Bejo yang jagain."
Baik Caca dan Juna terkekeh. "Percaya lah sama Bang Bejo. Tapi, mau ikut makan juga enggak, Bang?" tanya Juna sebelum benar-benar pamit.
"Makasih, Bos. Udah tadi. Kalau saya ikut makan nanti ngeganggu kalian, terus si Merah siapa yang jagain?"
"Ya, udah, kalau gitu saya sama Caca makan dulu, ya. Mari, Bang," pamit Juna.
"Iya, sok mangga-mangga," ujarnya sembari membalas bungkukan kepala dari Juna dan Caca.
Usai memesan dua porsi sate dengan sepuluh tusuk masing-masingnya beserta lontong sebagai pengganjal perut. Mereka pun duduk berhadapan di bangku dan meja makan yang ada di tenda makan.
"Lo kayaknya akrab sama Bang Bejo itu, sering kemari?" Caca membuka suara.
"Wah, dah sohib dia karena jadi pawang si Merah. Kayak yang dia bilang, sering kemari karena disuruh Bunda beliin soto."
"Gue kira Bang Bejo itu orang Jawa, tapi tadi logatnya orang Sunda, ya?"
Kembali, bukan Caca dan Juna kalau tidak berbincang hal yang tak begitu penting sampai ngalor-ngidul. Juna ujung-ujungnya menceritakan kisah awal pertemuannya dengan Bang Bejo karena si Merah dulu sempat ada yang maling meski di keramaian. Sebagai bentuk tanggung jawab kesalahannya, Bang Bejo lebih protektif menjaga si Merah. Kemudian berlanjut Juna yang sering ajak makan bareng Bang Bejo, alasannya biar makan ada teman. Lalu Juna juga ujung-ujungnya menceritakan kisah Bang Bejo juga yang merantau. Yah, memang Caca dan Juna itu mau topik apapun pasti nyambung.
Perbincangan dengan Bang Bejo sebagai topik terus berlanjut sampai dua piring sate Maranggi datang tersaji di hadapan mereka. Kemudian dilanjutkan dengan membicarakan Abin yang sudah pergi KKN yang dikaitkan kapan tepatnya Juna juga KKN—Bima juga. Sampai di akhir santapan, Juna kembali menyinggung soal Bima dan Caca. Sejujurnya, ia mengajaknya pun demi membincangkan ini lebih lanjut.
"Ca, apa karena gue?"
Caca mengernyitkan dahi, tak paham dengan pertanyaan ambigu Juna yang sekonyong-konyong terlontar tanpa tahu objeknya apa. "Maksud lo?" tanyanya memastikan.
"Soal lo sama si Bima. Kalian berantem gara-gara gue? Gue bisa jelasin ke dia, kok, kalau kita pacaran bohongan," ujar Juna memperjelas.
"Kalau gitu, dia bakal lebih ngamuk, bego!" cecar Caca lalu menggigit daging tusuk dengan sedikit beremosi.
Juna meneguk air teh hangat yang selalu sepaket dengan sate Maranggi terlebih dulu sebelum bercerak, "Kalau gitu … akhiri aja hubungan bo—"
"Lo gila?!" tukas Caca dengan nada meninggi, sampai akhirnya sadar kalau ia jadi pusat perhatian. Rasanya? Malu banget, lah! Urat malunya masih belum putus. "Kita belum setengah jalan, lho. Karina masih ngejar lo, begitu pun Tio ke gue. Tujuan kita belom tercapai, Jun. Heran. Padahal lo sendiri yang ngusulin rencana gila ini."
"Tapi lo yakin pengin balikan sama Tio ketika dia ngerasa nyesel?"
Pertanyaan Juna membuatnya tertohok dan membuatnya tercenung. Apakah dia benar-benar ingin Tio kembali padanya setelah apa yang dilihat dengan kedua mata kepalanya sendiri?
"Gue cuma nggak mau hubungan lo sama abang lo rusak gara-gara gue yang notabenenya orang lain, Ca," lanjut Juna mulai semakin serius.
"Kata siapa orang lain? Lo pada berbelas tahun temenan apa? Bukannya udah kayak sodara sendiri?" cecar Caca, lagi. Agak menyakitkan memang disebut orang lain setelah apa yang telah mereka lalui selama ini meski memang, ya, kenyataannya tak ada ikatan darah setetes pun. Kecuali, fakta sesama keturunan anak-cucu Adam.
Di lain sisi, Juna juga jadi berpikir ulang lagi, apakah pembicaraan ini pantas dibicarakan di bawah tenda makan pinggir jalan dengan asap pembakaran sate yang dihirup pengganti aroma ruangan? Seharusnya tempat kongko ditemani kopi agaknya lebih cocok.
Caca menghela napas. "Justru itu, kalau kita beberin semua rencana kita, dia lebih bakal ngamuk. Jadi, kita tetap kayak gini aja sampai tujuan tercapai, lalu kita putus. Kak Bima nggak boleh tahu yang sebenernya," ujar Caca. "Kak Bima cuma nggak mau gue nangis gara-gara lo. Itu alasan dia nggak bolehin gue sama lo. Mungkin karena lo …."
"Buaya?" terka Juna melanjutkan kalimat Caca yang menggantung.
"Bukan gue yang bilang, ya, tapi lo sendiri." Caca juga terkekeh sebab pengakuan Juna sendiri. "Tapi … ya, siapa juga yang bakalan nangis gara-gara lo sedangkan kita nggak ada perasaan sama sekali. Ya, nggak?"
Konversasi usai mengabaikan pertanyaan retorik yang dilontarkan Caca, begitu pun makanan sudah langis masuk ke lambung. Seperti biasa saat Caca hendak membayar, pasti terlanjur dibayar Juna, selalu begitu. Mereka putuskan langsung pulang tanpa mampir ke mana pun lagi sebab sudah hampir Maghrib. Tak lupa pamitan pada Bang Bejo. Bayar parkir? Awalnya Bang Bejo menolak, tapi Juna tetap saja memaksa dengan menyelipkan pada saku. Katanya, business is business.
Sesampainya di depan kediaman Caca dan hendak gadis Prastayadi itu menyodorkan helm, Juna menukarnya dengan satu kantong plastik yang diketahui beberapa tusuk sate—terlihat dari tusukan sate yang menyembul keluar. Caca tak kunjung membawa sampai Juna memindahkan jinjingan pada tangan Caca dengan paksa.
"Nih, bawa! Buat abang lo."
"Kok? Buat Tante Dewi aja. Abang gue bisa mesen sendiri," tolaknya.
"Bunda udah gue beliin juga. Kasihin ke dia, biar lo baikan. Tapi jangan bilang dari gue!" jelas Juna. "Ya, udah, gue cabut dulu kalau gitu."
"Hm, thanks."
Ya, terpaksa juga Caca menerima. Rezeki jangan ditolak. Namun, agaknya ia masih ogah-ogahan kalau baikan dengan Bima. Pendiriannya itu kuat kalau Bima yang salah.
Sampai malam harinya meski orang tua mereka sudah pulang dari Bali saja, mereka masih membikin disparitas. Kendati terdengar antuasiasme dari Caca ketika membuka buah tangan seperti apa yang dipintanya—kecuali, pria bule tentunya—,tetapi baik Tante Rani dan Pak Adi masih merasakan atmosfer yang sama seperti sebelumnya mereka berangkat. Sepertinya mereka pun harus ikut andil menjadi mediator. Tentunya mereka harus berpikir bolak-balik akan rencana bagaimana mempersatukan kedua putra-putrinya yang bertengkar tak seperti biasanya.[]
Mau ngomong apa, ya?
Yauda, ini aja deh. Makasi dah mampir, jan lupa tinggalkan jejak (ʃƪ^3^)
—250821
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top