1 • masa transisi putus

___________

"Mampus."

Begitulah gerutuan Bianca—biasa dipanggil Caca—dalam hati berulang-ulang sembari menundukkan pandangannya pada layar ponsel. Pasalnya, tak ada satupun driver yang nyantol di aplikasi ojolnya. Ya … salah siapa kebo, kakaknya cuma bilang begitu. Padahal satu kampus dengannya, tak mau antar. Dia malah balik ke kamar, alasannya ngerjain tugas sebab kelasnya siang.

"Ca, belom berangkat?" Mamanya keluar menghampiri Caca di depan rumah.

"Belom, Ma. Gak ada yang nyangkut ojolnya."

"Mau Mama suruh Kak Bima anterin kamu?"

Caca menimbang-nimbang keputusan, ragu. Apalagi sebenarnya mereka sedang marahan cuma gara-gara kemarin salah order makanan. Ya, sepele. Caca tahu salah, kakaknya suruh order bakso urat biasa, malah bakso mercon sama kayak pesanan Caca. Tapi, ya … bukannya yang penting sama-sama bakso? Kak Bima-nya aja yang lemah gak kuat makan pedes. Mengingat bagaimana kakaknya mengamuk kemarin, sepertinya tawaran mamanya lebih baik ditolak.

"Pagi, Tante."

Sebuah motor Vespa matic Primavera merah berhenti di depan mereka. Tampak pemuda dengan setelan kasual dengan kemeja kotak-kotak dijadikan sebagai luaran dan kaos oblong putih polos sebagai dalaman dipadupadankan dengan celana jeans biru. Namun, bukan itu ciri khasnya, ciri khas dia punya mata monolid seperti orang Asia Timur. Yang Caca tahu, pemuda itu tak punya darah orang Asia Timur jika dilihat dari ayah dan ibunya. Ya, dia kenal, rumahnya ada di komplek sebelah. Tak hanya itu, dia juga bisa dibilang sobat dekat kakaknya dari TK.

"Eh, Nak Juna, pagi. Mau nyamper Bima?"

"Enggak, Tan. Baru aja dari rumah Abin," jawab pemuda yang diketahui namanya Juna. "Eh, Ca, ngampus?"

Caca hanya mengangguk. Alhasil mamanya yang menjawab, "Iya, tapi katanya belom ada ojol yang nyangkut. Pada ke mana, ya? Caca-nya aja nih kesiangan, mungkin mau suruh Bima aja nganter."

"Kalau mau bareng, boleh, Tante. Sekalian aja."

"Ada kelas pagi juga?"

"Ada."

"Kalau Caca bareng kamu, gak ngerepotin, 'kan?"

"Gak, kok, Tan. Kayak ke siapa aja." Juna beralih menatap Caca. "Gimana? Mau gak?"

Caca menyengir, wajahnya berubah cerah.  "Gak bakal nolak," seru Caca.

Usai mencium tangan dan pamitan—diikuti Juna yang melakukan demikian—Caca lekas naik ke jok belakang dan memakaikan helm motor yang untungnya Juna bawa dua. Meski dia tahu Juna itu tengil dan menyebalkan, kayaknya sekali ini saja dia bilang Juna penyelamat. Di antara geng pertemanan kakaknya, dia sebenarnya tak pernah akur dengan Juna apalagi kakaknya. Pengecualian Abin, anak tetangga depan rumahnya ini. Makanya Juna keluar dari gerbang rumah seberang sana.

Juna dan Caca tipikal orang berisik. Pasti ada saja bahasan meski keduanya tak pernah luput dari debat.

"Serius lo ada kelas?"

"Gak, sih. Kali-kali aja gue berbuat baik, nabung amal."

Namun, Caca yang usil juga takkan mengiyakan begitu saja, kontan ia memasang senyum usil. Juna tahu ekspresinya dari kaca spion motor.

"Kenapa lo senyum-senyum gitu? Creepy. Jangan geer, ya."

"Idih, emang geer apaan gue? Lo kali tuh. Emangnya lo tahu gue mikir apa?"

"Nyesel gue ngajak lo."

"Bodo."

Motornya berhenti saat lampu merah, kendaraan lain pun mengikuti. Kalau saja Caca tak bangun telat, dari pagi-pagi sekali dia sudah berangkat dan tak perlu menunggu lama lampu merah dan segala kemacetannya. Yah, walau tak semacet siang atau sore hari.

"Tumben gak berangkat sama pacar lo si Tio?"

Raut muka Caca berubah cepat, memasam. "Dah ke laut."

Seketika tawa Juna pecah, tak peduli dengan pandangan pengendara lain. Juna memang tak malu, tapi yang malu Caca. Kontan dia mencubit pinggang Juna, alhasil Juna mengumpat alih-alih mengaduh.

"Anjir, sakit, Ca!"

"Berisik, lo bikin gue malu."

"Lo malu kalo orang lain tahu lo putus?"

"Bukan itu, gue malu karena elo yang ketawanya kekencengan, bego!"

"Bodo amat, mereka kan gak kenal gue. Mungkin gak bakal ketemu lagi."

"Siapa tahu."

Motor kembali melaju setelah lampu merah berganti kuning lalu ke hijau. Tawa Juna masih tersisa di sepanjang perjalanan. Rasanya tidak afdal kalau tak mengolok-olok adik perempuan sahabatnya ini.

"Gak bakal ada yang anter-jemput pake mobil lagi dong?"

"Ada! Papa gue sama Kak Bima kalo dia mau."

"Gue juga tahu. Ini selain mereka, Bocil." Kalau saja Caca gak kepepet karena takut telat masuk kelas, kayaknya mending nunggu ojol nyangkut di aplikasinya.

"Heran gue sama Kak Rina masih ngejar-ngejar lo. Apa yang perlu dibanggain, njir? Ganteng kagak, buaya iya."

"Ganteng lah gue."

"Gangguan telinga."

"Basi jokes kayak gitu."

"Elo yang basi."

Ya, begitulah mereka tak pernah akur dan tak luput adu mulut. Kayaknya adu mulut sudah jadi cemilan bagi mereka kalau dua manusia itu bertemu sampai Bima dan Abin juga jemu. Sepanjang perjalanan mereka adu mulut; bercerocos dan saling mengolok, sampai tak sadar sudah sampai lingkungan kampus. Beruntunglah Caca tidak telat, dia masuk, dosen juga baru masuk. Setidaknya Juna masih punya hati nurani mengantarnya ke depan gedung fakultasnya.

***

Kalian pernah enggak, sih, habis putus sama mantan bilangnya meski udah putus, kita masih temenan lagi, ya? tapi nyatanya omongan itu enggak valid dengan kenyataan? Malah jadi orang yang tak pernah kenal. Begitulah kondisi Caca waktu jalan papasan dengan mantannya, Tio, yang kebetulan mau jalan ke kantin harus lewat Gedung Fakultas Kedokteran—kebetulan dia juga baru keluar dari sana. Ya, tak menyanggah kalau dia bangga pamer mantannya itu anak kedokteran, tapi berlaku waktu jadi pacar aja. Sehebat-hebatnya mantan lo buat apa coba pamerin mantan, 'kan? Gak guna, orang udah jadi mantan. Apalagi dengan alasan yang enggak jelas.

"Serius tadi si Tio gak nyapa lo?!" sungut gadis berambut sebahu dan memiliki sifat blak-blakan yang terlihat dari profil wajahnya saja. Dia sahabatnya, Yuna. Kalau perlu tahu nama lengkapnya: Ayuna Sintya. Teman satu-satunya yang benar-benar teman dari zaman ospek jurusan sampai sekarang semester empat. Ya, kalian tahulah, zaman kuliah gak semuanya teman. Percuma ada yang membentuk circle juga tetap saja ada yang punya pisau di belakang mereka. Ngerti nggak? Mudah-mudahan ngerti. Bukan membunuh nyawa, tetapi harga diri.

"Gak nyadar kali. Positive thinking, Yun," balas Caca menyuapkan ketoprak ke mulutnya. Sekalian meredam emosi pakai ketoprak.

Yuna merotasikan matanya lalu menggebrak meja. Caca tak kaget, dia sudah biasa dengan kebiasaan urakannya. Namun, orang-orang di kantin sudah pasti kaget dan meja kedua gadis itu jadi sorotan utama.

"Gue masih gak habis pikir lo masih aja positive thinking sama dia. Padahal alasannya gak logis, ngajak putus tiba-tiba dengan alasan pengen fokus sama studi. Sumpah, kayak alasan pacaran anak SMP yang mau fokus UN." Yuna kalau sudah begini mulutnya bercerocos tanpa henti lebih dari Caca. "Seriously, lo gak tanya atau pernah mikir gitu dia punya atau deket sama cewek lain karena bosen sama lo?"

Caca menggeleng.

"Oh, you're an angel, Bianca." Yuna berusaha mengatakan itu dengan selembut mungkin seolah-olah memuji, tapi raut mukanya cepat berubah dengan tatapan muak. "Gak usah munafik lo, Ca. Gue tahu lo cuma berusaha semuanya baik-baik aja."

Nah, ini yang Caca suka dari Yuna. Tipikal orang yang lebih suka omongin kejelekan di depan orangnya langsung. Jadi, dia tahu apa kekurangan dan kesalahan dari dirinya. Walaupun kadang ada orang yang tak suka dengan tipikal orang seperti Yuna. Namanya juga manusia, berbeda-beda, tak sama.

"Fine. Okay, I admit. Kadang, gue juga mikir kayak apa yang lo pikirin tentang Tio. Cuma gue pengen semua ini berlalu, gue pengen move on walau sulit gue coba. Lo tahu 'kan hubungan gue sama dia udah lama, hampir dua tahun lebih dari akhir SMA? Waktu buat move on dari waktu hubungan lama itu susah, apalagi alasannya masih bikin gue berharap. Kecuali—"

"Ya, kecuali dia make affair dari lo?" potong Yuna.

"Yup. Tapi, kalo gitu, ya, masih sama aja susah karena rasa benci gue sama dia, kayaknya."

"Oke. Kalau gitu, gue mau ngasih tahu lo walau ini rada toxic dan ini sesuai apa yang gue lihat." Caca mengerutkan dahinya, bingung, tapi dia menunggu lanjutan kalimat Yuna. "Waktu gue nyari buku referensi tugas kemarin ke perpus, gue gak sengaja lihat Tio berduaan sama cewek di sana."

"Sama temennya kali, lagi ngerjain tugas kelompok."

"Masa cuma temen, tapi cengengesan?" selidik Yuna terus curiga sembari menggerakkan dua jari membentuk huruf v seperti memberi tanda petik pada kata "teman".

"Masa sesama temen gak boleh cengengesan? Ya … karena ada hal lucu kali."

Yuna mulai gemas. "Masa cuma temen, tapi si Tio nyelipin rambut si ceweknya? Gak ada cuma temen antara cowok dan cewek. Lo sama Tio juga awalnya temen, 'kan? Gue bilang gini biar lo mikir dan cepet move on. Berarti dia berengsek dan emang keputusan kalian putus dah bener, tapi alesannya itu yang—ewh, disgusting."

Caca akhirnya terdiam sejenak. Namun, yang keluar dari mulut akhirnya hanya, "I don't fucking care."

Memang Caca seolah-olah tak peduli kelihatannya, tapi enggak bohong kalau ada rasa ngilu di hati. Perasaannya masih melekat. Usia putus mereka saja baru selang seminggu. Jadi, tak mungkin dia move on begitu aja. Dia masih berada di transisi masa putus. Namun, mengetahui kenyataan seperti apa yang diberi tahu Yuna, sepertinya rasa benci mulai menjalar seketika. Dia bukan orang baik atau malaikat. Ya, dia tak seharusnya munafik.

Sudah terasa amarahnya muncul, semakin meluaplah dia ketika membuka satu pesan  yang baru saja diterima.

Kak Bima:
Dek, pulang ngampus beliin martabak mini seberang kampus. 6 biji. Rasa yang biasa gue nitip dulu. Awas kalo salah lagi!

Rasanya pengin ganti kakak.[]

How? Agak kaku gak sih karena lom biasa? Coba kritik sarannya gimana? Biar enak juga kan bacanya. Eh jan lupa tinggalkan jejak vote.

Btw, lapak ini bakal update tiap sabtu aja (kalo gada halangan), ya~

C ya~

020821, ara.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top